Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8

Agisa terbangun tiba-tiba. Ia duduk tegak dalam bekapan selimut tebal sedada. Pandangan yang blur berangsur-angur jernih seiring kerjapan mata. Pintu terkunci, jendela masih tertutup. Bunyi deru AC menjejali hening ruang. Dalam tempo semenit, Agisa baru sadar bahwa dia sendirian di kamar ini.

Ada ombak di dalam perut. Bergulung-gulung, menimbulkan efek mual bagi Agisa. Ketakutan mulai berkecamuk. Menurut artikel yang dia baca, sebagian besar laki-laki akan tinggal lebih lama di tempat tidur usai melewati malam pertama hebat. Sebab, mereka tidak ingin kehilangan momen pertama menyambut hari bersama istri.

Tapi..., pagi ini, Agisa terjaga tanpa Gadi....

Kepanikan mencekam Gisa. Irisan-irisan scene semalam berotasi di kepala: dinner yang dilewati penuh sukacita, senyum lebar dirinya dan Gadi, tawa ceria seluruh anggota keluarga dan kerabat yang datang. Paling penting, bagian membuka kotak rahasia yang sudah dilaluinya bersama Gadi di satu jam sebelum ritual malam pertama mereka.

Rasanya, semua terlewati dengan baik. Gadi tidak menunjukan keanehan signifikan. Mula-mula, alis lelaki itu meninggi, keningnya bergelambur, lalu begitu cepat ekspresinya bertukar. Agisa hitung hanya satu menit hening membungkam lelaki itu, tapi kemudian senyum tulus kembali tersungging bersama satu kecupan ringan yang Gisa terima. Kecupan yang menjadi scene pembuka episode panjang malam pertama.

Tapi, sekali lagi, Gadi tidak ada di sini. Tidak repot-repot menunggunya terbangun lalu mengucap sepatah duapatah kata-seperti ekspetasi Agisa selama ini.

Semoga, ini bukan pertanda buruk. Bukankah, Gadi baik-baik saja semalaman tadi? Di akhir, dia bahkan mengecup kening Agisa dan bilang cinta.

Agisa bergegas ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri dari sisa kelembaban semalam. Mungkin, air dingin membatunya berpikir dari sudut pandang paling jernih.


***

"Cie, yang telat bangun," goda Zoya.

Persis seperti tebakan Agisa. Dia akan melewati hari penuh tikaman ledekan. Baru menjejakkan kaki di taman, cerlingan mata genit menyerangnya dari kursi-kursi rotan di bawah jejeran pohon kersen tempat keluarganya sarapan pagi itu.

Namira menggoda, "Masih sempat salat subuh kan, Nak?"

Dalam deskripsi novel-novel romansa, pengantin baru yang menerima ledekan jenis ini akan tersipu-sipu malu. Namun, memerani sendiri fragmen ini, sensasi yang Agisa rasakan seperti tengah ber-bungy jumping; didorong dari titik tertinggi lalu merasakan sensasinya yang tidak pernah bertemu ujung.

"Suami kamu memang Ragadi, laki-laki paling lembut yang Papa kenal," sambil bicara, Bara menyuapi potongan buah kiwi pada dua cucu kembar dalam pangkuan Namira. "Tapi, jangan sampai kamu jadi perempuan yang semena-mena bersikap. Ingat, layani suami itu hal wajib, Gis."

Petuah pertama di hari pertama menjadi istri. Agisa mengangguk paham. Topik ini lebih baik ribuan kali daripada harus diperolok soal malam pertama.

Kaisar mengibas tangan tak setuju. "Baru hitungan jam Agisa jadi istri, Pa. Apa salahnya dia senang-senang?"

"Loh? Nggak ada yang larang dia senang-senang. Ini dua topik yang berbeda, Kaisar."

Bara mengemukakan perbedaan paling mencolok antara Agisa dan Gadi. Terutama soal gaya hidup. Gadi dibesarkan dalam keluarga yang masih terbelit nilai-nilai tradisional kental. Konservatif. Bisa juga disebut ortodoks jika dibandingkan dengan pola hidup zaman sekarang.

Sebagai bentuk bakti, Gadi selalu sujud mencium kaki mamanya setiap habis shalat-hal yang sudah lama sekali tidak Bara temukan di tiga generasi keluarganya. Gadi pun masih mengikuti sederet pamali dan segala macam petuah orang jaman dulu. Sementar Agisa? Anak kekinian berperilaku urban. Jelas sekali ada sekat pemisah yang harus dihapus pelan-pelan.

"Jadi, Papa nasihatin dia untuk bisa memosisikan diri," lanjut Bara, menutup ceramah paginya.

"Ya sudahlah, kenapa kita bahas topik berat ini? Jadi ingat Rapat Paripurna." Kaisar meneguk kopinya.

"Kasihan, tapi pagi-pagi sekali Gadi pergi. Mungkin nggak sempat sarapan."

Hebat. Informasi ini Gisa dengar dari mama, Bukan dari Gadi.

Sejujurnya, Agisa ingin menanggapi, tapi takut keluarganya mencium sesuatu yang tak beres lalu sarapan pagi yang nyaman setelah percintaan indah semalam berkonversi menjadi acara investigasi.

"Mungkin Gadi masih kenyang, Ma." Zoya bereaksi lengkap dengan cengiran menyebalkannya. "Kan sudah makan subuh."

Kaisar langsung menegur istrinya lewat decakan lidah. Zoya terkekeh, diikuti Namira dan Bara. Hanya Agisa yang tidak bisa merespons. Urat gelinya sementara mati. Sungguh seluruh isi kepalanya sedang dipinjam Ragadi. Semoga, ini bukan tanda-tanda buruk.

Semoga.


***

Petugas kebersihan mulai mengosongkan taman dari sisa-sisa pesta semalam. Agisa duduk di saung. Sendirian. Sekadar berburu cuplikan kebahagiaan kesakralan akad nikah kemarin.

Sejak tadi, ponsel pintar di tangan Gisa berpindah-pindah. Chat untuk Gadi sudah dikirim sejak sejam lalu. Tidak ada warna biru pada dua tanda check. Artinya, Gadi tidak membaca,atau tidak berselera untuk membaca?

"Bagaimana ini?"Pertanyaan itu merambat ke udara, masuk ke sela-sela ranting pohon yang terpanggang sinar matahari siang.

Agisa ketakutan. Sangat. Berbagai kemungkinan berisik di kepala. Bagaimana jika Gadi sedang berusaha menutup keadaan sebenarnya? Mengelit dari pertemuan pagi ini, lalu pergi ke suatu tempat, memakami rasa sakit dan kecewa? Tapi, keputusan akhirnya adalah pengumuman bahwa dia perlu menyunting ulang idenya memperistri Agisa?

Apakah pilihan Agisa yang untuk menyingkap beberapa hal di malam pertama meeka adalah opsi yang salah?

Gisa hampir mengusap wajah, namun dari sudut mata, tertangkap sosok familier. Bahkan irama langkahnya pun Agisa hafal luar kepala. Seperti kedatangan pembunuh, wanita itu diringkus ketegangan.

Kalau menyangkut Ragadi Tungga Putra, Agisa tak pernah sanggup mengabaikan atau pura-pura cuek. Dia berpaling, jarak tiga meter di sana, lelaki yang semalam Gisa rasakan di dalam dirinya itu mendekat. Wajahnya berseri. Ada senyum bersembunyi di balik katupan bibir Gadi. Pun, matanya berkerlap penuh kasih.

"Kangen Kakak?" Gadi berjongkok di depan Agisa. Dua sikut bertumpu di paha wanita itu, lantas tangannya memaut ke pinggang. Tanpa canggung, Gadi menelungkup. Seolah paha Agisa adalah tempat pembersihan masalah-masalah.

Hangat mendobrak ke dada Agisa. Semua perlakuan Gadi menghancurkan perspektif hitam yang sedari tadi menggelayutinya. Lihat, laki-laki ini membuatnya merasa begitu dibutuhkan. "Kakak dari mana?" tanyanya seraya membelai rambut Gadi.

"Maaf, Kakak ngilang kayak laki-laki brengsek. Jam 6 subuh Kakak pergi. Antar ibu, terus ke Kantor Polisi." Gadi menjelaskan bahwa dia ditelepon terkait kecelakaan maut yang melibatkan dua orang driver IndoJeksia. Setelah menyelesaikan urusan asuransi, dia perlu mendatangi keluarga korban, meminta maaf, sekaligus ikuti proses pemakaman.

"Kakak nggak tega bangunin Gisa buat pamit. Maaf, ya, nggak bisa temenin Gisa sampai bangun. Kakak ngerasa brengsek banget tinggalin Gisa sendirian setelah semalam tadi... " Ia mengambil oksigen. "Maaf."

Maaf karena memosisikan Gisa seperti perempuan bayaan. Ditiduri, lalu ditinggalkan tanpa babibu.

Agisa memerhatikan lelaki itu. Untuk ke... sekian juta kalinya dia jatuh cinta. Sepertinya, akan ada seribu pemakluman untuk Gadi. "Nggak apa-apa. Gisa ngerti. Mereka lebih butuh Kakak hari ini. Lagian, Gisa punya waktu seumur hidup untuk sambut pagi sama Kakak. Kan?"

Gadi mengangguk. Tersenyum. Laki-laki itu bangkit. Duduk di sebelah Agisa.
"Kakak belum bilang makasih, ya?"

"Untuk?"

"Hm..." Jemari mereka bertemu. Menaut erat seperti dua koin melebur dipanggang panas. Kecupan Gadi mendarat di punggung tangan Agisa. Lama. Wanita itu terheran-heran tapi dadanya meletup-letup senang. "Untuk segalanya."

Sebelah alis Agisa menukik. Tanda bahwa deskripsi Gadi terlalu ambigu untuk dipahami. "Spesifiknya?"

Kali ini, terang-terangan Gadi mengatup dua bibirnya yang Gisa tahu sebagai usaha untuk tidak terkekeh.

"Orang-orang selalu memuji Kakak selama ini. Kakak laki-laki tanggung jawab, baik, bla-bla. Mereka nggak pernah tahu, selama 34 tahun ini, Kakak belum merasa pantas disebut sebagai laki-laki. Baru semalam. Setelah semua yang kita lalui, Kakak lega. Gisa jadi perempuan pertama dan semoga jadi yang terakhir untuk Kakak. Terima kasih sudah menyempurnakan."

Sudut-sudut mata Agisa nyeri. Kerongkongannya tercekat. Luapan perasaan Gadi seperti siraman air es ke wajah. Memanggilpulang kesadaran. Agisa merasa tidak pantas untuk laki-laki sebaik Gadi.

"Kok nangis?" Gadi mengusap pipi Agisa. Perempuan itu malah mencengram lengan Gadi.

"Gisa pikir tadi Kakak kecewa sama Gisa."

Air wajah Gadi sempat terganti. Meski hanya beberapa detik sebelum kembali normal, tapi Agisa bisa menangkap semua itu.

"Nggak kecewa sama sekali," tutur lelaki itu. Wajah tulusnya mengamputasi resah di dada Agisa. Secercah optimisme menyeruak. Gisa kembali merasa layak dan dihargai.

"Kakak nggak begitu suka bicara soal topik ini. Bukan karena Kakak nggak mau dengar apa pun yang lalu-lalu, tapi tadi malam kita sudah sepakat untuk tutup lalu tinggalkan semua, bukan?"

Agisa menggangguk. Gadi menepuk kepalanya. "Bagus."

Sepasang mata Gadi mengawasi wajah Agisa. Bingkai hitam di bawah mata wanita itu terlihat jelas. Gadi tertawa karena teringat sesuatu. "Gisa baru begadang semalam, tapi matanya gini."

"Hm?" wanita itu menyentuh kelopaknya.

"Apa kita perlu atur waktu? Supaya bulan madu kita nggak perlu ganggu waktu tidur?"

Begitu mengerti maksud Gadi, muka Agisa seperti terpanggang.

"Mungkin, kita bisa mulai dari jam 8. Biar sekitar jam 11-an, Gisa sudah bisa tidur."

Kali ini Agisa terbakar. Dia mengerti, Gadi sangat jujur. Tapi, soal olahraga tempat tidur, tidak bisakah Gadi utarakan di tempat yang lebih privat?

"Tapi sumpah..." Gadi terus bicara, "Dari tadi Kakak kepikiran Gisa terus." Mata hitamnya bertemu mata coklat milik Gisa. "Mungkin, ini yang dibilang beberapa teman Kakak. Kalau pengantin baru itu memang selalu ingin pulang cepat, ya?"

Agisa tergelak. Gadi ikut-ikutan tertawa karena berhasil mengubah suasana hati Gisa. Sungguh dia berjanji di dalam hati, akan membebaskan Agisa dari perasaan tidak nyaman. Akan selalu hadirkan senyum, di wajah cantik itu.

"Kakak sudah makan siang?"

Gelengan.

"Kalau gitu, Gisa siapin makan siang, ya?" Sebelum Gadi menyahut, Agisa buru-buru mengoreksi, "Tapi bukan Gisa yang masak loh. Soalnya Gisa benar-benar masih capek."

Kalimat multitafsir. Menyambut senyuman lebar Gadi, yang menandakan sebentar lagi akan ada ledekan, Agisa buru-buru membungkam mulut suaminya. "Capek karena pesta. Ok?" revisi wanita itu seraya menarik Gadi.

"Ayo!"

Entah apa yang ada di pikiran Agisa, dia tiba-tiba menuntun Gadi sampai ke tangga menuju lantai dua. Setelah melewati dua anak tangga, perempuan itu menepuk jidat. "Agh! Bukan ke kamar. Maksd Gisa ke ruang mak-"

"Nggak apa-apa, ke kamar dulu. Kakak belum terlalu lapar."

Sekarang, gantian Gadi yang menarik Agisa. Perempuan itu membuka mulut tapi tak bisa memprotes dan pasrah dituntun ke kamar.

Lihat, sekarang Ragadi Tungga Putra menepati janjinya menjadi lebih responsif.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro