❬ 7 ❭ Antara Grey dan Gary
Sudah satu jam Naila hampir menunggu angkutan umum untuk pulang. Hari ini, rasanya sangat melelahkan, itu sebabnya Naila memutuskan untuk pulang kerja dengan angkutan umum. Akan tetapi, sudah menunggu lama tidak kunjung datang juga.
Rasa bosan memang sudah hadir sejak tadi, Naila sempat akan memutuskan jalan kaki. Akan tetapi, pikiran Naila mengatakan kalau angkutan akan datang sebentar lagi, jadi sabar saja menunggu.
Pukul lima sore, gadis itu memang memutuskan untuk pulang pukul empat sore tadi karena merasa lelah seharian di kedai Renjana—tempatnya bekerja. Sebelum pulang tadi, Liam sempat menawarinya untuk pulang bersama menggunakan motor laki-laki itu, tetapi Naila menolak karena arah rumah mereka yang berbeda.
Ngomong-ngomong soal Liam, laki-laki itu memang sangat baik menurut Naila. Namun, firasat gadis itu tidak enak saja, ia merasa kebaikan Liam selama ini adalah sebuah perasaan yang ditujukan secara tidak langsung kepada gadis itu. Naila bisa berpikir seperti itu karena dua hari lalu kak Caca—senior di kedai tempatnya bekerja mengatakan kalau Liam memiliki perasaan untuk Naila. Akan tetapi, Naila mengabaikan saja dan berpikir itu adalah sebuah kebohongan.
Naila hanya menganggap Liam sebagai teman, ia menganggap kebaikan Liam selama ini karena mereka partner kerja sekaligus teman. Naila tidak pernah berpikiran untuk menyukai Liam, laki-laki itu berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik daripada Naila jika seandainya memang benar Liam menyukainya.
"Nai."
Naila yang tengah melamun tiba-tiba saja terkejut dengan suara tersebut. Matanya menangkap sosok laki-laki dengan pakaian santai, dan tentu saja gadis itu mengenalinya.
"Grey, kamu kemana saja selama ini?" Naila bertanya dengan senang—menarik laki-laki itu untuk duduk bersamanya.
"Aku selalu ada di sampingmu," jawab Grey dengan senyuman tulus.
"Selalu ada disampingku? Tapi kamu tidak ada selama tiga hari ini, yang ada aku ketemu sama laki-laki mirip banget sama kamu," cerita Naila kepada Grey yang baru saja hari ini muncul di depannya.
"Aku selalu bersama kamu kemana saja. Tadi kamu bilang bertemu dengan laki-laki yang mirip denganku?" tanya Grey merasa belum yakin dengan ucapan Naila.
"Iya Grey, dia itu mirip banget sama kamu, terus namanya juga hampir mirip. Kamu Grey, nama dia itu Gary."
"Mungkin itu adalah orang yang Tuhan kirimkan agar kamu bisa sembuh dari penyakitmu," ujar Grey tidak bisa Naila pahami maksud perkataannya.
"Maksud kamu apa, Grey?" tanya Naila bingung.
"Kamu pernah bilang, kalau aku hanya halusinasimu saja, 'kan?"
Naila terdiam sebentar. Jantungnya berpacu dengan cepat, pertanyaan Grey tentu saja membuatnya was-was. Pikirannya sudah kacau, ia takut semua yang menjadi sangkaannya adalah benar jika Grey itu hanya halusinasinya saja.
Cinta. Bagaimana dengan hal itu, Naila mencintai Grey selama ini. Kalau Grey hanya halusinasinya saja, apakah cinta Naila juga halusinasi?
"Apa hubungannya dengan penyakitku dan Gary?" tanya Naila mencoba tenang.
"Nanti kamu akan tau."
Naila menggeleng tidak paham dengan ucapan Grey, nanti dia akan tau. Naila akan tau apa?
Naila melihat jam tangannya—pukul lima lebih dua puluh, sudah semakin sore, tetapi angkutan belum juga lewat. Naila gelisah, apakah tidak ada angkutan lewah hari ini?
"Grey, kamu tau tidak kal—"
Naila menggantungkan ucapannya ketika melihat sebelah kosong—tidak ada siapa-siapa. Kemana Grey? Kenapa hilang lagi. Perasaan Naila semakin tidak enak, Grey bisa menghilangkan secepat itu. Apakah itu tandanya kalau Grey itu...
Tidak. Naila tidak boleh berpikir negatif, Grey pasti tadi buru-buru pergi karena ada urusan bukan karena Grey hanya halusinasinya. Naila harus berpikir positif tentang Grey, harus!
Hari semakin sore, keadaan semakin gelap ditambah lagi dengan cuaca yang mendung. Malam ini akan turun hujan, itu pendapat Naila melihat keadaan semakin menggelap.
"Apa aku jalan kaki saja, ya?" tanya Naila kepada dirinya sendiri.
Naila bimbang. Tubuhnya lelah untuk berjalan kaki dari halte dekat tempatnya bekerja sampai rumah itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar mengingat jaraknya cukup jauh. Akan tetapi, jika tidak ada angkutan lewat gadis itu harus bagaimana, hari semakin gelap dan cuaca mungkin sebentar lagi turun hujan.
"Iya deh, aku jalan kaki," putus Naila bangkit dari duduknya lalu menggendong tas kecil dan berjalan di tepian jalan untuk pulang.
Namun, keberuntungan mungkin sekarang tidak berpihak kepada Naila, karena hujan datang mengguyur bumi. Naila mendongak ke atas, menatap rintik hujan yang kecil, tetapi lama-kelamaan membesar.
"Hujan," gumam Naila melanjutkan perjalanannya tanpa mempedulikan hujan semakin deras.
Hujan deras ditambah dengan suasana dingin, tetpai Naila masih berniat untuk pulang menembus hujan. Ia tidak peduli dengan dinginnya cuaca, Naila hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri sambil berjalan sendirian menembus derasnya hujan.
Setelah berjalan lumayan jauh, Naila merasa ada suara derap langkah kaki di belakangnya.
"Kok kaya ada yang ngikutin sih," batin Naila mempercepat langkahnya karena takut dugaannya benar ada orang yang mengikutinya.
Naila mempercepat jalannya, tetapi pendengaran bisa mendengarkan memang ada suara langkah kaki di belakangnya. Naila mengatur napasnya di tengah hujan, ia berniat berlari karena takut orang jahat yang mengikutinya.
Naila menghitung mundur dari tiga hingga satu dalam hatinya lalu berusaha berlari secepat mungkin, tetapi suara langkah kaki itu malahan ikut berlari. Naila tidak memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, ia fokus berlari dengan cepat. Namun sayangnya, tangan Naila tiba-tiba dicekal oleh seseorang sehingga larinya mendadak berhenti.
"Lepasin aku, aku masih ingin hidup," ujar Naila memberontak ingin melepaskan tangannya dari cekalan itu tanpa melihat siapa orang yang memegang tangannya.
"Sttt, jangan takut," ujar pemilik tangan itu membuat Naila menoleh karena mengenali suaranya.
Naila melihat seorang laki-laki dengan baju putih lengkap dengan balutan jas hitam, celana hitam, dan dasi merah yang sudah basah terkena air hujan. Naila tersenyum setelah melihat siapa orang yang ada di depannya.
"Ternyata itu kau, Nona."
"Gary?" tebak Naila karena merasa mengenali sosok laki-laki yang memiliki penampilan rapi, ia tidak menyangka Gary sebagai Grey lagi karena perbedaan penampilan membuat Naila bisa membedakan keduanya.
"Iya Nona, kau sendirian? Kenapa hujan-hujanan nanti sakit," ucap Gary melepaskan jas hitamnya lalu menodongkannya di atas kepala keduanya agar bisa menutupinya dari hujan, walaupun tidak terlalu berfungsi, tetapi masih bisa digunakan sebagai payung.
Naila yang terkejut tanpa sadar langsung memandang Gary di sampingnya yang juga sedang menatapnya. Keduanya saling beradu pandang cukup lama, sampai akhirnya Naila yang memutuskan kontak mata mereka.
"Tadi aku berniat untuk pulang, tetapi malah hujan, akhirnya aku memaksa untuk pulang walaupun hujan," jawab Naila karena mengingat pertanyaan Gary yang terakhir belum ia jawab.
"Kenapa tidak meneduh saja, kau bisa sakit, ayo masuk ke dalam mobilku, kita pulang bersama," ajak Gary.
"Tidak susah Gary, nanti merepotkan kau lagi," tolak Naila.
"Apakah kau yakin kalau aku akan tega membiarkan seorang gadis berjalan sendirian di bawah derasnya hujan, ayo pulang bersamaku," ajak Gary mendekap tubuh kecil Naila dari samping—mengajaknya berjalan menuju mobilnya.
Naila yang terkejut otomatis ikut berjalan di samping Gary. Jantungnya berdegup kencang karena tangan Gary yang sekarang melingkar di punggungnya.
Gary membukakan pintu untuk Naila, gadis itu masuk ke dalam mobil hitam milik Gary. Setelah Naila masuk, Gary menutup pintu kembali dan mengitari mobilnya untuk masuk ke dalam mobil juga.
"Pakai seatbeltnya," perintah Gary kepada Naila.
Gadis itu hanya menurut, mengambil seatbeltnya dan akan memasangnya, tetapi karena belum pernah melakukan itu jadi Naila kesusahan.
Gary yang menyadari kalau Naila kesusahan memasang seatbelt mendekati tubuh gadis itu dan membantu Naila memasangnya.
Naila menahan napas karena jarak wajah keduanya yang semakin dekat. Kalau dilihat-lihat dari jarak dekat, Gary sangat tampan apalagi dengan balutan baju khas orang kantoran, berkali-kali lebih tampan. Karena sibuk memikirkan hal itu Naila tersadar, lalu dengan cepat menggeleng agar tidak memikirkan hal yang seharusnya tidak Naila pikirkan.
"Kau kenapa, Nona?" tanya Gary menjauhi tubuh Naila dan memasang seatbelt untuk dirinya sendiri.
"Tidak apa-apa," jawab Naila.
Gary melajukan mobilnya untuk pergi dari tempat itu menuju perumahan mereka. Selama perjalanan berlangsung tidak ada percakapan antara keduanya, hanya ada suara hujan.
Namun, Gary berusaha untuk mengajak bicara gadis di sampingnya. "Nona, selama kita bertemu aku belum mengetahui namamu, siapa namamu?"
Naila memandang Gary heran, betul juga selama mereka bertemu ia tidak pernah memberi tahu namanya sehingga Gary selalu memanggilnya dengan sebutan 'nona'.
"Naila," jawab Naila.
"Nama yang cantik, secantik orangnya," puji Gary.
Naila yang mendengar pujian dari Gary mendadak panas pipinya—memerah mungkin karena sekarang gadis itu merasa malu.
"Kau kenapa diam saja?"
"Aku tidak apa-apa, Gary." Naila mengalihkan pandangannya menatap luar, berusaha menutupi rasa gugupnya dengan tidak memandang wajah Gary agar lelaki itu tidak mengetahui kalau pipinya memerah.
***
Berlanjut ....
Sudah baca sampai di sini? Selamat. Dikit lagi semuanya terungkap, kok. Hihi. >.<
Sampai jumpa!
Salam sayang dari Tim Mipanzuzuzu; vianisafajar, Dyairaa_, dan chaxian_.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro