DJV : Bagian 1
Langkah Martha melambat begitu ia memasuki koridor yang akan membawanya ke arah kelas. Koridor tersebut dipadati oleh para siswa, kebanyakan dari mereka sibuk mengintip ke dalam kelas. Martha mengeryit, gadis itu menaikkan kacamatanya merasa ada yang aneh. Beberapa dari siswa itu berbisik, mengeluarkan suara-suara kecil yang masih bisa tertangkap oleh pendengaran Martha.
Pembunuhan.
Hal tersebut membuat gadis berkacamata itu menghentikan langkah. Dia bisa melihat beberapa orang memakai seragam putih khas para medis lalu beberapa orang polisi. Kantung mayat berwarna kuning dikeluarkan dari dalam kelas, Martha mengeryit kaget. Ia memundurkan tubuhnya, membiarkan beberapa petugas polisi yang membawa kantung mayat itu melintas.
"Ta." Sebuah tepukan berhasil membuat Martha tersentak. Gadis itu langsung mengeluarkan napas dengan kasar begitu menyadari orang di sampingnya adalah Gemini yang lebih senang dipanggil Gege ketimbang Mini. "Itu tadi mayatnya Gina. Dia dibunuh."
"Gina?" beo Martha. "Kok bisa?"
"Kalau soal itu jangan tanya gue, Ta. Gue bukan psikopatnya."
"Aku hanya sedang bertanya pada diriku sendiri, oke?"
Gege mengangguk-angguk. "Gue bukannya jahat ya, Ta. Nggak mau munafik aja sih, gue nggak terlalu sedih soal ini. Gina emang pantes dihukum 'kan?"
"Jangan mengeluarkan kata-kata seperti ini sama orang lain, Ge. Apalagi sama polisi. Bisa-bisa kamu disangka pelakunya!" Martha mengatakannya dengan tegas, bahkan matanya sedikit membola.
"Iya, iya." Gina mendecak. "Susah ngomong sama orang baik. Dijahatin berapa kali juga lo tetep lempeng aja ya, Ta. Heran gue."
Martha hanya menarik senyum kecil, kemudian mengalihkan pandangannya dari wajah Gege. Tak jauh dari mereka, seorang pemuda berdiri dengan tatapan lurus ke arah mereka. Martha langsung menundukkan pandangan, entah untuk apa. Martha hanya merasa hal itu diperlukan. Tak lama berselang, pemuda itu memutar tubuh, ikut menjauh bersama para siswa lainnya yang mulai membubarkan diri usai merasa puas menonton 'pertunjukan' menghebohkan pagi ini.
Martha menarik napas panjang kemudian mengembuskannya kasar. Pikirannya terlempar ke waktu sebelum kejadian ini terjadi.
Satu hari sebelum tewasnya Gina ....
Semua orang tahu betapa terobsesinya seorang Gina kepada Tristan si brandalan berotak encer. Hal ini bukan rahasia lagi, sebab Gina tak pernah menutupi sikap sukanya kepada Tristan. Dirinya begitu gencar dan terang-terangan.
"Martha!" panggil Gina begitu melihat Martha berjalan melewatinya, menuju ruangan eskul jurnalistik. "Lo bakalan meliput kegiatan tim basket minggu depan 'kan?"
"Iya."
Seketika senyum Gina mengembang. Kemudian, dengan gaya sombongnya ia bersedekap dan menatap Martha dengan dagu sedikit terangkat.
"Lo mau bantuin gue kan?"
Martha menyembunyikan perasaan tak nyamannya, gadis itu tersenyum dipaksakan. "Bantuin apa ya, Gin? Aku takut nggak bisa melakukannya."
"Masa lo nggak bisa? Gue tahu sih lo rada lemot, tapi masa kali ini lo nolak? Janganlah. Gue lagi baik dan nggak mood ngerjain lo."
Gina memang begitu, gadis ini harus mendapatkan apa yang dia inginkan, sekalipun keinginan itu harus menyusahkan orang lain.
"Gue hanya pengen, lo videoin Tristan dan ambil foto sebanyak-banyaknya. Kalau perlu lo harus ikutan nyelip ke kamar ganti."
Martha membulatkan matanya dengan sempurna. Gadis itu langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Ng-nggak bisa, aku nggak bisa." Martha berniat kabur, namun tangannya langsung dicekal dan ditarik kasar. "Aku nggak bisa Gina."
"Siapa bilang lo bisa menolak, hm?" Gina mendekatkan wajahnya. "Kali ini gue akan ngasih imbalan yang lebih besar."
Martha pucat, ia menggeleng lemah. "A-aku tetap nggak bisa."
Gina mencengkram tangannya dengan kuat, Martha meringis kemudian refleks memundurkan langkah. Hal ini semakin membuat Gina geram, gadis itu memindahkan cengkramannya menuju kerah kemeja Martha. Gina menatap tajam penuh ancaman. "Gue hanya butuh beberapa foto dan video. Lo adalah satu-satunya orang paling tepat melakukan hal ini."
"T-tapi aku ...."
Cengkraman tangan Gina menguat. "Lo tahu gue segila apa, Ta? Gue bisa ngancurin hidup orang!"
Selanjutnya, mungkin sudah dapat tertebak. Martha tidak dapat menolak. Gina mungkin tidak sekaya anak pengusaha terkenal di sekolah ini, namun Gina terkenal dengan imejnya sebagai Ratu bully. Gina tipe yang kasar dan liar, tak memandang besar atau kecilnya hal yang dia timbulkan. Seakan-akan hidupnya memang digunakan untuk melakukan masalah.
Hal ini membuat Martha dilema. Hingga Gina menjauh dan hilang di balik koridor, tatapan Martha kosong. Pikirannya dipenuhi rencana.
Martha memang bertugas untuk meliput segala kegiatan eskul basket, hal ini berlaku untuk tiap eskul yang videonya akan disiarkan di platform resmi SMA Garuda, tiap akun media sosial SMA Garuda memanglah sangat aktif begitu pun dengan akun web SMA Garuda. Dan tiap akun sosial media SMA Garuda dipegang oleh para anggota jurnalistik.
Untuk Martha sendiri, ia kebagian tugas meliput kegiatan tim basket. Tugas yang diidam-idamkan oleh kaum hawa yang ada di jurnalistik. Mengapa justru Martha yang dianggap beruntung? Padahal, bahkan gadis itu risih melihat tingkah anak-anak basket yang menurutnya sok ngartis banget.
Ketika Martha melihat rombongan anak-anak basket menuju ke arahnya, Martha tahu tugasnya sudah akan dimulai.
"Lo anak jurnalistik yang akan meliput kita?" Reno, ketua tim basket menyapanya lugas. Martha membagi senyum kecilnya.
"Iya. Kalian duluan aja, aku harus merekam sejak kalian berjalan menuju lapangan indoor."
Reno mengangguk. "Oke. Bilang ke gue kalau ada yang lo butuhin."
Martha mengangguk pelan, bersyukur dalam hati karena setidaknya Reno terlihat seperti bisa diajak kerjasama. Martha menyiapkan kamera yang tergantung di lehernya, gadis berkacamata itu menghidupkan kameranya dan bersiap untuk mulai merekam. Martha membeku ketika kameranya langsung menyorot ke wajah Tristan, pasalnya saat Martha mengangkat kameranya, Tristan tepat melintas di depan kamera dan menoleh ke arah kamera itu.
Martha menjadi salah tingkah, teringat permintaan Gina tadi. Ia merasa seperti seorang pendosa yang belum melakukan apa-apa saja tapi sudah ketahuan.
Sial.
***
Martha sudah nyaris pingsan saat menyadari kegiatannya meliput akan berakhir. Tak jarang tangannya gemetar karena dari tadi diam-diam memotret Tristan. Beberapa kali ia menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan frustasi.
Martha duduk sendirian di bangku penonton, sementara para pemain basket sedang beristirahat tak jauh darinya. Lapangan indoor SMA Garuda memang sangat luas dan bisa menampung hingga ribuan penonton. Tak jarang, lapangan indoor ini menjadi tempat diadakannya perlombaan basket nasional. Saat ini, Martha sedang berpikir keras bagaimana caranya ia bisa menyelinap ke ruang ganti. Tapi, seriusan Gina perlu video itu? Untuk apa juga sih?
Saat sedang melihat-lihat hasil potretannya, Reno tiba-tiba duduk di sampingnya. "Hai, gimana?"
Martha gugup, gadis itu cepat-cepat meletakan kameranya di atas pangkuannya. "Emm, ya ... makasih banget kerjasamanya."
Reno mengangguk. "Dari tadi lo juga merekam tiap sudut lapangan ini dan berbagai fasilitas basket kan. Apa lo perlu merekam ruangan ganti sama permandiannya?"
Tenggorokan Martha tiba-tiba terasa kering, apalagi ia bisa melihat dari ujung matanya, Tristan sedang menuju ke arah mereka. Gadis itu menaikkan kacamatanya. "Anu, maaf sebelumnya. Kalau boleh, iya aku ingin merekam itu juga."
"Kenapa harus nggak boleh?" Reno tertawa ringan. "Boleh lah. Sayang banget kalau nggak direkam, lapangan indoor kita ini yang terbaik sekota."
Martha nyengir, tampak polos dan sedikit kelihatan tolol.
"Ren, gue bisa cabut duluan nggak? Gue ada urusan penting." Tristan mengucapkannya tanpa ekspresi. Cowok itu memang tidak pernah kelihatan tersenyum sedikit pun.
"Wait, sebelum itu lo bawa Martha ke ruang ganti. Dia mau ngeliput, bentaran doang. Lo arahain aja ruangannya di mana sampe permandian mewah kita," ujar Reno dengan nada candaan. "Setelah dia selesai, lo bisa ganti baju dan balik. Gue masih harus ngomong ke anak-anak."
Terlihat jelas wajah Tristan yang berubah bete. Namun cowok itu tetap mempertahankan sikap diamnya, kemudian beralih menatap Martha yang sejak tadi diam dan berpura-pura sibuk dengan kameranya.
"Yaudah, ayo." Tristan mengucapkan itu sambil berlalu.
Martha kebingungan, sampe akhirnya ketika Reno tersenyum dan memberi kode agar Martha mengikuti Tristan, Martha akhirnya paham bahwa cowok itu bersedia mengantarkan dan menemaninya meliput ke ruangan ganti para tim basket.
Sial. Seharusnya Martha tak harus terjebak dengan cowok sosiopat seperti ini. Hanya berdua pula. Tamat sudah riwayatnya nanti, entah apa yang harus Martha lakukan. Permintaan Gina menambah beban di otak kecil Martha.
Gadis yang malang.
***
A.n
Selamat pagi temans, jumpa lagi dengan Deja Vu. Seperti biasa di cerita-ceritaku sebelumnya, aku akan mengajak kalian menebak siapa pembunuhnya. Kalian siap jadi detektif lagi? Bantu pecahkan teori-teorinya, kuy!
Sulteng, 16 Juni 2021
Emeliiy
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro