Delusi 2: Seonggok Kayu Mati
Duapuluh lima menit sudah kulihat ia menangisi gundukan tanah yang masih basah itu, bermacam kelopak bunga yang masih segar dan harum bertebaran di atasnya. Para pelayat sudah pulang beberapa menit lepas, meninggalkan kami -aku dan wanita itu- sendirian. Ingin rasanya kuucapkan bela sungkawa padanya, namun kuyakin ia tidak akan mendengarkanku. Wanita itu masih saja meratap dengan sesekali menjambak rambut ikalnya, tetapi apa gunanya itu semua, tetap saja bocah laki laki yang ia tangisi tak akan mungkin bangun lagi.
••••
Aku tengah mondar mandir di depan pertokoan tepi jalan raya, mencari sesuatu yang aku belum bisa tenang jika belum menemukannya. Mungkin sebuah barang, atau mungkin juga seseorang, aku bingung kenapa aku bisa melupakannya, padahal sesuatu itu pastilah benda yang sangat berharga untukku hingga dapat membuatku gelisah seperti ini. Kutenangkan diriku sejenak dengan berhenti di persimpangan jalan, disana ada toko bunga yang kebetulan masih buka hingga sore ini, setidaknya pemandangan dan aromanya dapat menenangkanku barang sebentar.
Kumasuki toko itu dan kusapa pelayannya, tetapi tak kudengar sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia sibuk mengamati sepotong cermin di genggamannya sambil sesekali menirukan bentuk mulut ikan mujair. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan lanjut mengamati bunga bunga. Kuamati satu persatu jenis bunga yang berada di toko ini. Mereka semua disusun berdasar warna, menimbulkan kesan gradasi yang menyejukkan mata. Ada bunga anggrek, bunga anyelir, bunga dahlia, bunga mawar, dan banyak lagi, namun dari semua itu tak kujumpai satu pun bunga yang sejenis dengan bunga raflessia. Entah kenapa aku memikirkan hal yang tak penting seperti itu, namun sebuah pertanyaan menggelitik perutku saat membayangkan jika bunga seperti itu diberikan pada seseorang, akan seperti apakah responnya.
"Oh sayangku, hatimu bagaikan bunga raflessia ini, terlihat cantik dan megah namun sebenarnya berbau busuk."
Kalau aku jadi perempuannya, pasti sudah kutampar habis habisan wajah lelaki kurang ajar itu, namun kucerna pikiranku itu, bila dipikir lagi perkataan itu justru lebih menggambarkan kenyataan tentang hati manusia kebanyakan saat ini, busuk.
••••
Puas dengan kunjungan singkatku, kulangkahkan kakiku keluar dari toko bunga tanpa membeli sekuntum bunga pun. Tak ku gubris sang wanita penjaga toko, toh ia juga tak menjawab salamku dan bersikap acuh, jadi tak ada alasan untukku mengalihkan perhatiannya dari cermin kesayangannya itu. Angin sepoi sepoi di luar terlihat menyambut, meskipun sebenarnya aku tidak terlalu merasakannya. Saat ingin kulangkahkan kembali kakiku, tiba-tiba seorang wanita berjalan cepat dengan angkuh di depanku, hampir hampir kakiku terinjak oleh hak sepatunya yang runcing apabila tak kutahan sekejap. Nampak gelang dan kalung emasnya bergemerincing seiring dengan langkah kakinya yang mantap, tas belanja yang ia bawa terpenuhi oleh barang barang yang terlihat mahal, dan rias wajahnya yang berlebihan menambah elok pencitraannya seakan ia sosok orang yang berada.
Sementara itu, dibelakangnya mengekor seorang bocah laki laki berumur sekitar delapan tahun yang tengah merengek minta dibelikan buku cerita. Terlihat matanya sembab menandakan ia baru saja menangis, bahkan hingga kaus kuningnya basah. Namun wanita itu tetap menolaknya mentah mentah dengan alasan semua toko yang menjual buku telah tutup.
Mereka telah berjalan cukup jauh hingga membuatku harus menoleh 75 derajat agar dapat melihat anak itu. Jujur sebenarnya aku kasihan, tetapi apa yang bisa ku perbuat, uang saja aku tak punya.
Ketidak jelasan melanda benakku, membawaku mengikuti bocah yang masih merengek itu. Semakin kulihat ketidakpedulian wanita yang kusimpulkan sebagai ibunya itu, ia menarik ponsel dari tasnya dan menelpon seseorang sambil terus berjalan. Mereka pun sampai di perempatan, berdiri di depan zebra cross menanti lampu apill berubah warna merah. Belum genap satu menit mereka berdiri, dua orang yang menunggangi motor modifikasi merampas ponsel, perhiasan dan tas wanita itu dan segera setelah itu mereka langsung tancap gas. Karena tidak rela, wanita itu mencoba mengejar dan meninggalkan anaknya di perempatan.
Merasa khawatir, aku pun menghampiri bocah berkaus kuning itu. Namun kekhawatiranku terbukti dengan ia berlari tanpa melihat keadaan sekitarnya untuk mengejar ibunya. Di lain sisi, sebuah mobil bak terbuka melaju dengan kencangnya. Pengemudi mobil itu tidak mengetahui ada anak kecil yang tengah menyebrang karena pandangannya terhalang pepohonan di sudut jalan. Aku sudah mencoba menarik tubuhnya tapi tidak bisa, hingga tabrakan pun tak terelakkan. Bocah itu terpental dengan kepalanya membentur aspal jalanan yang keras. Kepalanya retak hingga mengakibatkan banyak darahnya tumpah.
Orang orang di sekitar mulai bergerombol dan menghampiri bocah itu, bahkan polisi yang kebetulan lewat pun turut berhenti, namun belum ada satu orang pun dari mereka yang berinisiatif membantu, mereka semua justru membatu. Karena takut dimintai pertanggungjawaban, pengemudi mobil bak itu melarikan diri sedari awal tabrakan. Seperti inikah kebanyakan orang saat ini, pengecut, tidak peka, egois, dan-ah sudahlah aku muak jika harus mengungkapkan semua. Dan kemana ibunya sekarang, kemana wanita itu, apakah semua barang itu lebih penting dari ini.
••••
Duabelas menit sudah waktu berlalu, namun belum ada seorangpun dari gerombolan orang di sekitar bocah itu yang menolongnya. Ibunya yang baru tiga menit lalu datang pun hanya menangis dan meminta bantuan dan menunggu orang lain menolong anaknya, tapi siapa yang akan bertindak jika semuanya juga berpikir demikian. Aku tahu aku juga hadir disana, tetapi tetap saja aku tidak bisa sekalipun ingin sekali. Bukan karena takut akan darah, tetapi karena aku sudah tidak mampu lagi, tangan dinginku ini sudah tidak mampu menolong siapapun lagi.
Waktu berlalu hingga bocah itu kehabisan darah. Karena terlambat bertindak, ambulans baru datang dua menit setelah bocah itu tiada. Bocah itu meregang nyawa akibat ketidakpedulian orang orang ini. Bahkan setelah kejadian barusan, mereka masih bisa saling menyalahkan. Cih, benar-benar menggelikan.
••••
Bunga bunga kamboja putih berguguran di atas makam, turut mengucapkan bela sungkawa pada jiwa jiwa yang telah lepas, karena mereka- jiwa jiwa itu - sudah tak mampu lagi beramal dan mengubah sikap mereka. Mereka hanya bisa menanti hingga sebuah neraca besar dihadapkan didepan wajah mereka.
Semburat jingga telah menghiasi cakrawala, mengusir sebagian makhluk siang dari jalanan kota untuk segera menuju tempat peraduan mereka masing masing, lagit itu pula yang mengundang para makhluk malam keluar dari persembunyian dan menampakkan wajah gelap, taring, dan cakar mereka yang dibalut pesona.
Wanita itu akhirnya pulang setelah juru kunci makam menyuruhnya pulang. Di depan gerbang makam telah terparkir sebuah mobil sedan hitam dengan pria berjas bersandar pada pintunya, wanita itu pun langsung berlari dan memeluk pria itu setelah menyadari kehadiranya. Tak kulihat sedikitpun semburat kesedihan pada wajahnya (pria itu) yang membuatku menyimpulkan bahwa ia adalah suami atau pacar baru si ibu bocah.
Aku tak habis pikir dengan orang orang zaman sekarang, mereka tak ada bedanya dengan seonggok kayu mati. Mereka tahu harus berbuat apa tetapi tidak mau mengerjakannya, selain itu mereka juga mudah terbakar, mudah berjamur dan berlumut, mudah termakan rayap, serta hanya berdiam diri tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka.
Apakah kalian pikir aku sama saja seperti mereka? Asalkan tahu saja ya, jika saja aku bisa membantu mereka, pasti akan kubantu seperti yang sudah sudah. Tetapi sekarang aku tak mampu lagi, bukan karena tidak punya tangan dan kaki, akan tetapi.........karena ragaku telah lenyap ditelan bumi.
OoOoOoO
1145 words
Halo semua, gimana cerpen saya menurut kalian?
Minta Commentnya dong, karena menurut tendo bahasanya masih ngebosenin nih. Mau kritik dan saran juga boleh banget loh, tenang aja, rileks, tendo nggak gigit kok. Tapi mungkin baru tendo tanggapi kalo ada wifi gratis menyala, nyahaha /plak
Tendo juga pengen buat novel sebenernya, udah terlanjur greget tapi belum bisa. Yah apa daya, daku tak kuasa, makannya tendo buat buat cerpen dulu /eh malah curhat.
Vomment please #kedipkedip #pasangwajahmelas
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro