Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

# Setelah Kau Tiada #

Songfic by Cakra Khan - Setelah Kau Tiada.

🌾🌾🌾🌾🌾🌾

Jeritan pilu penuh kesakitan membungkam bibir semua orang yang berada di sana. Nada kehilangan itu semakin terdengar menyakitkan bagi siapapun yang mendengar.

Remaja itu bahkan tak mengindahkan sekitarnya, dia bersimpuh di bawah brankar dengan menggenggam erat tangan pucat yang sudah mulai kehilangan kehangatannya.

"Jangan tinggalin, Tara, Ibu, jangan pergi! Tara janji sama Ibu, Tara bakalan jadi anak yang nurut sama Ibu. Tara mau bikin Ibu bangga. Bangun, Bu...jangan tinggalin Tara." Raungan remaja itu membuat siapa saja yang mendengar tak kuasa menitikkan air mata.

"Ibu janji sama Tara, kan, kalo Ibu mau liat Tara jadi Taruna. Ibu kenapa merem. Ibu ayo bangun, Ibu harus anterin Tara...terus nungguin Tara sama denger langsung kalo Tara lulus. Ibu bangun..."

"Mas Tara," panggil Salwa.

Gadis itu sama pilunya dengan sang Kakak yang tak kalah mengenaskan. Seragam putihnya tak lagi bersih, berganti dengan warna merah mengerikan yang menutupi hampir bagian depan seragamnya.

"Ibu nggak sayang sama Tara? Kenapa ninggalin Tara." Raungan Tara semakin menjadi-jadi. Ia bahkan menolak rangkulan sang Adik yang sama terseduhnya di belakang Tara.

"Mas...."

Kesekian kalinya Tara menolah pelukan Salwa. Ia tak mau disentuh siapapun. Tara hanya ingin dipeluk Praya, Ibunya. Wanita yang melahirkannya dan mencintainya dengan setulus hati.

Menciumi tangan Ibunya, Tara sama sekali tak menggubris tatapan Iba para pasien lainnya. Ia benar-benar terpukul atas kepergian Praya yang mendadak seperti ini, padahal tadi pagi Ibunya masih bersikap seperti biasa.

Entah firasat atau bukan, pagi ini ia sengaja meminta Praya mengantarkan Tara ke sekolah. Menggunakan motor matic jadulnya meski ia bisa berangkat sendiri, sepasang Ibu dan Anak itu terlihat bercengkrama di atas jok motor.

Seperti biasa, Praya selalu memberikan wejangan yang hampir setiap hari wanita itu ulang-ulang padahal Tara sudah hapal di luar kepala.

"Belajar yang rajin, Mas. Jangan bolos sekolah, ibadahnya jangan lupa. Ibu cuma bisa bantu doa buat Mas Tara. Kamu yang sabar ngadepin Papamu. Kalo Papa kerasnya kumat, kamu yang harus ngalah, Mas."

"Iya, Buk," sahut Tara yang melingkarkan kedua tangannya di sekitar pinggang kecil milik Praya.

Sedangkan wanita itu, justru menepuk pelan tangan Tara yang memeluknya erat. Entah kapan lagi ia akan merasakan pelukan hangat dari sang Putera.

"Ibu sayang Mas Tara," ucap Praya menoleh ke belakang.

"Tara lebih sayang sama Ibu. Janji, ya, Ibu bakalan anterin Mas buat tes Taruna."

Tersenyum lembut, Praya menepuk sisi kiri kepala Tara yang terlindungi helm. "Insyaallah, Ibu selalu support apa yang Mas Tara pilih."

Potongan adegan tadi pagi masih membekas di ingatan Tara. Betapa syahdunya ciuman yang disematkan Praya di keningnya, bahkan wanita yang hanya memakai baju apa adanya mengelus rambut putera sulungnya lamat-lamat.

"Ibu selalu bangga sama Mas Tara."

"Mas Tara...," panggil Salwa pelan.

Dada Salwa begitu sesak melihat tubuh kamu Ibunya yang sudah tertutup kain putih di depannya. Ada sejuta penyesalan menggumpal yang tertahan.

Ia begitu merasa bersalah pada Ibunya. Pertengkaran mereka pagi tadi adalah yang terbesar dan terburuk sepanjang ia hidup. Sejenak Salwa tertegun menatap tatapan terluka milik Praya yang menyorotnya langsung. Hanya saja sang ego membuatnya tak mau mengalah untuk kali ini.

Sekarang ia menyesali semua ucapan yang sudah dilontarkan tadi pagi. Bagaimana dengan kejamnya ia mengatakan lebih menyukai Tante Rika yang mengambilkan rapornya, daripada Praya.

Salwa malu melihat Ibunya yang tidak bisa berdandan, dan terlihat jadul juga tua. Belum lagi betapa kudetnya Praya tentang perkembangan sekitarnya, membuat Salwa tak mau menjadi bahan kolokan teman-temannya nanti karena mempunyai Ibu seperti Praya.

"Aku nggak mau Ibu yang ambil raporku. Ibu kuno! Dan aku nggak mau jadi bulanan temen-temen besoknya. Aku mau Tante Rika aja yang ngambil ke sekolah."

"Salwa!" Teriakan Tara membungkam mulut adiknya.

"Tara...."

"Kamu keterlaluan, Sal."

Salwa mendengus, "Tante Rika lebih cantik dari Ibu, lebih fashionable, lebih pinter dan lebih segalanya dari Ibu. Aku mau Tante Rika yang jadi Ibuku."

"Biarin Rika yang ambil rapornya Salwa, kamu tetep di rumah aja. Jaga rumah." Keputusan final Bagas tidak bisa diganggu gugat.

Salwa tertegun melihat sorot mata terluka dari Ibunya, ada kekecewaan juga kesedihan bercampur di sana. Salwa merutuki emosinya yang labil. Tidak seharusnya ia mengatakan hal seperti itu.

"Ayo berangkat, Tara, Salwa." Bagas bergegas beranjak dan pergi melenggang begitu saja, meninggalkan Praya yang tergugu di tempatnya berdiri

"Aku dianterin Ibu aja!"

Egonya yang menang, memilih pergi begitu saja bersama sang Papa. Salwa Mengabaikan perasaan gelisah yang menerjang sekeluarnya ia dari dalam rumah. Biarlah nanti sepulang sekolah ia akan meminta maaf.

Namun semuanya terlambat. Ia tidak akan pernah bisa meminta maaf pada Praya.

"Bu...maafin, Salwa. Maafin, Salwa. Ampuni Salwa, Bu."

"Tara...Salwa..." Tatapan Bagas memindai bergantian antara Salwa dan Tara.

Bagas langsung bergegas pamit kala mendapat telepon dari tetangga sebelah rumah, mengabarkan kalau Praya dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan bersimbah darah.

Isak tangis pilu menyambut kedatangannya di UGD, apalagi melihat kondisi Tara yang baju seragamnya berlumuran darah membuat hati Bagas mencelus.

"Tara...di mana Ibu?" tanya Bagas dengan suara yang tercekik. Bisa tolong beritahu bagaimana kondisi istrinya saat ini.

"Anda suami dari Ibu Praya?" Bagas mengangguk kaku.

Ada yang mengedor keras dada Bagas melihat riak wajah sang dokter yang jas putihnya sedikit terkena noda darah. "Maaf! Dengan berat hati kamu menyampaikan, kalai Ibu Praya tidak bisa diselamatkan. Selain kehabisan darah akibat sayatan benda tajam yang tepat mengenai arteri Radialis. Di bawah lidah Bu Praya kami menemukan sebutir obat yang tertinggal, yang menurut analisa lab merupakan obat anti depresan."

Tubuh tegap Bagas seketika limbung, menghantam dinding. Pria yang sudah merosot ke lantai memandang kosong tegel putih tersebut.

Hati dan pikiran Bagas mendadak kosong tanpa dikomando, sedang si Dokter yang memahami situasi memilih menyingkir memaklumi. Karena sebuah kehilangan tidak akan pernah mudah.

Bagas menjambak rambutnya kuat-kuat, kemudian menghantamkannya ke dinding berulang kali. Dan ia tak bisa merasakan kesakitan itu. Mendadak semuanya menjadi kebas.

"Aaargh!" teriak Bagas yang kini memukuli dadanya. Terasa sesak di dalam sana, ada yang meremasnya kuat hingga ia tidak bisa bernapas selayaknya. Rasanya benar-benar sakit.

"Pra...."

Sepasang mata kelam Bagas memanas, disertai idaman kecil dan aliran hangat yang meluncur melewati pipi, berkumpul di dagunya dan menetap tepat di punggung tangannya.

Menekuk kedua lututnya, Bagas menenggelamkan kepala di sana. Menangis terhisak. Gumpalan penyesalan itu tampak nyata berkeliling di kepalanya, memutar selayaknya kaset usang. Semua terpampang jelas di sana.

Memori kebahagiaan mereka berkejaran di kepala Bagas, menuntut si pemiliknya untuk mengingat betapa bahagianya mereka dulu meski hidup berkecukupan dengan Tara sebagai pelengkap.

Lalu mendadak perlahan-lahan semuanya berubah, apalagi setelah kematian si bungsu yang hampir semua orang menyalahkan Praya atas kelalainnya. Sedangkan ia justru tengah bersenang-senang dengan Rika.

Bersama Rika, Bagas merasakan yang namanya puber kedua. Bahkan ia terang-tetangan berselingkuh di depan Praya meski tidak terlalu mencolok. Apalagi dengan Salwa yang terlihat dekat dengan Rika, membuat keinginan menceraikan Praya semakin mantap.

"Mas janji sama kamu, kalo cuma kamu satu-satunya wanita yang Mas cintai juga ibu bagi anak-anak kita. Kamu...janji sama Mas, jangan ninggalin Mas pergi ya?"

Kenyataan itu menyentak alam sadar Bagas. Sudah berapa lama Praya menyimpan semuanya sendiri, sedangkan ia malah tak acuh pada istrinya sendiri.

Dengan susah payah, Bagas mendekat ke brankar tempat tubuh Praya terbujur kaku.

Menekuk lututnya, Bagas membersit ingus dengan lengan jas yang masih tertempel. Air mata Bagas kembali mengucur deras, tengorokannya bahkan terasa sakit hanya untuk menelan ludah.

"Ya...Praya...bangun, Ya. Mas datang, Praya. Mas datang mau jemput kamu. Ayo pulang, Ya. Kita pulang, ya. Bangun, Ya, bangun! Kamu bercanda, kan? Praya, bangun!" Bagas tersedak tangisannya sendiri, membuat pria itu terlihat menyedihkan.

Meraih tangan istrinya yang mulai mendingin, Bagas menciuminya membabi buta. Bahkan ia menangkup tangan pucat itu dan menggosoknya. "Tanganmu dingin, aku akan menghangatkannya. Ayo bangun, kita pulang. Kamu mau liburan, kan? Ayo kita liburan. Kemanapun kamu mau, kita ke sana. Bangun, Praya, ayo kita pulang."

Tubuh Bagas terdorong ke samping, kepalanya membentur tabung oksigen yang terjatuh karena benturan tubuhnya.

"Jangan sentuh, Ibu! Jauhkan tangan kotor Papa dari tubuh Ibu." Tara menatap nyalang ke arah Bagas dengan mata memerah yang sesekali membersit ingusnya. "Papa puas, kan? Ibu udah pergi. Papa sekarang bebas nikahi jalang Papa. Pernah nggak Papa mikir gimana sakitnya Ibu saat tau Papa selingkuh? Enggak pernah, kan? Kalo Ibu mau, Ibu bisa minta cerai sama Papa. Tapi Ibu mikirin Salwa yang masih butuh Papa buat jadi wali nikahnya, tapi yang dipikirin malah ngasih tai!" desis Tara menatap sinis adik semata wayangnya itu.

"Puas kalian nyakitin, Ibu? Kalian puas!" Setelahnya Tara berjalan sempoyongan meninggalkan pasangan Ayah dan anak yang masih masih tergugu di tempatnya.

Bagas menatap nanar punggung bergetar putranya. Anak laki-laki yang ia banggakan justru menatapnya penuh kecewa.

Menatap bekas sayatan di pergelangan tangan Praya semakin membuat Bagas nelangsa. Istri yang seharusnya ia bahagiakan, justru hancur di tangannya sendiri.

🌾🌾🌾🌾🌾

Bikin khusus nih, buat emaknya Praya awtyaswuri kejem bener sih jadi emak. Lu emak tiri apa emak kandung, jal?

Dahlah, semoga suka. Maaf untuk typo bertebaran.

Bye...nyai mau bocan dulu. 😘😘😘😘

Surabaya, 22 Desember 2020
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro