Bab 3b
Flora yang kaget menggeliat dan berusaha melepaskan diri. “Kak, aku buatkan minuman hangat.”
Namun, ia tidak dapat bergerak. Tangan Dewa mencengkeramnya kuat. Ia berusaha meloloskan diri dan kembali terjatuh ke atas tubuh suaminya.
“Kak, lepaskan aku,” ucapnya pelan.
Dewa meringis, setengah tersadar tangannya mengelus wajah, lalu turun ke bahu dan pinggang Flora. Berucap serak, Dewa berucap pelan.
“Flora yang cantik, dan menawan. Flora, wanita sexy yang menakjubkan. Sayangnya, berdarah dingin.”
Keduanya berpandangan, dengan jantung Flora seperti dipacu keluar. Sementara tangan Dewa terus mengelus punggung dan turun ke pinggangnya.
“Pernah berpikir, bagaimana rasanya menyetubuhimu. Menenggelamkan dalam dirimu dan bercinta dengan panas. Kamu pasti liar, Flora. Aku tahu itu, ada banyak hal yang kamu simpan dalam lubuk hatimu.”
Kata-kata Dewa yang penuh keintiman dan rayuan, membuat Flora bergidik. Ia kembali bergerak untuk meloloskan diri dan Dewa mencengkeram lebih kuat. Wajah mereka berdekatan dan hanya berjarak beberap sentimeter. Flora menahan mual, menghirup aroma rokok dan alkohol dari mulut Dewa.
“Flora, oh Flora. Cantikmu mematikan.”
Selesai berucap, tanpa diduga Dewa meraih bagian kepala Flora dan mencium dengan kuat. Flora tergagap, berusaha melepaskan diri dari sergapan mulut Dewa yang beraroma alkohol tapi susah. Bibir laki-laki itu menghisap bibirnya kuat, memagut tanpa ampun dengan lidah membelai lidahnya. Ia hampir tersedak dan napas mereka memburu.
Seperti halnya saat memulai, Dewa mengakhiri ciuman dengan cepat dan tersenyum kecil. Meraba lembut bibir Flora yang lembab lalu tersenyum dengan mata sayu. “Manis, bibirmu.”
Melenguh sejenak dan jatuh tertidur, dengan Flora masih berada di atas tubuhnya. Pelukan Dewa melonggar, lengannya melemas dan Flora yang tersadar, bangkit dari atas tubuh laki-laki itu. Ia bernapas dengan terengah, berdiri gugup di depan sosok Dewa yang kini tertidur. Mengusap bibir perlahan, Flora masih tidak percaya bisa berciuman dengan suaminya. Menepuk dada, untuk meredakan kegugupan, ia bergegas keluar dari kamar suaminya dan menuju kamarnya sendiri.
“Ada apa tadi?” bisik Flora gugup, duduk di pinggir ranjang. Bayangan tentang ciuman paksa dari Dewa masih membekas, bahkan saat ia berbaring.
Tidurnya tidak nyenyak, dengan Dewa yang terus menerus muntah. Flora yang masih terjaga, mendapati Dewa muntah di kamar mandi dan membuat lantainya kotor.
“Istriku yang cantik,” ucap Dewa sambil tersenyum. “Ayo, siram lantainya. Banyak muntah, hah!” Melangkah sempoyongan, melewati Flora yang berdiri di pintu kamar mandi dan menuju ranjang.
Flora bergidik ngeri, antara jijik dan ingin muntah. Kepalanya pening seketika, tapi ia menguatkan diri dengan menyiram seluruh permukaan lantai hingga bersih lalu mengepel dengan menggunakan cairan antiseptic.
Selesai melakukan pekerjaannya, waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Dengan tubuh dingin karena gaun tidurnya yang basah, ia menatap Dewa yang terlelap lalu kembali ke kamarnya. Mengganti gaun tidur dan merebahkan diri di atas ranjang. Ia tidak serta merta terlelap karena kepalanya berdenyut kesakitan. Sementara, takut kalau harus minum obat sembarangan.
Ia merintis sembarangan, dan terlelap setelah menahan sakit cukup lama. Rasanya, baru sebentar ia bermimpi, saat terdengar bentakan dari ujung ranjang.
“Bangun pemalas! Jam berapa ini kamu masih tidur!”
Flora mengucek mata, menggeliat malas.
“Flora! Udah jam delapan ini! Ayo, bangun!”
Dengan kepala yang masih nyeri karena sisa sakit semalam, Flora bangkit dari ranjang. Menatap ibu mertunya yang berdiri sambil berkacak pinggang.
“Ma, selama pagi.”
Risti melambaikan tangan. “Nggak usah basa-basi. Cepat ke dapur bikin sarapan. Dasar pemalas. Kamu lupa aku hari ini ada arisan, harus sudah siap sepagi mungkin. Bukannya bantu, malah bangun kesiangan!”
Diiringi omelan dan gerutuan Risti yang tiada henti, Flora bangkit dari ranjang. Menuju kamar mandi dan membasuh wajah dengan air dingin. Meski masih merasa kantuk, tapi setidaknya air dingin membantunya terjaga.
Mengganti gaun tidur dengan daster, ia melangkah menuju dapur dan mulai berkutat untuk menyiapkan hidangan bagi 10 orang yang akan datang saat siang nanti. Ia merebus ika dan mencairkan ikan yang ia bekukan.
“Eh, jangan kerja dulu. Buatin aku sarapan. Suamimu juga. Kayaknya dia sudah bangun.”
“Iya, Ma.” Ia menjawab tanpa menoleh.
Sementara Risti menunggu di ruang makan, ia menyiapkan kopi dan roti tawar isi daging asap. Membawanya ke meja makan dan mendapati Dewa duduk di sana dan sudah berpakaian rapi.
Laki-laki itu mendongak untuk melihatnya datang. Namun tidak mengatakan apapun. Menerima roti dan kopi dalam diam. Flora pun tidak menyapa, membalikkan tubuh dan bersiap pergi.
“Eh, tunggu dulu. Kamu bereskan kamar mamam dulu. Takut nanti ada teman-teman yang mau lihat,” perintah Risti.
Flora menggigit bibir, kebingungan. “Ma, nanti nggak keburu masaknya.”
Tidak terima dibantah, Risti membanting gelas kopi ke atas meja dan membuat isinya terciprat keluar. Meraih lap di ats meja dan melemparkannya ke arah Flora yang terkaget.
“Makanya, jadi wanita jangan malas. Sudah aku bilang, harus bangun pagi-pagi. Kamu malah kesiangan! Aku tidak mau tahu, rapikan kamarku dan masak. Sebelum pukul dua belas sudah harus beres!”
Mengangguk tanpa kata, Flora berlalu. Ia kembali ke dapur, mematikan kompor dan melewati meja makan menuju lantai dua. Tanpa banyak kata ia bekerja, meski perutnya bergolak tak karuan dan kepalanya sakit. Ia bergerak secepatnya untuk menghemat waktu fan turun kembali setengah jam kemudian. Tidak memedulikan nasehat dari orang-orang kalau wanita hamil dilarang naik turun tangga. Ia yakin, anaknya sehat demi dirinya.
Tiba di meja makan, Dewa dan Risti sudah tidak ada. Yang membuatnya heran, meja makan kali ini dalam keadaan rapi dan bersih. Peralatan makan pun sudah dicuci dan diletakkan di rak pengering, Ia tidak tahu siapa yang melakukannya, Dewa atau Risti.
Bergulat di dapur selama hampir tiga jam dari mulai membuat bakso, menggoreng ikan, menumis tiga macam sayur dan terakhir membuat minuman, pukul 12 semua hasil masakannya susah tersaji di atas meja.
Ia kelelahan, terduduk di kursi dapur dan mendengar para wanita yang ikut arisan susah mulai berdatangan.
“Wah, Jeng. Banyak sekali hidangannya. Pesan dari restoran mana?”
“Ah, masak sendiri ini mah.” Suara Risti terdengar menimpali.
“Jeng memang hebat. Wanita mandiri. Bisa bisnis, masak, ngurus anak. Jeng Risti panutan kami semua.”
Tawa terdengar menggelegar dari ruang makan. Memijit kepalanya yang berdenyut, Flora meraih piring kecil dan bersiap makan. Sedari pagi, ia belum memakan apa pun kecuali minum teh manis. Ia mengambil nasi dan kuah bakso, baru saja makan dua suap, Risti muncul di pintu.
“Eh, kamu kok makan dulu? Mana buah-nya? Belum diiris?”
Flora mengedip. “Bukannya nunggu habis makan, Ma?”
Risti melambaikan tangan. “Ngaco kamu. Iris dan keluarkan sekarang. Habis makan ada cemilan yang sudah mama siapkan. Buruan!”
Menelan makanan di dalam mulut yang kini terasa hambar, Flora memotong semangka, dan melon lalu membawanya ke ruang makan. Di sana, para wanita yang ikut arisan sedang makan dengn lahap. Mereka memuja dan memuji masakan hasil buatannya yang diklaim oleh Risti.
“Eh, ini Flora?” Salah seorang dari mereka bertanya saat melihat kemunculannya.
“Iya, dia itu Flora,” jawab Risti.
“Wah, beruntung kamu Flora. Dapat dua bersaudara yang tampan dan mapan. Dari kakak ke adik.” Seorang wanita bertubuh subur berkata dengan mulut penuh nasi.
Lalu, ditimpali oleh wanita di sebelahnya. “Benar-benar turun ranjang kisah si Flora. Mirip sama sinetron.”
“Ho-oh, beruntung dia.”
Meletakkan buah di atas meja dan mengambil peralatan makan yang kosong, Flora bergegas ke dapur. Ujung matanya menangkan pandangan sengit Risti yang diarahkan padanya. Di dapur, ia menghela napas , berucap dalam hati kalau dirinya sama sekali tidak beruntung dengan pernikahan turun ranjang ini. Apa daya, ia tidak punya hak untuk berkelit apalagi berkata tidak. Keadaan yang membelenggunya, terlebih ia dalam keadaan hamil.
Para wanita itu, selesai makan pindah ke ruang tamu. Flora sibuk mencuci dan merapikan sisa makanan. Nasinya sendiri tergeletak terlupakan. Pukul tiga sore, semua acara selesai. Para wanita itu pulang dan ia membersihkan rumah.
“Jangan lupa bersihkan kamar Dewa!” perintah Risti saat melihatnya mengepel ruang tamu. “Aku mau pergi.”
Sepeninggal ibu mertuanya, Flora mendesah lega. Selesai mengepel, ia ke kamar suaminya dan mendapati ruangan dalam keadaan rapi. Bantal ditumpuk, selimut terlipat rapi, dan sama sekali tidak ada sampah yang berserak. Ia merasa aneh, karena tidak biasanya Dewa serapi ini.
Selesai mengerjakan semuanya, Flora terduduk di sofa ruang tamu dan kelelahan. Ia menguap berkali-kali dan tidak dapat menahan kantuk. Dengan sapu dan pel masih di sampingnya, ia jatuh tertidur di sofa.
Ia bahkan tidak terjaga saat pintu ruang tamu membuka dan sosok Dewa muncul, masih dalam balutan pakaian kerja. Laki-laki itu berdiri termangu di samping sofa. Mengamati dalam diam, wanita hamil yang tertidur di atas sofa.
“Sosok yang menipu,” bisik Dewa dengan mata tak lepas dari Flora. “wajah cantik yang rapuh, dengan senyum palsu. Flora, kamu memang wanita berbahaya.”
Dewa berbalik, menuju kamarnya. Membiarkan Flora tetap tertidur di atas sofa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro