Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#Tetap Dalam Jiwa# (Spin of Malaikat Juga Tahu)

SongFict : Isyana Saraswati - Tetap Dalam Jiwa

★✩★✩★✩★✩

"Andrea!" Sebuah panggilan berasal dari suara berat khas pria, membuat sang pemilik nama itu menengok kepada seorang pria ber-snelli berdiri tak jauh dari tempatnya.

"Bagas." Andrea tersenyum, mendapati lelaki yang selama setahun ini menjadi dokter yang menanganinya itu berjalan menghampiri.

"Pagi bener, Ses," ledek Bagas menyenggol bahu Andrea yang justru terkekeh geli.

"Pengen aja."

Angin sejuk pagi hari menerpa wajah Andrea, memejamkan entah sampai kapan ia akan menikmati hal sederhana ini. Sinar matahari pagi bagus untuk tubuhnya, bukan hanya baik untuk bayi.

Entah sampai kapan, karena suatu hari ini ia lah yang terbujur kaku dan disemayamkan ke dalam tanah.

Kalau boleh jujur, ia masihlah belum siap menerima keadaaan ini. Meski hanya Bagas yang masih setia menemani, bukan berarti ia tak bersyukur. Ia begitu berterima kasih pada sosok dokter muda itu, walau ia tahu jika hanya rasa kasihan karena harus melewati keadaan ini sendirian.

Ya, dirinya sendirian kini. Tak ada siapa pun yang menemani. Bahkan sosok pria yang ia cintai pun lebih memilih bersama keluarga kecilnya.

Bohong kalau ia bisa mengikhlaskan semuanya begitu saja, termasuk pernikahan kedua sang suami. Andrea sadar ia takkan pernah memberi kebahagiaan yang suaminya inginkan. Seorang anak.

Andrea pernah hamil, tapi ia mengalami pendarahan hebat akibat kecerobohannya hingga membuat janin itu pergi.

Calon ibu mana yang bisa bersikap biasa saja begitu menyadari jika calon bayinya pergi karena kecerobohannya. Andrei memang tak menyalahkan dirinya, sedikit banyak malah pria itu yang mengobati kepiluan Andrea karena kepergiaan sang buah hati.

Andrei tetap menyemangatinya untuk tidak terus-terusan memikirkan kepergian bayinya, tapi Andrea tak bisa. Ia tetap menyalahkan dirinya sendiri tiap kali ia mengingat bagaimana ia terbangun di atas brangkar dalam posisi perut rata.

Kerap kali Andrea mengurung diri di kamar mandi dan menangis tanpa suara, dan ia lakukan saat dimana perasaan bersalah itu kembali datang dan mengerogotinya perlahan. Terkadang bayangan anak kecil yang berlarian di dalam rumahnya membuat Andrea mendadak terdiam seperti orang linglung, lalu menangis histeris menyadari jika itu adalah halusinasi tentang anaknya yang telah pergi.

Tak sampai disitu saja. Andrea merasa jika ia belum siap untuk hamil kembali, ia takut kejadian itu terulang lagi dan harus kembali merelakan sebuah kepergian.

Tak mudah bagi Andrea menghadapi kehilangan, apalagi bayi yang sudah mereka tunggu-tunggu. Namun Tuhan lebih menyayangi si jabang bayi dan mengambilnya kembali.

Perasaan bersalah itu kembali hadir dan semakin menguat, mengerogotinya perlahan-lahan. Membuat Andrea tak mampu keluar dari kubangan penyesalan. Wanita itu lebih memilih menyembunyikannya dari Andrei—sang suami—dan mulai menjauh.

Andrea mengalihkan pandangan pada sebuah keluarga kecil yang juga berada di taman rumah sakit, hatinya kian menyesak mendapati pemandangan yang sudah ia nanti-nantikan. Namun sayangnya hal itu tak kan pernah terwujud.

Bagas tak mampu berkata apa-apa, meski hanya sebuah kata penghiburan. Menatap pada pemandangan yang sama dengan Andrea, melarikan tangannya untuk menelusup di antara jemari Andrea dan mengisi kekosongan di sela-sela jemari kecil itu.

Tersenyum kecil Andrea menjatuhkan kepalanya di bahu Bagas, membuat lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu semakin mengeratkan genggamannya.

Keterdiaman mereka seolah mengatakan apa yang seharusanya terucap oleh lisan masing, tapi justru kenyamanan yang tercipta di antara keheningan mereka. Di atas bahu itulah Andrea meletakan semua kegusaran akan takdir hidupnya, takdir yang tak mungkin berlanjut sampai kapanpun.

"Nikah, yuk?" Ajak Bagas yang justru mendapat pukulan kecil di lengannya. "Aku serius, Ann."

Andrea tak langsung menjawab, justru iya membalikan genggaman tangan mereka dan memandanginya sejenak kemudian mengelus punggung tangan Bagas dengn jari jempolnya.

"Kamu tau aku nggak bisa," ucap Andrea pelan dengan suara seraknya.

Bagas tak tahu harus bagaimana lagi meluluhkan hati Andrea Dinata. Selama empat bulan wanita ini sudah tinggal di rumah sakit tempat ia bekerja, sebagai salah satu pasien pengidap kanker. Selama itu pula, kedekatan mereka terjalin begitu saja.

Untuk pertama kalinya Bagas jatuh cinta dengan pasiennya sendiri.

Fisik Andrea tak sekuat dulu. Seringkali wanita yang kepalanya tertutup beanie hat itu tiba-tiba limbung, membuat ruang geraknya terbatas. Belum lagi nyeri yang menyerang hampir keseluruh tubuh di barengi dengan demam tinggi, membuat Bagas memutuskan Andrea harus tinggal di rumah sakit untuk seterusnya sebagai wali pasien.

Ya, Andrea sudah tak punya siapa-siapa lagi. Bahkan selama empat bulan ini, tak ada seorang pun yang menemani hari-hari wanita itu, ataupun hanya sekedar berkunjung.

"Kamu tau aku selalu di sini, Ann. Jangan nyerah, ya. Aku selalu nungguin kamu." Tak ada jawaban hanya desiran angin membelai wajah Bagas dan menerbangkan helaian rambutnya.

Lelah karena terlalu lama menghabiskan waktu di taman rumah sakit, Andrea meminta Bagas untuk mengantarkannya ke ruangan inap yang telah menjadi tempat tinggalnya beberap bulan ini.

Bukannya mendudukan Andrea di kursi roda, Bagas lebih memilih menggendong Andrea di punggungnya. Membuat wanita berseragam pasien rumah sakit itu sedikit kikuk.

"Kan romantis, Ann. Sesekali kamu ngerasain aku gendong begini, kali aja bisa jadi pertimbangan kamu nerima lamaranku." Andrea tergelak mendengar alasan Bagas.

"Dasar modus."

"Modusin calon istri juga."

Kekehan mereka terhenti sesaat Bagas dan Andrea tiba di kamar inapnya, begitu ia melihat sesosok pria dengan kemeja kusut dan rambut berantakan berdiri tepat di depan pintu.

"Rei." Lirih Andrea menyadari jika pria itu adalah calon mantam suaminya.

Tubuh Andrea mendadak mengeluarkan tremor yang disadari oleh Bagas, dengan perlahan menurunkan tubuh Andrea tapi tak begitu saja melepaskannya.

Andrea tak siap bertemu dengan Andrei dalam keadaan seperti ini. Fisik lemah, wajah yang kuyu penuh dengan bintik merah. Belum lagi tubuh yang mengurus, dan memar di beberapa bagian membuat Andrea terlihat mengerikan. Dan wanita itu menyadari tatapan Andrei terhadap dirinya.

Andrea menyadari tatapan penuh kerinduan dan penyesalan yang dilemparkan Andrei terhadap dirinya, membuat wanita yang itu melemparkan senyuman kecil.

"Rea, aku-" Andrea menggeleng pelan. Seakan memberikan Andrei instruksi agar tak melanjutkan kata-katanya.

"Makasih untuk semua kebahagaian yang udah kamu berikan, aku nggak nyesel sama sekali. Karena selamanya kamu tetap jadi orang yang aku cintai. Pergi, Rei. Jangan ke sini lagi, kamu udah punya Laras juga Kirana. Keluarga kecil yang kamu idam-idamkan, bukan wanita pesakitan kayak aku. Pergi, Rei! Aku ikhlas."

Mendadak saja tubuh Andrea limbung, jika saja Bagas tak menahan kedua bahunya membuat pria itu langsung saja mengendong Andrea.

Seakan sudah menjadi kebiasaan, Andrea langsung saja mengalungkan tangannya di leher Bagas dan menenggelamkan wajahnya di dada Bagas guna menyembunyikan air mata.

Sedangkan Andrei hanya tertegun di tempatnya berdiri, tanpa tahu harus berbuat apa. Kepalanya mendadak kosong tapi dadanya begitu sakit dan sesak secara bersamaan.

Seperti orang bodoh, ia hanya bisa menatap pintu coklat itu tertutup sendirinya yang sedikit memperlihatkan pria berjas putih meletakkan tubuh ringkih Andrea di atas brangkar.

"Rea ...."

The end.

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Pemanasan dulu lah sebelum balik kerutinitas selanjutnya, tungguin yak. Insyaallah bakalan aku update semua kok. Sabar ... sabar ... 😁😁😁

Dean Akhmad
09/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro