Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14a

“Bagus, ya, cincin kamu.” Kinasih mendesah sambil tersenyum, mengangkat tangan Bunga dan mengamati cincin berkilau di tangannya. “Berliannya besar.”

Bunga tertawa lirih. “Ini hadiah dari suamiku. Kadang-kadang, dia memang terlihat cuek tapi ternyata bisa romantis juga.”

“Aku iri.” Ucapan Kinasih benar-benar tercetus dari dalam hati. Ia memang iri setengah mati karena Bunga mendapat cincin yang lebih bagus dan pastinya lebih mahal darinya. Tidak peduli dengan bagaimana Jaka menghiburnya, tetap saja ia merasa iri.

“Aih, jangan begitu. Kamu ’kan kerja dan gajimu bagus. Beda sama aku yang hanya ibu rumah tangga dengan penghasilan minim. Pasti, suatu saat kamu bisa membelinya sendiri.”

“Iya, tapi tidak akan semahal dan sebagus punyamu.”

Bunga merasa tidak ada gunannya berdebat dengan Kinasih yang sedang digayut rasa iri. Ia tersenyum, membalikkan tubuh dan pergi ke dapur untuk mengaduk kuah rawon. Hari ini, ia mengadakan menu special berupa rawon dan soto khas Jawa Timur. Selain permintaan pelanggan, juga karena ia ingin menambah variasi menu.

Ia mencicipi kuah, sementara Kinasih berdiri tak jauh darinya. Terus terang, dalam hatinya ia merasa heran karena sahabatnya itu iri dengan cincin yang ia punya. Setahunya, Kinasih juga punya cincin yang nyaris sama persis dengannya. Yang membedakan hanya bentuk dan ukuran batu berlian. Bukankah itu sudah mencukupi? Entah kenapa Kinasih masih merasa iri.

“Bunga, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Kinasih.

Bunga mengalihkan pandangannya dari atas panci dan tersenyum. “Apa?”

“Nggak, ini sedikit pribadi. Semoga saja kamu nggak tersinggung.”

Bunga tertawa lirih. “Tanya saja, napa malu-malu?”

Kinasih mengangkat bahu, menatap lekat-lekat sosok Bunga yang cantik dan ramping. Sedikit banyak ia merasa heran karena Jaka bisa tergoda olehnya, sedangkan laki-laki itu punya istri yang cantik dan baik. Ia berpikir, bisa jadi Bunga tidak pernah bisa memuaskan suaminya di ranjang. Itu terbukti dari sikap dan tingkah Jaka saat mereka bercinta. Laki-laki itu cenderung kasar, panas, dan liar. Mungkin dengan istrinya tidak begitu.

“Kok diam?” tegur Bunga. “Katanya mau tanya.”

“Itu, kalian sudah lama berumah tangga tapi belum ada anak juga. Apa kamu nggak takut kalau suatu saat suamimu selingkuh karena ingin punya anak dari wanita lain?”

Tangan Bunga terhenti di udara. Ia menatap pada sahabatnya dan merenung. Pertanyaan Kinasih memang benar-benar blak-blakan. Ia bukan tak pernah memikirkannya, sering malah. Namun, ia sering kali menutupnya dengan bersikap tenang dan selalu optimis kalau sang suami akan selalu setia.

“Bukannya tidak pernah terpikir, bisa jadi sering. Kalau memang suaminya tertarik wanita lain hanya demi anak, aku bisa apa?”

“Maksudmu?”

“Aku mundur. Bukan berarti aku tidak cinta, tapi pantang untukku berbagi suami,” ucap Bunga lembut.

Kinasih terdiam, memikirkan perkataan Bunga. Wanita yang terlihat lembut dan rapuh dari luar, tapi nyatanya punya kemauan yang keras dan berprinsip teguh. Ia mendesah dalam hati, tidak akan menang jika melawan Bunga secara terbuka. Karena, Jaka pasti tidak menginginkan kalau istrinya pergi.

Menyandarkan tubuh pada kusen pintu, benak Kinasih berpikir, bagaimana caranya mendapatkan Jaka sepenuhnya dan menghilangkan jejak Bunga secara halus. Waktu berlalu, meski Jaka terlihat sangat menyukainya tapi dalam hati ia yakin kalau laki-laki itu mencintai sang istri. Sedangkan ia sendiri, tidak suka berbagi.

Terpikir suatu rencana di otaknya, dan ia yakin kali ini mampu menyingkirkan Bunga dari hidup Jaka. Ia sudah muak dinomorduakan, saatnya untuk bertindak.

“Bunga, Minggu depan kita main ke Puncak, yuk! Berdua aja kalau mau. Bisa sewa mobil.”

Bunga menatapnya dengan wajah semringah. “Wah, ayo. Udah lama nggak jalan-jalan. Kalau suamiku ikut boleh?”

Kinasih mengangguk. “Dengan senang hati.”

Otaknya merencanakan dua kemungkinann sekaligus, dengan Jaka atau tanpa Jaka, ia berniat membuat Bunga menyingkir jauh.

**

Dewa duduk berhadapan dengan sang mama di ruang keluarga lantai dua. Ia menatap mamanya yang sibuk dengan ponsel di tangan, bersikap seakan tidak ada dirinya. Ia tahu, mamanya marah, terlebih beberapa hari lalu ia membawa Flora jalan-jalan dan bicara dari hati ke hati. Hari itu, sang mama marah besar dan menuduhnya gelap mata karena rayuan Flora.

“Apa dia menyuapmu dengan tubuhnya? Apa kamu tergoda karena dia melayanimu di ranjang! Kamu mau dengan pembunuh kakakmu, berarti kamu juga pembunuh!”

Saat itu, tidak ada yang bisa membantah ucapan mamanya. Wanita yang sedang marah dan kalap, percuma kalau disangkal. Ia memberi tanda pada Flora untuk menyingkir diam-diam, dan bersikap mengalah.

Penindasan sang mama pada Flora makin bertambah setelah hari itu. Ia tahu, meski istrinya tidak pernah mengatakannya. Setiap hari sang mama membawa teman-temannya ke rumah, untuk bernyanyi atau bermain kartu. Tak tanggung-tanggung jumlahnya bisa mencapai sepuluh orang. Floralah yang harus mengurus semua, dari mulai makanan, cemilan, hingga membersihkan rumah. Meski Flora tidak pernah mengeluh, ia tahu kalau wanita itu kelelahan.

“Kakimu bengkak,” ucapnya suatu malam, saat diam-diam menyelinap ke kamar Flora dan mendapati wanita itu sedang berbaring kelelahan.

“Uhm, biasa bagi ibu hamil,” jawab Flora.

“Berbaring, biar aku pijat. Mana minyak kayu putihmu.”

“Dih, nggak usah, Kak. Kamu ’kan baru pulang kerja?”

“Nggak apa-apa.”

Tidak memberi kesempatan pada Flora menolak, malam itu untuk pertama kalinya ia memanjakan sang istri. Mengoles minyak kayu putih dan memijat kaki hingga Flora tertidur. Sering kali ia didera rasa kasihan, melihat kondisi Flora yang pucat dan rapuh. Namun, selama pembunuh Satria belum ketahuan siapa pelakunya, ia tidak bisa berbuat banyak untuk menolong istrinya.

“Mau ngomong apa kamu? Mau bela wanita itu lagi?” Risti bertanya sengit pada anak bungsunya.

“Ma, bukan begitu. Aku hanya ingin meluruskan satu hal saja.”

“Meluruskan satu hal? Yang membuat kusut justru kamu sendiri, Dewa. Akui sajalah kalau kamu jatuh dalam pesona wanita itu! Jangan banyak alasan!”

Dewa mendesah, merasa sedikit kesusahan bicara dengan mamanya. Ia menatap tak perdaya, saat sang mama bangkit dari sofa dan kini berdiri di dekat jendela. Sosok mamanya yang terpantul dari bias cahaya jendela, terlihat angkuh dan dingin. Sangat berbeda dengan mamanya yang dulu ia kenal.

Kesedihan karena kehilangan Satria, sangat memukul perasaan sang mama, dan kini, wanita itu berkubang tidak hanya dalam kesedihan tapi juga rasa marah yang berlebihan. Berikut dendam yang seakan mengendap jauh ke dalam hati dan mengubur kelembutan yang selama ini ada dalam diri mamanya.

“Ma, bisakah Mama mendengarkan aku dulu? Please? Jangan emosi.”

Risti melirik anak bungsunya dan berdecak tidak puas. “Mau ngomong apa lagi?”

Dewa menggeleng. “Hanya ingin memastikan kalau Mama tahu tidak tentang lingkup pertemanan Satria.”

“Kenapa kamu tanya itu?”

“Karena ada banyak hal janggal dari kematian Satria. Memang, Flora berada di tempat kejadian, tapi dari penyelidikan polisi justru ada orang lain terlibat.”

Risti mengernyit, berdiri bersedekap. “Maksudmu, Flora dibantu orang lain? Atau, dia cerita kalau ada laki-laki bertudung yang membunuh Satria?”

“Jadi Mama tahu tentang itu?”

“Laki-laki bertudung? Tentu saja, Flora bercerita dengan lancar dan aku anggap itu hanya alibinya.”

Dewa menatap mamanya, menimbang-nimbang sesaat. “Bagaimana kalau ternyata benar.”

“Maksudmu?”

“Kalau ternyata memang ada orang lain yang membunuh Satria atau dengan kata lain, pelakunya saat ini masih buron.”

“Kenapa kamu percaya perkataan Flora? Dia hanya mengarang!”

“Ma, dengarkan dulu. Bisa jadi tidak begitu urusannya.”

Risti tersenyum kecil, melangkah mendekati anak bungsunya dan berucap sinis. “Apa pun yang dikatakan wanita itu, aku nggak akan percaya. Pembunuh Satria pastilah dia. Asal kamu tahu, Flora itu punya kekasih.”

“Mantan,” sahut Dewa kalem.

“Hah, jadi kamu tahu juga? Tapi, apa kamu tahu bahkan setelah Flora menikah dengan Satria, mereka masih tetap berhubungan? Satria bahkan mengadu padaku dengan wajah tertekan, karena merasa sang istri tidak mencintainya.”

Dewa mengernyit, menatap mamanya bingung. “Bagaimana bisa, bukankah laki-laki itu ada di luar negeri selamat beberapa tahun ini.”

Tertawa terbahak-bahak, Risti merasa sikap anaknya sungguh polos dan lugu. Begitu mudah terjatuh dalam pesona Flora hingga melupakan logika. Ia menunduk ke arah Dewa, dan merasa kasihan karena anaknya sudah diperdaya.

“Zaman sudah canggih kalau kamu lupa. Biar pun terpisah jarak, mereka tetap berkomunikasi. Suatu hari, Satria tanpa sengaja membaca chat-chat mesum antara Flora dan laki-laki itu. Mereka bertengkar hebat dan pertama kalinya, Satria yang cemburu kalap.”

“Apa yang dilakukan Satria?”

Risti memiringkan kepala. “Memukul Flora tentu saja. Itu balasan yang setimpal untuk wanita yang suka berselingkuh. Bahkan, setelah Satria memukulnya, Flora tidak kapok. Tetap mengulang hal yang sama.”

“Dan, Satria terus memukulnya tidak peduli kalau Flora babak belur.”

“Begitulah.”

“Kenapa tidak menceraikannya kalau begitu.”

Risti menatap tajam pada Dewa. “Karena sama sepertimu, Satria juga buta akan cinta Flora.”

Dewa tidak ingin sepenuhnya percaya dengan cerita sang mama tentang Flora dan Satria. Namun, ia ingat tentang cerita pemulung yang mengatakan kalau sering kali melihat tubuh Flora babak belur. Apakah semuanya berkaitan? Apakah benar ia terjebak dalam pesona Flora, hingga lalai melihat kalau wanita itu seorang pembunuh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro