Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2a

Dewa mengucek matanya, merasa jika kepalanya berdentum menyakitkan. Ia menggeleng, berusaha menjernihkan pikiran. Di udara samar-samar tercium aroma masakan. Perutnya seketika berkriuk lapar. Ia mendesah, berusaha bangkit dari tempatnya tidur. Rupanya, semalam ia mabuk dan ketiduran di depan kamar. Ada sebuah bantal yang diletakkan di bawah kepalanya. Ia menduga, Flora yang melakukannya.
Melangkah gontai menuju kamar mandi. Ia mengguyur tubuh untuk menghilangkan pegal dan penat. Sedikit menggigil karena siraman air yang dingin. Tidak tahan, ia memutar kran dan membiarnya kesegaran air membasuh tubuhnya.

Benaknya suram, banyak beban di pundak dan juga harus memikirkan produk-produk perusahaan, semua bagaikan benang kusut di otak Dewa. Ingin berteriak, tapi sebagai laki-laki ia merasa tidak seharusnya melakukan itu. Pernikahannya dengan Flora, membuat kesulitannya makin bertambah.

Dengan selembar handuk membalut tubuh, ia keluar dari kamar mandi. Tanpa memakai baju lebih dulu, Dewa menuju dapur. Di pintu ruang makan ia tertegun, menatap Flora yang sibuk menyiapkan hidangan. Wajah wanita itu berkeringat dengan anak-anak rambut terburai di dahi. Ia berdehem dan Flora mengangkat wajah karena kaget.

"Kak, di-dimakan sarapannya," ucap Flora gugup.

Dewa berkacak pinggang, air menetes dari rambut lalu turun ke perutnya. Ia tidak peduli dengan keadaanya yang basah. Menatap Flora dengan menyipit.

"Kenapa kamu biarkan aku tidur di luar?" tegurnya dingin.

Flora menggeleng. "Kak, aku nggak kuat gendong ke kamar."

"Alasan! Siapa yang minta kamu pindahin? Aku hanya minta kamu buka pintu!"

"Maaf."

Tidak ingin bertengkar di pagi buta, Flora menunduk. Membalikkan tubuh dan pergi arah dapur, meninggalkan Dewa sendirian.

Di dapur, ia menarik napas panjang. Memegang wastafel dengan tangan gemetar. Pernikahannya dengan Dewa baru berjalan beberapa hari tapi batinnya sudah sangat tersiksa. Jika bukan demi bayi dalam kandungannya, ingin rasanya ia pergi. Jauh dari Dewa dan keluarga ini. Namun, lagi-lagi ia tidak mungkin melakukan itu.

"Jangan coba-coba kabur, ingat utang keluargamu. Kecuali, kamu mau orang tuamu masuk penjara."

Peringatan yang diberikan sang ibu mertua, Risti, terus menerus diucapkan wanita itu. Ia hanya bisa menerima tanpa suara. Wanita pertengan lima puluhan itu sekarang sedang tidak ada di rumah. Beralasan ingin menghilangkan kesedihan karena kematian Satria, Risti melakukan perjalanan keliling Indonesia bersama teman-temannya. Ia mendengar wanita itu meminta kartu kredit dan uang dari Dewa.

Sedangkan ia di sini, terkurung di rumah sendirian. Meratapi kesedihan yang seakan tidak pernah ingin pergi.
Suara mobil membuatnya tersadar. Ia melangkah ke ruang makan dan mendapati hidangan masih utuh di atas meja. Menghela napas panjang, ia terduduk di kursi dan memijat kepala.
**
Di jalan raya, Dewa menatap lautan kendaraan di depannya. Kemacetan terasa memuakkan. Ia ada meeting pukul sepuluh. Sekarang sudah hampir pukul sembilan dan ia masih di jalan. Meraih ponsel, dan menyambungkannya ke dashboard mobil, ia membuat panggilan. Diangkat pada dering ketiga.

"Selama pagi, Pak."

"Septian, apa Arini belum masuk kerja?"

"Belum, Pak. Dia bilang akan datang Minggu depan. Ibunya masih sakit."

Dewa menyumpah dalam hati. Saat ini, ia membutuhkan Arini untuk membantunya menghandle rapat dan mendapati wanita itu tidak masuk kerja, membuatnya kesal.

"Kalau begitu kamu yang siapkan dokumen dan kotrak."

"Baik, Pak. Sudah siapkan dari tadi."

"Bagus, aku tiba dalam satu jam."

Memacu kendaraannya di antara lalu lintas yang padat, Dewa berusaha meredam kekesalannya. Tidak peduli seberapa cepat ia berusaha, tetap saja terlambat. Pukul sepuluh lewat sepuluh menit baru saja menginjakkan kaki di kantor dan masuk ke ruangan rapat dengan perasaan menyesal. Untunglah Mitranya mau mengerti dan mereka memulai rapat.

Pukul empat sore, setelah marathon rapat yang tidak ada habisnya Dewa menikmati makan siang yang terlambat. Ia mendongak saat Septian memberitahunya ada seorang wanita datang mencarinya. Mengelap mulut dengan tisu dan menyingkirkan piring bekas makannya, ia memandang ke arah pintu yang membuka.

"Dewaa, lama sekali tidak melihatmu, Sayang." Seorang wanita awal tiga puluhan melangkah gemulai dalam balutan rok pendek di atas dengkul dan memakai blazer hijau. Rambut wanita itu berwarna kecoklatan ikal dan tergerai hingga ke pundak.

"Anete, apa kabar?" Dewa tersenyum dan belum sempat ia beranjak, wanita itu menubruknya lalu menjatuhkan dirinya di atas pangkuan. Sebuah ciuman dilayangkan ke mulutnya. Dilanjut dengan hisapan kuat di bibir dan Dewa melepaskan diri sambil mengusap bibir Anete.

"Tahan, ini di kantor," bisiknya parau.
Anete tersenyum simpul, memainkan dasi di leher Dewa. "Kamu susah sekali ditemui. Dari sebelum ke Belanda, sampai hari ini."

"Banyak hal terjadi," ucap Dewa parau.
Darahnya berdesir saat tangan Anete yang lentik membelai pundak dan dadanya. Wanita itu bangkit dari pangkuannya. Lalu berdiri menghadapnya. Membungkuk untuk melayangkan kecupan. Saat melakukan itu, belahan dadanya terlihat jelas dan membuat Dewa meneguk air liur.

"Apa kamu tidak rindu cumbuan kita?" bisik Anete menggoda, kali ini meniup telinga Dewa.

Dewa berdehem, meraih tangan Anete yang sedang menggerayangi dadanya lalu mengecupnya lembut. "Kangen tentu saja tapi aku sedang banyak pekerjaan."

Menegakkan tubuh, Anete mencebik. Wajah cantiknya terlihat kesal. "Selalu soal pekerjaan saja yang kamu pikirkan. Apa kamu kira aku tidak sibuk? Ada pembukaan lima cabang baru ke luar kota. Aku berharap bisa membawamu ke sana sekalian kamu riset pasar."

"Kapan?" tanya Dewa.

"Minggu depan. Bagaimana, kamu mau?" tanya Anete penuh harap.

Dewa tidak menjawab, menimbang-nimbang sebelum menjawab permintaan Anete. Ia memang tergoda untuk pergi, meriset pasar dan sekalian menemani Anete. Namun, sekarang kesibukannya justru tidak bisa ditinggal.

"Kalau hanya menemani sehari dua hari aku bisa. Tapi, kalau sampai seminggu, aku tidak bisa."

Jawaban Dewa membuat Anete mencebik. "Kenapa?"

Menarik napas panjang Dewa tersenyum. "Kamu tahu'kan semenjak kakakku tidak ada. Semua urusan pekerjaan aku yang menangani."

Anete terdiam lalu mengangguk. "Iya, memang. Makin hari kamu makin sibuk, sampai tidak ada waktu untuk untukku lagi atau lebih tepatnya untuk kita berdua."

Meraih tangan Anete dan mengecupnya, Dewa merasakan tusukan rasa bersalah. Selama menjalin hubungan dengannya, Anete jarang sekali menuntut ini dan itu. Wanita mandiri yang bisa mengerjakan semuanya sendiri. Bukan salahnya kalau sesekali ia ingin diperhatikan. Ia hanya belum menemukan waktu yang cocok untuk bersama.

"Bagaimana dengan kakak iparmu?" tanya Anete tiba-tiba.

"Siapa?" tanya Dewa balik.

Anete mengernyit. "Kok malah tanya siapa, sih? Tentu saja wanita yang selama ini menjadi istri kakakmu. Bukankah dia tersangka dari pembunuhan kakakmu?"

Ingatan Dewa seketika tertuju pada Flora. Wanita yang berpura-pura bersikap lugu, hanya untuk menyembunyikan sifat aslinya yang suka menipu. Wanita yang berpenampilan sederhana tapi ada sesuatu yang kerasa dalam dirinya.

"Dia ada," jawab Dewa pelan. Ia masih belum sanggup mengatakan yang sesungguhnya poad Anete, kalau sudah menikahi Flora.

"Lalu, kalian tidak menuntutnya?"

Dewa mengangkat bahu. "Tidak cukup bukti."

"Ah, sial! Padahal, jelas-jelas di tempat kejadian hanya dia. Masa, iya, nggak cukup bukti!" Suara Anete meninggi.
Dewa menyugar rambut dan ikut mendesah kesal. "Memang seperti itu kenyataannya. Aku dan mamaku tidak bisa apa-apa."

"Di mana dia sekarang?" tanya Anete galak.

"Di rumah."

"Rumah yang mana."

"Rumah Mama."

Dewa sengaja menyimpan informasi kalau rumah sang mama kini menjadi rumahnya juga. Dengan alasan tidak ingin terus terkenanga dengan kematian Satria, mereka menjual rumah yang semula ditempati Satria dan Flora lalu membeli yang baru.

"Wanita kejam yang tak tahu diri," desis Anete kesal."Bisa-bisanya dia bermuka tembok. Tetap berada di keluarga kalian. Padahal, selama ini kalian sangat baik padanya. Dan wanita itu ibarat membalas air susu dengan air tuba."

Dewa tidak menyangkal segala kemarahan Anete. Karena dirinya pun merasakan kemarahan yang sama terhadap Flora. Wanita yang ia anggap baik selama ini, ternyata tega menghabisi nyawa kakaknya tanpa tahu apa alasannya.

Singatnya dulu, hubungan rumah tangga Flora dan Satria baik-baiak saja dan terlihat harmonis. Ia bahkan kagum dengan sikap mengalah Flora, mengatasi kakaknya yang egois dan ingin menang sendiri.

Nyatanya, kini semua berbeda. Bisa jadi, kesedihan yang dipendam selama ini oleh Flora menguap dan berujung pada penusukan pada Kakaknya. Apa pu alasannya, tetapa saja pembunuhan itu sangat biadap dan tidak bisa diterima akal.

"Jangan bersedih, Sayang. Aku menantikan saat-saat kita bersama."
Anete menangkup wajah Dewa dan melayangkan kecupan. "Pikirkan saja, saat hanya ada kita berdua dan juga cinta."

Dewa tersenyum, membiarkan bibirnya dikecup. Yang dikatakan Anete ada benarnya. Untuk sekarang, lebih baik ia berkonsentrasi pada perusahaan dan juga kebersamaan yang akan datang dengan kekasihnya. Dari pada harus memendam angkara pada Flora.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro