Bab 11a
Pulang dari rumah sakit, Dewa kembali sibuk dengan aktivitasnya. Laki-laki itu bersikap seolah-olah tidak pernah sakit sebelumnya. Ia pergi pagi dan pulang malam, menjalani hari-hari hanya dengan kerja dan kerja.
Lain halnya dengan Flora. Semakin besar kandungannya, semakin banyak tekanan yang ia terima dari Risti. Sikap wanita itu yang sengaja menindasnya, seolah-olah tidak menginginkan anak yang dikandungnya tumbuh sehat.
Flora sebisa mungkin mengabaikannya. Tidak ingin menjadikan beban dalam hati kalau kenyataannya ia dibenci di rumah ini.
Sering kali saat sendiri, pikirannya tertuju pada kenangan bersama Satria. Awal mereka menjalin rumah tangga, Satria yang begitu manis dan perhatian, membuatnya jatuh cinta. Meski awalnya, pernikahan mereka karena terpaksa. Seiring berjalannya waktu, ia sungguh-sungguh mencintai sang suami. Sampai akhirnya, semua kebahagiaan itu dirusak oleh kebohongan besar yang diciptakan suaminya.
Kini, semua kenangan indah yang ia lalui bersama Satria, tertutup oleh baying-bayang kesedihan. Bahkan setelah suaminya meninggal, ia masih menderita. Disangka sebagai pembunuh. Seandainya rasa sakit hati bisa menghabisi nyawa orang, ia tentu sudah membunuh Satria jauh-jauh hari. Nyatanya, ia bertahan hingga usia penikahan nyaris empat tahun berjalan. Dengan harapan semua akan membaik seiring waktu.
Mencoba menghilangkan kenangan sedih, Flora menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Apalagi sekarang, rumah sedang banyak tamu. Teman-teman Risti berdatangan dan semua merepotkannya. Tak henti-henti ia membuat makanan dan minuman, sementara para wanita yang berjumlah sepuluh orang, asyik karaoke dan bermain kartu di atas. Saking capeknya, ia merasa kakinya kram karena bolak-balik naik tangga.
“Sedang apa kamu?”
Flora yang terduduk di lantai dapur untuk meluruskan kakinya yang kram, mendongak. Dewa menatap dari pintu ke arahnya dengan heran.
“Kenapa duduk di lantai? Dingin, ’kan?”
Ia menggeleng malu. Saat ini, yang terpenting adalah menghilangkan pegal di kakinya. Dari atas, terdengar suara riuh tawa.
“Rame tamu dan kamu kelelahan karena melayani mereka?”
Tebakan Dewa yang benar dan akurat membuatnya mendongak. “Kak, mau makan sesuatu?” tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dewa tidak menjawab. Ia menatap westafel yang penuh dengan peralatan makan yang belum dicuci. Ada bekas-bekas masakan di atas meja stainless dan dua buah panci yang sepertinya berisi masakan, terbuka di atas kompor.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dewa berbalik. Meletakkan tas kerja di kursi makan dan menggulung lengan kemejanya.
“Kamu duduk di kursi, jangan di sini,” ucapnya pada Flora.
“Mau ngapain, Kak?” tanya Flora saat Dewa melangkah ke arah westafel. “Mau cuci tangan ya?” Ia bertanya sambil berusaha bangkit dari lantai dengan susah payah.
“Duduk di kursi!” perintah Dewa sambil menunjuk kursi di pojok dapur. Ia mengernyit saat melihat Flora menatap ragu-ragu. “Jangan berdiri, menghalangi jalan!”
Tidak ingin membuat Dewa marah, Flora menuruti apa perintah laki-laki itu. Duduk di kursi yang ada di pojokan dapur dan menatap dengan terbelalak, saat suaminya mulai mencuci piring. Hal yang tidak pernah dilakukan selama ini.
“Kak, kok cuci piring? Biar aku saja.”
Dewa mengabaikannya, satu per satu ia membasahi peralatan makan dengan air, menyabuni, dan kemudian membilasnya. Pekerjaanya memang tidak secepat dan serapi Flora, tapi setidaknya ia berusaha untuk membantu.
Di kursi, Flora terdiam. Menatap punggung suaminya yang kokoh. Sudut hatinya terketuk oleh perbuatan Dewa yang tidak disangka-sangka. Laki-laki yang selama ini terlihat dingin dan angkuh, kini menyingsingkan lengan baju untuk membantunya.
Tidak ada percakapan selama Dewa mencuci, hanya terdengar suara peralatan beradu dan kucuran air dari kran. Hingga piring terakhir diletakkan ke dalam rak pengering, Flora masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Bagaimana kakimu?” tanya Dewa menoleh padanya.
Flora tersenyum kecil. “Sudah membaik.”
“Masih lelah?”
“Tidak lagi. Kamu mau makan apa, Kak? Biar aku siapkan sebentar.”
Dewa mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur. “Kamu nggak masak?”
“Masak, tapi sudah habis.”
Membalikkan tubuh, Dewa menatap Flora tanpa kata. Ia mengamati bagaimana penampilan Flora dalam balutan daster sederhana dan lusuh. Wanita itu terlihat pucat dan gurat kelelahan tergambar di wajahnya. Rambut Flora yang diikat ekor kuda lepek karena keringat.
“Ganti baju. Kita pergi.”
Flora ternganga bingung. “Mau ke mana, Kak?”
“Pergi ke suatu tempat. Sana, ganti baju!”
Perkataan Dewa yang diucapkan dengan tegas, seperti tidak ingin dibantah. Flora yang kebingungan, memilih untuk menuruti perkataan suaminya. Ia mengganti daster dengan mini dress untuk ibu hamil. Mencuci muka dan memoles bedak tipis. Setelah menyisir rambut dan membiarkannya tergerai, ia menemui Dewa yang menunggunya di ruang tamu.
“Aku sudah siap, Kak.”
Dewa mendongak, menatap istrinya. Dari lantai atas masih terdengar riuh percakapan, ditimpa dengan suara nyanyian. Bangkit dari sofa, Dewa membuka pintu dan melangkah ke arah mobil dengan Flora mengikuti dari belakang.
“Kak, lama nggak perginya. Nanti kalau Mama butuh sesuatu gimana?” tanya Flora cemas.
Dewa duduk di belakang kemudi, menatap Flora yang kebingungan. “Duduk, pakai sabuk pengaman. Nggak usah pusing sama mereka.”
Ragu-ragu Flora menuruti perintah Dewa. Ia mendudukkan diri di jok depan dan memasang sabuk pengaman. Saat kendaraan melaju pelan meninggalkan halaman rumah, hatinya diliputi berbagai pertanyaan. Ke mana Dewa akan membawanya pergi. Kenapa laki-laki itu mendadak bersikap baik padanya. Apa yang direncanakan laki-laki itu untuknya?
Mobil melaju pelan menembus jalanan yang masih ramai. Flora yang tidak pernah bepergian malam selama masa hamil, mengamati sekitar dengan antusias. Ibarat balon lepas dari tangan, ia merasa gembira bisa bebas.
Laju mobil melambat saat memasuki sebuah tempat yang ia duga adalah restoran. Flora mengamati halaman luas yang dihiasi lampu kecil berwarna-warni dengan balon-balon berada di pintu masuk. Setelah memarkir mobil, Dewa mengajaknya masuk dan mereka memilih satu tempat lesehan.
“Kamu pesan apa pun yang ingin kamu makan. Kamu nggak ada alergi seafood, ’kan?” ucap Dewa menyodorkan buku menu pada Flora.
“Eh, Kak. Kayaknya mahal-mahal,” ucap Flora sambil membaca menu.
“Pesan saja, aku yang traktir. Kamu mau makan udang atau kepiting?”
Karena Flora tidak memberi jawaban ingin makan apa, Dewa yang berinisiatif untuk memesan. Flora hanya terbelalak saat mendengar percakapan Dewa dengan pelayan restoran.
“Kak, pesannya banyak sekali?” ucap Flora menatap hidangan di depannya.
“Aku lapar.” Hanya itu jawaban Dewa. “Kamu makan yang banyak. Biar bayimu sehat.”
Flora mengangguk, mengambil beberapa potong udang dan mengupasnya. Ia tidak tahu kenapa malam ini Dewa mendadak bersikap baik padanya. Bisa jadi Dewa terkena gegar otak, dan akhirnya sadar dengan tugasnya sebagai suami. Tanpa sadar Flora tersenyum, mendengar dugaan-dugaan dalam hatinya.
“Enak?” tanya Dewa saat melihat Flora makan dengan lahap.
Tanpa malu-malu Flora mengangguk. “Sangat, besar-besar juga udangnya.”
“Habisin.”
Mengabaikan rasa malu, dan juga segan, Flora memakan semua yang ada di depannya. Ia minum jeruk hangat, dan merasa puas karena makan banyak.
Rupanya, kebaikan Dewa tidak berhenti sampai di situ. Laki-laki itu mengajaknya berjalan kaki meninggalkan restoran, menuju deretan toko baju yang berada di seberang jalan. Sedikit memaksa, Dewa memintanya memilih baju dan daster. Flora menolak, Dewa memaksa. Akhirnya, ia memilih dua potong daster.
Flora berusaha menekan rasa bahagianya, karena perlakuan Dewa yang sangat baik malam ini. Mereka pulang dengan perut kenyang dan daster baru di tangan. Meski tidak banyak percakapan tercipta di antara keduanya, tapi Flora cukup senang bisa diajak keluar.
“Sesekali, kamu tolak permintaan Mama kalau memang capek.”
Dewa berkata pelan, saat mobil berhenti di lampu merah. Flora yang mendengarnya hanya tercenung.
“Aku lakukan selama bisa.” Ia menjawab tanpa memandang Dewa.
“Kamu bisa atau kamu memaksakan diri? Itu beda konteksnya.”
Menghela napas panjang, Flora membenarkan ucapan Dewa. Ia memang cenderung memaksakan diri untuk menuruti semua perintah Risti. Bukan karena ia tidak berani menolak, tapi lebih menghindari pertengkaran. Ia tidak tahan dengan ocehan dan omelan Risti yang sering kali membuat telinganya sakit.
“Flora, apa kamu dengar? Tolak perintah Mama kalau memang kamu kelelahan. Terlebih seperti hari ini. Mama harusnya memesan makanan dari luar, bukan memintamu memasak begitu banyak. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan kandunganmu.”
Ucapan Dewa yang penuh perhatian pada kandungannya, membuat Flora terdiam. Ia tidak tahu, apakah yang dikuatirkan Dewa itu dirinya, atau anak dalam rahimnya. Apa pun itu, ia bersyukur malam ini sikap suaminya begitu baik.
Flora menoleh, menatap laki-laki di belakang kemudi. Bisa jadi karena tersentuh oleh perhatiannya, ia berucap lembut.
“Kak, terima kasih untuk malam ini.”
Dewa menoleh dan mereka bertukar pandang. Tanpa kata-kata laki-laki itu mengangguk dan mobil kembali melaju. Ingin memecah kesunyian yang mendadak menyergap disertai rasa kikuk, Dewa menyetel radio. Seketika, alunan musik dengan lagu-lagu melankolis menyerbu pendengaran mereka. Flora bersenandung pelan, mengikuti irama lagu dan tidak menyadari pandangan Dewa yang tertuju padanya.
Tersedia di google play book dan pembelian cetak via WA : 085811788865
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro