Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#Darkside#

SongFict : Alan Walker - Darkside

✩★✩★✩★✩

Mia pikir orangtuanya akan membawa ia ke tempat wisata yang ada di New York. Tak tahunya ia malah terdampar di sini.

Sudah sejam dirinya berada di salah satu bangsal VVIP ini. Sedari tadi Mia hanya duduk sembari menggerakkan kedua kakinya, tanpa bisa melakukan apapun. Ia bosan.

Mia tahu seharusnya ia tetap tinggal di dalam mobil saja, sembari memainkan tablet-nya. Namun sisi penasaran Mia mengerubunginya tanpa ampun, kemudian memaksa ikut. Meski kedua orangtuanya berat hati menyetujuinya.

Ia hanyalah remaja tanggung dengan tingkat kebosanan yang terlalu cepat melanda. Rasa penasarannya menguap tiba-tiba. Sedikit lesu ia memilih keluar dari ruangan tersebut, dan berjalan santai. Entah kemana tujuan Mia, ia hanya mengandalkan kakinya kemana akan membawanya pergi.

Ini rumah sakit Jiwa.

Sedikit ngeri sebenarnya, beberapa kali berpapasan dengan beberapa orang yang memakai seragam berwana biru laut sebagai tanda mereka salah satu pasien di sini.

Bagaimana kalau salah satu pasien itu menggila? Lalu mengejar dirinya, atau lebih parah menghajarnya dengan brutal.

Lagi-lagi Mia bergidik ngeri.

Jangan sampai ia bertemu dengan salah satu diantara mereka.

Mia sendiri tak ambil pusing, siapa yang ada di sana. Seseorang yang dijenguk oleh kedua orangtuanya. Melanjutkan rasa penasarannya, kaki kecil Mia berjalan menuju ke sebuah taman yang berada di belakang rumah sakit ini.

Beberapa pohon tumbuh dengan rindang, belum lagi barisan tanaman berukuran sepinggang yang sedang bermekaran. Membuat suasana semakin asri dan tenang.

Ada lebih banyak orang berkeliaran di taman ini. Beberapa kali ia menghindar jika berpapasan dengan salah satu di antara mereka.

Langkah Mia terhenti begitu mendengar suara anak kucing yang mengeong dengan kencang. Sedikit menajamkan telinga, Mia mencoba mencari asal suara.

Menyusuri tembok penghalang antara taman dan dunia luar, Mia semakin yakin jika suaranya berasal di sekitar sini.

Astaga! Anak kucing itu terdampar di dahan pohon, tepat di atas tembok terluar bangunan ini. Mia memutar otaknya, bagaimana ia bisa menyelamatkan anak kucing itu.

Celingukan sebentar Mia melihat tumpukan batu bata yang tak terpakai, menggunung hingga setinggi pinggangnya.

"Bersabarlah, aku akan menolongmu." Mia bermonolog sendirian.

Dengan keyakinan penuh, Mia memanjat tembok itu dengan batu bata tersebut sebagai pijakannya. Beberapa kali lututnya tergrlincir saat menapaki dinding tersebut.

Berhasil! Mia berhasil naik ke tembok tersebut. Ia hanya cukup merambat sekitar beberapa senti, agar bisa menggapai anak kucing tersebut.

Mengabaikan sikunya yang terluka akibat gesekan yang tak disengaja tadi, Mia mencoba meraih anak kucing tersebut.

Hampir saja! Mia bisa meraihnya, namun tumpuan kaki kirinya yang tak lagi berpijak di tembok membuatnya oleng.

Ayo sedikit lagi, Mi. Mia menyemangati diri sendiri.

Agaknya keberuntungan tak memihak pada dirinya, ia tak bisa lagi menyeimbangkan tubuhnya. Memejamkan mata, Mia masih mencoba meraih anak kucing tersebut meski ia tahu bahwa ia akan tergelincir ke bawah.

Hingga beberapa detik ia merasakan tubuhnya melayang, tapi tak menyentuh tanah. Dan ... Tak sakit!

Perlahan Mia membuka mata, dan menemukan wajah lelaki dengan sepasang kelereng Biru terang tengah menatap intens ke arah dirinya.

Tatapan si mata Biru sungguh menghipnotis Mia, memaksanya ikut tergulung dalam kedalaman samudera. Mengulungnya perlahan, namun tak mampu Mia melepaskan diri.

Mia tak sanggup menatap mata biru laut itu. Jantungnya sungguh tak bisa berkompromi.

"Kamu cantik!" celutukan lelaki itu menyadarkan Mia.

Astaga! Ia berada digendongan seorang pria.

"Eh, bisa turunkan aku?" Pertanyaan Mia mendapat kekehan kecil si pemilik lengan kekar tersebut.

"Tentu." Pria menurunkan tubuh kecil Mia, dengan memijakkan kaki Mia perlahan.

Mia tak menampik jika ia terpesona dengan wajah rupawan sang penolongnya ini.

Raut semringah Mia berubah perlahan mendapati setelan biru muda melekat pas di badan pria tersebut.

"Hai," sapanya dengan hangat, membuat Mia mengalihkan pandangannya kembali pada manik biru terangnya.

"Hai juga," Mia menyapa balik seraya memeluk erat anak kucing tersebut. Ada nada bergetar dan ketakutan samar terdengar meski suaranya selembut beledu Mia mengucapkannya.

Ia khawatir, jika pria ini tiba-tiba kambuh dan mengamuk. Apalagi drngan tinggi seratus dua puluh sentimeter yang ia punya, mana bisa Mia bisa menanganinya. Kabur pun mungkin tak bisa.

Untuk ukuran orang Asia, tinggi badan seperti itu bagi Mia yang berumur lima belas tahun, sudah dikatakan tinggi. Karena rata-rata mereka bisa lebih pendek.

"Namaku ... Rhys." Lelaki itu menyodorkan tangan kanannya.

Memandang sejenak ke wajah semringan Rhys, Mia sedikit ketakutan meraih tangan kekar tersebut dan mengoyangkannya sejenak.

"Mia."

Senyum berkembang pesat di kedua sudut bibir Rhys, begitu Mia menyebutkan namanya.

"Maukah kau mengobrol denganku?"

Mia menelisik wajah Rhys. Tak ada tanda-tanda bahwa pria itu sedang sakit jiwa.

Meski memakai seragam pasien, bukan berarti tampilan Rhys berantakan. Rambutnya bahkan tersisir rapi dan bulu-bulu halus tumbuh membentuk jambang disekitar rahangnya yang terlihat kokoh.

Siapa yang percaya jika Rhys adalah pasien rumah sakit jiwa. Terlalu tampan untuk ukuran penghuni rumah sakit ini.

"Tentu." Putus Mia akhirnya, yang kini mendahului Rhys berjalan menuju salah satu bangku taman berbahan besi.

Rhys memandangi Mia yang tengah mengelus bulu-bulu anak kucing yang ia selamatkan tadi.

"Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Oh, itu. Ayah dan ibu sedang menjenguk seseorang, tapi aku terlalu bosan di ruangan itu. Makanya aku pergi."

Rhys mengamati bagaimana gadis ini berbicara, entah mengapa ia tak bisa mengalihkan matanya dari wajah mungil remaja ini. Ditunjang dengan bibir ranumnya yang terlihat menggemasakan kala mengerucut kemudian berganti mencebik, membuat Rhys ingin menciumnya.

Rhys tersentak dengan lamunannya. Mencium remaja ini? Bagaimana ia bisa berpikir seperti itu? Ia bahkan baru setengah jam yang lalu mengenalnya.

"Terima kasih sudah menolongku, Rhys," ucap Mia tulus. "Kalau bukan karena kakak, mungkin aku sudah tergeletak di sana tadi."

"Hanya demi anak kucing, kau rela melukai diri sendiri. Kau tahu sendiri ada gunungan batu bata di sana, bagaimana kalau mengenai kepalamu? Ditambah dengan koridor yang sepi, siapa yang menjamin seseorang menemukan secepar itu?"

Mia terkesiap dengan kalimat panjang yang dilontarkan Rhys, yang sayangnya juga bernada khawatir.

"Anak kucing juga makhluk hidup, Rhys. Dia juga butuh pertolongan, dia juga ingin hidup. Bukan diabaikan seperti itu."

Rhys terdiam mendengar penjelasan singkat Mia. "Kau benar! Tapi kenapa para manusia itu juga mengabaikan para manusia lainnya."

"Mungkin bagi sebagian orang, bersikap individual lebih baik. Dari pada mengurusi urusan orang lain. Tak semua orang bisa menerima kebaikan sesamanya. Ego mereka melarang menerima hal itu."

"Apa orang sepertiku begitu mudah diabaikan?"

Mia mengehentikan aktivitasnya, dan memandang lurus ke arah Rhys.

"Oh, Rhys. Terkutuklah mereka yang mengabaikan dirimu. Tak ada yang salah dengan dirimu, hanya saja kau berada ditempat ini dan terdaftar sebagi pasien disini. Mungkin bagi kebanyakan orang, penghuni rumah sakit ini adalah orang-orang berbahaya.

Padahal mereka tak tahu kisah apa yang melatari keberadaan mereka di sini. Kau lihat wanita di sana?" Tunjuk Mia pada seorang wanita yang sedang berputar-putar seraya mengendong sebuah boneka.

"Karena kehilangan tak pernah mudah, Rhys. Mungkin saja wanita itu kehilangan anaknya, hingga membuatnya depresi."

Rhys hanya terdiam mencerna omongan gadis remaja di sampingnya ini. Keadaan tiba-tiba saja hening. Hanya beberapa kicauan burung yang terdengar, juga teriakan tak jelas dari beberapa pasien yang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk.

"Bisa pegang sebentar?" Pinta Mia tanpa persetujuan Rhys sudah mengalihkan si anak kucing ke pangkuan Rhys.

Mia mengambil tas ransel kecilnya, dan mengaduknya sebentar. "Ah, dapat!" pekik Mia melambaikan sebuah plester antiseptik, lalu berpindah tempat duduk.

Lagi-lagi tanpa persetujuan Rhys, Mia meraih tangan kanannya lalu menyobek pembungkus plester tersebut dan menempelkannya pada siku Rhys.

"Sakit ... sakit pergilah." Rhys terkesiap begitu Mia mengecup plester tersebut setelah mengucapkan hal itu.

"Terima kasih. Sudah menolongku tadi." Kali ini Mia benar-benar tersenyum tulus.

Mia kembali mengaduk isi tas ranselnya. "Kau mau?" Menyodorkan dua bungkus permen lolipop.

"Bolehkah?" tanya Rhys melirik dua tangkai permen lolipop di tangan Mia.

"Tentu! Aku masih punya persedian banyak." Mia menunjukan isi tas ranselnya yang berisi segala jenis permen, tablet dan sisir.

Tak ada bedak atau botol parfum mahal, hanya colonge beraroma bayi. Baunya tercium samar ketika Rhys menangkap tubuh Mia tadi, tapi anehnya justru membuat dirinya tenang.

"Ini." Mia memberikan sebungkus plester antiseptik di telapak tangab Rhys, kemudian beranjak dari dari duduknya. "Aku pulang dulu, Rhys."

Kali ini Rhys hanya duduk terpaku, ketika kecupan Mia mendarat di rahangnya dan hanpir menyentuh sudut bibirnya. Membuat tubuh pria berumur dua puluh lima itu menegang, seolah tersengat oleh listrik bertegangan rendah.

"Terima kasih menolongku. Bye, Rhys!"

Rhys mengerjabkan matanya, lalu menyadari bahwa Mia sudah tak berada di sampingnya lagi.

Rhy menatap dua bungkus permen lolipop juga plester antiseptuk ditelapak tangannya, juga anak kucing yang Mia selamatkan.

Elusan lembut Rhys membuat anak kucing itu tertidur dipangkuan Rhys. Sejurus kemudian senyum Rhys terbit dikedua sudut bibir lelaki itu.

"Jadi ... siapa namamu? Kalian milikku sekarang!" Rhys menyeringai dengan tatapan tajam penuh misteri.

✩★✩★✩★✩★✩★✩

Surabaya, 20-12-2018
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro