Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 20

Obsesi sederhana Agisa Barata adalah: merobek 'topeng' Gadi. Selama ini, ingin sekali Agisa lihat lelaki itu mengaplikasikan emosi. Tadi, semua terkabul. Agisa resmi membubuhi centang biru tanda berhasil.


"Jadi... Kenyataan sebenarnya adalah... Kakak kecewa?"

Henti beberapa lama. Sebelum Gadi menjawab, "Ya."

Sejujurnya... Agisa tidak ingin Gadi menjawab pertanyaan itu....

"Saya kaget. Merasa ditipu. Dan kecewa. Manusiawi bukan? Atau... saya nggak berhak untuk itu?"

"Sangat berhak. Masalahnya, kenapa harus pura-pura terima? Kenapa nggak langsung ceraikan aku detik itu juga?"

"Karena semua hal, nggak sespontan isi kepalamu!"

Perasaan Agisa saat itu adalah kaget berbaur sangsi. Ini pertama kali Ragadi meninggikan suara. Rasanya, seperti tengah mengobrol dengan manusia baru. Gadi menjelma jadi sosok asing.

"Lalu semua perlakuan Kakak selama ini... sikap manis Kakak... Kalimat penguat untuk kembalikan percaya diri aku, itu—"

"Tidak tulus?" simpul lelaki itu, dingin. "Palsu? Terpaksa karena balas budi? Munafik? Apa lagi? Bilang!"

Agisa kehilangan kemampuan beradaptasi dengan mode baru Gadi. Isi kepalanya bertanya, kenapa seorang selemah lembut itu, dengan enteng bersikap ketus padanya? Kemarin Agisa menghamba sisi lain—yang lebih manusiawi—dari Gadi. Sekarang, dia ketakutan menghadapi.

Harap Gisa, seseorang datang menyelamati mereka dari ancaman perdebatan rumit ini. Namun, keadaan sekeliling sepi. Pintu-pintu ruang inap Vvip tertutup. Membuat mereka seolah berada di dunia sendiri. Saling serang dan terpojok.

"Ini bukan tentang kesucian. Kecewa saya hanya tentang kejujuran kamu. Dan sudah saya atasi sendiri sejak awal." Raut lelaki itu semakin kelam. Sukses mengikis nyali lawan bicaranya.

"Menyimpan reaksi saya, adalah bagian dari mengistimewakan kamu. Saya hanya bijaksana: buang semua rasa ganjil itu, lalu berupaya agar semuanya kembali normal. Kamu bilang saya pura-pura? Apa saya harus maki-maki supaya terlihat tulus?"

Panjang lebar dan menyelentik Agisa tepat pada jantungnya.

"Hati saya—sampai ke syaraf-syaraf terhalusnya—nggak pernah sedikit pun suarakan sesal karena pilih kamu. Saya ikhlas."

"Ikhlas..." tiru Agisa dalam nada skeptis. Dia mulai tidak bisa membedakan arti ikhlas atau pasrah dalam kebodohan dari seorang Ragadi. "Apa ikhlas itu  termasuk menganggap diri kehilangan pilihan lain? Lalu memecut hati agar memilih aku?"

Gadi Menyipit, seolah baru mendengar kalimat paling aneh.

"Apa ikhlas itu ... menumbalkan pernikahan untuk balas jasa?"

Sesaat, mereka bersitatap. Menukar kerumitan isi kepala.

"Kakak kecewa karena aku nggak jujur? Kita sama, bukan? Saling tipu?"

Kesimpulannya: Gadi mulai dengan kebohongan. Sama, Agisa pun demikian. Mereka sama-sama picik.

"Saling tipu," ulang Gadi. Tawa getir beriringan dengan usapan merana di wajah. Lama ia tunduk, pandangi vinyl. Sekarang Gadi paham alasan Agisa minta pisah. Teka-teki isi kepala wanita itu mulai tertebak.

"Entah kenapa kamu berasumsi sedangkal itu tentang saya. Yang jelas, saya mulai ini dengan niat paling baik. Hati yang paling tulus. Karena saya cinta sama kamu!"

"Cinta yang dipaksakan maksudnya? Apa itu layak?"

Gadi geleng kepala. Makin tak habis pikir. Sebenarnya apa yang Agisa cari? Pengakuan jenis apa yang ingin didengar wanita itu?

Kali ini Gadi biarkan wajahnya setara dengan Agisa; menantang langsung. Jelas, perempuan di hadapnya menciut.  Dia mundur selangkah, Gadi kejar dua langkah.

"Lebih layak mana, dibanding cinta kamu yang katanya dari awal untuk saya tapi sempat kamu bagi ke ORANG LAIN?!"

Terbawa emosi, Gadi tak sadar suaranya sampai menyentak Agisa. Perempuan itu menutup kuping. Gemetaran. "Jangan gituuu... Kakak nakutin aku!" jeritnya.

Ragadi memejam. Sungguh, diperbudak emosi bukan gayanya. Tapi pengecualian baru saja diaktifkan, khusus Agisa Barata. Betapa lihai wanita itu menyalaredupkan emosi. Rasanya, pengendalian diri Gadi lenyap.Ilmu sabarnya ditumpulkan perempuan kecil ini.

"Kamu tahu? Nggak semua cinta hadir secara spontan—lewat rangkaian kejadian klise. Beberapa butuh diupayakan—lewat proses-proses panjang. Dan saya punya cinta yang seperti itu. Apa itu nggak masuk hitungan?"

Gadi terus bicara, "Sementara cinta kamu ke saya, termasuk yang klise. Justru itu, kamu bisa lepas semuanya dengan gampang. Karena kamu nggak tahu apa itu yang namanya usaha dan berkorban!"  

Penuh makna dan memukul. Paling sadis, mengirim tremor ke tubuh Agisa. Dia ingin kabur, tidak siap biarkan laki-laki itu melukainya lebih dalam. Mata itu hilang keramahtamahan. Seumur kenal, ini kali pertama Gadi membuatnya tak nyaman berdekatan.

"Cara kamu mencintai hanya sampai pada pengertian: melepas saya demi kebaikan. Apa kamu pernah—sekali saja—berhenti jadi egois dan bertanya tentang kemauan saya? Apa kamu tahu? Cara saya mencintai adalah mengupayakan kamu untuk terus ada di sisi saya?

"Kakak teriak ke aku! Kakak nggak sayang aku lagi!"

Selalu seperti itu. Gadi jengah.

"Terserah!" hardiknya, "absen semua anggapan jelekmu tentang saya! Memang hanya seperti itu, kan, saya di mata kamu? Nggak ada benarnya sama sekali!"

Sampai di sini, Gadi membujuk diri agar tega—meski ingin sekali dia mencekik lehernya sendiri karena biarkan emosi meluap.

"Sekarang, saya jahat. Itu hal yang ingin kamu cari, bukan? Kamu nggak perlu repot-repot nyusun argumen membingungkan. Tinggal pakai alasan ini, kalau mau tinggalkan saya...."

Bagi Agisa, Gadi jelek saat marah.

Lebih jelek lagi karena ... lelaki itu meninggalkannya sendirian di luar. Tanpa berusaha membujuk. Atau kukuh membawanya masuk—seperti biasa.

Pembicaraan panjang yang tak menemukan ujung. Malah, mengangakan luka-luka baru.

***



Pagi yang melankolis.

Bagian hati Gisa yang biasanya hangat karena Gadi, kini ngilu. Diperas. Lalu sakitnya keluar menjadi air mata. Hidung merah bengkak, mampat karena kebanyakan menangis.

Subuh tadi, Agisa beranikan diri untuk mengintip. Dilihatnya Ragadi tidur dekat Daniyah. Tangan mereka bertaut—panorama pendidih sudut mata Gisa. Betapa tidak, sentuhan Gadi sangat lembut, seperti memegang gelembung.

Kala Daniyah terjaga, minta sesuatu, Gadi melayaninya dengan tulus. Lelaki itu membelai rambut ibunya penuh sayang. Cintanya kentara terpancar.

Agisa tercekat. Setiap hari selama pernikahanan, Gadi pun memperlakukannya demikan. Dijadikan pusat dunia; ditatap dengan kadar cinta serupa. Insiden rekaman video tempo lalu mulai menancap setangkup ragu. Setelah itu, Agisa terus cari titik celah di mata Gadi. Terobsesi menemukan ketidaktulusan di sana. Sayangnya, yang dia jumpai justru antonim dari apa yang dia cari.

"Di dunia ini, nggak semua cinta hadir secara spontan. Lewat kejadian-kejadian klise. Beberapa butuh diupayakan. Lewat proses-proses panjang"

Pernyataan yang menohok. Bak petir dari tombak trisula Dewa Zeus. Agisa tersengat dalam arti kalimat itu.

Agisa sadar bahwa dia terlalu sibuk mencecar Gadi. Lalu abaikan fakta bahwa lelaki itu memang sudah memiliki cinta untuknya. Hanya saja, proses mereka berbeda.

Apa salahnya dengan itu? Kenapa dia mempersulit situasi?

Begitu cetek pemikirannya. Dia hanya ingin mengukur tulus Gadi lewat emosi lelaki itu. Seolah jika Gadi meledak, semua masalah selesai sampai di situ.

Ternyata tidak.

Permintaan-permintaan aneh, keputusan kekanakan. Lalu saat semua itu dia dapatkan semalam, sekarang, Agisa sendiri kebingungan, sebenarnya ... apa untungnya desakan pengakuan itu? Gadi memang mencintainya karena Bara. Itu proses. Bukan bagian dari khianat atau penipuan. Yang salah hanya... laki-laki itu belum mampu mengelola sikap.

Lalu... Apakah berpisah adalah keputusan bijaksana?

Gadi mungkin sudah muak.

Tadi... dia bahkan tidak menawarkan sarapan untuk Agisa. Padahal, sesibuk apa pun, lelaki itu selalu menyempatkan diri 'mengurus' isi perut Agisa. Walau sekedar susu kotak. Lihat Gadi menyuapi Daniyah begitu telaten, rasanya Agisa seperti anak telantar di dalam ruangan itu.

"Ibu mau Gisa pakein popok lansia? Biar ibu nggak usah bolak-balik kamar mandi?" tanya Agisa begitu melihat ibu mertuanya dituntun Gadi kembali dari kamar mandi.

Daniyah tersenyum. "Gad, istrimu terobsesi pakein ibu popok." Menunjuk Agisa, perempuan itu bilang, "Kamu pengin buru-buru lihat ibu jadi lansia? Biar nggak nyebelin?"

"Bukan gitu, Bu. Gisa hanya—" Terhenti karena Gadi menggiring percakapan. Yang Agisa artikan sebagai bentuk gerah lelaki itu mendegar kicauannya.

Lelaki itu mulai sibuk membenahi posisi tidur Daniyah sambil menasihati ibunya beberapa hal. Mereka tenggelam ke dunia mereka. Agisa diasingkan. Dia memilih keluar. Tidak ingin menangis di dalam ruangan lalu berakhir diinterogasi Daniyah.


***

Sore hari, Bara dan Namira datang menjenguk. Kembali Agisa lewati jam-jam penuh lakonan; pura-pura ceria meski tahu ada seseorang yang sedari tadi sadis mengabaikannya.

"Bu Daniyah, Agisa pasti nggak pintar jaga orang sakit," tutur Namira sambil mengelus punggung tangan tua itu.

"Memang," Daniah coba selipkan tawa dalam jawabnya yang lemah. "Tapi saya nggak perlu itu. Yang penting, Agisa di sini. Lihat poninya saja saya bisa tertawa."

Defenisi membutuhkan paling nyeleneh.

Semua tertawa—kecuali Gadi dan Agisa. Rahang mereka terlalu keras untuk digerakan. Yang satu, memojok di sofa. Satunya lagi dengan sopan berdiri di samping mertua.

"Justru itu..." Bara dekap bahu Gadi. "Saya kadokan Agisa untuk Gadi. Supaya hidup kalian bisa berwarna karena... saya tahu, bagaimana tenangnya punya anak seperti Gadi. Kalian memang butuh pengecoh."

Kembali Daniyah terkeleh. Kali ini wanita itu sepakat. "Ya. Memang pengecoh. Tukang ngambek juga. Beberapa kali, saya dan Gadi dibikin putus jantung."

Jujur adalah kesamaan Gadi dan Daniyah. Hanya saja, Gadi versi halus sementara Daniyah sangat gamblang. Bara dan Namira tak terlalu terkejut menghadapi wanita itu. belasan tahun keluarga mereka terhubung, bukan sekali dua kali mereka diketusi Daniyah.

Bara bilang, "Sabar sedikit. Agisa pasti bisa mengatasi itu dalam dua-tiga tahun pernikahan. Justru itu saya ingin dia cepat-cepat hamil. Kalau sudah jadi ibu, biasanya, perempuan sekekanakan apa pun pasti jadi lebih aware."

"Ya, saya juga berpikir begitu. Semoga Agisa cepat hamil. Gadi sudah tua, saya juga khawatir. Kalau kelamaan, takutnya saya nggak kuat gendong cucu."
"InshaAllah."

Cerah dominasi. Hanya Agisa yang dirudung mendung. Harapan orangtua dan ibu mertuanya membawa tekanan. Ketakutan itu mulai terbaca jelas di matanya.

Hingga orangtuanya pulang, malam bertamu, Agisa terpekur di sudut ruangan. Mengabaikan perut yang lapar dan kulit tubuh yang mulai lengket.

"Kamu kayaknya belum makan dari tadi pagi, Gis?"

Renung pecah oleh Daniyah. Agisa tersenyum di tengah kaku otot wajah. "Sudah, Bu." Jelas bohong. Diliriknya Gadi, sengaja mengecek setitik kepedulian yang masih tersisa. Alih-alih bereaksi. Gadi, sama sekali tak melirik. Perhatian lelaki itu berganti-ganti dari televisi dan Daniyah.

"Oke. Gisa nggak mau pulang dulu? Ganti baju, istirahat?"

"Pengin mandi tapi... nggak ada yang jaga ibu."

"Nggak apa-apa. Ibu bisa sendiri."

"Ibu mau Gisa hubungi Mbak Nana?"

"Memangnya... boleh?"

Memahami ragu yang lintasi raut Daniyah, Agisa menepisnya lewat tautan tangan. Yakinkan bahwa dia tidak mempermasalahkan kehadiran Nana.

"Nggak apa-apa, Bu. Gisa nggak marah."

Gadi lantas berdiri. "Biar Gadi jemput Nana. Sekalian mandi dan ambil baju bersih. Ibu tunggu sebentar."

Lelaki itu pergi. Tanpa pamit pada Agisa. Mereka kembali satu jam kemudian. Nana membawa beberapa kotak makan. Agisa menyambutnya dengan senyum lapang, lalu cium pipi Rio—pemandangan yang menetramkan hati Daniyah, namun wanita tua itu takut bereaksi lebih. Masih menjaga hati Agisa.

Memerhatikan kejadian di ruangan ini, saat Gadi, Daniyah dan Nana berinteraksi sebegitu hangatnya, Agisa jadi mengerti satu hal bahwa dia dan Nana memiliki peran yang berbeda. Tidak ada gunanya saling berebut posisi sebab mereka sudah berada di posisi yang paling benar. Tak bisa bertukar peran.

"Mbak Nana temenin Ibu dulu, ya? Gisa balik. Ganti baju."

"Iya. Kalian kalau mau istirahat, nggak apa-apa. Biar Mbak temenin Ibu."

Kalian yang dimaksud Nana tentu saja Gadi dan Agisa. Namun, melihat respons Gadi yang tak beranjak satu senti pun dari sisi Daniyah, Agisa tahu bahwa laki-laki itu masih tidak ingin bicara apalagi mengantarnya pulang. Dia meminta ijin sekadar, lalu pamit.

Sampai di gerbang, Agisa sempat menunggu barangkali Gadi masih memiliki sedikit rasa iba lalu mengejarnya. Namun, sampai Grab pesanannya datang, lelaki itu tak menunjukan batang hidung.


***


Lampu-lampu klasik yang menggantung sebagai penerangan di rumah itu tak dibiarkan menyala. Suasana begitu mencekam kala Gadi menjejak di taman.

Halaman berumput basah efek hujan sore tadi. Setapak berbatu mengilap oleh tempias air. Pucuk pinus ikut kuyup. Kelam dan kosong. Seperti tak ada kehidupan.

Yang ada di pikiran Gadi saat ini adalah cepat-cepat menemui Agisa. Langkahnya melaju. Sempat terkejut karena pintu utama dibiarkan tidak terkunci.

"Gisa?" Selepas menaruh bungkusan makanan, Gadi hidupkan semua penerangan. Lalu mencari keberadaan istrinya.

Agisa duduk merenung di halaman belakang. Pada kursi besi berukir. Memeluk lutut. Kostumnya belum berubah. Padahal, sudah dua jam berlalu semenjak perempuan itu meninggalkan rumah sakit.

Tangan Gadi terkepal. Ingin sekali meninju kepalanya sendiri. Rasa bersalah mengepung dari berbagai sisi. Tadi, betapa brengseknya dia membiarkan Agisa pulang sendiri. Kemarahan kali ini benar-benar melewati batas. Setelah ini, Gadi siap dihukum karena menyakiti istrinya.

Sampai Gadi berdiri di depan pun wanita itu masih tunduk, tatapnya kosong. Seperti kehilangan isi kepala.

"Hei..." Disentuhnya pundak Agisa. Wanita itu mengangkat wajah, hati Gadi diremas mendapati linangan air mata di sana. "Kenapa duduk di luar?"

Untuk beberapa saat Agisa masih menatapnya, sangsi. Raut bingung segera berubah jadi isak tangis karena tangan Gadi menyusuri pipi lalu nyata menghapus air matanya. "Jangan nangis. Nanti sakit kepala."

Kelembutan Gadi kembali. Perhatiannya pulang. Agisa peluk lengan lelaki itu lalu tenggelam dalam sedu-sedannya. Baru sehari didiami Gadi, rasanya seperti kehilangan pijakan hidup.

"Kakak kelewatan." Gadi tempati sisi kosong di depan Agisa. Menyusuri wajah itu dengan telunjuk. Agisa tampak kacau: bibir pucat, mata berbingkai hitam, hidung bangir yang membadut.

Gadi tertampar. Apa yang dia lakukan semalam? Dia baru saja mencabutpaksa keceriaan Agisa. Dia... melanggar janjinya untuk tidak menyakiti.  

"Kakak minta maaf, Sayang."

Pelukan mengetat. Penuh sesal dan permintaan maaf. Tak berhenti sampai di situ, Gadi cium kelopak Agisa—tebusan pertama karena lancang menjatuhkan air mata wanita itu. Lalu, kemudian kecupnya berpindah di pelipis, untuk hilangkan ucapan-ucapan buruk yang melekat di kepala. Terakhir, di bibir. Untuk penghargaanya.

"Gisa mandi, ya?" Gadi membantu Agisa berdiri. "Setelah makan. Kita bicara."

***

Cinta mampu torehkan luka mendalam, cinta jualah yang menyembuhkannya.

Agisa merasakan dua hal itu sekaligus.

Di depan, lelaki yang dicintai sampai ke syaraf-syaraf terhalusnya—yang semalam juga melukainya begitu hebat, kini, membuatnya pulih.

Usai memastikan Agisa mandi, tukar pakaian dengan terusan floral, Gadi membawanya ke dapur. Sembari menunggu makanan hangat di microwave, lelaki itu mengeringkan rambut Agisa dengan handuk kecil. Dia bahkan menyuapi Agisa seperti seorang ayah pada anaknya.

Sesaat kemudian mereka sudah berpindah di sofa ruang keluarga. Duduk berimpitan ditemani dua buah cangkir teh beraroma bergamot. Nyaman sekali membiarkan jemari mereka bertaut satu sama lain.

Sejurus hanya geming. Namun, ada bising dari kecupan Gadi pada punggung tangan Agisa yang melatari mereka.

"Kita sudah melewati batas, bukan?" Lelaki itu menarik Agisa ke pelukannya. Ia bicara sembari menghirup aroma syampo dari helai rambut istrinya.

"Saling nyakitin. Salah paham dan saling lempar tuduhan."

Perlakuan Gadi bikin Agisa ingin menghentikan tombol penghenti waktu. Dunianya kembali membaik. Namun, tanpa Gadi sadari dia sedang menguak lebar-lebar sebuah pintu rahasia di hati Agisa. Semua itu sudah bergantung di lidah, siap-siap terungkap.

"Kakak minta maaf karena lepas kendali. Maaf karena kurang sabar dan bikin Gisa nangis. Di sini... Kakak yang lalai. Semoga Gisa bisa maafin semuanya."

Agisa tak kuasa menyahut. Kebaikan Gadi seperti cekikan rasa bersalah untuknya.

"Soal kemarin. Kakak mau kita lupakan. Masa lalu Gisa, alasan-alasan di balik proses jatuh cintanya Kakak ke Gisa. Semua yang bikin terluka mari kita kubur."

Gadi tidak tahu, dalam peluknya Agisa sedang menangis.

"Anggap saja, kita impas. Skors kesalahan kita seri. Nggak ada yang kalah dan menang. Kita buang semua itu dan mari perbaiki lagi hubungan kita."

Baru setelah punggung tangannya terkena sebulir air mata Agisa, Gadi merenggangkan pelukan mereka demi menyimak wajah Agisa. "Hei..." Dia usap pipi itu, penuh sayang. "Kakak tahu ini berat bagi Gisa. Kakak sudah banyak nyakitin Gisa. Tapi, Kakak minta sekali lagi kesempatan. Gisa maafin Kakak."

Agisa coba menguasai diri. "Bagaimana kalau ... skors kesalahan sebenarnya nggak seri?"

Alis Gadi terangkat. Memahat wajah kebingungan.

"Bagaimana kalau ternyata ... Sampai sejauh ini, masih ada yang Gisa rahasiakan dari Kakak?"

"Maksud Gisa?"

"Aku ... " Agisa menarik napas. Bibirnya begitu kelu untuk berucap. Gadi menunggunya dengan sabar. "Gisa masih punya kebohongan lain lagi."

Dia memaksakan diri menatap Gadi meski ketakutan berjumpa dengan reaksi yang tak ingin dia lihat.

"Kebohongan lain," ulang Gadi seringan mungkin, dia coba agar nada bicaranya tidak menekan Agisa. "Apa itu? Kakak boleh tau?"

Kembali hening. Milik Gadi, adalah penasaran. Milik Agisa adalah ketakutan. Seolah sedang menunggu detik-detik eksekusi.

"Gisa..." Bertangkai-tangkai air merambat ke wajah pucatnya. "Gisa pernah ... hampir... jadi seorang ibu."

Informasi itu terlalu mengejutkan, sampai-sampai otak Gadi tak mampu memproses. Laki-laki itu masih menatap Agisa dengan rasa penasaran tinggi, berharap perempuan itu menjelaskannya sekali.

Agisa mengabuli. "Gisa ... pernah hamil," jelasnya kepayahan. "Pernah mengandung benih orang lain."

Hanya dua detik, dirasakannya genggaman tangan Gadi melonggar, pelan, lalu ... terlepas sempurna.

Agisa makin ketakutan.

Cukup lama Gadi diam sampai akhirnya, bertanya dalam nada pelan didominasi serak, "Apa orang itu..." Dia mengambil napas. "Raypaskal?"

Anggukan pelan Agisa membuat lelaki itu memejam. Terpukul. Seluruh tulang baru saja dicabutpaksa dari tubuh. Gadi kehilangan tenaga. Bahkan permohonan maaf Agisa dalam ledakan isak pun tak bisa didengarnya sama sekali. Rasanya... langit baru saja jatuh dan menimpa kepalanya.

"Maafin Gisa." Perempuan itu berlutut di depan Gadi. Mencari cara agar lelaki itu keluar dari pusat kacaunya. "Kakak...."

"Kamu..." Mata Gadi terbuka. Ada lapisan bening di sana. "Bagaimana bisa sembunyikan masalah sebesar ini? Kamu anggap apa Kakak ini, Agisa?"

Tangis itu semakin menjadi-jadi. "Gisa minta maaf, Kak Gadi... Gisa minta ampun." Mohonnya tersendat-sendat.

Lelaki itu menggeleng seraya melepas tangan Agisa dari lututnya. "Maaf. Untuk saat ini... Kakak nggak tahu harus bagaimana," lirihnya lalu berdiri. Terseok-seok, lelaki itu menuju pintu keluar. Beberapa menit, suara mesin mobilnya mengudara.

Gadi pergi. Meninggalkan Agisa yang tersedu-sedu kebingungan. Di tengah harapan yang menipis, dia berdoa semoga masih ada secercah ruang di hati Gadi yang menyimpan maaf untuknya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro