Chapter 19
Dewasa itu mampu menepikan egois.
Ya, Agisa sedang berusaha untuk itu. Mungkin benar, bagi Gadi, Agisa masih anak-anak. Tapi, lihat, 'anak-anak' ini baru saja membuat keputusan tegas—sesuatu yang bahkan tak mampu dilakukan laki-laki 34 tahun, pemimpin sekaligus kepala rumah tangga seperti dirinya.
"Kita pisah saja."
Kalimat itu terus terulang di malam itu, hingga siangnya. Agisa ingin mendapati respons yang lebih sentimentil dari bungkam, mata berkaca-kaca, dan dekapan beraura kehilangan itu. Namun, Gadi bahkan tak berani menghadang matanya.
Laki-laki itu membuat susu hangat untuk Agisa. Tak melupakan ritual cium pipi sebelum tidur. Manis dan kehangatannya masih ada, yang hilang hanya suara.
Siang, dua hari setelah insiden itu, tiba-tiba Gadi menjemput Agisa di kantor. Kalau saja tidak ada Bara yang kebetulan sedang berpesiar, Agisa tak mungkin mengiyakan. Sekarang dia di sini, berdampingan dengan Gadi di mobil.
"Ke Bandara? Mau jemput siapa?"
Agisa baru berani bertanya, tak ada jawaban sampai mereka masuk ke parkiran. Genggaman Gadi jadi pemandu Agisa, keduanya masuk ke Lounge. Gadi tempati meja yang sama seperti beberapa bulan lalu.
"Ini—"
"Tempat di mana pertama kalinya Kakak dengar keyakinan seorang perempuan, yang menerima Kakak, masuk ke dalam hidupnya."
Senyum pahit Gadi jadi latar ucapannya. Pemandangan itu bikin hati Agisa berderit ngilu.
"Sayangnya. Beberapa malam lalu, perempuan itu usir Kakak keluar dari hidupnya."
Laki-laki itu memijat buku-buku jari Agisa. Dalam setiap sentuh, ada kiriman permohonan dan bujukan. Senyap yang ia beri, tak mampu membuat wanita di depan melafas sepatah kata.
"Kalau apa yang kita jalani kemarin sudah rusak, mari mulai lagi. Dari scene paling awal, di tempat paling pertama."
Gelengan disertai tawa getir. "Gisa mau tamatkan saja."
***
Tujuh puluh menit yang menyunyi. Berdenyut maju. Manusia berganti, namun Agisa dan Gadi terpekur, tak berani mengambil langkah. Kalimat terakhir tadi ... terlalu bahaya untuk dikulik lebih jauh.
Gadi terutama. Betapa takut ia menanggapi. Tak mau kalimat itu berestafet menjadi keputusan yang tak dia inginkan.
"Dari mana Gisa belajar mengucap hal seberat itu? Tanpa rasa sakit? Tanpa ragu sedikit pun? Sedangkan Kakak, jadi pihak yang mendengar pun rasanya nyaris sekarat. Sakit dan ketakutan."
Tanya itu tanpa sahut. Tertelan hiruk-pikuk sekeliling.
"Kakak nggak akan pergi. Satu langkah pun dari Gisa."
Jika skenario favorit Agisa adalah melepas Gadi, lelaki itu minta maaf sebab dia akan merusak. Caranya: mengikat diri lebih kuat lagi. Sampai Agisa tak pernah sanggup melepas. Kehabisan ide, menyuarakan perpisahan.
"Itu karena Papa, kan?" Agisa melirih. "Karena takut Papa kecewa kalau kita pisah?"
Spontan dan sukses bikin kening Gadi bergelambur.
"Selama ini ... Gisa pikir, kita pasangan ideal. Kakak perlakuin Gisa kayak sayap kupu-kupu: terlalu lembut. Nggak pernah marah atau nunjukin tanda-tanda kesal. Semua itu bikin Kakak nggak manusiawi! Karena memang Kakak itu robot yang diprogram Barata!"
"Agisa..."
"Lalu, yang kita jalani ini apa? Rumah tangga taik kucing? Kompromi level tinggi? Balas budi nggak berujung dan penghargaan sialan?!"
"Agisa!"
"Agisa, Agisa apa?! Nggak bisa jawab, karena bener'kan?"
Gadi terpengarah. Amarah Agisa membekukan Diksi di kepalanya. Sekitar mulai tak nyaman; puluhan mata dengan arti-arti khusus menikam mereka dari berbagai sudut Lounge Bandara.
Lantas, tangan lelaki itu terjulur melintasi meja lalu menangkap bahu Agisa. remasan ketat dia beri dengan harap agar tensi Agisa sedikit turun. "Ini tempat umum. Nggak bagus teriak-teriak begitu."
"Memangnya kenapa?!" Agisa tidak peduli. Rasa tak puas akan respons Gadi mengundang keganasan. Dia bangkit hingga sentakan kakinya mendorong kursi yang ia tempati.
"Apa Kakak takut? Kalau semua orang tahu bahwa Kakak nggak tulus?" Kabut di mata Agisa menjadi-jadi seiring jalan napasnya menyempit. "Takut, dunia tahu bahwa Ragadi Tungga Putra... terpaksa jalani pernikahan? Untuk menebus kebaikan orang yang naikin level hidupnya?"
Bagai pedang bermata dua, kalimat itu melukai dua hati bersamaan. Tak hanya Gadi, yang merasakan bahwa harga dirinya sedang ditelanjangi habis-habisan, tapi juga Agisa. Melukai Gadi, seperti mencucuk jarum dalam nadinya sendiri. Dia merana dalam situasi ini—semakin sekarat karena lelaki itu membalas kekurangajarannya dengan ketenangan yang menurut Agisa masih tidak manusiawi.
"Gisa salah. Kakak nggak begitu."
Lihat, hanya butuh lima menit Gadi berhasil melembutkan napas. Saat kelopaknya terbuka, Gisa temui noda merah di mata lelaki itu. sungguh, Agisa membujuk diri agar tidak kasihan dan berlari memeluk Gadi. Karena yang dia butuhkan bukan respons seperti ini.
Gadi masih palsu! Masih Marionette-nya Bara!
Agisa terobsesi untuk merobek topeng Gadi. Dan melihat, seperti apa rupa emosi yang selama ini disembunyikan lelaki itu?
"Dasar munafik! Gisa lebih baik hidup dengan pembunuh daripada dengan orang munafik!" Tangannya berpangku. Marah. Kesal. Putus asa. Bercampur. "Untuk itu... Gisa kasih opsi ke Kakak supaya berhenti menipu diri sendiri!"
Ragadi menarik napas. Sabar. Saatnya menyudahi tontonan tidak menyenangkan siang ini. Dengan sisa-sisa kekuatan, dia coba menuntun Agisa; mengabaikan celoteh-celoteh ingin bercerai perempuan itu—menggigit lidahnya agar tidak latah mengabuli.
Step pertama memerbaiki, gagal total!
***
"Gis, gue nggak tahu masalah lo, tapi, berhenti minum sebelum lo mati. Please."
Nia tampak ketakutan. Seumur pertemanan, ini pertama kali Agisa begitu ngotot ingin mabuk. Padahal, semenjak kuliah, Agisa bahkan sangat ketakutan menyentuh minuman keras.
Satu teguk.
tiga teguk.
Enam kali teguk dalam satu jam belakangan. Agisa mulai tertawa-tawa, memegang kepala. Sebisa mungkin Nia tahan tubuhnya agar tidak limbung menerpa seorang lelaki di samping mereka.
Suasana mulai tidak aman. Para tamu membanjiri area kolam renang. Pelayan sewaan mulai kewalahan mengantar minuman dan membuat orang-orang mengantri di home bar untuk mendapatkan bir gratis.
Ini semakin di luar kendali. Satu per satu pria tawarkan jasa menemani. Nia sesali keputusannya mengajak Agisa ke pesta ulang tahun teman kantornya ini. Sore tadi, Agisa minta ditemani 'senang-senang', karena berpikir ini pesta terbuka, pun, Angel—sang pemilik acara—membebaskan siapa pun datang, Nia putuskan membawa Agisa.
Pada akhirnya, acara bersenang-senang Nia berganti judul jadi merawat bayi besar. Belum lagi, halter top yang dikenakan Agisa membawa keberuntungan bagi lelaki-lelaki yang berlalu lalang. Nia dibuat kewalahan menutup punggung atau paha temannya itu dari mata penuh nafsu laki-laki.
"Gis, sumpah! Jangan sampai mabuk parah. Gue nggak akan mungkin gotong lo sampe ke parkiran."
"I'm okay, Ni." Satu teguk lagi.
"Oke gimana? Lo mulai nggak waras."
Agisa terkikik. Belum sempat membalas, dia dibuat merinding oleh rasa dingin di sepanjang punggung. Seseorang tak sengaja menumpahkan bir di sana. Bukannya kesal, tawa Agisa semakin keras menyaingi entakan-entakan musik seantero rumah mewah itu.
"Punya mata nggak lo!" bentak Nia pada lelaki itu.
"Gue nggak keberatan kok jilatin punggung temen lo."
Nia hampir menyirami laki-laki itu dengan fruit punch-nya kalau tidak ditahan oleh Raypaskal. Ya, Pak Manajer itu sedari tadi memang duduk tak jauh dari mereka. Dia ikut datang ke pesta Angel tapi tidak minum sama sekali. Hanya menghargai undangan.
"Sori Kak Ray." Nia tak enak karena minumannya sedikit memercik ke kemeja laki-laki itu.
Raypaskal tersenyum. "Santai, Ni." Dia melirik Agisa. Tampak khawatir karena wanita itu mulai teler. Agisa bahkan tak berusaha menghindar seperti biasa. "Syahfa mabuk. Kamu... tolong liatin dia, Ni. Kalau ada apa-apa, saya di sana. Ngobol sama Brama."
"Oke."
Paskal pergi, perhatian Nia kembali pada Agisa. Botol minumnya tinggal separuh. "Ya ampun! Lo pernah sumpah nggak nyentuh alkohol lagi. Sekarang...."
Untuk kesekian kali, Agisa tak hiraukan.
Persetan dengan Raypaskal. Sebodoh iblis dengan Nia. Mungkin, butuh dua teguk lagi sampai Agisa benar-benar mabuk dan nikmati ketenangannya.
Alkohol adalah zat pengelupas memori—walau sementara. Agisa memang butuh itu. Untuk hilangkan perlakuan Gadi semalam yang begitu melekat sampai pada sel-sel otak. Bagaimana tidak, pukul tiga pagi, usai shalat tahajud, sempat-sempatnya lelaki itu membikin Agisa tersentuh.
"Pekan ini... Kakak keseringan minta pasokan sabar. Tapi nyaris habis kerena pakainya boros, untuk hadapi Gisa."
Sapuan lembut Gadi di kepala, menembusi sampai ke tulang belulang Agisa. Dia tidak pernah tahu, dari mana Ragadi mendapatkan kesabaran sekuat itu? Berulang kali Agisa berulah, sebanyak itu pula Gadi mengalah.
"Jangan lama-lama uji Kakak. Tabungan sabar kita tinggal sedikit. Kakak takut lepas kendali." Diciumnya Agisa lama. Berbisik betapa sayangnya dia pada perempuan itu. Dan mengucap janji bahwa dia akan tetap waras menghadapi masalah ini. Tak peduli seberapa keras pinta Agisa untuk ditinggalkan, dia tidak akan pernah mengucap pengabulan.
"Kakak bertahan atas keinginan Kakak sendiri, Sayang. Bukan untuk menyenangkan siapa pun. Karena Kakak butuh Gisa. Mana bisa Kakak lepas satu bagian paling vital di hidup Kakak lalu biarkan hidup Kakak jadi pincang?"
Bahkan dalam kepura-puraannya tidur pun Agisa seperti tengah dininabobokan laki-laki itu lewat usapan-usapan di kepala. Dikembalikan lagi keyakinan. Sampai Gadi tertidur di depannya, perempuan itu berbalik dan menangis dalam diam.
Agisa hanya ingin Ragadi bebas. Keputusannya ini untuk Gadi. Bukan untuk dirinya sendiri. Tapi... bagaimana caranya mengusir laki-laki itu, kalau setiap hari yang dia lakukan hanyalah menjahit lagi rasa-rasa baru ke dalam hati Agisa. Berhasil melepas satu benang, Gadi rekatkan sepuluh benang baru. Terus seperti itu sampai Agisa resmi terekat tak bisa beranjak.
Semua perpisahan itu buruk dan menyakitkan. Tak peduli semanis apa pun caranya mengakhiri. Meski begitu, Agisa ingin hubungannya berakhir damai. Tak perlu saling menyakiti. Hanya perlu lapang dada menerima. Tapi... bagaimana caranya meruntuhkan keras kepala seorang Gadi? Apa harus membuat Gadi menyerah lewat tindakan-tindakan jahat? Kekanakan?
"Stop, Gis!" Nia menyambar gelas ke 11 Agisa. Getar ponsel di saku jeans membuat wanita itu berhenti sejenak. Mengecek. "Sial! Nyokap gue chat suruh suruh balik skarang."
"Aku ikut."
"Nggak bisa. Lo tahu, kan, kamar kost gue kecil."
Tadi sore, ibu dan adik Nia datang dari Indramayu. Yang artinya malam ini kamar kost-nya akan penuh. Dia tidak mungkin menampung Agisa di sana kecuali kalau temannya itu bersedia tidur di meja kerja--satu-satu tempat yang lapang di kamarnya.
"Lo pulang aja, ya? Nanti gue pesenin Grab. Karena gue juga pakai Gojek."
Tak dijawab. Nia mengingat sesuatu. Gadis itu hilang beberapa menit dan kembali bersama Paskal. Samar-samar, Agisa hanya mendengar dua orang itu mengobrol. Dia terlalu mabuk sampai-sampai tak bisa memprotes ketika tubuhnya digotong sampai ke parkiran.
***
Mobil terparkir di depan pagar Indekost. Nia belum langsung turun, dia mengecek keadaan Agisa. Menepuk-nepuk pipi temannya itu. Sepanjang jalan, Agisa hanya menggumam bahwa dia baik-baik saja. Tapi matanya bahkan tak mampu terbuka lama.
"Aduh gimana nih. Aku telepon Kakak Iparnya aja kali ya?" Tapi segera Nia urungkan. Seingat Nia, Kakak Agisa lumayan galak. Dia tidak mungkin mendorong temannya ke dalam bahaya.
Raypaskal tak kalah khawatir. "Kamu punya kontak suaminya? Biar kita hubungi langsung."
"Aduh! Jangan, jangan! Nanti Kak Gadi salah paham. Aku nggak mau terlibat."
"Enggak apa-apa. Lebih baik begitu daripada antar pulang diam-diam."
Paskal minta, Nia ambil ponsel Agisa lalu menghubungi Gadi. Setengah sadar pun Agisa masih sempat menyuarakan ketidaksetujuan.
"Aku nggak mau pulang, Ni. Kak Ray!" pinta Agisa dengan lidah kelu.
Nia geram. "Nggak mau pulang? Trus lo tidur di mana? Lo nggak mungkin masuk ke dalam. Tahu sendiri, nyokap gue paling ganas kalau liat perempuan mabuk."
"Sudah. Sudah." Paskal menengahi. "Biar saya jagain dia."
"Duh!" Ponsel Nia terus-terusan berdering. Dia mengangkatnya. "Iya-iya, Ma. Nia udah di depan! Nanti Nia masuk!" Kembal dia masukan ke saku. Mendesah frustrasi. "Kalau aku masih di sini, Mama bisa keluar dan lihat Agisa. Gimana?"
"Enggak apa-apa. Kamu masuk saja. Biar Agisa saya yang tangani."
Nia masuk. Paskal putuskan untuk membawa Agisa ke rumah. Di sana, dia bisa mengandalkan mamanya untuk hubungi Gadi.
***
Agisa rasakan wangi lembut dari selimut menerobos hidungnya. Baru kemudian dia membuka mata. Wajah Lisya menyungging tersenyum.
"Masih pusing?" Perempuan itu memijat kepala Gisa.
"Aku... Gisa..." Dia bangkit dibantu Lisya. Mengusap dua pipi, geleng kepala hilangkan bayang ganda. "Enggak apa-apa, Mama. Tapi... Gisa liat Mama ada tiga."
"Uuuuhh, Sayang." Lisha peluk Agisa. Layaknya boneka beruang mungil. Betapa senang dia merawat anak perempuan ini lagi. Betapa bahagianya mendapati Raypaskal pulang memboyong Agisa. "Ikal lagi bikin jus buah. Atau... mau susu hangat? Mama bikinin?"
Gelengan.
Dari dapur, Paskal muncul bawa air mineral juga gelas berisi jus. "Minum dulu. Kamu harus lebih baik sebelum suami kamu sampai."
Kelopak Agisa berkedip-kedip lambat. "Kak Ray kenapa telepon Kak Gadi?"
"Nggak kok." Paskal jelaskan, sewaktu Agisa tidur, Lisya memang sengaja hidupkan ponselnya untuk hubungi Gadi. Namun batal karena ponsel itu diproteksi. Pada akhirnya mereka biarkan. Berselang sepuluh menit setelahnya, Gadi lebih dulu menghubungi. Kesempatan itu digunakan Raypaskal untuk laporan sekaligus meminta Gadi jemput istrinya.
Sekarang... Agisa mulai disergap khawatir. Bisa saja dia manfaatkan situasi ini untuk memanasi Gadi; bikin laki-laki itu murka lalu mengiyakan permintaan berpisahnya. Tapi ... dia terlalu takut menciptakan masalah yang berhubungan dengan Raypaskal. Konsekuensinya terlalu berat.
"Nah," Lisya menyentak bersamaan dengan suara bel. "Coba liat, Kal. Itu Papa atau Gadi."
Paskal berlalu. Sementara Agisa teguk paksa minuman. Ia siapkan diri hadapi Gadi. Sejak sore, setelah mengajak perang dan minta pisah nyaris puluhan kali, Agisa memang pergi tanpa pamit. Dalam resah, Agisa sama sekali tak dengar apa yang dibicarakan Lisya. Perempuan itu sibuk mengelola jantung yang berdetak gugup.
Bising dari arah pintu sampai akhirnya sosok itu muncul. Menyalami Lisya dengan sopan. Lalu... saat wajah Agisa terangkat, yang dia dapati, mata Gadi terang-terangan menilai pakaiannya. Kembali perempuan itu tertunduk. Pasrah mendengar Raypaskal sibuk dongengi kronologi pertemuan mereka di pesta ulang tahun.
"Enggak apa-apa. Terima kasih banyak, Kal. Sudah bawa Agisa ke sini."
Gadi minta maaf sebelum membuka kemeja lantas menyarungnya ke tubuh Agisa. Tubuhnya tersisa kaos putih tipis.
"Duduk dulu. Gad. Saya buat minum untuk kalian."
"Sudah malam, Bu. Lagi pula, kalian juga mau istirahat. Biar kami pulang."
"Belum, kok. Papa Ikal aja belum pulang. Duduk dulu. Kita ngobrol-ngobrol."
Sepuluh menit yang terkutuk bagi Agisa. Di tengah mabuk, dia harus ekstra waspada; pasang kuping supaya 'ngobrol-ngobrol' yang dimaksud Lisya ini tidak merembet di mana-mana.
"Jadi gitu... Gisa kenal Ikal pas SMP. Waktu itu Ikal jadi Ketua Osis, dan selaku anggotanya, Agisa juga sering main ke sini setiap kali ada rapat lepas."
Gadi angguk-angguk kalem. Sementara Agisa mulai merasa perutnya berputar. Diremasnya lengan Gadi. Jangankan menoleh, lelaki itu tidak repot-repot memandangnya. Mungkin terlalu serius menyimak cerita Lisya.
"Setelah itu, Ikal ke Singapore. Tahun kedua, Agisa nyusul---" Bel kembali berbunyi. "Sebentar. Itu Papanya Ikal."
Lisya bergegas ke pintu. Dia kembali bersama seorang laki-laki gemuk. "Pa. Lihat, ada Agisa."
"Agisa?" ulang pria itu. Tidak yakin. "Agisa mantannya Paskal yang---"
"Dan ini Ragadi. Suami Gisa. Mereka kebetulan mampir."
Segera Raypaskal mengambilalih keadaan. Aksinya itu mengundang kerutan di kening Priyanto. Kentara sekali laki-laki itu tengah memerhatikan Agisa, Gadi, dan Paskal bergantian. Mulutnya sempat terbuka tapi kemudian bungkam karena Lisya menyikut pergelangannya. Seperti sebuah kode agar tak bersuara apa-apa.
Semua Itu... tak luput dari perhatian Gadi. Dia sadar betul Agisa terkancing di samping. Perempuan itu bahkan tak sanggup menjabat tangan Priyanto. Seperti pengecut, dia remas kemeja di area pinggang Gadi lalu berembunyi di belakang.
Mereka pamit setelah mengobrol ringan beberapa menit. Sampai di rumah, Gadi bukakan pintu untuk Agisa. Lelaki itu hilang ke halaman belakang. Tanpa sepatah kata. Gisa pikir, Gadi akan kembali, menuntunnya naik ke kamar, buat sesuatu yang bisa meredakan mabuk. Tapi... laki-laki itu tak kembali. Sampai Agisa terlelap sendirian.
***
"Hari ini, Kakak pulang telat."
Gadi sudah rapi di balik kemeja putihnya. Walau begitu, sempat-sempatnya dia membuat sarapan untuk Agisa. Semangguk sereal lengkap dengan segelas air putih dia sodorkan ke pangkuan Agisa. Perempuan itu beralih fokus dari televisi yang memutar Monsters University lalu mengawasi ekspresinya lamat-lamat.
Gadi tak balas menatap.
"Pulang telat. Lagi?!"
"Ya. Ada pertemuan dengan Dirjen Perhubungan Darat untuk bahas masalah demo mitra driver IndoJeksia kemarin."
Kesibukan Gadi empat hari ini membuat keduanya minim interaksi. Percakapan pun bisa dihitung jari. Di satu sisi, Agisa senang karena Gadi berhenti memohon. Di sisi lain, dia jengkel karena niatnya tertunda. Dia kebingungan. Sebab rasanya... Gadi tak pernah seacuh ini.
Ralat. Pernah. Gadi pernah seperti ini tempo lalu sewaktu mendapati Agisa diantar pulang oleh Lisya dan Paskal. Tapi... bukankah waktu itu dia sudah jelaskan sebabnya? Kali ini... Kenapa lagi?
"Kak Gadi."
"Hm."
Lihat, dia bahkan tidak mau menatap Agisa. Pura-pura sibuk memberesi sofa tempat Agisa meletakkan handuk basah, roll rambut dan sisir.
"Udah mulai nggak betah di rumah ini?" Agisa tinggalkan mangkuk di meja lalu menghadang Gadi. Bertolak pinggang. " Mulai bosan? Hm? Lihat muka Gisa aja udah nggak sudi. Ya udah kalo gitu... kenapa nggak mau pisah aja?!"
Gerakan tangan Gadi yang tengah membenahi bantal sofa segera terhenti. Dia mengambil napas hati-hati agar tak terdengar seperti mendengus di depan istrinya.
"Agisa... Jangan sekarang, ya, berantemnya?" Setiap katanya tereja tegas namun tak pernah kehilangan kelembutan.
"Tunggu. Pulang nanti, Kakak ladeni marah-marahnya Gisa. Berapa lama pun itu." Lalu laki-laki itu mengambil tas-nya. "Kakak pamit. Gisa hati-hati ke kantor."
Satu hal yang Agisa tangkap: amarah di mata Gadi. Pun, lelaki itu tak berani menatapnya. Sama sekali. Bahkan setelah malam itu, Gadi tak pernah pernah bisa lama-lama berinteraksi. Pulang malam. Kabur setelah shalat subuh. Seolah, jika berdekatan dengan Agisa, ada sesuatu yang meledak dari dalam dirinya.
Agisa ingin mengejar dan mendengar pengakuan yang sebenarnya. Namun ponselnya menjerit di meja. Saat mengecek, Agisa dapati pesan dari nomor asing.
Agisa. Maaf. Ini aku Nana. Mau kabari kalau Ibu Daniyah pingsan di teras. Jgn khawatir, aku nggak datang ke sana. Beliau dibantu bbrp tetangga. Jadi, tolong kamu ke sini. Lihat beliau.
***
Daniyah menolak ke dokter. Agisa dibuat kebingungan. Sebab, dia tidak tahu apa-apa soal sistem berobat yang biasa dipakai Daniyah. Panggil mantri? Tidak tahu alamatnya. Alhasil, sepanjang siang itu Agisa hanya bolak-balik dari dapur ke kamar. Memasak, sambil mengecek Daniyah.
Menjelang magrib, keadaan wanita itu tak membaik. Agisa makin panik. Nomor Gadi tak bisa dihubungi. Laki-laki itu baru menelepon sekitar jam 09.00 dan bertanya kenapa Agisa belum pulang ke rumah. Hanya butuh 15 menit mendengar informasi soal Daniyah, Gadi langsung sampai di ibunya.
"Kita bawa ke dokter aja? Ibu kan punya gejala typus, kayaknya Ibu butuh di-opname," saran Agisa. Memandangi Daniyah yang terkampai lemah.
Gadi belum langsung menjawab. Dia pijat tangan Daniyah yang terasa seperti kapas dalam genggamnya.
"Atau Gisa telepon Dokter Frans?"
"Tadi... Raypaskal telepon Kakak." Tiba-tiba, Ragadi memotong. "Katanya, tas Gisa ketinggalan di sana." Gadi bahkan tak repot-repot berbagi pandangan. "Gisa mau ke sana? Ambil tasnya? Sekarang?"
Napas Agisa terembus kasar. "Ngapain coba? Biarin aja!"
"Jangan gitu. Tas Gisa mahal. Sayang kalau dibiarin. Nggak apa-apa kalau mau pergi. Kakak ijinin. Mungkin kalian perlu ngobrol."
Entah kenapa perintah itu begitu tak mengenakan di kuping Agisa. "Ya! Gisa mau ke sana. Nginap di sana! Tidur berdua. Puas?!"
Tak sempat Gadi membalas, Daniyah terlihat mengerjap. Laki-laki itu tak mau membahas apa-apa. Dia sibuk mengisi beberapa potong pakaian Daniyah. Dengan sedikit paksaan akhirnya perempuan itu pasrah dibawa ke rumah sakit.
***
Sepanjang perjalanan Agisa coba menekan rasa jengkel. Sungguh dia tak sabar mendebat Gadi. Namun, lelaki itu tengah sibuk menemani Daniyah lewati beberapa rangkaian tes sampai akhirnya Ibu mertuanya itu sudah bisa tempati kamar inapnya.
"Typus kan?"
Anggukan tak kentara. Gadi langsung menarik diri. Duduk di sisi kepala Daniyah.
"Kakak sudah makan?" Terlihat sekali Agisa coba mengambil hati. Agar Gadi mau menatapnya barang beberapa detik.
"Sudah tadi di kantor."
Agisa sakit hati. Dia keluar. Duduk di depan kamar inap itu. Berselang dua menit, Gadi menyusulnya. Mereka duduk bersisihan di kursi stainless.
"Ini sudah malam. Jangan duduk di luar. Ayo tidur."
"Yakin? Masih mau tidur satu ruangan dengan Gisa?"
Ragadi menarik napas. "Jangan mulai lagi."
"Kakak yang mulai dari tadi!" hardik Agisa "Bersikap aneh. Apalagi kalau sudah menyangkut Raypaskal!"
"Hanya perasaan Gisa. Ayo masuk." Gadi berdiri. Agisa menatap punggungnya.
Bukan itu yang Agisa inginkan. Bukan....
Gadi bahkan tak leluasa berekspresi sesuai kata hati. Semua reaksinya hasil manipulasi. Tentu saja Agisa tak melepas lelaki itu dengan mudah. Dia bergegas menghalangi jalan.
"Kakak hindarin aku?" serangnya. "Kenapa? hm? Kakak muak karena aku mabuk dan pulang ke rumah laki-laki lain? Hah? Kakak benci? Kecewa? Jijik?"
Agisa bisa lihat jakun Gadi tergerak naik turun dan wajah lelaki itu semakin memerah.
"Kakak nggak marah," tuturnya menyakinkan. "Kakak hanya bingung... Gisa bilang, Raypaskal itu teman. Tapi... Gisa tunjukin reaksi aneh setiap ada di sekitar dia. Baru malam itu Kakak tahu, dari orang lain, kalau ternyata dia... mantan Gisa."
Nada bicara Gadi sangat pengertian. Tak ada sedikit pun aura interogasi. Walau begitu Agisa menggigit bibirnya. Ini kali pertama Gadi mau bicara soal masa lalu. Meski konteksnya seringan ini.
"Kalau ya, trus kenapa? Nggak bisa menerima kenyatan kalau istri Kakak ini punya mantan?! Tapi nggak berani protes dan pada akhirnya menghindar?"
"Bukan begitu---"
"Memang begitu!"
Skak matt. Gadi kembali bungkam untuk beberapa saat. Tapi kemudian dia bergegas pergi.
Ini... pertama kalinya Gadi bersikap tak sopan pada Agisa. Sebab, dia pergi tanpa lebih dulu menyelesaikan pembicaraan mereka.
"Dasar pengecut!!!" teriak Agisa. Di sana, langkah Gadi otomatis terhenti. "Manusia munafik yang bahkan nggak mampu jujur ke diri sendiri! Apalagi ke orang lain! Dasar pembohong!"
Punggung itu berbalik. Wajahnya menggelap. "Lalu... kamu harap saya bagaimana?"
Suara itu nyaris tanpa emosi. Pelan. Tapi menusuk pelan-pelan ke jantung Agisa. Ini pertama kali dia melihat tatapan sedingin ini dari laki-laki yang selalu bersikap hangat padanya.
"Apa saya harus marah? Dan ceritakan bagaimana terpukulnya saya sewaktu pertama kali dengar rahasia kamu? Cerita bagian di mana saya kabur pagi buta, tenangkan diri, kuliahi diri saya agar berdamai dengan kenyataan. Agar nggak menyakiti siapa pun?"
"... Apa saya harus bilang kalau saya seperti ditipu gadis yang bahkan nggak berani natap mata saya sebelum menikah, tapi ternyata..."
Mendapati bibir Agisa bergetar, Gadi baru tersadar ucapannya menyakiti perempuan itu. Dia mendekat, hendak memeluk. Tapi Agisa mundur perlahan.
"Ternyata nggak suci lagi?" sambung Agisa dalam suara bergetar. Meski begitu ada senyum getir yang terbit. "Ternyata kotor? Bekas orang? Nggak layak dicintai?"
Mata Gadi terpejam. "Maaf."
Agisa mengangguk. "Terima kasih sudah jujur."
Meski senang karena Gadi jujur. Namun, Agisa menyayangkan keadaan. Kenapa... saat pertama kali Gadi jujur, harus menjadi momen pertama laki-laki itu menyakiti Agisa secara sadar dan terang-terangan.
Rasanya... Harga diri Agisa saat ini tak lebih mahal dari sebuah kaos kaki. Gadi mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu Gadi pula yang mendorongnya sampai ke titik paling rendah....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro