Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6

Agisa menepati janjinya. Pagi-pagi sekali, gadis itu sudah berada di teras rumah calon mertua. Cukup empat kali ketukan, Mr Gula-Gula yang beberapa hari lagi akan menjadi suami Gisa, membuka pintu.

Agisa langsung berjumpa dengan cobaan pertama pagi ini: Ragadi tanpa atribut formal. Hanya celana selutut, singlet Puma. Titik-titik keringat menggantung di beberapa area. Sepertinya baru menyelesaikan lari beberapa putaran.

Untuk kali perdana, Gadi begitu manusiawi tanpa kemeja-kemeja membosankannya itu. Jujur, dia terlihat yummy-women will absolutely understand the meaning of this phrases.

"Ke sini sama siapa? Kakak baru mau bawa pulang mobil Gisa."

Kemarin, Gisa memang meninggalkan mobilnya karena Gadi yang mengantarkan mereka ke tempat fitting.

"Sama Pak Bayu, Kok"

Thank's untuk topik yang mengembalikan kejernihan otak Gisa.

Gadi melebarkan pintu, memberi akses pada Agisa. "Sudah sarapan?" tanyanya setelah wanita itu masuk.

"Sudah-kalau badan kamu yang yummy itu bisa dikategorikan sebagai sarapan."

"Masih bisa tampung omelete? Kakak baru saja bikin tiga porsi."

Oh, please. Agisa harap, Gadi berhenti menunjukan bakat-bakat family man-nya. Bukan apa-apa, tidak ada lagi tempat untuk menampung cinta Gisa yang meluap-luap untuk laki-laki itu. Kalau Gadi ngotot, Agisa yakin membutuhkan belasan kontainer untuk mewadahi perasaan ini.

"Gisa kenyang. Gisa temanin Kak Gadi sama Ibu sarapan aja"

Gadi menyerah membujuk. Mereka menuju ruang makan. Agisa jaga agar matanya tidak lancang beredar. Sebenarnya, ingin sekali dia melihat-lihat bagaimana bentuk rumah yang nantinya akan sering dia sambangi setelah menjadi Nyonya Gadi. Tapi, dari arah pintu keluar dapur, terdengar suara Ibu Daniyah. Gisa jadi waspada. Jangan sampai mata jelalatannya kembali disalahartikan Ibu Daniyah.

"Gad?"

"Ya, Bu?"

"Kita ke pasar, yuk. Ibu mau nyetok kulkas buat makan siang. Agisa mau ke sini, jangan sampai kita kasih makan dia telur asin. Bisa nangis anak orang."

Wajah Agisa cemberut. Gadi tertawa lalu mengacaukan puncak kepala gadis itu.

Ibu Daniyah tentu tidak menyadari kehadarin Gisa. Dia sedang memberi makan burung di belakang sementara Agisa dan Gadi di ruang makan.

"Gisa udah biasa makan telur asin, kok, Bu!" sahut Agisa. Mengagetkan Ibu Daniyah. Kepala wanita itu menyembul dari bingkai pintu.

"Oalah, si cengeng sudah datang, toh, Gad?"

Gisa abaikan komentar wanita itu. "Si cengeng juga sebulan lagi jadi mantu ibu loh." Sangat berbeda dengan kemarin, hari ini mood Agisa begitu baik. Dia mengulurkan tangan untuk menyalami Daniyah, tapi serta merta wanita itu menepisnya.

"Jangan baper! Tangan Ibu kotor. Ada kotoran burung. Jangan disalamin dulu." Cepat, wanita itu mengklarifikasi. Dia bahkan menunjuk telapak tangannya.
Agisa nyengir. Sementara Gadi mulai memakan sarapannya sambil menikmati interaksi itu. Lega rasanya melihat Agisa kembali ceria.

"Gisa minta maaf soal kemarin yah, Bu. Gisa janji. Besok-besok, akan lebih tahan banting."

"Memang. Perempuan harus tahan banting. Apalagi kalau sudah menikah."

"Emangnya kenapa, Bu?" Agisa begitu serius menanggapi. Dia ingat beberapa hari lalu, Vaya pernah membahas soal ini. "Kak Gadi nanti akan banting-banting Gisa, ya? Temen Gisa juga bilang begitu."

Gadi tersedak; batuk-batuk kecil, lalu menenggak airnya. Tanpa menunggu kiriman ledekan dari Ibunya, laki-laki itu berdiri. "Ibu tulis daftar belanjaan, biar Gadi yang ke pasar. Jam 10 baru masuk kantor, kalian siap-siap aja. Hari ini Gadi masakin."

Hanya Tuhan yang tahu betapa bapernya Agisa saat ini. Kenapa calon suaminya harus sesempurna ini, sih?

"Nanti kalau sudah nikah, ajarin Agisa untuk bisa masak. Jangan manjakan dia dengan masakanmu. Dengar?"

Ah, ada saja ulah Ibu Daniyah yang merusak momen meletup-letup Gisa.


***

Rumah Gaya.

Agisa fokus mengoreksi pantulan tampilan di cermin. Daniyah yang berdiri di dekat bingkai kaca, mengamati gadis itu. Gumaman puas muncul terang-terangan. Tidak ada yang tak sempurna; pas pada tempatnya. Gaun sutra tebal berkeliman, membungkus tubuh proporsional itu.

Untuk resepsi, Agisa memimpikan gaun pengantin seperti Kate Hudson di Bride Wars. Tapi, idenya tidak di-ACC oleh pihak keluarga. Daniyah kemudian memberi usul agar gaun itu dirancang lebih tertutup. Pada akhirnya, gaun sederhana berkerah sanghai jadi pilihan. Pun, anggukan Gadi waktu itu mengganti kata 'Tidak' di hati Gisa menjadi ''Ya'.

Semua yang Gadi sepakati, sudah tentu diyakan Gisa dengan antusias.

"Sebagian Ibu beranak tunggal seperti Ibu, tentunya akan sewot kalau anak lelakinya membawa pulang perempuan."

Ibu Daniyah tiba-tiba bercerita. Gisa memandanginya dalam keputusasaan hening. Di belakang mereka, Lady Antariksa-Sang desainer-sibuk menanam jarum-jarum pentul di beberapa area. Lelaki feminim itu tampak cuek dalam dunianya sendiri. Itu lebih baik daripada mengaktifkan pendengarannya untuk sebuah gosip.

"Apalagi..., ibu hanya tinggal sendiri. Wajar saja kalau ada perasaan ketakutan ditinggal. Maaf kalau Ibu bikin Gisa tersinggung. Pertanyaan Gisa waktu itu, jawabannya nggak benar sama sekali. Mana mungkin Ibu benci Gisa?"

Dari kaca, Agisa memperhatikan wanita tua 65 tahun itu. Tinggi tubuhnya tak lebih dari bahu Gisa. Gumpalan rambut putih menyebar di beberapa sisi kepala. Hampir seluruh wajah sudah dikuasai keriput. Mata itu memancar keramahtamahan. Bagaimana bisa Agisa sempat menaruh curiga bahwa ada setitik ketidaksukaan di sana?

"Bu...," Agisa menepis pelan tangan Lady, dia memeluk ibu Daniyah penuh esensi. Mata Agisa seperti teko kopi yang mendidih dipanasi haru. "Gisa nggak rebut Kak Gadi dari Ibu. Gisa janji nggak akan ada yang berubah. Nggak akan ada yang ditinggal, hanya ada yang datang dan menambah keramaian Ibu."

Agisa tahu, ada sosok rapuh di balik kedok sinis wanita ini. lihat saja bagaimana Daniyah menahan diri untuk tidak meledak dalam keharuan. Sebagai gantinya, wanita itu menepuk lengan Gisa.

"Nanti, kalau malam pertama, jangan nangis gede kayak tempo lalu, ya? Kasihan anak saya kamu bikin bingung."

Pintar sekali Daniyah menggulir suasana. Kini, sorot mata Agisa berubah polos yang Daniyah tahu akan ada pertanyaan spontan setelahnya.

"Memangnya kenapa harus menangis, Bu? Kak Gadi nggak ringan tangan, kan?"

Kekehan dari belakang punggung Agisa. Lady Antariksa menertawai kedua wanita itu. "Semua laki-laki akan ringan tangan di malam pertama, Gis. Saya contohnya."

Komentar Lady mengundang dua reaksi. Dari Agisa yang bingung hingga dahinya bergelambur, sementara Daniyah terang-terangan menunjukan kesangsiannya.

"Ringan tangan maksudnya-dalam konotasi baik. Belai-belai kamu, usap-usap kepalamu dan lain-lainnya."

Ah. Agisa mengerti. Ia langsung tersipu. Beruntung, sinar matahari sore yang bersinar menerpa jendela berkerai di belakangnya menciptakan bercak-bercak bayangan ke wajah Agisa hingga air wajahnya tak terbaca.

Suasana itu cepat teralihkan setelah pertanyaan pedas melompat dari mulut Daniyah, "Masalahnya, ketertarikan orang-orang seperti kamu dengan pernikahan biasanya hanya seputar desain baju pengantin. Jadi, ringan tangan maksudmu hanya seputar, mengusap kepala pengantin wanita yang mengenakan desain kamu, kan?"

Lady Antariksa terkekeh. Lalu, laki-laki itu menunjuk sebuah palet kayu berukuran cukup besar di area kiri butiknya itu. Agisa dan Daniyah sukses terpana. Di sana, ada foto mesra Lady dengan seorang wanita. Jelas-jelas di altar pernikahan. Foto-foto berikut mereka berciuman hangat. Lalu, yang membuat Gisa menganga, adalah deretan paling akhir yang menyuguhkan potret wanita itu sedang mengandung, proses melahirkan, sampai anak itu berumuran sekitar tiga tahun yang jelas ada Lady di sana mendampingi.

"Saya menikah, Bu. Sekarang, istri saya bahkan tengah mengandung anak kedua."

Ibu Daniyah terang-terangan mengucap hamdalah. Sementara Agisa menyuarakan pertanyaan yang berisik di kepala, "Gisa pikir Lady nggak tertarik nikahi perempuan."

"So sekarang kamu salah." Laki-laki itu menyibak rambut dari pundak Agisa. Satu menit ia isi dengan penilaian akhir lalu tepukan tangan penuh kekaguman setelahnya. "Perfect!" serunya. "Selamat menikah dan selamat menghadapi pengantin laki-lakimu versi ringan tangan."

Daniyah terkekeh sementara Agisa mengambil oksigen banyak-banyak.

Moral dari sederet peristiwa sore ini adalah: jangan mengambil kesimpulan lewat satu premis saja. Lihat, betapa spekulasinya tentang kepribadian calon mertua dan Lady Antriksa terbukti salah.

Calon mertuanya tidak sejahat yang ia pikir. Beliau hanya seorang wanita tua yang merasa terancam kehilangan karena anak lelaki satu-satunya akan menikah. Sementara Lady Antariksa, si Family Man yang disarung cover feminim. Benar-benar kejutan.

Diam-diam, Agisa memikirkan soal Gadi. Apa, semua yang nampak sudah mencerminkan pribadi lelaki itu seutuhnya?


***


"Kalau Kakak bandel, pengin lihat Gisa, boleh nggak? KITA VC-AN YUK!"

Zoya sengaja mengecangkan suara, membuat Agisa tersipu malu. Perempuan berhijab itu usil merebut ponsel Gisa lalu membacakan sederet chat yang dikirimi Gadi.

Seminggu awal pingitan, Gadi dan Agisa masih anteng. Tidak saling menghubungi-karena memang dilarang berhubungan lewat media apa pun dulu.

Seminggu kedua, Agisa mulai cari pengalihan. Ia memanggil karyawan SPA ke rumah untuk perawatan badan, sampai menghabiskan waktu menonton drama Korea.

Minggu ketiga ini, Gadi yang lebih dulu menyerah. Chat pertama siang tadi berisi luapan rindu. Chat kedua masih tentang betapa tersiksanya dia karena dilarang datang ke rumah selama sebulan. Chat terakhir, mengajak Agisa untuk melanggar aturan.

Dasar bandel!

Tapi Gisa makin sayang!

"Mbak! Ih, siniin hapenya!" tegur Gisa, gemas.

Mata Zoya menyipit. "Jangan-jangan kalian sering ketemuan di luar yah, diam-diam?"

"Mana bisa, Mbak? Gisa dilarang menyetir untuk sementara waktu. Keluar rumah juga dibatasi. Mana mungkin ketemu?"

"Kalau git-" Zoya batal bersuara, Ponsel Gisa berbunyi, menandakan panggil;an video dari Gadi. Perempuan itu lantas mengangkatnya semena-mena. "Nah, ketahuan yah kalian langgar aturan!" serunya terkekeh.

Di sana, wajah Gadi memerah.

"Zoya, saya kangen. Bisa saya bicara dengan Gisa?"

Raut wajah Zoya berubah usil. "Kamu ingat dulu? Pas aku mau ketemuan sama Kaisar waktu kita pingitan? Kamu yang gagalin pertemuan kita dan bawa pulang Kaisar ke Papa! Dasar teman yang nggak pengertian!"

Gadi tertawa di sana. Sementara Zoya mulai memutar kenangan di kepala. Perempuan itu ingat, dulu, saat menjalani pingitan dengan Kaisar, Gadi pernah ditunjuk Bara sebagai 'algojo' untuk dua orang itu. Mengingat berapa kali mereka melanggar aturan lalu bertemu diam-diam di luar. Saat Gadi bertemu keduanya di warung sate Mak Minah, laki-laki itu langsung membawa pulang Kaisar menghadap Bara. Wajar saja jika kedua orang itu kesal bukan kepalang.

Sekarang, Zoya sedang menjalankan misi balas dendam. Membuat Gadi dan Agis tersengat rindu pasca tak bertemu hampir sebulan.

"Itu amanah, Zoy!"

"Ya deh, ya deh! Sekarang juga aku amanah, jadi, nggak boleh tatapmuka dengan Gisa!"

Dari ranjang, Agisa menggigit bibir gemas. Betapa ingin dia melihat Gadi, tapi Zoya jelas tidak mengijinkan.

"Ayolah, Zoy. Sekali saja saya mau melanggar aturan."

"Nggak ada!" Zoya langsung memutus hubungan telepon dan terkekeh usil.

"Ponselnya Mbak kasi ke Mama, ya! Bye!" lalu perempuan itu keluar meninggalkan suara cekikikannya yang mengaung di langit-langit kamar.

Agisa mengusap wajah. "Sabar Kak Gadi. Seminggu lagi!"

Ya, seminggu lagi, Agisa resmi mencapai goal terakhirnya: menikah, dan menyandang gelar sebagai Nyonya Ragadi.

Tiba-tiba, kepala Zoya menyembul, "Percaya sama Mbak, semakin rindu, malam pertamanya pasti semakin khidmat."

"Ih, Mbak!" Wajah Agisa merah padam.

"Besok, kita belanja lingerie?" tawar wanita itu sambil menaik-naikan alis.

Agisa tersenyum lalu mengangguk antusias.





___
besok baru masuk rumah tangga. wkakakakaka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro