Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9

Part ini gue ketik pakek lagunya Melamarmu dari Badai. Sakralnya dapet. Mwhehe. Cobalah baca sambil hayati. Niscaya celana Anda akan kuyup. Hahaha. Maksudnya kuyup karena ngeces gitu. Pengen nikah bruakakka.

Iya, masih datar. Gue suruh kalian napas dulu. Bab 10 ke atas, gue mulai tabur pasir di lubang hidung kalian. Sampai bab 20-an gue ganjel kerikil sampe kalian ga bisa nafas. Wakakak. Tapi, enggak kok. Konfliknya masih seputaran rumah tangga aja sih.
Jadi, nikmati yah :D

***

"Saya boleh minta ijin bawa Gisa ke rumah Ibu? Menginap, sehari dua hari di sana. Nanti, saya pulangkan hari Sabtu pagi."

Pentas lawak baru saja diperani Ragadi. Suara tawa melahap ruang keluarga. Bak efek domino, gelombang geli menyapu satu per satu manusia di situ. Agisa apalagi. Memerhatikan Ragadi berpijak dalam geming kebingungan, dia terpingkal hingga romannya memerah.

Kenapa sopan sekali?

Dua pekan pernikahan dilintasi penuh taburan kejutan dari Gadi. Semua bersumber dari sikap uniknya. Resepsi minggu lalu, para tamu dibuat geleng kepala gemas. Saat diaba-abakan mencium Agisa, Gadi malah berpaling pada Bara dan Kaisar, seperti biasa, mengirim mohon. Pun, saat eksekusi, bibirnya mendarat superringan di atas bibir Agisa. Seolah takut ciuman itu akan merenggut nyawa istrinya.

Betapa hati-hati lelaki itu mengaplikasikan naluri prianya. Agisa sebal-tapi gemas bersamaan.

"Ragadi. Semenjak Ijab kabul, hak saya atas Agisa tinggal 10%. Sisanya milik kamu."

Mengamini komentar Bara, Ragadi mengangguk.

Mungkin, tanpa perlu mendetilkan pun Gisa yakin Ragadi paham soal kalkulasi hak atas seorang suami ke istri atau ayah ke anak pascamenikah. Hanya saja, Gadi memang seperti itu. Tak bisa berinisiatif sebelum mendapat anggukan setuju dari Bara.

"Oke. Gisa pergi ke rumah Ibu mertua dulu, ya?" Perempuan berterusan merah muda itu mengecup pipi orangtuanya. Lalu kembali menggandeng Gadi.

"Ingat, jangan aneh-aneh di sana. Jangan bikin Ibu mertua kesal."

"Siap, KomanMoms!" pekik Agisa diikuti gerakan hormat.

Namira berpaling pada menantunya. "Gadi, jangan manjain dia. Kalau dia bandel, jewer saja."

Tersenyum, lengan Gadi mengapit bahu Agisa dengan gerakan paling sopan. Telapaknya menyapu-nyapu pelan. Hanya tingkah sederhana tapi Namira dan Bara bisa melihat jaminan perlindungan di sana.

"Saya janji, nggak akan sakitin Agisa seujung kuku pun. Lillahi ta'ala. Potong jari saya kalau saya gunakan untuk nyakitin dia."

Dasar Gadi. Namira mendengkus, lalu geleng kepala. Sementara Agisa mengembungkan pipi. Gadi bahkan tidak bisa mencandai topik seperti ini.

"Ya sudah." Bara bangkit dari sofa. Terus-terusan menjadi penonton kelembutan Gadi, dia merasa seolah jadi ayah dan suami paling kasar selama ini.

"Kalian pergi lebih pagi, biar Agisa bisa bantu-bantu masak. Jangan biasakan dia terima enak saja. Bentuk dia supaya lebih mandiri."

Gadi mengangguk tanpa beban. Seseorang di sebelah lantas mengalungkan tangan ke pinggangnya. Pipi putih yang semalam Gadi belai itu mendarat ke dada.

"Makasih Papa. Jangan pernah bosan nasihatin anak-anak Papa ini." Agisa mendongak. "Makasih juga untuk Kak Gadi, mau terima Gisa dan tetap coba jadi suami yang baik untuk Gisa." Dia berjinjit lalu mengecup pipi lelaki itu.

Kalau sudah begini, apakah Gadi harus menunda waktu kunjungan ke rumah Mama dan minta ijin untuk kembali membawa Agisa ke kamar?


***

Agisa: Vay, Ni, kasih tips supaya nyaman di rumah mertua :(

Pesan Agisa tidak digubris. Ini jam 10.00 pagi, puncak hectic ibu-ibu rumah tangga, juga karyawan kantoran seperti dua sahabatnya itu. Apalah daya, pengantin baru pengangguran seperti Agisa. Selepas mengantarkan suaminya ke kantor sampai di gang depan, Gisa kembali tidur-tiduran di kamar.

Dua hari di rumah mertua, Agisa seperti Putri Raja. Tapi, itu semua malah membuatnya tertekan. Saat bangun, semua pekerjaan rumah sudah diambil alih Daniyah. Tentu saja Agisa tidak enak. Kadang-agar terlihat ada kerjaan-Agisa harus menyapu dan mengepel di tempat yang sama berulang kali. Mungkin, jika Gadi tidak menegur, sebuah sumur galian dengan mata air jernih bisa Gisa ciptakan dari kerajinan menggosok lantainya itu.

Gisa bukannya pemalas. Jam 06.00 adalah waktu ideal untuk bangun-meskipun itu empat jam lebih cepat dari waktu bangunnya di rumah sendiri. Itu pun masih kalah cepat dari Daniyah. Tak jarang, Gisa disambut oleh dua teh gelas dan donat kampung di atas meja.

Kemarin, Agisa bahkan menunjukan kemampuannya memasak. Sayang, menu yang dipih terlalu kebarat-baratan sehingga ibu mertuanya tak ikut menikmati. Dari situ Daniyah seolah memblokade area dapur. Agisa tak diterima di sana sebelum jam makan siang.

Seperti sekarang. Daniyah sedang berkutat di dapur. Bersama Nana. Sementara Agisa di kamar. Mengurung diri. Rasanya, ikut nimbrung pun lebih tidak mengenakan. Sebab obrolan hanya berjalan antara Nana dan Daniyah. Gisa tak bisa numbrung sebab tak sewadah.

Tiki-tiki room dari Hilary Duff mengalun dari benda pipih di tangan Agisa. Dia bernapas lega. Vaya meneleponnya.

"Kenapa? Mertua lo abuser?" sambar Vaya.

"Enggak gitu, Vay!"

"Terus?"

Agisa berbaring di tempat tidur. Menelungkupkan wajah ke bantal. Lalu dengan bisik-bisik, dia mengisahkan segalanya.

"Mereka nggak ada ART, ya? Perasaan, posisi Kak Gadi sekarang kayaknya udah mampu nyewa pekerja"

"Ibu nggak mau. Ini saja Ibu masih sering kerja di tempat orang."

"Aduh! Gue tahu tuh jenis orang kayak gitu. Lo pasti kesiksa. Antara pengin ngelakuin sesuatu, tapi malah merepotkan."

"Ya, terus aku harus gimana, Vay?" Gisa benar-benar butuh solusi.

"Terus terang, kalo gue sih mending gua tidur. Gue malah seneng disuruh diem di kamar. Ya, itu karena emang mertua gue rese kadang-kadang. Tapi, kalau mertua lo... hm... lo perlu terus usaha dan basa-basi."

"Aku tuh pengin beliin vacum cleaner, biar Ibu nggak repot. Terus pengin pinjemin dua ART di rumahku untuk masak, dan beres-beres. Tapi-eh, bentar, Nia call nih. Aku sambungin ya." Dalam lima detik mereka terhubung. "Ni, ada Vaya tuh."

"Guys! Kalian mesti tahu, siapa manajer baru di kantor gue!" seru Nia di sana.

Agisa tak terlalu menggubris, setengah ruang dengarnya masih dipakai untuk mencuri-curi obrolan di dapur. Hanya Vaya yang merespons dengan pertanyaan agak malas.

"Raipaskal, OMG! Lulus S2 langsung jadi manager."

Deg.

Hanya dalam hitungan detik, Agisa mematung. Ruang dengarnya menyepi. Hanya satu jenis suara, yaitu pacu detak jantung sendiri. Mata nanar Agisa bersirobok dengan meja rias berkaca yang baru dibelinya dengan Gadi kemarin sore. Pada cermin, dia dapati wajahnya sendiri yang memucat.

Masih berusaha memproses informasi ini, tanpa sadar, pintu terbuka. Gadi muncul. Spontan, Agisa melepas ponsel ke tempat tidur. Menutupnya dengan bantal-reaksi yang membuat alis Ragadi meninggi, heran.

"Padahal mau bikin kejutan, tapi, Kakak kayak hantu yah?" Wajah Gadi berubah masam sekaligus lucu membaca air muka istrinya.

Berbeda dengan Gadi yang ceria, Atmosfer di sekitar tempat Agisa duduk seketika memekat. "Gisa..., ambilin air untuk Kakak Sebentar." Tanpa menunggu sahutan Gadi, Agisa ambil ponselnya lalu bergegas keluar.

Di kamar, tersisa Gadi dengan kebingungannya. Tumben, Agisa tidak bertanya kenapa dia pulang lebih awal? Juga, ini pertama kali Agisa tidak antusias menyambutnya pulang.

Ada apa?


***

Agisa makan siang dalam diam. Meskipun Gadi coba untuk menghadirkan topik obrolan yang 'netral' supaya bisa ditimpali siapa pun, tapi, wanita berbaju tidur mickey mouse itu tetap menunduk seolah makanannya adalah hal paling menarik di dunia ini.

"Gisa sakit, ya?" Itu pertanyaan Nana. Sejak tadi, dia bingung kenapa Agisa begitu pendiam. Padahal, kemarin, waktu pertama kali menginjakan kaki di rumah ini sebagai istri Gadi, perempuan itu begitu semringah. Dia bahkan serius bermain dengan Rio. Layaknya teman se-TK yang kebetulan bertemu di taman.

"Hm?" Kepala Agisa terangkat. Kalut membingkis raut. Nana mengulang pertanyaan lalu Agisa jawab lewat gelengan.

Daniyah berdecak. "Kalau menghadap rejeki, mukanya nggak boleh kayak gitu!"

"Maaf, Bu." Pandangannya bertabrakan dengan Gadi. Jelas sekali suaminya itu sedang penasaran. "Nggak apa-apa. Ayo makan! Acarnya enak sekali, Bu! Nanti Gisa minta diajarin, ya?"

Acar?

Padahal di meja hanya ada ikan asin dan sayur capcay.


***

"Gisa nggak nyaman di sini?"

Hingga malam, Agisa tak kunjung pulih. Berusaha terlihat oke tapi tarikan napas gusarnya begitu memengaruhi orang-orang sekeliling. Nana pamit pulang sementara mengantuk jadi alasan untuk Daniyah kabur ke kamar.

Gadi, begitu sabar menunggu istrinya. Dalam pandang gusar, wanita itu memelototi televisi. Dialog bahasa asing melintasi kesenyapan mereka. Sambaran kilat turut memuramkan wajah malam.

Di menit ke 30 dari jam 11.00, pertahanan Gadi jebol. Meluncur juga pertanyaan yang sedari tadi mengendap di jeruji lidah.

Yang ditanya menggeleng. Tersungging senyum ambigu. Kecup hangat landas di bahu Gadi. "Nyaman kok." Menjawab dua patah kata dan bergegas ke kamar.

Gadi menarik napas.

Konon, perempuan dibekali sikap misterius. Selama ini, Gadi baru belajar teori untuk memerangi, hari ini dia mempraktikannya. Gadi harap, dilengkapi rasa sabar ultra.

"Cerita ke Kakak. Apa ada yang salah?" Susulan ke kamar. Punggung Agisa terbentang membelakangi Gadi. "Kakak disuruh pulang awal sama Papa, supaya temenin Gisa. Tapi, Gisa kayak nggak semangat."

Sekian jam Gadi tontoni tingkah uring-uringan Agisa. Coba untuk tak bersoal dengan sikap istrinya. Bukan tidak berinisiatif, hanya saja, Agisa jelas memampang sekat agar Gadi tak menerobos batas. Penolakan ajakan jalan-jalan sore, keberatan mengabuli ide makan malam di luar, tak bicara lebih dari lima kata. Jelas sekali Agisa sedang menghindar.

Kesimpulan Gadi: Agisa mungkin tengah bosan. Yang artinya ini semua hanya fase. Mengingat mereka terlalu sering berdekatan dua minggu ini. Wajar saja jika timbul rasa jenuh.

"Atau... Gisa bosan sama Kakak?"

Kesimpulan itu ditepis Agisa lewat gelengan tegas. Dia segera berbalik demi meraih tangan Gadi. "Gisa enggak mungkin bosan sama Kak Gadi!"

"Tapi Gisa hindarin Kakak seharian ini."

"Itu..."

"Enggak apa-apa. Bosan itu lumrah. Kakak bisa menjauh dulu. Tidur di sofa-" Terhenti oleh sebuah pelukan. Mengerat seiring tangisan Agisa yang pecah di bahu Gadi.

Di luar, guntur menyalak. Rintik tak lagi belia; mendewasakan diri jadi hujan. Belum lebat, tapi suaranya cukup menjadi instrumen drama malam ini.

"Kenapa Kakak baik sama Gisa? Kenapa Kakak nggak ngelakuin sesuatu?"

Intuisi Gadi hidup dan mengartikan semua ini. dia paham situasi. Namun, tak menjawab. Sejurus, hanya ada sahutan hujan yang semakin beringas di luar sana.

Air mata menganak-sungai di pipi putih Agisa. Dalam sorot itu ada kiriman rasa bersalah kental. "Diam, pasrah, dan penerimaan Kakak tanpa membahas apa pun justru bikin Gisa semakin nggak pantas untuk Kakak. Bahkan terlalu k-"

"Agisa!" Itu teguran tegas bernada paling pelan yang pernah Gisa dengar. "Jangan bahas. Oke?"

Kembali diam, Agisa memelintir selimut bercorak mawar itu.

"Kadang memang kenangan masa lalu hidup lebih cerah di kepala. Tugas Gisa-yang juga akan jadi tugas Kakak, adalah: bikin memori baru. Yang lebih berkesan. Biar yang lalu jadi redup. Di sini...." Telunjuk Gadi tepat berada di pelipis Agisa. Perempuan itu malah meledak dalam isak haru.

Dalam peralihan rasa gundah dan ketenangan yang diciptakan Gadi, Agisa sempat berikir, apa jadinya bila dia bersuamikan laki-laki brengsek yang siap mencecar? Dia akan hidup dalam dalam tekanan dua arah. Betapa beruntungnya mempunyai Ragadi sebagai pasangan hidup. Siap meredam kekalutan dengan caranya. Tak ikut menekan, malah mendinginkan situasi.

"Jangan ulangi topik yang sama di lain waktu. Ya?" Bilang Gadi setelah Agisa sudah lebih tenang. "Tadi itu..." Dua bibir Gadi menjemput daun telinga Agisa. Sekali mengecup lalu berbisik di sana, "Yang terakhir untuk kita."

Agisa menganggut bersamaan dengan hantaman kilat di luar sana. Ia terperanjat. Guntur memekik keras. Dalam waktu semenit, aliran listrik mogok. Ruangan kelam pekat. Hendak mencari ponsel untuk penerangan, pergerakan Gisa dicekal Gadi. Pelan, lelaki itu menadah wajah Gisa, ia hapus jejak-jejak air di sekitar mata. Lalu, mencium kelopaknya.

Demi apa pun sentuhan Ragadi Tungga Putra berdaya kerja pembius. Di mana pun jemarinya melintas, inci per inci kulit Agisa terbius. Namun, bukannya mati rasa, Agisa rasa syaraf pekanya baru saja dihidupkan Gadi seiring laki-laki itu membaringkannya. Begitu pelan hingga Gisa tak sadar sudah tertidur sempurna ke kasur.

Sepasang mata Gadi menyendu namun menyala tulus dalam gelap. Bagaimana Agisa mendeskripsikan perlakuan Gadi ini. Terlalu lembut. Dengan buku-buku jari, dia belai pipi Gisa. Penuh kehati-hatian. Seolah kulit pipi Gisa akan lecet jika dia menekan.

Gelap tak menjadi soal. Netra mereka terikat.

Napas Gadi menderu di lipatan leher. Di sana, Gisa dengar puluhan kata penenang bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak akan Gadi biarkan hal apa pun yang mengganggu hubungan ini. Dia pilih Agisa. Tuhan saksinya. Maka yang berhak membolak-balikkan hatinya hanya Tuhan. Bukan siapa pun. Apalagi karena sederet cerita kurang menyenangkan di masa lalu. Itu tidak memengaruhi komitmen Gadi. Tidak akan. Secuil pun.

"Gisa sayang Kak Gadi." Perempuan itu berucap di antara lekat bibir Gadi di bibirnya.

Itu suara dan percakapan terakhir mereka malam ini. Seterusnya, perlakuan Gadi benar-benar menggiring Agisa ke dunia baru. Kasak-kusuk di kepalanya hilang. Berganti rasa nyaman.

Gadi benar-benar tahu caranya menghormati wanita. Setiap kecupanya adalah kiriman sanjungan. Sentuhannya berartikan penghargaan. Begitu lembut perlakuannya pada tubuh Agisa. Hingga wanita itu merasa mahal dan berharga.

Ragadi menghapus rasa tidak pantas lalu melebeli tanda istimewa.

Suara hujan melatarbelakangi mereka. Meskipun tak ada cahaya, hanya dibantu blitch kilat sekali dalam tiga menit, keduanya menghubungkan diri. Temu Kulit dengan kulit. Napas dengan napas. Indah. Hingga malam itu mereka tutup dengan pelukan panjang; seolah mengejek hujan bahwa dingin yang tercipta, tidak akan mampu membekukan kehangatan mereka.

***

"Pamit kan bisa lewat telepon, Kakak. Kenapa harus ketemu. Kan tadi Papa yang nyuruh kita liburan dulu." Agisa mengembungkan pipi. Aksi cemberutnya mengundang tangan Gadi terulur. mengacau poninya.

Mereka sedang dalam mobil menuju kantor Bara. Pagi tadi, Gadi ditelepon oleh mertuanya itu. Beliau menyarankan agenda liburan ke Pulau Seribu. Walaupun pengantin baru, Gisa dan Gadi memang belum pernah sekalipun menghabiskan waktu berdua saja, sepanjang hari di suatu tempat tanpa ada gangguan. Sebab, Gadi masih harus mengurus ini-itu. Jadi, Bara-lah yang berinisitif lebih dulu.

"Nggak bisa gitu, Agisa." Gadi bicara sambil memerhatikan beberapa kendaraan yang menyalip mobil mereka. Di luar, jalan masih lembab efek hujan sepanjang malam tadi. "Kakak ngerasa kurang sopan kalau minta ijin lewat telepon."

"Ih!" Rasanya gemas sekali. Kadang, Agisa ingin Gadi lebih tegas mengklaim figurnya sebagai suami. Tapi perempuan itu tahu, ini semua hanya fase. Lambat laun, Gadi pasti melepas pengaruh Bara dalam keputusannya.

"Sekalian aja tulis daftar agenda apa yang akan kita lakuin di sana. Pukul berapa kita sayang-sayangan. Durasinya berapa lama. Lalu suruh Papa tanda tangan. Pake materai!"

Ragadi tertawa. Sekali lagi jemarinya terulur mencubit pipi Gisa. "Justru kalau Kakak nggak minta ijin, Kakak pasti ngerasa bersalah. Seolah Kakak lagi bawa kabur anak gadis orang. Mau sayang-sayangan pun rasanya seperti mau dimacem-macemin."

"Mau ijin atau enggak, tetap aja konteksnya 'macam-macam' kan, Kakak?"

Skak mat.

Gadi menggaruk tengkuk. Salah tingkah. Reaksinya mengundang gelak Agisa. Spontan, lelaki itu tertular keceriaan itu.

Sekarang, pemandangan favorit Gadi adalah wajah tidur Agisa. Juga, ekspresi saat wanita itu tertawa. Paras semringah menambah porsi cantik. Mata bundar bening tanpa bingkai perona apa pun, berkerlip bahagia. Di pipi selalu ada blush on alami-efek produksi dopamin berlebih selama menikah. Rasanya, tidak ada alasan untuk tidak menerima wanita itu. Dia manis dan berhati cantik. Itu lebih penting dari apa pun.

"Di depan, ada kedai. Gisa mau beli fresh kopi. Kakak bisa tunggu sebentar?"

Gadi mengangguk. Mereka menepi. Setelah mendengar pesanan titipan Gadi, Agisa masuk ke kedai yang masih lengang. Hanya beberapa pekerja menyambutnya dengan senyum lebar. Sambil menunggu, Aigsa melihat-lihat mural sejarah kopi di sisi kanan kedai.

"Satu picollo latte. Sama capucino tapi steamed milk-nya 1/4 saja."

Suara pria di sebelah Agisa. Wanita itu menoleh sekilas lalu kembali melabuhkan matanya pada barista yang tengah berkutat dengan portafilter.

Setiap ke kedai kopi, sambil menunggu pesanan, Agisa lebih suka mengamati kinerja para barista daripada duduk melihat majalah kinflok.

"Syahfana?"

Kali ini Agisa benar-benar menoleh penasaran. Jarang sekali ada orang yang memanggilnya dengan sebutan Syahfana kecuali beberapa teman semasa sekolah. Sempurna berbalik, pria yang tadi lantang menyebut pesanan tiba-tiba melepas kaca mata. Senyumnya merekah lebar.

"Ya, kamu, Syahfana Agisa! Nggak salah lagi!"

Napas Gisa terhenti beberapa saat. Ini... manusia yang membuatnya uring-uringan seharian kemarin. Raipaskal!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro