# Berhenti Berharap #
Songfic by:
Berhenti Berharap — Nabila
🌾🌾🌾🌾🌾
"Aku pikir dengan ngasih Abang waktu lebih banyak, Abang bakalan cinta sama aku. Nyatanya semua itu cuma ada di angan-anganku aja, hanya harapan kosong yang menguap ditiup angin...," Lani meraih tangan kedua tangan Ibra. Memaksakan diri untuk tetap tersenyum meski hatinya nyeri, ia menatap nanar pada cincin pertunangan yang tersemat di jari manis Ibra.
Empat tahun lamanya mengikat diri pada tali pertunangan, Ibra tak kunjung menaikan level hubungan mereka ke jenjang pernikahan.
Dan untuk kesekian kalinya, Lani harus menelan kekecewaan jika Ibra kembali mengucapkan masih butuh persiapan untuk menikah dan ingin mengenal lebih dekat.
Tidak cukupkah selama lima belas tahun untuk saling mengenal? Mereka bertetangga sebelah rumah, dari dia berumur tujuh tahun hingga dua puluh dua tahun. Mereka bertumbuh bersama meski selisih tujuh tahun dari Ibra.
Lani pikir, durasi yang lama saling mengenal membuat cintanya bisa memeluk hati Ibra. Tapi semua itu hanyalah harapan yang tak bertepi, karena pada kenyataannya Ibra sama sekali tidak mencintainya.
Dadanya kian sakit, seperti ada yang merematnya kuat-kuat hingga ia sendiri kesulitan untuk bernapas. Rasanya benar-benar menyesakkan.
Kembali ditampar oleh kenyataan, Lani menangis pilu dalam dadanya. Menyadari satu hal terpenting dari seluruh hidupnya, jika ia sama sekali tidak pernah dicintai. Baik oleh Kakaknya Galang, tunangannya Ibra pun dengan Papanya sendiri. Semua menganggap jika Lani adalah beban, dan sebuah beban haruslah segera di singkirkan. Jadi...sebelum itu terjadi akan lebih baik Lani pergi terlebih dahulu.
Kini hal yang paling benar adalah pergi menjauh dari semua orang yang turut andil memberinya luka.
Berusaha tegar, Lani tidak ingin menunjukan sisi terlemahnya setelah ia dengan tidak tahu dirinya merecoki hidup Ibra.
"Aku bebasin Bang Ibra dari hubungan ini, karena aku tau kalo selama ini Abang tertekan sama semuanya. Maaf...karena aku lama nyadarinnya kalo Abang nggak cinta sama aku. Jadi...ayo kita akhiri ini." Perlahan tapi pasti, Lani meraih cincin yang dipakai Ibra tanpa melepaskan genggamannya.
Meski hatinya mencelus dan porak-poranda, ia sudah mantap untuk keputusannya kali ini.
Sudah terlalu lama ia bertahan dengan dalih takut kehilangan, sedangkan pria yang ia cintai sama sekali tak mengharapkan dirinya untuk bersanding. Ibra hanya menyanyanginya sebagai adik, bukan mencintainya sebagai seorang wanita.
Ia bukan Wulan. Wanita cerdas yang entah berapa lama, telah menyita waktu dan pikiran Ibra. Wanita sepadan yang bersanding dengan Ibra, sedang dirinya hanyalah seorang guru TK minim pengalaman seperti Wulan yang seorang Pengacara.
Berkali-kali menyangkal, tapi tetap berujung hatinya yang tersakiti. Berharap jika yang Ibra lakukan saat itu adalah pengalihan dari rasa jenuh atas hubungan mereka yang terasa kian hambar-atau memang hambar.
"Lan...," Suara Ibra tersekat mendengar penuturan sang tunangan. Ia merasa jika jantungnya anjlok ke dasar perut dan berkumpul dengan usus dua belas jarinya, membuat gemuruh hebat dalam dadanya.
"Maaf...aku nggak bisa seperti Mbak Wulan dan nggak akan pernah bisa, jadi aku pikir dia yang lebih cocok buat Abang. Makasih karena udah mau bertunangan sama aku, meski sering kali Abang jengkel sama keberadaanku. Tapi aku bahagia, Bang. Bahagia banget, karena tiga tahun ini aku bisa bersama orang yang aku cintai selama beberapa tahun belakangan. Maaf, udah ngerebut kebahagian Abang. Semoga Abang bahgia dengannya." Dengan kekuatan yang tersisa Lani berjinjit dan mencium tepian bibir Ibra.
Meski hanya sebuah kecupan, tapi bagi Lani itu adalah sebuah kecupan penuh emosional. Dalam kecupan itu pula Lani menyalurkan seluruh emosinya yang bercampur aduk, hingga tetesan bening itu jatuh ketika ia memejamkan mata kala mengecup bibir Ibra.
"Restuku menyertaimu, Bang, jemputlah bahagiamu. " Tanpa mempedulikan panggilan Mama Ibra di belakang sana, Lani dengan gemetaran memasuki mobil dan memacunya dengan kecepatan sedang. Isi otaknya semerawut, berhamburan entah kemana hingga dibuat linglung.
Menepikan mobilnya di pinggir jalan, Lani menelungkupkan wajah di atas setir dan menangis sejadi-jadinya seraya memukuli dadanya yang sakit.
Hatinya sakit, bahkan teramat sakit. Jadi begini rasanya mencintai seseorang secara sepihak?
Setengah jam berdiam diri dengan menangis, Lani menghapus kasar jejak air matanya. Ia sudah yakin dengan keputusan yang diambilnya, walau sejenak tadi ia menyesal telah memutuskan hubungan pertunangannya secara sepihak.
Ia tak bisa memungkiri hatinya masih tertinggal di sini, dan ia sudah memantapkan hati untuk pergi meninggalkan kota ini dan menjauhi apa yang sudah membuat hatinya sakit.
Menegok ke arah jok belakangnya, Lani menatap dua koper yang berisi pakaian dan surat-surat penting yang akan membantunya memulai hidup baru di kota lain.
Suatu hari nanti ia akan kembali sebagai Kirana Ailani Damayanti yang baru.
Setelah yakin segalanya membaik, Lani memutar stop kontak dan menjalankan mobilnya menjauhi ibu kota.
Entah ke mana ia akan tinggal nanti, saat ini di pikiran Lani adalah menjauh dari kesakitannya, walau ada sedikit keraguan yang menyeruak jika ia bisa hidup sendirian tanpa sanak saudara atau siapapun yang mengenalnya.
Ia hanya ingin menjadi Kirana, bukan lagi Lani yang penuh luka. Ia akan menjadi manusia yang bahagia.
"Maafin Lani, Pa, Bang Galang. Lani cuma ingin bahagia. Suatu saat nanti, Lani bakalan pulang tanpa membawa lara di hati."
Sesekali air mata masih mengalir dari pelupuk mata, sedikit mengaburkan pandangannya karena terhalau cairan bening tersebut. Meski berat ia harus melakukannya.
Tiba-tiba saja tubuh Lani terlonjak kaget, menyadari suara klakson nyaring dari arah berlawanan. Membuat Lani membanting setirnya ke kiri jalan yang di sambut dengan hantaman dari kendaraan besar yang sama-sama melaju kencang.
Mobil Brio Lani terpelanting ke samping jalan dan berguling-guling menapaki jalur jurang yang ada di sisi kiri jalan dan terhenti tepat di dasar jurang terjal.
Suara gemuruh dan decitan ban lebih mendominasi sisa malam ini, juga suara-suara besi saling bertubrukan.
Kaki Lani kebas, atau mungkin seluruh tubuhnya mati rasa. Penglihatannya memburam dengan kepala yang berdenging menyakitkan. Tubuhnya benar-benar tidak bisa digerakan sama sekali.
Hanya langit menghitam bertabur bintang menyambut penglihatan buram Lani. Samar-samar ia mendengar suara khas burung hantu dan tongeret saling bersahutan disertai dengan gemericik air yang juga membasahi tubuhnya.
Rasa sakit seperti menghancurkan seluruh tulang belulangnya, membuat Lani hanya bisa pasrah tubuhnya bergerak mengikuti arus sungai.
"Papa, Bang Galang, Bang Ibra...Lani sayang kalian. "
🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾
Surabaya, 8 Nopember 2020
-Dean Akhmad- (18.39)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro