Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

Ruangan sunyi, seakan tidak ada kehidupan di dalamnya jika tidak melihat dua orang di sana. Tatapan keduanya saling bertolak belakang. Si wanita menunduk dengan putih tipis yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang kurus. Tangan wanita itu saling meremas dengan ekpresi ketakutan terlihat jelas di wajahnya yang pucat.

Sementara, si laki-laki menatap tajam tak berkedip. Ia seperti menimbang, akan melakukan apa pada wanita di depannya. Dengan kedua tangan berada di saku celana, tubuhnya yang tinggi menjulang terlihat mengintimidasi.

"Buka bajumu," ucap sang laki-laki.

"Apa?" Wanita itu mendongak kaget.

"Kubilang, buka bajumu!"

"Ta-tapi, kenapa?"

"Kamu masih tanya kenapa? Kamu lupa mulai malam ini kamu adalah istriku?"

Flora meneguk ludah, mencoba meredakan ketakutan yang mengukung dirinya. Ia sama sekali tidak tahu, kenapa laki-laki di depannya terlihat marah dan menuntut.

"Kak, bisakah kita tunda esok saja." Ia menjawab pelan.

Dewa mengulurkan jari dan mengangkat wajah wanita di depannya. Mata Flora terlihat sayu dan sedih, dengan wajah sendu. Namun, ia tahu itu hanya tipuan. Wanita di depannya adalah ahli sandiwara dan ia tidak akan tertipu karenanya.

"Kamu lupa statusmu apa?" tanyanya dingin.

Flora menggeleng lemah. "Ti-tidak, Kak."

"Kamu masih berani membantahku?"

"Bu-bukan begitu."

Tangan Dewa mencengkeram Flora dengan sedikit kuat dan membuat wanita itu merintih ketakutan. "Kamu istriku, kalau kamu lupa. Seorang istri wajib mematuhi suami. Kalau kubilang buka baju, bukaa!"

Flora terisak sekarang. Ia meraba bagian depan bajunya dengan gemetar. Sementara Dewa telah melepaskan cengkaraman di dagunya. Ia memejam, berharap agar laki-laki itu tidak meneruskan niatnya. Bukan begini niatnya untuk berumah tangga.

"Jangan kebanyakan drama, Flora. Ingat, aku bukan Satria. Kakakku sudah mati, jadi kini kamu adalah istriku. Apa perlu hal itu kutekankan sekali lagi?"

Flora menggeleng lemah, mengusap air mata di pelupuk. "Tidak, aku mengerti."

Dewa mendengkus. "Bagus, buka baju. Jangan kebanyakan nangis."

Setelah mengenyahkan malu, mengubur harga diri yang bagai terenggut keluar, Flora membuka bajunya. Ia terus menunduk, dengan jari gemetar membuka kancing gaun tidur, hingga akhirnya menunjukkan dadanya yang berbalut bra berenda putih.

Dewa menatap tak berkedip, pada wanita yang sedang terisak dengan tangan gemetar membuka baju. Hingga saat kancing terlepas, dada yang putih dilapisi bra menyembul. Tangannya terulur, untuk mengelus kulit putih dan halus. Ia tidak peduli meski Flora terlihat ketakutan. Baginya, wanita itu sedang bersandiwara dan ia akan membalas dengan sandiwara yang lain.

"Kamu wanita cantik, dengan tubuh lembut yang memikat banyak laki-laki," ucap Dewa dengan jemari mengelus belahan dada Flora. "Bahkan, dadamu terlihat menggoda meski ditutupi. Apalagi tidak. Lepas bramu."

"Apa! Tidak mau!" jawab Flora otomatis.

"Kenapa? Masih malu dengan aku?"

"Bu-bukan." Menggeleng bingung Flora meneruskan ucapannya. "Maksudku, iy-iya."

"Hah, tidak pantas kamu mengatakan itu Flora. Kamu bukan perawan kemarin sore yang belum pernah dijamah laki-laki. Ingat statusmu! Kubilang buka, lakukan!"

"Aku tidak mau!" Flora berteriak, menyilangkan tangan di depan tubuhnya.

Dewa tersenyum sinis. "Oh, jadi kamu mau dipaksa?" Tanpa basa-basi, ia merengguk bagian atas gaun Flora hingga terbuka. Tidak memedulikan wanita yang baru saja jadi istrinya itu menjerit, ia mengulurkan tangan ke belakang punggung dan memaksa membuka kait bra. Flora berkelit, ia menahan kedua tangan wanita itu.

"Tolonglah, Kak. Jangan begini," rintih Flora saat laki-laki itu memakasa membuka pakaiannya.

Dewa bergeming, dengan sekali sentak tali pakaian Flora terlepas dan menbuat gaun itu luruh. Flora menjerit, berusaha menaikkan gaunnya tapi Dewa lebih cepat, memegang tangan wanita itu dan kini menyentakkan bra hingga terbuka dan ia membuang benda itu ke lantai.

"Kak, ampuun." Flora merintih, menutupi dada dengan menyilangkan tangannya. Air mata bercucuran dengan rambut terurai bagai tirai penutup wajah. Ia gemetar, ketakutan, dan merasa dirinya malu luar biasa. Sementara laki-laki di depannya, berdiri dengan arogan.

"Kamu harus ingat, Flora. Tubuhmu, wajahmu, dan hidupmu sekarang adalah milikku!"

"Aku istri, bukan benda yang dimiliki."

"Buatku nggak ada bedanya, Flora. Aku anggap sekarang kamu menjadi milikku setelah sebelumnya menjadi milik kakakku."

Flora menggeleng kuat. "Aku berhak atas hidupku sendiri."

"Tidak, di rumah ini aku adalah suamimu dan berhak atas hidupnya. Termasuk bayi yang sekarang kamu kandung."

Terisak lirih, Flora mencoba untuk merosot ke lantai. Penghinaan demi penghinaan yang ia terima dari laki-laki di depannya, cukup membuatnya sengsara. Di malam pernikahan, dunianya sudah berubah menjadi neraka dengan suami yang semena-mena.

Menatap pada wanita yang menunduk dengan tubuh bagian atas terbuka, Dewa sama sekali tidak merasa iba. Jika menuruti rasa marah dan dendam, ingin rasanya melucuti pakaian Flora dan menidurinya sekarang. Tapi, ia tidak ada mood untuk melakukan itu. Karena bukan niatnya untuk menjadikan Flora teman tidur. Menjijikan rasanya, harus menyentuh tubuh wanita yang telah membuat keluarganya sengsara.

"Tadi hanya pelajaran kecil untukmu, agar lain kali harus patuh pada suamimu!"

Dengan acaman terakhir, Dewa berbalik ke arah pintu dan pergi tanpa permisi. Meninggalkan Flora terduduk di ujung ranjang dan menangis.

Flora tidak pernah tahu salahnya apa pada keluarga ini. Setelah kematian suaminya beberapa bulan lalu, ia berharap bisa lepas dari sini. Namun, kenyataan berkata lain. Tuhan seakan sedang mengujinya. Tiga tahun lamanya menikah dengan Satria, tidak ada tanda-tanda ia akan punya anak. Kini, setelah suaminya meninggal, ia justru ditinggal dalam keadaan hamil. Dianggap tidak mampu menjaga dirinya sendiri, adik dari sang suami berniat menikahinya. Ia menentang, ia tidak mau tapi ia kalah oleh keadaan.

Saat ia menyatakan isi hatinya, kedua orang tuanya menentang habis-habisan. Tidak peduli jika sebagai wanita dewasa, ia berhak menentukam sendiri hidupnya.

"Kita keluarga miskin Flora. Kamu pun nggak punya pekerjaan. Akan kamu beri makan apa anakmu nanti kalau kamu nggak menikah lagi?" Ucapan mamanya membuat Flora terpukul.

"Papa tahu kamu nggak suka sama suami barumu. Tapi, cobalah dulu demi anakku. Hutang-hutang kita pada keluarga Samudra juga belum lunas."

Semenjak itu, Flora putus harapan. Jika kedua orangnya melepas tanggung jawab akan dirinya, ia bisa apa.

Kini, suami barunya adalah Dewa Samudra, laki-laki paling dingin, paling kejam, dan paling tidak punya hati yang ia pernah tahu.

Menyesali jalan hidup yang seakan tidak pernah ramah padanya, Flora merosot ke lantai dan menangis tersedu-sedu. Tubuhnya sakit, terlebih hatinya. Ia tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi nanti saat melewati hari-hari bersama Dewa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro