Permintaan Bu Ambar
Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu, menatap kesal pada pria yang duduk di teras luar. Bu Ambar, begitu wanita itu biasa disebut. Wanita berperawakan gemuk yang senang memakai daster motif batik.
Secangkir kopi susu menemani pria berkacamata itu sambil membaca koran paginya. Berita yang dipenuhi dengan kriminal dan politik membuat pria itu malas meneruskan membaca. Beralih ke tablet, memeriksa pekerjaan yang sempat tertunda beberapa waktu lalu. Mengecek pesanan dan mengonfirmasi progres pesanan tersebut. Mengecek barang yang habis seraya mencocokkan dengan pengeluaran. Ia tersenyum, saat melihat angka yang tertera pada kolom pemasukan.
"Ck," decak Bu Ambar seraya mendekati pria berkacamata itu, lalu duduk di kursi samping.
"Kenapa, Bu? Masih pagi kok udah manyun aja." Galang terkikik geli melihat Bu Ambar yang memasang wajah kesal dengan bibir mengerucut sempurna. Meski usianya tak lagi muda, tapi beliau sering kali bertingkah manja layaknya remaja usia belasan.
"Sepi. Rumah segede gini, kok nggak ada yang nempati," gerutu Bu Ambar dengan wajah sedih.
"Loh, kan, ada aku sama Ajeng, Bu." Galang menyimpan tabletnya demi berbicara pada sang Ibunda.
"Ajeng sibuk kuliah, pulang malem terus. Kalaupun di rumah, paling ndekem di kamar sambil ngerjain tugas. Gianjar, jarang ke sini. Hana lebih senang di rumah orangtuanya dibanding di rumah Ibu. Padahal, kan, Ibu ini pengen main sama Kalya. Kamu?" Bu Ambar mendelik galak pada putra sulungnya. "Sama aja. Bolak-balik Zurich-Indonesia, kalaupun di rumah sibuk sama kerjaan. Dasar gila kerja. Persis bapakmu," omel Bu Ambar.
Galang tersenyum dengan perasaan bersalah. Sudah sering Bu Ambar mengeluhkan tentang hal tersebut. Ia mengerti, ibunya hanya ingin ditemani di hari tuanya. Berkumpul bersama dikelilingi anak dan cucu.
"Mbokyo, cari calon sana gitu lho, Lang. Masa iya nggak ada perempuan yang naksir kamu."
Galang tertawa. "Mana ada yang mau sama aku, Bu."
"Loh, emang kenapa? Kamu ganteng, kok. Cuma lelet aja kalau depan perempuan. Ada perempuan cantik bukannya didekati malah kabur."
Galang teringat kejadian satu tahun silam, saat Bu Ambar mengundang teman lamanya yang memiliki anak perempuan. Ia sudah membaca maksud ibunya mengundang Bude Ningsih dan Ria, semata-mata untuk menjodohkan mereka. Namun alih-alih menemui Bude Ningsih dan Ria, Galang malah pamit pergi dengan alasan pekerjaan.
Pria itu bukannya tidak tertarik dengan wanita. Ria, wanita yang cantik dan lembut. Khas wanita Jawa yang lemah gemulai. Hanya saja, hatinya belum siap menerima wanita baru. Ia belum siap mengganti nama Paulina dengan nama wanita lain.
Pria itu paham, Bu Ambar hanya mengkhawatirkan dirinya. Cemas, putra sulungnya itu akan terus berkubang di masa lalu. Trauma menjalin hubungan dengan wanita dan berakhir dengan perasaan ditinggalkan.
"Kamu kan suka ketemu sama banyak klien, pasti banyak perempuan juga, kan? Masa sih nggak tertarik sama salah satunya."
Lagi-lagi Galang hanya tersenyum kikuk menanggapi ucapan ibunya.
"Mbokyo usaha dikit gitu, loh. Deketin mereka, terus lamar. Mau sampai kapan sendiri terus?" omel Bu Ambar yang emosinya mulai naik.
"Gimana mau deketin, Bu. Orang perempuan yang kukenal udah punya suami. Masa aku mau rebut istri orang. Berabe entar, Bu."
Bu Ambar mencubit pinggang Galang dengan gemas.
"Kamu tuh, ibu ngomong serius kok nggak pernah ditanggapi. Trus, kapan Ibu bisa gendong cucu dari kamu?"
Galang beranjak dari duduknya, lalu berdiri di belakang Bu Ambar. Memeluk wanita itu dari belakang.
"Insya Allah. Doain aja ada gadis yang kelilipan matanya trus naksir aku," ucap Galang menggoda Bu Ambar yang otomatis mendapat cubitan di lengan. Sakit, tapi pria itu terus saja memeluk Ibu yang disayanginnya sambil sesekali mencium pipi.
Bagi Galang, saat ini wanita bukan prioritasnya. Karena mengobati hati akibat kehilangan jauh lebih penting. Dan itu, sulit sekali untuk dilakukan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro