#Pupus#
SongFict : Hanin Dhiya - Pupus (Dewa 19 Cover)
★✩★✩★✩★✩★✩
Myra tak menyangka akan mendapati hal ini. Cintanya bertepuk sebelah tangan.
Ia menyerah pada kenyataan, jika Sakti akan menikah dengan gadis pilihannya.
Lelaki yang ia cintai hampir seluruh hidupnya, lebih memilih orang lain daripada dirinya.
Menatap sendu ke arah seberang rumahnya. Hiasan khas pesta pernikahan sudah bertengger manis di kediaman rumah Sakti.
Hari ini pukul sepuluh pagi, Sakti akan mengucapkan ijab qobulnya. Tentu Myra tak pernah sanggup melihat hal itu.
Hatinya sudah retak, saat mengetahui Sakti mencintai gadis lain. Lalu retakan itu semakin membesar begitu Myra menggenggam undangan pernikahan mereka.
Jika boleh berharap ia ingin namanya lah yang bersanding dengan nama Sakti. Bukan gadis itu. Lalu sekarang ia harus dipaksa mundur.
Myra memantapkan hatinya lalu berjalan menuju rumah seberangnya.
"Myra! Dari tadi dicariin sama Sakti." Suara seorang wanita paruh baya yang tersenyum lembut ke arahnya.
"Iya, Ma. Tadi Myra masih ngambil sesuatu di rumah." Myra menampakkan senyum tulusnya meski harus dipaksakan.
"Mama nggak tahu lagi harus ngomong apa, My. Mama minta maaf atas nama Sakti," ucap mama Rana memegang kedua tangan Myra yang ditangkupkan menjadi satu.
"Bukan salah, Mama. Mungkin Sakti memang bukan jodohku, Ma. Myra harus ikhlas, kan?" Myra nyengir, walau dalam hatinya ia berdarah-darah.
"Andai Sakti bisa liat betapa besarnya rasa cintamu sama dia."
Myra mengusap tangan Rana. "Nggak perlu berandai, Ma. Memang kita nggak berjodoh."
Rana menyusut airmata yang menggenang di sudut matanya. "Makasih untuk semua cintamu, My."
Tetap saja Myra tak kuasa menyusut airmatanya sendiri. "Myra mau ke atas dulu, ya, Ma. Sakti pasti grogi."
Myra kembali melangkahkan kakinya ke lantai dua, menuju kamar Sakti.
Myra menahan napasnya, melihat penampilan Sakti yang terlihat extraordinary saat ini.
Ya Tuhan! Andai saja penampilan Sakti diperuntukkan untukknya, betapa bahagianya Myra.
Lelakinya akan menjadi milik orang lain. Bukan miliknya. Dan kenyataan itu kembali menyentakanya.
Menghembuskan napasnya perlahan, Myra mengetuk pintu kamar Sakti yang saat ini sedang mondar-mandir dengan mengigiti kukunya.
"Sakti!" Seruan Myra sukses menghentikan pegerakkan Sakti yang mondar-mandir. "Hei, grogi, ya?" tanya Myra lembut.
Sakti berhenti mengigiti kukunya dan tersenyum lebar. Lagi-lagi Myra harus menahan napasnya. Senyuman itulah yang membuat gadis ber-dress polos berwarna biru jatuh cinta pada Sakti.
Myra tak mampu lagi menyembunyikan detak jantungnya yang menggila. Ia masih tetap mencintai pria ini.
Sakti menghambur ke pelukan Myra, dan memeluknya erat. "Easy, dude! Semuanya akan baik-baik aja." Myra mencoba menenangkan Sakti.
"Kamu yakin, My?" tanya Sakti melepaskan pelukannya, meski Myra tak rela sekalipun.
"Tentu! Kan kamu sendiri yang kudu berusaha. Satu tarikan napas, maka semuanya selesai."
"Kamu bener, My." Sakti menghembuskan napasnya.
Myra menyentuh rambut Sakti dan membelainya. "Apa rambutku berantakan?" Myra menggeleng.
"Hanya ingin menyentuhnya."
Sakti meraih tangan Myra yang bertengger di kepalanya, dan menggenggam erat. Menelusupkan buku jarinya yang besar di antara jemari Myra.
"Untuk terakhir kalinya, Sak. Kita akan melakukan hal ini." Myra mengangkat genggaman tangan mereka. "Kamu akan jadi milik orang lain, dan aku sudah bukan lagi prioritasmu." Myra bersandar di bahu kokoh Sakti. "Ada dia yang harus kamu jaga hatinya. Kita takkan sebebas dulu lagi. Kamu dan istrimu, aku dan suamiku kelak.
Perut Sakti mendadak tak enak, dan ada satu perasaan tak rela jika Myra dimiliki oleh orang lain.
Myra yang mengandalkan dirinya.
Myra yang bergantung padanya.
Myra yang manja padanya.
Myra yang hampir setiap daat bersama dirinya, kini mendadak mereka harus terpisah karena statusnya yang akan berganti sebentar lagi.
Sakti merasakan perutnya semakin mual, mendapati kenyataan bahwa ia akan terpisah dengan Myra. Myranya. Perasaan tak rela tiba-tiba menyeruak, ia tak ingin berpisah dengan Myra.
Ia ingin seperti ini selamanya dengan Myra, meski ia sudah berkeluarga sekalipun. Myra akan selalu menjadi adik manisnya.
Sakti merasakan bahunya kembali ringan, Myra bahkan melepaskan tautan tangan mereka dan menghapus airmata yang entah kapan sudah meleleh dipipinya.
"My!" Sakti merangkum wajah Myra, tapi gadisnya ini tak kunjung berhenti menangis malah semakin deras.
Myra menggeleng pelan. "Kita udah beda, Sakti. Nggak akan pernah sama lagi."
Sakti menghapus lelehan airmata Myra dengan kedua jari jempolnya. "Enggak, My. Nggak ada yang akan berubah. Kita akan tetap seperti ini."
Myra meraih tangan Sakti dan menggenggamnya di atas pangkuannya. "Ada hati yang harus kamu jaga, Sak. Dan itu bukan aku. Apa kata orang jika suami orang memperhatikan wanita lain, selain istrinya. Hm?"
Sakti merasakan denyutan tak nyaman di dadanya. Ia tak suka Myra mengatakan hal itu. Rasanya begitu menyakitkan.
Myra menghapus airmatanya dan berdiri dari duduknya. Masih menggenggam tangan Sakti.
"Aku pamit." Sakti memandang wajah Myra.
"Pamit?"
Myra menarik Sakti hingga di depan pintu kamar. "My. Koper? Kamu mau ke mana?" tanya Sakti mendapati koper kecil yang ada di depan pintu kamarnya.
"Aku pamit, Sak. Pesawatku take off jam sepuluh nanti."
Sakti terhenyak, begitu ia memahami perkataan Myra.
"Maksudmu apa, My? Kamu mau pergi ke mana?"
Myra tersenyum kecut, "Belanda. Aku dapat beasiswa S2 di sana. Dan hari ini, jadwal keberangkatanku. Tepat disaat kamu mengucapkan ijab qobul. Maaf aku nggak bisa hadir di sana," ucap Myra pelan.
"Tapi, My-"
Myra memeluk tubuh tegap Sakti, hingga rasanya ia enggan untuk melepaskannya. Ia akan merindukan pelukan hangat ini, pelukan yang syarat makna. Setidaknya bagi Myra.
Myra kembali terhisak dalam pelukan Sakti. Biarkan seperti ini. Lima menit saja. Dan untuk terakhir kalinya.
"Kamu nggak boleh pergi, My. Nggak boleh."
Tapi aku harus, Sak. Seenggaknya untuk menyelamatkan hatiku yang udah hancur.
"Jangan lupa kirim email. Kita masih bisa komunikasi, kan?"
Sakti melepas pelukannya dan memandang wajah Myra. Ia akan merindukan perempuan ini.
Demi Tuhan! Ia tak pernah rela melepas Myra seperti ini. Paling tidak ia sendiri yang akan memastikan gadisnya sudah siap menempuh perjalanannya.
Jika jaraknya seputaran Indonesia, dan Pulau Jawa mungkin Sakti tak perlu secemas ini. Ia bisa mampir kapan saja. Tapi ini di Belanda. Harus menyeberang benua agar sampai ke sana.
Harus bagaimana ia menahan Myra agar tetap di sini.
"Aku mencintaimu!" ucap Myra tanpa suara. Kemudian berjinjit dan mencium sudut bibir Sakti.
"Semoga kamu bahagia, Sak. Doaku menyertaimu." Myra melepaskan genggaman tangan Sakti, dan berbalik menggeret koper kecilnya.
Myra mencoba menahan tangisannya hingga ia kembali ke teras depan yang dipenuhi banyak orang.
Sejenak ia mengedarkan pandangannya. Ia akan merindukan hal ini, juga Sakti.
Mama Rana begitu berbinar kala berbincang dengan sanak saudaranya.
Sebentar lagi Sakti dan rombongannya akan berangkat menuju gedung tempat mereka melakukan ijab qobul.
"Ma," panggil Myra seraya menepuk pelan bahu Rana.
"My."
"Myra pamit ya, Ma. Semoga mama dilimpahi kebahagian dan kesehatan." Rana memeluk Myra dan mengecup keningnya.
"Jaga diri baik-baik di sana. Jangan nakal. Jangan telat makan. Jangan lupa juga jaga kesehatan." Myra mengangguk kemudian mencium tangan Rana.
"Myra pamit, Ma. Assalamualaikum!"
Setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya, Myra menaiki taksi yang sudah ia pesan.
"Jaga diri, Sayang!" pekik Amira begitu taksi yang membawa pergi Myra melesaat pergi meninggalkan kompleks perumahan mereka.
Selamat tinggal, Sakti. Sudah saatnya aku melepaskanmu, juga cintaku.
The End
★✩★✩★✩
Kira-kira ada yg mau ini di lanjut, nggak? Wkwkwkwk
Rencana mau kubikin novelet aja sih. Kram otak aye klo dibikin novel. Lagian aku jUga bingung konflik apa yg mau aku angkat. Yekan?
Sesuju apa setuju?
Surabaya, 18/11/2018
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro