#Aku Memilih Setia#
SongFict : Fatin - Aku Memilih Setia
✩★✩★✩★✩★✩
"Swike?!" Mia terkejut, jantungnya jumpalitan. Apalagi begitu bersemuka dengan sosok pria jangkung bermata sipit tengah berdiri di depan pintu. Gadis berponi sealis itu membulatkan netra hitamnya yang terhalang oleh kacamata minus empat. Mencoba menangkap kejelasan sosok tersebut dengan cermat.
Demi apa pun dimuka bumi ini. Kenapa dia kembali disaat seperti ini? Dalam pikiran Mia berharap bahwa 'swike' tak kan lagi menguarkan aroma kebaperan yang sudah ia tinggalkan lima tahun silam.
"Hai, Unyil." sapanya pelan, membuat Mia mau tak mau mendongakkan kepala. Memandang wajah pria yang meninggalkan jejak segaris di matanya kala ia tersenyum.
"Swi ... eh, maaf. Hai juga pak Satrio." sapa balik Mia yang langsung berdiri dari tempat duduknya.
Mia menundukkan sedikit kepalanya, mencoba menutupi rasa gugup yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Namun tidak dengan Satrio. Lagi-lagi pria itu hanya tersenyum semringah, melihat kekikukkan Mia saat menyapanya kembali. Ia tahu julukan 'swike' yang disematkan masih diingat jelas oleh wanita bertubuh mungil ini. Hanya dia yang berani memanggilnya seperti nama masakan Cina yang berbahan kaki kodok.
"Aku pikir kamu lupa, Nyil." ucap Satrio menepuk puncak kepala Mia yang masih berdiri kaku. Tak berkutik.
"Mana mungkin aku lupa," decak Mia sebal. Mencoba menepis tangan Satrio yang masih bertengger di atas kepalanya.
Satrio hanya tertawa renyah melihat wajah sebal Mia yang kembali duduk di tempatnya. Tatapan horor tengah dilemparkan beberapa karyawannya ketika melihat keakraban yang terjalin antara mereka berdua.
Tak ada obrolan yang terjadi. Satrio berdeham pelan dan memilih untuk memasuki ruangannya. Dia menyadari kekakuan Mia terhadap dirinya. Lima tahun, kepergiannya mampu membuat keakraban yang dulu seakan-akan sirna tak berbekas.
Hanya sepotong kalimat itu lah yang meluncur bebas dari bibir merah Mia. Satrio mendengus, kala menyadari waktu lima tahun itu telah membumi hanguskan Mia yang dulu. Teman masa kecil, cinta pertama, juga cinta tak sampainya.
Memasuki ruangannya Satrio hanya mampu memandang Mia yang sedang asik bercengkrama dengan karyawan lainnya. Ruangan kerja yang terbuat dari kaca hitam memudahkan dia mengawasi kinerja karyawannya dan tak terkecuali melihat Mia.
Kemarin hari pertama dia masuk kantor barunya setelah dimutasi, dia benar-benar tak percaya kalau dia akan bertemu lagi dengan gadisnya. Ah ... bukan, dia sudah menjadi wanita. Menelisik dari wajahnya yang tak banyak perubahan, dan tetap menjadi gadisnya.
Satrio percaya ini bukan hanya sebuah kebetulan belaka, tapi takdir yang sudah ditentukan untuknya. Maka dari itu, sekali lagi. Dia akan kembali memperjuangkan cinta petamanya dan mungkin juga cinta terakhir yang dia punya.
Senyum tersungging di wajah Satrio, sekali lagi ia akan berjuang. Kali ini tekadnya sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.
Tapi, tidak dengan Mia. Dia merasa bahwa takdir mempermainkan hidupnya. Bertahun-tahun dia menguatkan diri untuk tidak lagi baper dengan statusnya yang sebagai sahabat. Ugh ... ingin rasanya dia mengamuk dan menjambak pria berdarah campuran Cina-Jawa itu, jika saja hanya ada mereka berdua di sini. Mia menekan emosinya. Menekan segala keingintahuannya kenapa Satrio ada di sini.
.
.
.
.
"Makan siang bareng yuk?" Ajakan Satrio membuat Mia mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas.
"Aku masih sibuk, Sat!" jawab Mia kembali menekuri pekerjaannya, tanpa embel-embel 'pak'.
Tanpa banyak bicara, Satrio merenggut bulpoin yang dipakai Mia. Membuat pemilik sahnya hanya bisa pasrah. Mata hitamnya mengikuti Satrio yang tengah merapikan berkas-berkas yang tercecer di atas mejanya. Dan, sekali lagi ia hanya menurut ketika Satrio menariknya keluar dengan genggaman erat melingkupi tangan mungilnya.
Beruntung tak banyak orang yang tersisa di kantor, berterima kasihlah pada jam makam siang. Karena itu benar-benar membuat Mia bernapas lega. Ia tak ingin menjadi bahan gosip di kantornya sendiri, bertahun-tahun menjadi seseorang yang invisible sedikit membuat ia menjadai pribadi yang sedikit tertutup.
"Kamu makin gendut ya!"
Sialan sekali si sipit ini, lima tahun tak bertemu ia hanya bisa mem-bully dirinya. Pikir Mia mencebikkan bibirnya.
"Dasar sipit!" guman Mia pelan, membuat pemilik mobil ini menoleh cepat.
"Hei, aku denger lho."
"Lima tahun menghilang dan baru sekarang kamu kembali lagi?" pekik Mia Tak terima. "Sialan kamu, Sat!" Dengan brutal ia memukuli bahu Satrio yang sedang mengemudi.
Satrio mengadu kesakitan dengan kebrutalan Mia barusan, "Nyil, udah dong!" Satria menepihkan mobilnya ke pinggir trotoar, diraihnya kedua tangan Mia yang masih mengepal.
Mia berontak dengan mencoba melepaskan cengkaraman Satrio, "Lepas! Aku masih marah sama kamu!" pekiknya yang kemudian menyerah dengan usahanya.
"Maafkan aku, Nyil!" Satrio mengahapus jarak diantara mereka, memeluk Mia dengan erat.
"Kamu jahat sama aku, aku benci sama kamu. Lima tahun lalu kamu tiba-tiba pergi tanpa ngabarin aku, hanya abangmu yang bilang kalo kamu nerusin kuliah di Jogja. Terus, kamu anggep apa aku ini? Dan sekarang kamu tiba-tiba ada di sini" Teriakan Mia disertai dengan isak tangis di dada Satrio.
Satrio tahu kesalahannya fatal, yang bisa ia lakukan hanya diam dan memeluk Mia sembari menciumi pucuk kepala Mia. Ia tak bisa menyangkal, karena kenyataannya memang seperti itu.
Butuh waktu lima belas menit untuk Mia berhenti menangis. Ia mengendurkan pelukannya dan Satrio hanya bisa menghapus sisa-sisa air mata yang membekas di pipi gembilnya Mia.
"Aku tahu, aku salah. Ninggalin kamu adalah hal terberat buatku, tapi sejujurnya aku pergi karena aku gak sanggup jika status kita hanya sebatas sahabat ... sekarang aku mencoba buat memantaskan diriku buat kamu, aku sayang sama kamu, Nyil. Aku cinta sama kamu." Pengakuan Satrio semakin membuat Mia kembali menangis sesengukkan.
Betapa bodohnya ia pergi meninggalkan Mia tanpa tahu perasaan masing-masing. Satrio merasa bahwa waktu mencundangi mereka, tapi ia sadar bahwa ini juga kesalahannya.
"Aku tuh gak bisa kamu giniin!" Mia sungguh merasa menjadi wanita yang jahat sekarang. Dia tidak memungkiri bahwa hatinya masih terpaut dengan pria di samping ini. Hanya saja, keadaannya sudah berbeda sekarang. Tak sama seperti dulu.
"Kamu tahu kalo aku tuh juga cinta sama kamu, tapi kamu pergi ninggalin aku."
Ada perasaan berbunga-bunga di hatinya, nyatanya perasaan yang selama ini ia tahan berbuah manis. Mia juga mencintainya.
"Kita bisa memperbaiki segalanya, Nyil. Aku janji gak akan ninggalin kamu lagi, aku akan di sini terus. Dan kita akan ...," Gelengan kepala Mia menghentikan ucapan Satrio, membuat kerutan dahi di wajah asianya.
"Kenapa? Aku janji gak bakalan ninggalin kamu lagi."
Mia kembali menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"
Satrio menatap lekat Mia yang masih sesengukkan, logikanya berakhir pada satu pemikiran yang sungguh tak sanggup dia bayangkan.
"Mia ...."
Sedangkan Mia sendiri hanya mentutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan kembali menangis.
"Kamu udah gak cinta lagi sama aku?" tanya Satrio dengan kegugupan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. Mungkin kah Mia sudah tak mencintainya lagi.
"Kumohon, bukan itu alasannya Mia." Batin Satrio yang masih memandang Mia intens.
"Aku udah nikah, Sat."
Sebaris kata itu seolah-olah membuat jantung Satrio copot dari rongga dadanya, udara yang tiba-tiba menipis membuat dadanya sesak seketika. Dan mendadak kepalanya pening seakan-akan dihantam oleh godam dengan kekuatan penuh.
Dan pernyataan itu sungguh diluar ekspetasi Satrio, hatinya benar-benar merasa sakit. Inikah balasan akan keputusan dangkalnya lima tahun yang lalu?
Ia terlambat.
"Sebesar apapun cintamu, aku gak bisa ninggalin suamiku. Dia satu-satunya pria yang menerimaku apa adanya, dan aku bukan wanita egois yang menginginkanmu tapi nggak bisa bahagiain kamu. Maafkan aku ..., satu hal yang pasti kalo aku juga cinta sama kamu. Tapi maaf, Sat. Aku memilih setia!"
The end
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Inspired by : Aku Memilih Setia (Fathin Shidqia L.)
Surabaya, 12-10-2018
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro