Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga: Tentang Allan yang Tidak Pernah Selesai

Bagi Seina, tentang Allano tidak akan pernah selesai. Meski sudah memutuskan untuk berpisah bertahun-tahun lalu, nyatanya ... perasaan itu tidak berubah, Allan masih memiliki dan mungkin akan selalu memiliki tempat yang istimewa dalam hatinya. Dipaksa melupakan seseorang oleh keadaan tidak pernah menjadi mudah untuk Seina. Setiap kali bertemu dengan Allan, ia harus menekan perasaannya dalam-dalam, meskipun dadanya hampir meledak karena rasa rindu, tapi Seina tahu, hubungannya dengan Allan sudah terlalu rusak untuk diperbaiki. Setiap kali mengingat Disha, Seina selalu dihantui rasa bersalah yang mampu membuat mood-nya berantakan.

Seina bukannya tidak pernah untuk memaksa dirinya berdamai dengan masa lalu, ia melakukannya dan berkali-kali gagal. Seina akhirnya menyerah untuk mengobati dirinya sendiri, ia lelah berkubang pada rasa bersalah yang tidak kunjung menemui selesai. Seina lelah dengan pikirannya yang selalu mengingat kata-kata terakhir yang dilontarkan oleh Disha, sebelum perempuan itu meninggal.

"Minum, tenangin diri dulu." Retta menyodorkan segelas air putih untuk Seina. Perempuan itu menangis terisak, sampai wajahnya memerah. Selalu seperti ini, jika ada sesuatu hal yang mengingatkan Seina pada Disha. Menderita karena rasa bersalah itu bukan hal yang mudah untuk diatasi.

"Gue jahat banget ya, Rett?"

Retta menggeleng, ia meletakkan gelas yang tadi dipegang seina ke atas nakas yang ada di sisi ranjang. Perempuan itu lalu memeluk Seina memberikan ketenangan. Retta adalah satu-satunya orang yang tahu, bagaimana hancurnya Seina setiap kali ia mengingat tentang Disha. Bahkan, keluarganya pun tidak tahu. Seina akan mudah panik jika berurusan dengan rasa bersalahnya. Bertahun-tahun, Seina menelan semuanya seorang diri, tenggelam dalam rasa penyesalan yang tak kunjung selesai.

"Itu bukan salah lo, Sei. Semua udah takdir, bukan salah lo kalau Disha meninggal hari itu."

"Dia kecewa sama gue, gue yang bikin Disha kecelakaan."

"Nggak, itu takdir, Disha korban tabrak lari, dan lo nggak harus bertanggung jawab atas kematiannya."

Retta menyeka air mata yang membasahi pipi Seina. Perempuan ini tampak begitu menderita karena rasa bersalah, bahkan ia pun harus mengorbankan perasaannya sendiri karena rasa bersalah yang terus menghantui. Seumur hidup, Seina tidak pernah merasa semenderita ini, pun saat ayahnya pergi untuk selamanya. Seina bisa mengikhlaskannya dan menganggap itu semua adalah takdir. Tapi, saat Disha pergi dengan membawa rasa benci padanya, Seina merasa hidupnya telah berantakan.

"Udah, jangan nangis. Kita kan ke Lembang mau liburan, mending yuk siap-siap. Kita cari makan dulu, gue bosen sama makanan hotel. Sekalian lo nge-vlog."

"Lo yang nyetir ya?" Seina memaksakan senyumnya, meskipun akhirnya kelihatan aneh.

"Iye iye, Nona Seina. Hayuk atuh, buruan cuci muka!" pungkas Retta sebelum ia beranjak dari atas Kasur dan berjalan ke kamar mandi, membiarkan Seina sedikit tenang lebih dulu.

***

Allano menghabiskan sisa tegukan terakhir kopi miliknya. Laki-laki itu sedang berada di kafetaria kampus bersama Davin—teman satu angkatannya. Allano tidak memiliki banyak teman, karena kesibukan kuliah dan bekerja menggantikan kedua orang tuanya, mengurusi bisnis keluarga, laki-laki itu bahkan tidak sempat untuk sekadar berhura-hura dengan teman-teman sepantarannya.

Hidup Allano monoton, cenderung menyebalkan malah. Hari-harinya dihabiskan dengan belajar dan dipaksa paham oleh keadaan. Hidupnya berubah total semenjak kematian ibunya dan ayahnya yang masih ada dalam jeruji besi. Dalam sekejap mata, semua hal berubah, dan Allano dipaksa untuk menjalaninya, meski dengan berdarah-darah.

"Lo beneran nggak bisa ikut anak-anak ke Lembang?"

Allano menghela napasnya, ia menatap Davin dengan malas. Merasa lelah harus menjawab pertanyaan Davin berulang-ulang.

"Kalau cuma buat liburan, gue nggak ada waktu. Lo tahu sendiri."

Davin menatap Allano sekilas, laki-laki itu tampak menimbang-nimbang sesuatu hal sebelum mengatakannya pada Allano. Dekat dengan Allano sejak SMA, membuat Davin sedikit banyak paham tentang laki-laki itu.

"Seina lagi di Lembang, kali aja lo mau nyusul."

Allano melempar tatapan sinis pada Davin, terlihat tidak suka dengan informasi yang diberikan oleh Davin. "Apa hubungannya?"

"Hahaha ... santai anjir, lo jangan ngasih death glare gitulah. Pertama, gue cuma ngasih tahu, kedua kali aja lo tertarik buat nyusul."

Allano berdecak, ia lalu mengambil tas ransel berwarna navy yang ia letakkan di atas meja. Allano lalu melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri, sebelum pergi meninggalkan Davin. Sayangnya, langkah Allano tertahan oleh suara seorang perempuan yang tak pernah ia dengar sebelumnya.

"Permisi, gue Sana," kata perempuan itu, lalu mengulurkan tangan pada Allano. Laki-laki itu hanya diam, ia bahkan tidak membalas jabat tangan Sana. Hanya membiarkannya menggantung di udara sampai Sana merasa malu dan buru-buru menurunkannya.

"Gue anak pers kampus—"

"Gue nggak ada waktu," kata Allano memotong, Davin yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala.

"Plis, gue belum selesai ngomong. Gue dapat tugas buat wawancara lo. Lo akan jadi headline majalah kampus bulan depan, gimana?"

"Gue nggak tertarik." Allano menolak dengan tatapan datar, Davin bahkan sudah menahan tawanya.

"Lan, plis ...."

Allano tidak menjawab. Laki-laki itu memilih untuk segera beranjak, karena asisten almarhumah mamanya sudah berisik, menelfonnya sejak tadi. Walaupun Allano malas, tapi ia harus tetap menggantikan sosok sang mama untuk meneruskan bisnisnya.

"San, lo kalau mau wawancara Allano emang nggak gampang. Kejar terus, jangan nyerah, terror aja," ucap Davin, memberi saran yang membuat Sana menarik napasnya berat.

"Gitu ya? Duh, salah target gue."

"Hahaha ... Allan itu orang yang baik, tinggal gimana cara lo ngeyakinin aja sih."

Sana mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil berpikir, bagaimana cara meyakinkan Allano agar mau untuk wawancara dengannya. Hah, baru wawancara aja sesulit ini, lalu ... bagaimana mungkin Sana akan mendapatkan hati laki-laki itu? Rasanya, hampir mustahil.

***

Mbak Fayka: Sei, Mbak boleh minta tolong nggak? Anterin makanan di meja makan buat Allan, dia sakit. Mbak lagi di rumah sakit buat imunisasi Faleesha. Gio lagi les, Mbk gabisa nyuruh dia.

Seina menghela napasnya, ia lalu beranjak dari Kasur. Seina tadi sedang sibuk memilah beberapa tawaran endorse yang masuk. Ia tidak mungkin menerima semuanya, Seina tentu harus berhati-hati dalam mengiklankan sesuatu, karena image-nya dipertaruhkan di sini. Oh, jangan sampai ia mengiklankan situs judi daring atau obat pembesar payudara misalnya. Heck, membayangkannya saja, Seina ngeri sendiri.

"Lo sering banget sakit sih, Lan? Mana bebal banget kalau sakit."

Seina menggeruti, meski begitu ia tetap pergi ke ruang makan untuk menyiapkan makanan yang akan diberikan untuk Allan. Seina sedang menginap di rumah Yasa memang. Ia lebih sering tinggal di sini kalau tidak sedang ada di apartemennya atau di rumah mamanya. Rumah Yasa juga masih satu kompleks dengan rumah mamanya, jadi gampang saja bagi Seina untuk pulang sesukanya.

Seina melihat menu yang disiapkan Fayka untuk Allan, kebetulan ia juga belum sarapan. Sedang malas, mungkin nanti sekalian makan siang. Fayka ternyata membuat sup merah untuk Allan, lengkap dengan nasi merah dan ayam tepung kesukaan Allan.

"Bi Ros kemana ya? Allan sendirian di rumah apa ya?"

Seina kembali bergumam, Allan memang tinggal bersama beberapa asisten rumah tangga di rumahnya. Yang paling dikenal oleh Seina adalah Rosmini, yang sudah bersama keluarga Allan selama bertahun-tahun., bahkan sebelum Seina menjalin hubungan dengan Allan dulu Segera, setelah selesai, Seina kembali ke kamar untuk berganti baju. Beruntungnya, dia sudah mandi pagi ini, meskipun jam kuliahnya masih siang nanti pukul satu.

***

Ada rasa khawatir yang menyusup dalam diri Seina saat ia melangkah masuk ke dalam rumah megah milik keluarga Allan. Rumah mewah yang terasa kosong, dan hampa, meskipun masih tertata rapi, tapi Seina tahu, tidak ada kehangat di dalam rumah ini. Kadang, Seina sibuk bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia sejahat itu pada Allan, karena hubungan keduanya yang tak lagi bisa diselamatkan. Seina terlalu berkubang pada rasa bersalah yang terus menjadi momok dalam hidupnya, tanpa mau menjelaskan yang sebenarnya pada Allan, dan memilih memendamnya seorang diri.

Seina menghela napasnya, ia mengetuk pintu kamar Allan yang berada di lantai dua. Rumah ini benar-benar sepi, menurut satpam yang berjaga di luar, dua asisten rumah tangga Allan sedang pulang kampung untuk menghadiri pemakaman keluarganya. Hanya tinggal satu orang satpam, satu orang tukang kebun yang pulang setiap sore dan seorang supir saja. Tidak heran jika kakak iparnya meminta Seina mengantarkan makanan untuk Allan.

"Lan ...," sapa Seina setelah ia mengetuk pintu kamar Allan beberapa kali. Tidak kunjung ada jawaban, membuat seina nekad masuk sambil membuka pintunya pelan, kebetulan pintu kamar Allan tidak terkunci.

"Lan ... lo baik-baik aja?"

Seina menghampiri Allan yang tampak bergelung di dalam selimut, Allan tidak memberi respon, laki-laki itu hanya memejamkan matanya dan sesekali mengerutkan dahi saat mendengar suara Seina. Atas inisiatifnya, Seina akhirnya memberanikan diri untuk menyentuh dahi Allan yang tampak terasa panas di punggung tangannya.

"Lannn, demam lo tinggi banget. Lo denger suara gue nggak?" Seina menggoyangkan badan Allan dengan panik, perempuan itu lalu meletakkan kotak makanannya di atas nakas dan mengecek kembali suhu badan Allan.

"Lan, gue panggilin Dokter ya?"

Tanpa menunggu Allan memberi respon, Seina akhirnya pergi ke luar rumah untuk menemui satpam yang berjaga di depan. Ia akan meminta tolong satpam untuk memanggilkan dokter yang biasanya menjadi langganan keluarga Allan.

"Pak, bisa minta tolong panggilkan Dokter nggak? Allan demamnya tinggi banget." Seina hampir saja menangis, ia panik bukan main.

"Oh iya Mbak. Mas Allan tadi malam memang pulang dalam keadaan basah kuyup."

"Hah? Dia habis darimana emang?"

"Waduh, nggak tahu saya, Mbak. Sekitar jam sepuluh malam itu, Pak Narno juga nggak nganterin, jadi kami semua nggak tahu Mas Allan darimana," jelas satpam yang bernama Mamat itu.

"Dia sering pulang malem?" Seina meremat-remat tangannya, berbagai pikiran buruk berseliweran dalam kepala perempuan itu. Kemana sebenarnya Allan?

"Sering, biasanya jam dua atau jam tiga baru pulang, Mas Allan sering lembur di kantor juga, Mbak."

"Ya udah, Pak. Saya tunggu di dalam ya, minta tolong ya, Pak?" ucap Seina lagi, sebelum ia beranjak dari gerbang depan rumah Allan, dan kembali ke dalam rumah untuk mengompres badan Allan.

TBC

Setelah dua tahun lebih, aku baru bisa melanjutkan cerita ini. Meskipun sudah tidak ada yang baca, aku masih pengin nyelesein cerita ini. Semoga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro