Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#Menunggu Kamu#

SongFict : Hanin Dhiya - Menunggu Kamu (Anji Cover)

✩★✩★✩★✩★

PLAK!

"BERAPA KALI GUE BILANG, HAH!" Teriakan Yoga menggema di telingaku. "DASAR LO WANITA JALANG! PELACUR! LONTE!"

Aku hanya bisa memejamkan mata, tanpa bisa mengenyahkan rentetan kalimat yang menyayat hatiku.

Pipiku terasa panas, karena tamparan pria di depanku. Ingin rasanya berteriak dan mengatakan pada lelaki brengsek ini, bahwa aku bukan jalang! Akan tetapi teriakan itu hanya bisa tertahan di tenggorokan. Luruh. Bersamaan dengan air mata tanpa ampun mengikuti rasa sakit. Sayangnya lagi aku tak mampu melawan pria yang telah menjajah tubuhku selama dua tahun terakhir.

"DIAM!" teriak Yoga yang melayangkan tendangannya ke arah tubuh telanjangku.

Dia bilang mencintaku? Dia bilang nyaman di dekatku? Dia bilang dia menyanyangiku? Tapi, kemana semua ucapannya? Tak ada satupun yang bisa membuktikannya, selain kekerasan yang selalu kuterima. Tak lupa makian dan juga hinaan selalu menyertai tindakan kejam lainnya.

Tangisanku semakin mengeras, bersamaan dengan tendangan demi tendangan yang menghancurkan tiap-tiap sendi tubuhku. Tak lupa umpatan juga keluar dari mulut pria bermata sipit yang kini malah meludahiku.

Tubuhku mati rasa, kebas seolah-olah tak lagi berpijak di lantai marmer. bunyi 'krak' terdengar ketika tendangan Yoga tepat mengenai punggungku, bahkan ia tak segan-segan menginjak pergelanganan kakiku.

Mulutku meraung, hati dan tubuhku pun ikut meraung. Hanya ada raungan kesakitan. Tak henti-hentinya aku berteriak untuk menghentikan siksaan ini, sekalipun ujung bibirku yang tersobek karena hantaman dari pria sadis ini. Aku tak peduli.

Tangisanku berubah menjadi gumaman lirih, berusaha menolong diri sendiri dari siksaan tak berujung dari Yoga. Hingga cengkeraman kuat membuatku wajahku terpaksa mendongak. Melihat wajah angkuh yoga yang dihiasi seringaian licik beserta tatapan intimidasi membuatku begidik ngeri.

Kumohon, hentikan semua ini! Doaku dalam hati.

"Ga, hentikan!" teriak Richo mencoba menghentikan aksi Yoga.

Ah ... aku melupakan pria satu ini. Dia, sahabat Yoga. Pria yang selalu berada di samping Yoga, mereka dua orang tak terpisahkan. Sekalipun Richo sahabat Yoga, namun mereka adalah dua pribadi yang berbeda. Jika Yoga terkenal denga pria sadis, maka pria bermata cokelat itu lebih cenderung pribadi yang lembut.

Mataku memburam, kabur dan perih menahan sakit. Aku hanya bisa memandang Richo hanya dengan satu mata terbuka, karena yang kini kurasakan adalah sebelah mataku tak bisa terbuka. Jikalau terbuka pun rasanya begitu menyakitkan.

Aku tahu tatapan itu. Kasihan.

Aku benci dikasihani, karena itu melukai harga diriku. Tapi kini, semua terasa sia-sia. Gara-gara harga diri sialan itu pula, aku kehilangan harga diriku. Pekerjaan model yang kutekuni memang menghasilkan uang dengan cepat, akan tetapi kehidupan Jakarta membuat banyaknya uang tak berarti apa-apa.

Aku yang awalnya hanya ingin coba-coba malah berakhir menjadi pecandu, hampir seluruh asetku ludes hanya karena barang haram tersebut. Hingga akhirnya harga diriku menghilang bersamaan dengan candu yang terus menerus kujejalkan dalam tubuhku, dan berakhir di meja prostitusi bawah tanah. Cih! Kalau bukan jalang, lalu siapa diriku?

(Glamour) dan eksistensi ... dua hal yang tak terpisahkan dari kehidupan sebagai model. Kehidupan yang malah membuatku hancur tak tersisa.

Di sinilah aku sekarang berakhir, di bawah cengkeraman Yoga. Pria bengis dengan sejuta pesona. Lelaki itu bahkan tak segan-segan menghajarku jika melakukan kesalahan, namun inilah yang terburuk selama dua tahun aku bersamanya. Peringai kasarnya akan berganti menjadi pria yang lembut bahkan manja kalau kepuasannya terpenuhi. Lagi-lagi akulah yang menjadi pemuas nafsu.

Kalau bukan karena barang itu, aku tak sudi mendampinginya. Hanya dengan bersama dia aku masih bisa menikmati tanpa harus merogoh kocek.

"Dengerin gue baik-baik ...," anggukku pelan. "Elo bakalan hancur, kalo elo gak nurut sama gue!" Sekali lagi hanya anggukan yang bisa kuberikan.

Yoga mengehempaskan cengkaramannya, membuat kepalaku terbentur kaki ranjang berbahan kayu jati. Dan itu kembali membuatku mengerang kesakitan, mengaburkan pandangan mataku.

"Laura ...." lirih Richo menyelimutiku dengan selimut tipis.

Kurasakan kehangatan menjalari pipi yang kemudian menyebar keseluruh wajah, ketika kedua tangan besar Richo merangkum wajahku yang bisa dipastikan membengkak.

Kupejamkan mata sebentar, mencoba menikmati kehangatan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku yang mengikuti dinginnya lantai marmer. Kurasakan tubuhku melayang dan memilih menelusupkan wajahku di dada bidangnya.

Kuraup udara sekitar dengan rakus, udara yang bercampur dengan aroma parfum berbau citrus dan musk membuatku sedikit melupakan rasa sakit di tubuhku.

"Hei ...," sapanya pelan setelah menurunkanku ke ranjang yang berada di apartemenku dengan posisi duduk. Richo mengambil bantal-bantal yang berserakan di lantai dan menatanya di belakang punggungku agar terlihat nyaman untukku bersandar.

Kurasakan tangan kasar Richo tengah memakaikan kaos gombrong milikku dan menanggalkan selimut tipis tadi, kemudian menutupi tubuh bagian bawahku dengan bed cover berwarna maroon.

Aku tahu ia tengah menyusuri bagaimana mengenasnya keadaanku, atau lebih tepatnya adalah tubuhku yang penuh luka dan lebam. Kembali ia merangkum wajahku dan menyusuri setiap jejak luka yang tertinggal, sekalipun rasanya nyeri namun ada gelenyar aneh yang mengikutinya. Baru kali ini aku dan Richo bersentuhan seintens sekarang. Karena biasanya kami hanya bersemuka dalam diam dan saling melemparkan senyum.

Aku meringis kala ia menyentuh sudut bibirku yang ternyata sobek dan mengeluarkan bau amis, mengehentikan pergerakkan Richo menyusuri kulit wajahku yang tak lagi cantik.

"Jangan mengasihani gue, Ric!" decakku lirih menepis tangannya pelan.

Kini ia beralih mengenggam erat tanganku dan memainkan jempolnya mengusap punggung tanganku, menyalurkan beberapa energi yang kubutuhkan agar bisa kembali menatapnya. Walau hanya dengan sebelah mata.

"Gue gak ngasihani lo, Ra. Gue gak bisa ninggalin lo sendirian dalam keadaan kayak gini."

"Jangan deketin gue, ntar Yoga ngamuk!"

"Gue gak peduli, Ra."

"Tapi gue peduli, Ric!" tegasku. "Cukup gue aja yang ngalamin ini, dan bukan elo."

Sejenak kebisuan menyelimuti kami, aku hanya memandang tangan Richo yang masih memainkan jempolnya di punggung tanganku.

"Ayo kita pergi!"

"Emangnya kita mau pergi ke mana?" tanyaku tanpa mengangkat kepala. "Gak ada tempat buat sembunyi, selama Yoga masih hidup."

Richo memegang daguku pelan dan mengangkatnya pelan. Membuat tatapan kami terkunci. Iris cokelatnya begitu menenangkanku, hingga detakan jantung itu berdegup lantang tanpa permisi ketika bibir Richo menyentuh bibirku.

Kecupan yang berdurasi sepuluh detik, namun efeknya begitu dahsyat bagiku. Ciuman yang lembut dan tak menuntut tapi mengisyaratkan kasih sayang yang tulus membuatku tergugu.

"Richo ...,"

"Aku cinta sama kamu, Laura!"

Apa aku tidak salah dengar? Richo ... mencintaiku? Ya Tuhan! Aku hanya seongok sampah tak berguna, tapi kenapa Engkau mengirimkan lelaki sepertinya untukku. Kebaikan apa yang sudah kulakukan di masa lalu?

"Aku ...," suaraku tertarik lagi ketenggorokan. Bahkan kini kami menanggalkan panggilan elo-gue.

"Ssst ... gak perlu dijawab, aku cuma butuh kamu mau pergi bersamaku?"

"Tapi, a-aku hanyalah ...."

"Sampah yang tak berguna?" Aku bungkam, "semua orang pernah melakukan kesalahan, Ra." Air mataku kembali luruh. Aku mengutuk kehidupanku. Harusnya Engkau petermukan saja diriku dengan Richo, Ya Tuhan. Bukan dengan Yoga. Tanpa perlu aku menjalani kehidupan yang kelam seperti ini.

"Ada yang bilang, kalo bohong itu lebih mudah ketimbang harus jujur. Dan aku gak bisa terus-terusan bohong kalo aku gak cinta sama kamu. Bagiku berbohong itu susah, Ra."

Lagi-lagi aku bungkam.

"Aku cinta kamu apa adanya, bukan ada apanya. Jadi ... plis, ikut aku dan kita akan pergi dari kota sialan ini. Menghilang dari kehidupan yang menjijikkan ini dan kita akan hidup berdua. Hanya ada aku dan kamu!"

Tawaran yang mengiurkan 'kan? Tapi ... Apa aku bisa?

The End
●◎●◎●◎●◎

Surabaya, 13-10-2018
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro