Purwarupa Abadi
Dunia luar, langit merah dengan kabut pekat serta udara yang tak bisa diterima tubuh mana pun. Di luar stasiun sana, tak memungkinkan untuk satu orang makhluk berakal pun hidup. Nidan namanya, sebuah planet koloni tempat diriku tinggal.
Aku mengenakan set pakaian pelindung. Di wajahku terpasang masker udara yang dihubungkan dengan tangki udara yang kugendong di punggung. Aku hendak pergi ke luar Stasiun Penelitian Nidan dan melakukan observasi.
"Zhu melapor. Aku akan memeriksa area luar sekarang."
Aku menggantung hidup dari bekerja sebagai peneliti. Nidan, tempatku tinggal memiliki atmosfer dengan udara yang tak bisa dihirup, atau dengan kata lain beracun. Sehingga aku harus pergi keluar dengan baju pelindung plus masker udara. Meski terdengar mematikan, koloni multiras dapat membangun sebuah konstruksi stasiun penelitian. Tujuan proyek yang aku lakukan saat ini adalah menemukan daerah dekat stasiun yang dapat dibangun koloni.
"Laporan diterima. Berhati-hatilah, Anak Muda."
Aku berada di ruangan kecil dengan sistem kedap udara. Aku menekan tombol pintu keluar. Seketika pintu itu terbuka, lalu aku pergi ke area luar stasiun. Melihat bagaimana langit asli Nidan.
"Wah, Ini terlihat gila!"
Aku menghentikan langkah sekejap untuk menatap langit indah berwarna kemerahan. Sangat berbeda rasanya ketimbang melihatnya dari jendela stasiun.
"Ingat, waktumu tidak banyak, Nak. Jangan jauh-jauh, atau kau akan kehabisan udara."
Aku mulai berjalan untuk memeriksa keadaan sekitar. Terus berjalan sembari melihat kiri-kanan. Ada beberapa hewan berukuran kecil yang kulihat, mungkin mereka bisa menghirup udara atau mungkin makhluk anaerob. Sangat menarik bisa melihat permukaan Planet Nidan secara langsung, bukan melalui teleskop pantau.
Aku pun berjalan lebih jauh untuk melihat lebih banyak. Namun, semua rasa senang berubah menjadi rasa khawatir ketika aku berjalan terlalu jauh. Yang kulihat di sekitar hanyalah dataran dengan tanah berwarna oranye. Kabut sekitar pun membuat jarak pandang menjadi pendek. Tak ada yang lain yang bisa aku kenali. Apakah aku tersesat?
Aku menekan tombol di pergelangan tanganku. Benar, aku sangat jauh dari stasiun. Aku segera berlari balik sebab aku tidak punya waktu lebih banyak lagi.
Alat proyektor holografik menampilkan sebuah layar bertuliskan "udara hampir habis", membuatku panik. Aku berlari semakin kencang, tetapi itu malah membuatku menghabiskan lebih banyak udara.
"Zhu kepada stasiun. Masuk. Aku hampir kehabisan udara. Ulangi, aku hampir kehabisan udara."
Sial, mereka tidak menerima pesan yang kukirimkan.
Tubuhku semakin lemas dan lariku semakin melambat. Samar-samar kulihat tujuanku semakin dekat dan aku tidak bisa berhenti begitu saja. Aku harus berusaha lebih kuat lagi.
Pintu masuk stasiun sudah terlihat. Tetapi kakiku semakin lemas dan dadaku semakin sesak. Aku tak bisa bernafas lagi. Langkah kakiku terhenti disertai batuk-batuk dan rasa sakit di dada. Akhirnya tubuhku ambruk di atas tanah.
"Stasiun kepada Zhu. Masuk. Kami akan segera ke lokasimu."
Jangankan memberi respons, untuk mengucap satu huruf saja aku sudah tak sanggup. Siapapun segera tolong aku.
"Nak?"
Aku mencoba membalas ucapan. Setidaknya ini menjadi kata-kata terakhirku sebelum aku tewas. "Indah."
"Nak, tolong jawab! Bantuan sudah di jalan."
"Di sini indah—"
Semua tubuhku sudah tak bisa aku gerakkan sama sekali, bahkan kedua bibirku untuk melanjutkan ucapanku. Tiba-tiba semua pandanganku berubah menjadi gelap.
Aku mati.
-----
Aku membuka mataku. Yang terlihat di depanku adalah beberapa lampu yang menyala terang. Aku ada di mana? Mengapa semua terlihat begitu samar? Aku mencoba menggerakkan sebelah tanganku, tepatnya yang kiri. Jemariku benar-benar terasa kaku. Lalu aku melihat ke bawah. Nampaknya tubuhku tengah terbaring di atas sebuah meja, atau mungkin tempat tidur. Entahlah, punggungku tidak bisa merasakan permukaan tempatku terbaring saat ini.
Dari situasi yang tengah ku alami, aku masih belum paham apa yang terjadi padaku. Aku tiba-tiba berada di sebuah ruangan gelap sendirian dalam posisi terbaring. Padahal sebelumnya aku sudah mengembuskan napas terakhirku.
Tubuhku masih lemas. Aku mencoba memegangi wajahku. Keras. Seakan terbuat dari lempengan baja campuran yang dibentuk sedemikian rupa. Begitu juga anggota wajahku yang lain, semua terasa keras. Yang bisa kubilang lembut hanyalah rambutku, itu pun telapak tanganku tak bisa merasakannya seperti sedang mati rasa.
Akhirnya aku bangun dan diam dalam posisi duduk. Aku melihat ke kanan-kiri. Namun, aku berlebihan dalam menggerakkan leherku. Kepalaku berputar seratus delapan puluh derajat. Serius. Aku bisa melihat ke arah belakang. Aku yang merasa aneh pun kembali memutar leherku, kini aku membuatnya berputar tiga ratus enam puluh derajat.
Sungguh aneh. Apakah ini benar-benar tubuhku? Ataukah ....
Sebuah pintu tiba-tiba terbuka. Ada dua orang yang terlihat dari depan pintu, pria dan wanita. Mereka berdua berlari menuju tempat tidurku dan langsung memelukku.
Aku mengidentifikasi dua orang itu. Mereka adalah ibu dan ayah.
"Ibu? Ayah?" tanyaku.
"Zhu, selamat datang kembali," ucap ayahku sembari memanggil namaku.
Selamat datang? Kembali? Apa maksudnya? Bukankah biasanya orang menyebut, "Syukurlah kau selamat," atau semacamnya ketika seseorang selamat dari kecelakaan.
Ataukah aku tidak selamat?
"Sayang, kita berhasil!" ucap ibuku. Ayah dan ibu berpelukan erat di depanku.
"Ayah, Ibu, tolong jelaskan apa yang terjadi," ucapku meminta kejelasan, bukan bermaksud menginterupsi mereka yang tampak sedang gembira. Aku sangat heran.
Mereka menatapku bersamaan.
"Zhu, situasinya sulit dijelaskan. Yang jelas, ayah dan ibu senang kau bisa kembali," jelas ayahku.
"Jujurlah, apakah aku kehabisan udara saat itu? Apa aku sudah mati?"
Pertanyaanku membuat mereka membisu. Mereka saling bertatapan sejenak, membuat perasaan gembira mereka seolah pecah. Raut wajah dipenuhi senyum berubah menjadi tatapan kosong.
"Benar," jawab ayahku. "Tapi sekarang kau tidak perlu khawatir. Ayah sudah merancang tubuh baru untukmu."
"Apa? Tubuh baru?"
Yang aku gerakkan kini adalah tubuh baru? Yang terasa keras bak baja, yang bisa membuat leherku melakukan putaran sempurna, yang membuatku tak bisa meraba apapun yang kusentuh. Apa ini tubuh buatan untukku? Jangan bilang iya padaku, tolong. Ini hanya rasa syok bukan?
"Begini, Zhu sayang. Tak masalah apa yang terjadi. Yang penting kau melanjutkan hidupmu dengan baik," tutur ibuku.
Baik ayah atau ibu tak membantah. Benar, ini adalah tubuh baruku, tubuh buatan. Aku dibuat tak percaya dengan perasaan senang dan khawatir yang bercampur aduk. Saat itulah aku terlahir kembali dalam tubuh sebuah droid yang dirancang oleh ayah dan ibuku.
-----
Tiga puluh tahun setelahnya.
Aku pergi ke ruangan tempat ayah dan ibuku menyimpan catatan penelitiannya. Mereka sudah tiada sekarang sebab penyakit menular. Aku sendiri yang tidak terjangkit sebab tubuhku, tubuh sebuah purwarupa abadi yang tak akan mati oleh penyakit.
Aku membuka sebuah catatan di komputer. Catatan mengenai "Purwarupa Abadi" yang menjadi tujuan penelitian ayah dan ibuku.
"Purwarupa Abadi merupakan rancangan sebuah droid yang memiliki rentang hidup lebih lama. Sebuah droid memiliki rentang hidup singkat karena programnya tak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan. Maka dari itu, dibutuhkan kecerdasan makhluk buatan yang memiliki kemampuan luar biasa."
Aku membaca sebuah bagian. Cukup menarik sebab bisa membungkam mulut orang yang beranggapan bahwa robot lebih keren dari makhluk berakal. Aku mencari lebih lanjut.
"Transplantasi memori merupakan metode untuk memindahkan memori seseorang ke dalam tubuh sebuah droid. Sehingga droid tersebut memiliki kemampuan otak yang jauh lebih baik."
Aku terdiam di depan layar komputer holografik seakan tak percaya. Ayah dan ibuku berhasil membawaku kembali pada kehidupan dengan Purwarupa Abadi. Apa ada orang lain yang hidup dengan tubuh barunya?
Aku memutuskan untuk pergi sejenak dari tempat itu. Melupakan semua yang baru saja aku ketahui. Aku pergi ke taman memorial, tempat ayah ibuku dimakamkan, bersama tubuh lamaku di samping mereka.
Aku menaruh bunga di masing-masing nisan. Nisan ayah, ibu, lalu nisan milikku dengan nama lamaku tercatat di sana. Tempat ini jadi tempatku untuk mengenang mereka, yang sudah mengembalikanku dari kematian. Mereka bisa menghidupkanku kembali, tetapi aku tidak bisa. Aku rasa aku adalah anak yang gagal.
Aku berjalan sedikit jauh dari nisan marmer yang terdapat nama ayah dan ibuku. Aku berhenti di salah satu nisan. Ini milik salah satu temanku, atau mungkin kekasihku dulu. Kami bertemu saat aku berusia 18 tahun, beberapa bulan sebelum insidenku. Ia meninggal akibat wabah yang sama yang merenggut nyawa orangtuaku.
Aku berjongkok sembari menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Berusaha mengeluarkan semua perasaanku dengan air mata. Tapi apa daya, aku tak bisa melakukan itu. Sementara sebagian besar temanku telah mangkat, dan aku masih hidup dengan wujud seorang lelaki berusia 18 tahun yang takkan menua.
"Warren?"
Seorang gadis membuatku melupakan semua perasaan campur aduk yang aku alami. Ia memanggil namaku, nama baruku yang terpikir entah dari mana. Usianya 18 tahun, dan ia merupakan anak dari mantan kekasihku, Lora namanya. Sekarang, dia adalah temanku, atau tepatnya kekasihku saat ini. Wajahnya, rambut merahnya, dan sifatnya sangat mirip dengan ibunya, sehingga aku jatuh cinta kepadanya.
"Sedang apa kau?" tanyanya.
"Tadinya aku ingin mengunjungi makam orang tuaku," ucapku.
Lora tidak berucap lagi. Ia menaruh setangkai bunga di nisan ibunya lalu kembali berdiri lagi. Beruntung dia tak acuh dengan sekuntum bunga yang kuletakkan di dekat nisan itu tadi.
"Umm, karena kita kebetulan bertemu di sini, bagaimana kalau kita jalan-jalan?" ajakku sembari menatap mata birunya.
"Tentu!" jawabnya sembari mengangguk.
Kami berdua berjalan mengelilingi beberapa tempat di kota. Beberapa gedung tinggi, serta kendaraan yang memadati jalan sudah menjadi pemandangan biasa.
Ah iya, Nidan sekarang bukan seperti tiga puluh tahun lalu ketika aku mencari tempat yang cocok untuk ditinggali. Aku tinggal di sebuah kota bernama Tenza, sebuah konstruksi kubah habitasi besar yang menjadi kota metropolis, satu-satunya di Nidan. Selama beberapa dekade aku hidup, aku telah menyaksikan koloni Nidan yang areanya semakin diperluas. Aku bangga, setidaknya kematianku saat itu sudah membuat banyak orang tinggal di sini.
Aku berjalan berdampingan dengan Lora. Aku tidak berani memegang tangannya meskipun aku sangat ingin. Gawat jadinya jika ia merasakan tanganku yang tidak sehalus tangan Manusia laki-laki meskipun lelaki biasanya punya tangan yang kasar.
"Lihat, ada pesawat!" ucap Lora.
Aku melihat ke atas kubah besar dan melihat pesawat terbang di atas langit merah. Dengan mataku yang ini, aku bisa melihat ke arah yang lebih jauh dengan sangat jelas. Sebuah pesawat ulang-alik baru saja meluncur di angkasa.
Aku senang dengan tubuhku yang ini.
"Lora," panggilku. "Apa kau mau pergi ke suatu tempat?"
Lora meletakkan telunjuknya di dagu. "Sepertinya aku ingin makan."
"Baiklah, ayo."
Aku dan Lora pergi ke sebuah kedai makanan cepat saji. Aku sendiri tidak makan dan hanya duduk sembari memperhatikannya melahap menu pesanannya.
"Kuw tuduk mu mukun?" tanya Lora dengan mulut penuh.
"Tidak, aku sudah kenyang. Kau makan saja sepuasmu," tolakku. Aku bukannya kenyang, melainkan tidak butuh makan. Tubuhku tidak dirancang untuk merasakan makanan dan mencernanya untuk menghasilkan energi.
Kadang aku tidak suka dengan tubuh baru yang sudah menemaniku berpuluh-puluh tahun.
Aku melihat tiga orang mencurigakan berjalan masuk ke kedai. Bukan, tepatnya satu orang dengan topeng setengah wajah dan dua droid. Aku mencoba mengidentifikasi mereka. Benar saja, mereka adalah orang asing.
Aku mencoba membuat jangkauan pendengaranku bertambah. Aku ingin menguping apa yang dibicarakan orang yang datang itu.
"Apa kau melihat orang ini?" tanya seorang yang datang kepada penjaga kedai sembari menunjukkan sebuah layar holografik.
"Aku tidak tahu," balas penjaga kedai.
"Kau pasti punya informasi tentang orang itu," ucap orang asing. "Periksa tempat ini."
Kenapa orang itu begitu yakin si pemilik kedai punya informasi yang ia perlukan? Tunggu, aku harus melihat siapa yang ia cari. Aku memperbesar penglihatanku dan melihat apa yang ditampilkan layar holografik itu.
Sial, itu adalah fotoku. Yang lebih buruk lagi, itu adalah fotoku tiga puluh tahun lalu.
"Lora. Kau harus pergi dari sini."
Seketika sumpit yang Lora pakai untuk makan pun jatuh dari tangannya. "Eh, kenapa?"
"Pokoknya kau harus pergi dari sini, setidaknya sampai situasinya aman."
Untungnya Lora mengikuti ucapanku. Ia berjalan keluar kedai dengan tenang dan tidak terlihat mencolok. Tinggal aku urus sisanya.
Dua droid yang datang bersama orang asing mendekatiku. Aku hanya menundukkan kepalaku, berharap mereka tidak mengajakku bicara.
"Angkat dagumu," ucap salah satu droid. Suaranya datar, khas otomaton dengan pita suara kusut.
Aku mengangkat dagu. Mereka berdiri di depanku. Sepertinya mereka sedang mengidentifikasi diriku. Sementara aku bersiap untuk tindakan lain.
"Target ditemukan, Tuan Mez—"
Aku menembakkan kabel dari pergelangan tanganku. Setelah ujungnya mendarat di tubuh kedua droid, lantas kuberikan kejutan listrik yang membuat tubuhnya nonaktif. Seketika pengunjung kedai terkaget dan menjauh dari mejaku.
"Semuanya harap tenang dan mohon tinggalkan tempat ini," titahku. Semua pengunjung akhirnya keluar bersama si penjaga kedai.
Aku berdiri. Orang asing yang sempat disebutkan namanya berjalan mendekatiku.
Ia tertawa. "Nampaknya tulisan lama itu benar. Purwarupa Abadi ada di sini."
"Kau mau apa denganku?"
"Pernah melihat ruang angkasa secara langsung? Aku yakin kau sangat tertarik."
Orang itu melepas topeng setengah wajah yang menutupi hidung sampai dagu. "Aku dari Serikat Sistem Independen, sebuah organisasi antarbintang yang akan mewujudkan kedamaian Galaksi. Aku ingin mengajakmu bekerja sama."
Organisasi antarbintang? Maksudnya, sebuah organisasi yang anggotanya terdiri dari beberapa planet? Dia mau apa dariku?
"Apa yang kau mau?"
"Begini. Rentang hidup sebuah droid hanya 3-5 tahun, bisa lebih panjang jika tidak ada yang mengembangkan teknologi baru. Namun orang seperti kau, sebuah purwarupa abadi, bisa hidup lebih panjang dari itu," jawabnya.
"Aku hanya teknologi usang. Buatlah teknologi kecerdasan buatanmu sendiri," ucapku.
Ia tertawa lagi. "Hahaha. Kau pikir, aku tak tau apa-apa tentangmu?"
Jadi, dia tau semuanya tentangku? Masuk akal juga sebab ia punya foto lamaku.
"Kami punya teknologi otomaton yang sangat maju. Jika kami punya kau di sisi kami, maka akan sangat menguntungkan. Jadi, ayolah bergabung bersamaku."
"Tidak akan!" teriakku.
Ia mengambil sesuatu dari balik punggungnya. "Kalau begitu, baiklah. Aku bisa bicarakan ini dengan cara lain."
Ia mengeluarkan sebuah tongkat. Mula-mula panjangnya sepanjang siku sampai telapak tangan jika dikira-kira, namun tiba-tiba berubah menjadi tongkat panjang.
Orang asing itu menyerangku dengan tongkatnya. Ia mengayunkannya ke arah kepalaku. Dengan sigap, aku menggunakan tanganku untuk menangkisnya.
Dia sempat tersenyum tipis. "Kemampuan bertarung yang cukup bagus."
"Aku diprogram untuk ini."
"Kau tidak diprogram. Kau punya kecerdasan makhluk berakal." Ia mengayunkan tongkatnya kembali, dan lagi-lagi aku hanya bisa menahannya dengan tangan bajaku.
Aku mengirim serangan balasan dengan menendang tubuhnya hingga terhempas dan menghantam meja makan. Aku lantas melarikan diri kedai itu.
Aku berlari keluar lalu mencari tempat aman untuk sembunyi. Akhirnya aku tiba di sebuah ruangan dengan pintu menuju area luar. Aku melihat kiri-kanan, nampaknya tidak ada orang yang mengejarku.
Aku berjalan mendekati pintu itu. Sebuah pintu yang mengunci udara di dalam kubah besar. Jika aku membukanya, udara dari luar yang tak bisa dihirup akan masuk ke dalam.
Aku jadi teringat kejadian yang merenggut nyawaku saat itu. Seharusnya tubuhku sudah mati, namun jiwaku merasuki tubuh droid ini.
"Hahah, di sini kau rupanya." Ia menutup pintu masuk, membuatku terpojok seketika. "Kau tidak bisa lari kali ini."
Sial, orang asing itu datang lagi. Ia bersiap untuk menyerangku. Ia mengayunkan tongkatnya, lalu aku kembali menangkis. Aku mengirim serangan balasan dengan pukulan dan beberapa tendangan, tetapi semuanya berhasil ditangkis.
Aku meraih bajunya, lalu melemparkan tubuhnya ke dinding.
"Ini— belum berakhir."
Aku berjalan mendekati pintu keluar. "Kau yakin? Udara di atmosfer Nidan tidak dapat dihirup, maka itu mereka membangun kota dengan kubah."
Aku menekan tombol untuk membuka pintu keluar. Pintu itu terbuka secara perlahan, setengah ke atas dan setengah lagi ke bawah. Aku melihat orang itu buru-buru mengambil masker udara. Saat bagian tengah pintu itu sudah terbuka, aku buru-buru melompat keluar, ke area bahaya.
Tubuhku tidak terkena efek udara atmosfer Nidan. Orang itu tidak bisa menggunakan masker udara terlalu lama, atau nasibnya sama sepertiku saat itu. Aku yang berada di luar melihat pintu keluar kembali tertutup. Akhirnya aku bisa melarikan diri dari orang itu.
Tetapi ini bukan akhir. Aku yakin akan ada banyak orang yang mencariku, mencari si Purwarupa Abadi. Aku Zhu, atau Ren, atau siapapun nama yang kugunakan untuk diriku, tidak akan diam jika orang-orang mencariku hanya untuk kepentingan pihak mereka.
Hidupku sebagai Purwarupa Abadi masih terus berjalan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro