Aku (Bukan) Pelakor
Kinan tersenyum ramah saat mendapati seorang anak laki-laki yang ia taksir berkisar antara lima sampai enam tahun itu, tengah serius berjongkok disalah satu koridor rak supermarket seraya memandangi mainan mobil-mobil bermerk ternama.
Entah mendapat dorongan dari mana, ia teramat ingin sekali mendekati bocah lelaki itu dan menyapanya.
"Hai ... adik kecil." Sapaan lembut Kinan mendapat respon, sejenak ia menatap Kinan yang terpana akan wajah bocah tersebut lalu kemudian kembali menatap barisan mobil-mobilan kecil yang terbuat dari besi tersebut.
Kinan terpaku dalam diam, walau sekilas ia tetap meyakini jika wajah anak lelaki ini mirip dengan suaminya, Adi. Bahkan sorot mata saat dia mencuri lirikan pada kinan, hingga detail pahatan wajahnya hampir menyerupai Adi.
Jantungnya tiba-tiba saja menghentak kuat, lamat-lamat ia menatap kembali anak lelaki itu. Menahan getaran yang tiba-tiba merambat cepat, Kinan memberanikan diri untuk menyentuh pundak sang bocah.
"Kamu kenapa sendirian? Di mana orangtuamu?" tanya Kinan setelah menemukan suaranya yang sempat menghilang untuk sesaat tadi.
"Ehm."
"Kemana mama dan papamu?" Kembali Kinan melontarkan pertanyaannya dan ikut duduk berjongkok di samping Kanu.
"Mama ... ada. Sedang belanja. Kalo papa ... Kanu nggak punya papa." Jawaban enteng tanpa menoleh sedikitpun ke arah Kinan, justru membuat hati Kinan tiba-tiba nyeri.
Nggak punya papa?
Kenapa ia yang merasakan nyeri dan perih mendengar penyataan enteng tersebut, bahkan Kanu seperti tak ada beban sama sekali dalam mengatakan hal itu. Untuk ukuran anak seumuran Kanu mengerti bahwa ia tak punya papa.
Ya Allah! Kenapa rasanya sesak sekali.
"Kanu kok sendirian di sini? Ntar mamanya nyariin lho."
Kanu mengalihkan pandangannya, menatap tepat ke netra Kinan yang justru membuat jantung wanita berhijab itu berdetak semakin kencang. Tatapan Kanu benar-benar menyerupai milik suaminya
"Ka-Kanu ...."
"Mama tau kok aku di sini. Aku udah ijin." Kanu tersenyum cerah hingga menampakkan giginya.
Perlahan Kinan menyentuh puncak kepala Kanu dan membelainya perlahan. Tiba-tiba saja perasaan bersalah itu menyergap relung hatinya. Entah karena apa, karena perasaan itu menghentaknya kuat.
"Kanu suka banget ya sama hot wheels?" Bocah itu mengangguk antusias mendapati pertanyaan kinan.
"Suka banget tante."
Kinan tak bisa berhenti menyentuh surai lembut milik Kanu, bahkan tekstur rambut anak laki-laki ini menyerupai suaminya.
Meski sudah lama ia tak lagi menyentuh rambut tebal suaminya, tapi terasa lembut terasa di tangannya.
Sebulan
Dua bulan
Tiga bulan
Entah berapa bulan Kinan melewatkan hal tersebut. Adi tak lagi mau bermanja-manja dengannya seperti awal pernikahan mereka. Adi yang sekarang berganti menjadi lelaki yang menyukai pekerjaannya hingga tengah malam, apalagi ketika tragedi dan vonis itu terjadi semakin membuat hubungan mereka mendingin.
Kinan tahu bahwa mencintai suami orang adalah sebuah kesalahan, tapi rasa itu tak pernah bisa ia hilangkan serta-merta dari dalam sana. Semua menjadi membesar kala Adi juga mengutarakan hal yang sama jika dia mencintainya.
Bahagia? Tentu saja, siapa yang tak bahagia jika ternyata perasaannya bersambut. Meski ia tahu jika kehadirannya menjadi duri dalam rumah tangga Adi dengan Maiza. Sempat ingin mundur, tapi ibu Adi selalu mendorong dan meyakinkan jika Maiza akan menerima kehadirannya.
Awalnya memang terasa indah, tapi Kinan melupakan satu fakta jika kebahagiaannya berdiri di atas duka Maiza. Istri pertama Adi.
Mereka lupa jika menyakiti perasaan sang istri pertama, merupakan dosa besar bagi pelak poligami. Kinan tahu jika ia sudah mengambil Adi secara paksa, tapi yang terlihat saat itu Maiza terlihat menerima dan bersikap biasa saja dengan kehadirannya.
Hingga perceraian antara Maiza dan Adi terjadi, ia baru mengetahui kenapa semudah itu Maiza menerima kehadirannya.
Anak.
Adi menginginkan seorang anak, tapi ibunya lebih menginginkannya lagi. Bahkan tuduhan mandul membuat Maiza tak bisa membela dirinya sendiri. Dan Kinan ... ia merasa di atas awang, karena bisa memberikan keturunan bagi Adi dan keluarganya. Karena saat perceraian itu terjadi, Kinan sedang mengandung empat bulan.
Sayangnya Kinan lupa jika hukuman selalu ada bagi siapa saja yang berusaha mengambil milik orang lain, tak terkecuali dirinya. Di hari yang sama saat ketuk palu memberikan putusan perceraian Adi, ia juga mengalami kehilangan. Kinan kehilangan bayinya karena tertabrak kendaraan saat akan menyebrang. Padahal Adi sudah melarangnya untuk menyebrang, tapi ia tetap kekeuh mengingkan manisan mangga yang berjualan di seberang jalan.
Tak hanya itu saja, kinan harus rela rahimnya di angkat karena pendarahan hebat yang menimpahnya. Mengakibatkan ia tak bisa hamil kembali.
Jadi inilah karmanya, karena terlalu menuruti kehendak hatinya tapi lupa akan hati lainnya yang terluka atas perlakuannya.
Semenjak saat itu juga, hubungannya dengan Adi mendingi. Walau suaminya itu masih memberi perhatian, tapi Kinan tak buta jika Adi masih mencintai Maiza. Wanita yang sudah diceraikannya demi dirinya yang mandul.
Ah, kata-kata itu sekarang begitu menusuk di telinga dan hati Kinan. Bagaimana tidak, kini ia seoalh berada di dalam keadaan Maiza dulu. Dirinya yang mandul, ibu mertua yang selalu mendesak Adi supaya menikah lagi agar diberi keturunan.
Kini hidupnya tak lagi sama. Cap wanita mandul melekat dalam dirinya, membuat Kinan tak mampu lagi menyombongkan diri.
Suatu saat kamu yang akan berada di posisiku sekarang.
Benar saja, kini ia merasakan posisi seperti Maiza yang tak mampu berbuat apa-apa lagi.
"Tante nggak pulang?" Pertanyaan Kamu membuat Kinan tersadar dari lamunannya. Sebisa mungkin ia tersenyum.
"Iya habis ini. Tante masih pengen sama Kanu. Boleh, kan?" Kanu hanya mengangguk, kemudian kembali memusatkan perhatiannya ke jejeran mobil-mobilam tersebut tersusun rapi.
Kinan kembali membelai rambut Kanu. Kembali perasaan bahagia itu membuncah di dadanya. Andai dulu ia meniruti perkataan Adi, mungkin anaknya juga akan sebesar Kanu.
"Kinan ... mas cariin dari tadi." Sebuah suara kembali menginterupsi kegiatan Kinan yang sedari tadi hanya memandangi wajah Kanu.
"Mas Adi."
"Kamu ngapain jongkok di situ?"
"Sini, Mas. Aku kenalin sama Kanu." Adi jelas mengernyit bingung.
Kinan sudah berdiri dan menghampiri Kanu yang masih setia berjongkok, sembari memindai satu persatu mobil kecil tersebut.
"Kanu ... kenalin ini suaminya tante, Om Adi."
Sama halnya dengan reaksi Kinan, reaki Adi pun tak jauh berbeda kala netra Kanu menatap lekat ke arah Adi.
"Maiza." Lirih Adi begitu menyadari jika wajah Kanu mengingatkan dirinya akan sosok istri yang ia ceraikan.
Kinan jelas mendengar lirihan Adi, membuat hatinya semakin sakit. Suaminya masih mencintai istri pertama yang sudah dia ceraikan.
"Halo, Om," sapa Kanu yang akhirnya berdiri dan mengambil salah satu mobil-mobilan yang ia pindai sedari tadi.
"Kanu ... kamu udah selesai, Mas?" Seruan sekaligus pertanyaan dari sebuah suara membuat Adi dan Kinan membeku seketika.
Apalagi Adi. Ia jelas mengingat betul siap pemilik suara tersebut, sang pemilik hatinya juga.
"Maiza ..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro