Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Gue ubah judul cerita ini. Dari Agisa jadi Decison. Yang penting nggak ada judul aneh kayak ftv Indosiar kayak

ucet dah. Suamiku adalah anak dari Mbahmu. Istriku ternyata bukan pedagang ayam tireng. Suamimu dan Suamiku bersekongkol dengan istri dari anak angkat kita. wkwk

Btw. Nanti mungkin akan ada perubahan di sinopsis. Cerita ini tuh msh baru. wkwk Kalian nikmati aja. Jangan tebak2 konflik. Nyantai aja, Bray. Ibarat Janin, ini tuh msh muda banget loh. Jangan buru2 cari tahu jenis kelamin. Nanti malah keguguran. Kalian kena sangsi praktik aborsi. lah.

...








***

Memilih menjadi pengangguran sampai sah sebagai istri Ragadi Tungga Putra adalah keputusan yang tepat bagi Agisa Barata. 80% waktu bisa Gisa arahkan ke persiapan pernikahan tanpa harus dipusingkan oleh deadline pekerjaan yang membelit.

Meeting dengan WO, membahas poin-poin penting sampai detil pernikahan? Check. Hampir 95 persennya sudah final. Hanya tersisa sekali fitting baju yang sore ini akan Agisa jalani bersama mama Gadi.

Sebelum menemui calon ibu mertua, Agisa rasa perlu ngopi-ngopi bersama sahabatnya. Sekadar menurunkan tremor. Semalam, Zoya bilang tidak bisa menemani. Kakak iparnya itu mempunyai agenda sosial ke Pulau Pramuka bersama komunitas istri-istri anggota DPR. Jadilah Gisa dibiarkan sendiri. Memang Gisa sering bertemu dengan ibu Daniyah saat rapat keluarga di rumah. Tapi, ini kali perdana mereka jalan berdua. Pasti sediki menegangkan.

"Bridezilia effect?" Nia dengan atribut training sejuta umat: kemeja putih, celana bahan hitam, lengkap dengan name tag besar di dada, membanting tas ke meja. Dia merebut gelas kopi milik Agisa lalu menyeruputnya berisik.

"Nggak kok. Itu hanya mitos buatku. Persiapan ini nggak bikin tertekan. Im happy, btw!"

"Really?" Nia tampak sangsi. "Dulu, gue lihat Vaya hampir gila."

Vaya menikah tiga tahun lalu. Meski di luar negeri, tapi Agisa tahu betul cerita detil di balik pernikahannya. Bagi Gisa, ini berbeda kasus. Vaya hamil di tahun kedua perkuliahaan. Ngotot ingin menikah, tapi orangtua lepas tangan. Wajar saja jika dia tertekan.

"Beda, Sayang. Beda," sela Vaya, tampak tidak senang membahas masa lalu. "Keluarga Gisa punya ratusan orang yang bisa mereka tunjuk kapan saja untuk handle segalanya. Dia hanya perlu kontrol lewat hp. Sementara gue? Apa-apa urus sendiri. Fatar juga terlalu pitik waktu itu. Cuma bikin hamil, abis itu ongkang kaki sampai Pemberkatan. Setiap hari kerjaan gue cuma ngejaga kondisi dia dan perhatian ke dia. Gue? Nggak ada yang merhatiin. Sama sekali!"

Nia bungkam. Kasihan. Sementara Agisa menyapu punggung tangan Vaya, menenangkan.

Setelah keadaan lebih stabil, Gisa baru bertutur, "Enggak kok, Vay. Hampir 60 persen aku handle sendiri, loh."

Soal keterlibatan calon pengantin pria, diam-diam, Agisa bersyukur, yang dia nikahi adalah pria 34 tahun. Dewasa sudah pasti. Peka dan superhatian. Tipe yang benar-benar pasang badan.

Meski tak banyak memberi masukan-lebih sering menyerahkan keputusan pada Agisa-tapi, Gadi begitu koperatif. Dia selalu menyempatkan hadir di setiap meeting formal maupun meeting keluarga. Bahkan, satu jam sebelum berangkat ke luar kota pun Gadi pasti akan datang.

Walau tak banyak mengambil andil, lewat hadirnya, Agisa bisa tahu bahwa Gadi menunjukan keseriusan yang sama. Yang paling penting di atas penting, Gadi tak pernah putus menghujaninya dengan perhatian. Tidak apa Gadi angguk-angguk saat rapat, tapi setelah itu dia datang dengan nasi kotak dan air mineral, memastikan Agisa menghabiskan makan-tak jarang juga menyuapi-lalu, setelah itu dia akan bilang, "Kakak temani keluar sebentar? Main, ngilangin pusing?"

Gadi yang tak berbakat 'menelantarkan'. Bagaimana bisa Agisa tahan untuk tak menemuinya sampai akad?

"Aku hanya tegang mau jalan bareng mertua. Hehehe."

"What?" pekik Vaya, menggumpal tisu lalu menimpuk ke wajah Gisa. "Kirain apaan!"

"Heheh. So far, so good."

"Kak Gadi gimana? Cuek nggak kayak Fatar?"

Kali ini Agisa tersenyum penuh arti. "Kalian akan sirik kalau aku ceritakan. Jadi, lebih baik kasih aku masukan soal topik yang baik untuk ngobrol dengan ibu mertua?"

"Kampret!"



***


Agisa sampai di kediaman Gadi
Rumah itu tidak besar. Berada di gang sempit, tidak bisa dilalui mobil. Gisa harus memarkir mobil di sebuah swalayan besar depan jalan. Lalu melewati jalan setapak rumit untuk bisa sampai di sana. Terlihat sederhana dan teduh. Teras panjang dengan pot-pot bunga memenuhi halaman sempit.

Beberapa ibu-ibu terlihat berbisik saat Gisa sampai di sana padahal dirinya sudah menyesuaikan pakaiannya. Celana jins dengan blus polos berwarna abu-abu. Entah apa yang dilihat ibu-ibu itu.

Begitu pintu terbuka, seorang wanita yang Gisa kenali sebagai ibu Daniyah tersenyum ramah. Walaupun sudah saling kenal, tetap saja Gisa merasa canggung. Ini calon ibu mertua. Bagaimana jika Gisa mengucapkan sesuatu yang salah?

"Masuk, Gis. Maaf, berantakan. Ibu belum sempat beberes. Tadi bangun pagi langsung kerja ke rumah Pak Camat."

Gisa membuntuti. Duduk kaku di sofa yang nampak pudar. Dia bertanya-tanya, kenapa Gadi masih membiarkan ibunya bekerja? Pun, dengan status Gadi yang menjabat sebagai Direktur di perusahaan transportasi IndoJeksia milik papanya, Gisa yakin, mereka bisa tinggal di rumah yang sepuluh kali lebih layak dari ini.

Kenapa dia tega melihat ibunya bekerja di masa tua?

"Gis? Kenapa bengong?"

"Eh," Disa mengelus tengkuk. "N-nggak kok, Bu."

"Nggak usah canggung. Ini akan jadi rumah Gisa sendiri-walau penampakannya beda dengan rumah Papa."

Agisa menggeleng. "Bagi Gisa, jelek atau bagusnya sebuah rumah, bukan tergantung bentuknya. Tapi 'isinya'. Nggak masalah Gisa tinggal di rumah kayak gini. Tapi isinya ada Ibu dan Kak Gadi."

Setelah mengucapkan itu, Agisa malah menggigit lidah. Apalagi, calon ibu mertuanya hanya merespons dengan senyum yang begitu ganjil di mata Gisa. Apa dia salah bicara?

Rumah kayak gini?

Gisa nyaris menampar mulutnya. Benar nasihat Vaya satu jam lalu: kesenjangan sosial antara dua keluarga seharusnya menyulap Agisa menjadi pribadi yang lebih hati-hati. Sebab, hal ini terlalu sensitif. Salah bicara, bisa mengundang salah paham.

"Maaf, Bu. Maksud Gisa rumah ini nggak jelek. Bagus," paparnya, merevisi maksud.

"Tentu saja bagus. Ini dibuat Almarhum Bapak Gadi sendiri. Dari atap sampai lantai. Semua sentuhan tangan Beliau. Tidak ada campur tangan orang lain."

Wajah Agisa memburam. Jawaban itu lembut, tapi mencubit hatinya. "Apa Gisa salah bicara, Bu?"

Alis Ibu Daniah meninggi. Sejurus kemudian wanita itu tersenyum. "Ibu tinggal ke dapur buatin Gisa sirup. Gisa tunggu aja, Gadi juga dalam perjalanan ke sini."

Sepuluh menit kemudian Ibu Daniyah kembali membawa sirup berwarna kuning dengan pecahan es batu. Biskuit kelapa Ia sajikan di sebuah mangkuk kaca yang pinggirannya sudah pecah. Beliau meminta Agisa menunggu sebentar untuk menukar pakaian. Gadis itu hanya mengangguk. Tertunduk makin dalam.

Keadaan ini benar-benar tidak enak. Tujuh menit yang menyiksa Agisa.

Pintu rumah terbuka bersama suara salam. Seorang perempuan dengan anak kecil sekitar empat tahun masuk. "Nenek! Rio minta biskuit kelapa!" teriak anak kecil itu. Lalu berhenti melangkah ketika melihat ada orang asing yang duduk di sofa.

Agisa menoleh, tak sempat menyapa, Ibu Daniah sudah keluar dari kamarnya. Tersenyum begitu lebar melihat dua orang itu.

"Hei Nana, Rio, Ayo masuk! Sini, sini, ada calon istrinya Gadi. Kenalin."

Mereka bertukar sapa. Dari perkenalan singkat, Agisa tahu bahwa ibu dan anak ini adalah tetangga-merangkap saudara. Ayah Nana dan ayah Gadi afalah konco sejak remaja. Bahkan pernah membuka usaha bersama. Jadi, Ibu Daniyah sudah mengenal Nana bahkan sejak wanita itu masih di kandungan. Terlebih, mendiang ayah Gadi begitu mendamba anak perempuan tapi tak kunjung dianugerahi. Jadilah Nana disayang seperti anak kandung sendiri.

"Aku sudah dengar yang namanya Gisa, tapi baru hari ini ketemu langsung. Cantik. Mas Gadi pintar sekali cari istri, Bu."

Gisa tanggapi dengan senyum ramah. Sementara Ibu Daniyah menarik tangan Rio ke meja. Sambil memberikan biskuit, ia bertutur, "Semua perempuan punya kecantikan sendiri, Na. Agisa cantik. Kamu juga cantik. Tapi ibu lebih suka rambut kamu yang hitam tanpa diwarnai. Lebih natural."

Agisa spontan menyentuh rambutnya yang dicat coklat gelap. Tatapnya beralih pada Nana. Benar. Nana memiliki rambut hitam legam. Sangat cocok dengan wajah dan gayanya yang meneriaki Indonesia sementara Gisa Korean style.

"Enggak, ah, Bu. Nana juga pengen gaya kayak Gisa. Imut sekali. Seperti artis Korea," puji perempuan itu, tulus.

Ibu Daniah tertawa. "Kamu sudah tua, Na. Nggak pantas lagi. Agisa memang masih anak-anak. Cocok."

Keduanya terkekeh. Lalu saling melepas ledekan. Terlihat akrab sekali. Layaknya seorang ibu dan anak. Sementara Agisa betah jadi penonton.

Beruntung, suara salam menginterupsi. Gadi muncul. Kemeja flanelnya terlihat lembab. Rambut basah terkena gerimis. Dia sempat terkejut melihat Agisa tapi kemudian mimik wajahnya berubah saat ibu Daniah tersenyum sambil berkedip menggodanya atas kehadiran Agisa. Laki-laki itu mendekat, mencium punggung tangan Ibu Daniah. Satu alisnya terangkat melihat pucuk-pucuk jari ibunya yang dipenuhi banyak garis halus pertanda kalau tangannya bekas terendam lama di air. "Ibu nyuci lagi?"

Cepat, ibunya menarik tangan. "Cuman iseng kok. Ibu nyari kesibukan."

Hanya tarikan napas kasar yang menandai ketidaksetujuan Gadi. "Awas kalau sakit, yah," komentarnya, pasrah.

Menghampiri Rio, Gadi mengacak puncak kepala anak itu. "Rio gimana sih, Om Gadi titip nenek, suruh Rio pantau. Kalau nenek kerja, laporin. Tapi Rio lalai."

Nnak kecil itu tertawa. Nana menyela, "Maaf, Om Gadi. Nenek baru aja kasih kue kelapa untuk bayaran tutup mulut."

"Oh, bagus. Kalian bersekutu." Gadi menggelitik perut Rio. Anak itu terbahak geli. Yang lain-kecuali Agisa-ikut tertawa.

Gadi baru menghampiri Agisa setelah Daniah mengajak Rio dan Nana ke belakang. "Abis Ashar, kita berangkat yah? Kakak antar ke tempat fitting." Ia duduk di samping Gisa. Gadis itu tidak bersuara. Masih merunduk.

Dasar Gadi, si peka yang gampang membaca keadaan, dia langsung tahu ada sesuatu yang terjadi pada Agisa. "Gisa Kenapa?" tanyanya.

Kepala Agisa mendongak. Matanya sudah bertelaga. "Ibu benci Gisa, ya?" tuturnya dalam suara bergetar.

Seulas kerutan muncul di kening Gadi. "Kenapa Gisa mikir begitu?"

Mengalirlah cerita Agisa. Mulai dari percakapan pertamanya dengan Ibu Daniyah, wanita itu yang tampak ketus ketika Gisa tak sengaja menyinggung soal rumah dan terakhir, tentang perbandingan soal rambut.

Gadi menarik napas. Mata Agisa adalah favoritnya. Saat dia bicara, dia perlu melihat mata itu. Tapi, kali ini, sengaja dia biarkan mata itu terhalau poni. Sebab ada gerimis di sana. Gadi tidam suka melihat perempuan menangis.

"Jangan nangis. Gisa perlu tahu satu hal. Nanti, Kakak cerita setelah ashar. Gisa belum salat, kan?"

Gadis itu menggeleng.

"Ambil wudhu dulu. Kakak panggil yang lain, sekalian pinjam mukena Ibu buat Gisa. Kita jamaah saja di sini."

Gadis itu masih bergeming.

"Agisa..." tegur Gadi, pelan.

"Mbak Nana itu... mantan Kak Gadi, kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro