Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16

Pulang. Yas!

Tiga hari di Pontianak, Agisa kangen berat. Seumur pernikahan, ini durasi terlama berpisah dengan Gadi. Kadang, Agisa bingung, dari mana pasangan LDR di luar sana mendapatkan kekuatan menahan rindu? Jujur, Gisa sendiri tidak kuat. Kehadiran Gadi melenyapkan sisi mandirinya. Ketergantungan akut. Tak bisa Agisa bayangkan. Bagaimana jika—amit-amit—Gadi hengkang dari hidupnya? Agisa bisa jadi sampan tanpa pengayuh.

“Nanti, pakai sweater-nya biar nggak dingin.”

“Iya.”

“Jam dua, Kakak otw ke bandara.”

“Yeaay! Nggak sabar ketemu! Pengin peluk Kakak!”

“Iya. Sampai ketemu, Sayang.”

“Bye. Sayang Kakak!”

“Sayang Gisa juga. Safe flight!”

Sembilan puluh menit perjalanan udara tak membuat Agisa lelah. Usai mengurus beberapa hal, dia beranjak ke ruang tunggu, tidak sabar bertemu Gadi. Menemukan sosok suaminya, senyum di bibir Gisa menyurut perlahan. Gadi sedang bermain dengan Rio. Tak sadar  kehadiran Gisa. Tidak jauh dari mereka, duduk Daniyah dan Nana, kedua perempuan itu tertawa menikmati suguhan view di depan.

“Tuh, Gad, boneka Marsha-mu sudah sampai.” Daniyah lebih dulu menyadari kehadiran menantunya.

Langkah itu melambat. Agisa kehilangan semangat. Bahkan senyum Gadi pun tak mampu mengusir jengkel di hati. Dekat, laki-laki itu ingin mengambil alih koper tapi Agisa mengabaikanya; memilih untuk menyapa ibu Daniyah.

“Gimana perjalanannya?” tanya Daniyah.

“Kalau nggak aman, Gisa nggak mungkin sampai di sini, Bu.”

“Hush! Kamu tuh!”

Agisa terkekeh, lalu basa-basi tersenyum ke Nana. “Ayo Rio! Kita ke mobil.”

Tak digubris, Gadi menyungging senyum. Langkah dipercepat menyamai Agisa. Jelas sekali istrinya itu tak mau menatapnya, hanya pura-pura fokus ke Rio.

“Nggak perlu. Gisa bisa sendiri.” Tepis Agisa ketika Gadi merangkul bahu dan bersikeras merebut koper. Laki-laki itu tak pedulikan protesnya. “Ish, dibilangin nggak usah, ya nggak usah!”

Daniyah langsung memerintahkan Nana untuk membawa Rio. Dua wanita itu sengaja berjalan lebih dulu.

“Tuh, gara-gara Kakak, mereka jadi nggak enak sama kita!”

Tarikan napas pelan. “Kakak nyebelin, ya?” lelaki itu bertutur lembut. Sama sekali tak terganggu oleh bentakan Agisa. “Sepertinya Kakak perlu mandi air doa untuk lepas aura sial. Abisnya, tiap liat muka Kakak, Gisa marah-marah terus.”

“Bodo! Nggak lucu! Kakak sudah tua! Harusnya Kakak lebih peka dan tahu hal apa yang bikin aku kesal!”

Gadi terkekeh. Kali ini, dia paksa merangkul Agisa meski wanita itu agak berontak menjauhinya. “Kakak tahu. Maaf. Nggak ada maksud bikin Gisa cemburu.” Laki-laki itu jelaskan. Sebenarnya, dia ingin menjemput Agisa dan menghabiskan akhir pekan berdua saja, kangen-kangenan. Tapi Nana memberikan info bahwa hari ini Daniyah ulang tahun. Pada akhirnya Gadi mengubah skenario. Siang ini, dia ingin mengajak ibunya lunch, sekadar merayakan ulang tahun kecil-kecilan.

“Jadi nggak mungkin, kan, Kakak nggak libatin Mbak Nana?”

Agisa terdiam. Sedikit merasa bersalah tapi cemburunya belum menyurut. “Apa-apa, Mbak Nana yang duluan! Ibu sakit, Mbak Nana yang ngasih tahu. Ibu ulang tahun pun Mbak Nana yang duluan ngucapin.”

“Iya. Kakak juga kadang sebal karena Nana selalu lebih dulu tahu tentang Ibu. Padahal Kakak anak Ibu, tapi dari dulu Nana lebih disayang. Waktu kecil, Nana bahkan pernah nyiletin sofa ibu, tapi Kakak yang dirotan.”

Agak konyol, tapi Gadi bisa menangkap raut iba di wajah Gisa. Pun, perempuan itu mulai melunak dan mau dirangkul Gadi. Mereka berjalan menuju parkiran.

“Tahun depan, Kakak janji akan ingetin Gisa, supaya Gisa jadi orang pertama yang ngucapin. Mungkin, kita bisa nginap dan rayain ulang tahun ibu. Hanya bertiga. Oke?”

“Nggak libatin Mbak Nana?”

Gelengan. “Cuma kita. Tapi nanti Kakak minta tolong Gisa yang masak, trus urus kue ulang tahunnya, dan—”

“Pasti! Gisa akan ngelakuin semuanya sendiri!”

Gadi mengangguk. Senyumnya mengembang dua detik. Ia beri kecupan kilat di puncak kepala Gisa. Hanya begitu. Wajah Agisa sudah berseri. Kali ini, dia bahkan memeluk lengan Gadi. Laki-laki itu melepas napas lega. Ternyata trik memerangi ‘anak kecil’ adalah  memosisikan diri seperti anak kecil.

Gadi akan ingat trik ini baik-baik. 




***



Cibubur jadi pilihan tempat makan siang Gadi. Usai berkendara satu jam, mereka sampai di salah satu restoran. Kali ini, Gadi sengaja memilih yang alami di tepi danau. Mereka menempati salah satu saung dan memesan beberapa menu.

“Gimana perkembangan terbaru sidang, Na?” Gadi memulai percakapan sambil membuka kulit udang milik Agisa.

“Pihak Alvian lumayan koperatif.”

“Ya iyalah! Cerai memang yang dia inginkan, supaya bebas kumpul kebo dengan pacarnya itu.”

“Ibu!” tegur Gadi, tidak mau Rio terkontaminasi obrolan ini.

“Lah? Itu fakta, Gad.” Perhatian Daniyah terpusat sepenuhnya pada Nana “Pokoknya, kamu usahakan hak asuh anak. Bila perlu, Alvian nggak boleh ketemu Rio lagi.”

“Nggak bisa gitu, Ibu. Pernikahan boleh putus, tapi hubungan anak ke orangtua nggak akan bisa diputus apa pun.”

“Ya ibu tahu! Tapi Ibu mau, Nana kasih pelajaran ke Alvian. Dia itu termasuk beruntung, coba kalau dulu kamu udah lulus kuliah, yang Nana nikahi itu kamu, bukan dia!”

Gadi langsung melirik Agisa. Walau istrinya tengah bermain ponsel dan tampak tak tertarik pada apa pun yang dibahas, tetap saja dia khawatir. Celutukan Daniyah bisa jadi sumber pertengkaran nanti. Demi Tuhan, Minggu ini Agisa sudah banyak menangis, Gadi tidak tega jika istrinya harus dibikin sakit hati karena cemburu.

“Ih, Ibu!” Nana ikut-ikutan tak enak. “Aku nggak pernah suka sama Gadi. Jadi, nggak nikah sama Alvian pun, aku nggak kepikiran buat pilih laki-laki ini!”

Gadi benarkan lewat anggukan. “Sama. Dari dulu, ada orang lain yang aku tunggu. Sekarang. Dia di sini.” Kini, jemari Gadi terulur ke sela jemari Agisa. Meremasnya pelan. Pemandangan itu sukses mengundang tawa cemooh Nana dan Daniyah bersamaan.

Lagi, mereka bertiga—termasuk Rio, kembali larut dalam candaan.

Sadar Agisa hanya diam, Gadi bertanya, “Kok nggak dimakan udangnya? Gisa diem dari tadi. Nggak enak badan?”

Gelengan dalam senyum. Lalu Agisa mulai menyantap makananya tanpa repot-repot bicara. Di bawah pengaruh hormon PMS, perempuan bisa ribuan kali lebih sensitiv. Mungkin Agisa tengah mengalami. Rasanya, baru sebentar dia pulih, sekarang, dia kembali down. Malah, yang lebih dominan adalah sakit hati.

Penyebabnya? Masih sama: Daniyah, Nana. Daniyah. Nana!

Gadi mengusap saus di tepi bibir Agisa, reflek, Agisa dorong tangan lelaki itu. Segera dia meminta maaf ketika sadar aksinya itu lagi-lagi mendapati perhatian full sekeliling. Sungguh, Agisa tak enak, hari ini, dia kedapatan kurang ajar pada Gadi di depan ibu mertuanya.

“Kamu capek, Gisa?”

“Nggak—tapi, sedikit, Bu,” Agisa menjawab gugup.

“Gad, antar Agisa pulang dan istirahat. Biar Nana sama Ibu naik grab. Dia mungkin masih mabok udara. Dari tadi nggak bicara apa-apa.”

Jujur saja, Agisa masih ingin di sini. Tapi tak ada yang bisa menjamin dia untuk tetap bertingkah laku baik. Jika terus-terusan disuguhi keakraban mertua dan suaminya dengan perempuan lain, dia pasti sakit hati. Kalau sudah begitu, yang jadi sasasran amarah adalah Gadi. Sebaiknya situasi ini segerah dipecah. Caranya ya pulang.

“Maaf, Bu. Nggak bisa temenin ibu makan siang lebih lama. Gisa benar-benar nggak enak badan.”

“Ya, nggak apa-apa. Ibu malah curiga, jangan-jangan, Agisa hamil. Emosinya benar-benar nggak stabil.”

Nana menyetujui. “Kalau boleh saran, jangan lupa beli testpack, siapa tahu—”

“Belum kok, Na.” Segera Gadi mengalihkan keadaan. Topik hamil sangat sensitif. Agisa bisa ganas dua kali lipat. “Aku pesen grab?”

“Nggak usah. Kalian balik aja. Hati-hati, ya?”

Sekali lagi Gadi meminta maaf, lalu dia dan Agisa pamit pulang. Malam nanti, jika mood Agisa sudah lebih baik, Gadi janji akan mendatangi ibunya untuk memberikan ucapan dan hadiah ulang-tahun.


***


Agisa tahu dia keterlaluan. Sensitivnya mengacau seremoni ulang tahun Daniyah. Sampai di rumah, dia bahkan tidak mengajak Gadi bicara. Itu membuat Gadi senewen sepanjang siang. Laki-laki itu hanya berdiri di pintu, sesekali, mencoba duduk di sisi ranjang namun tidak berani bilang apa-apa. Gadi pasti takut berbuat sesuatu yang berujung pada kemarahan Agisa.

Berangkat dari rasa bersalah, Agisa memutuskan mandi dan dandan. Sore ini juga dia harus mempersiapkan sesuatu untuk ibu mertuanya.

“Kakak mandi gih! Kita keluar cari kue ulang tahun sama hadiah buat ibu!”

Ragadi tampak sangsi, tapi kemudian senyumnya melebar. Tanpa disuruh dua kali, laki-laki itu beranjak ke kamar mandi.

***

Dua jam mereka habiskan untuk berkeliling mencari perlengkapan pesta. Agisa sengaja membawa kamera, dia akan membuat vlog khusus ulang tahun ibu mertuanya. Semenjak menikah, jarang sekali Gisa menguplod video ke chanel Youtube-nya. Padahal, selama kuliah, dia cukup aktif berbagi pengalaman hidup di luar negeri kepada 120.000 subscriber-nya.

“Kamera sama tripod?”

“Ada.”

“Hadiah?”

“Sudah.”

“Kue ulang tahun?”

Gadi terkekeh lalu mengangkat kantong berlogo sebuah toko kue.

“Oke, absen selesai. Ayo kasih surprise ke ibu!”

Sesuai skenario, nanti, Gadi lebih dulu sampai. Memasang kamera di sudut ruang, lalu berbasa-basi sejenak. Agisa akan tinggal di mobil sambil menunggu aba-aba.

Sekitar 15 menit kemudian, ponsel Gisa berbunyi.

“Gimana gimana? Gisa udah bisa nyalain lilinnya? Eh, eh, Ibu curiga nggak ada kamera di ruang tamu?”

Gadi terkekeh di sana. “Enggak, kok. Kakak bilang itu kamera kantor. Sekarang, Gisa bisa ke sini.”

“Tapi Kakak udah nyalain kameranya, kan?”

“Sudah.” Suara ribut-ribut terdengar di belakang. “Apa Kakak perlu ke sana jemput Gisa?”

“Nggak usah, ih! Tunggu di situ! Gisa kesana sekarang!”

Agisa begitu bersemangat menyalakan lilin angka 66 itu. senyumnya tersungging membayangkan Daniyah larut dalam haru, lalu memeluknya penuh rasa terima kasih. Bukan. Bukan Agisa ingin mendapatkan pengakuan, tapi ini adalah caranya mengambil hati Daniyah. Semoga seremoni ini menambah kedekatannya dengan ibu mertuanya itu.

Hati-hati, Agisa turun dari mobil. Begitu masuk gerbang gang, ponselnya kembali berbunyi pertanda telepon dari Gadi. Suaminya itu memang raja risau, mungkin Gadi pikir Agisa akan tersandung batu atau bahkan lelaki itu menduga Agisa tidak kuat mengangkat kue. Jadi perlu dikirim bala bantuan.

Dasar Gadi!

Agisa hampir sampai di ujung gang. Tinggal satu belokan, dia langsung sampai TKP. Tapi, telinganya menangkap suara ribut-ribut, juga langkah kaki mendekat. Sungguh Agisa terlonjak kaget dan hampir menjatuhkan kuenya karena Gadi muncul tiba-tiba.

“Ih! Kakak bikin kaget! Untung kuenya nggak jatuh.”

Laki-laki itu tak menggubris. Malah mendekat dan merangkul Agisa. “Ibu sudah tidur. Kita... pulang saja, ya? Besok baru ke sini lagi.”

“Kok?”

Cepat, Gadi membalikkan posisi Agisa. Didorongnya pelan tubuh wanita itu. Berharap agar Agisa menyamai langkahnya.

“Besok, Kakak antar Gisa ke sini, pagi-pagi.”

“Kenapa gitu?” Agisa rasa pingganya dirangkul Gadi, erat. Lelaki itu mulai berjalan, setengah membopongnya. Agisa dibuat tak berpijak di tanah. “Ih, Kakak kenapa sih? Turunin!”

Di belakang, suara-suara ribut serta nyanyain lagu ulang tahun mengudara. Kening Agisa berkerut. Dia mulai membaca keadaan. Pun, raut wajah Gadi tampak sekali sedang menyembunyikan sesuatu.

“Aku bilang turunin!!!” Kali ini, bentakan Agisa sukses menyetop aksi Gadi. Perempuan itu bersikeras ingin kembali tapi Gadi segera memeluknya.

“Jangan ke sana. Ya? Kali ini, nurut sama Kakak. Sekali aja.”

Percuma. Agisa berontak hingga Gadi menyerah karena takut wanita itu kesakitan. Pun, kue ulang tahun di tangan Agisa bisa rusak. Gadi tak mau memperburuk malam ini meski sejak melihat Agisa buru-buru mendekati rumahnya, dia tahu malam ini akan menjadi salah satu momen terburuknya.

Hanya lima menit, scene pertama sudah bisa Gadi tonton: Agisa—dengan sepasang mata berkolamnya, menyaksikan adegan yang berlangsung di dalam rumah.

Di sana, Nana memegang kue ulang tahun dengan lilin berangka 66, topi kerucut, dia bersama beberapa teman-teman majelis Daniyah. Mereka menyanyikan lagu ulang tahun. Puncaknya, Daniyah memotong kue pertama lalu menyuapinya ke Nana dan Rio.

Sudut mata Agisa nyeri. Setiap tawa Daniyah memberi sobekan-sobekan kecil ke hatinya. Ditatapnya kue ulang tahun di tangan dengan tulisan happy birthday Ibu sayang, sekejap, Agisa rasa seperti tengah melihat kotoran hewan. Tulisan itu jadi jelek. Kue itu jadi buruk rupa. Satu-satunya yang Agisa inginkan saat ini adalah, menginjak-injak kue itu hingga hancur lebur ke tanah. Aksinya digagalkan Gadi.

“Tolong, jangan nangis lagi!” pinta Gadi, berusaha untuk menghalau pandangan Agisa agar tidak terus-terusan menonton hal yang membuatnya sakit.

Agisa semakin terisak sementara Gadi semakin kesulitan menenangkan. Dia berusaha menyelamatkan kue di tangannya tapi Agisa malah terlepas. Perempuan itu menerobos kerumunan. Pandangan fokus pada Nana dan kue ulang tahun sialan itu. hanya butuh lima detik, kue itu berhasil direbut Agisa, lalu... dibantingnya ke lantai. Hancur.

Sekejap, ruangan langsung hening. Semua mata-mata berfokus pada Agisa.Yang menjadi objek tatap malah terlihat sangat kacau sampai-sampai dia tak sadar dibentak Daniyah.

“Agisa. Apa-apaan kamu ini?!”

Tangisan Rio pecah. Anak itu memukul-mukul Agisa sambil menceracau kenapa Agisa menghancurkan kue ulang tahun neneknya.

Gadi sampai. Sambil memeluk Agisa, dia bermohon pada ibu-ibu lainnya agar meninggalkan mereka. Sementara Nana, baru akan mengajak Rio keluar, aksinya disetop teriakan histeris Agisa.

“Gisa benci Mbak Nana! Jangan pernah datang di rumah ini lagi!”

“Agisa.” Dua teguran dengan intonasi berbeda. Milik Daniyah bernada tinggi sementara Gadi bernada lembut.

“Kenapa?” tantang Agisa, dalam suara serak. Pandangannya sengit menyorot Daniyah. “Dari pertama Gisa injak kaki di rumah ini, Ibu nggak pernah terima Gisa!”

“Astaga...” Daniyah menutup mulutnya.

“Semua masakan Gisa, ibu bilang nggak enak! Tapi, makanan apa pun yang dibawa Mbak Nana, selalu Ibu puji!”

Sungguh Nana serbasalah. Berdiri kaku dan meremas roknya. Agisa tampak begitu terluka dengan air mata yang menganaksungai. Tidak ada sorot ceria yang biasa Nana lihat.

“Gisa terus coba ambil hati ibu, tapi Ibu... jangankan lihat Gisa, ngobrol lebih dari lima menit saja nggak pernah! Ibu selalu anggap Gisa nggak ada!” Sampai di situ, Agisa semakin kesulitan bicara. Wajahnya superkacau.

"Bahkan yang... yang pa--ling buruk, Ibu bahkan pengin Mbak Nana jadi istri Kak Gadiiii...."

Kembali hening. Yang dominan hanya suara tangis dan tarikan-tarikan napas Agisa. Suasananya semakin tidak enak. Posisi yang paling terjepit adalah Gadi. Sungguh dia kebingungan. Ibunya diam, Nana tertunduk dalam, Rio ketakutan dan Agisa mulai melepaskan diri.

“Agisa...” Dia raih tangan Agisa yang siap-siap ingin berlalu.

“Tolong, jangan ganggu Gisa malam ini.”

“Jangan gini! Dengerin Kakak dulu.”

“Tolong....”

Cengkraman Gadi terlepas. Dia benar-benar tidak mampu melihat wajah berurai air mata milik istrinya.
Perempuan itu beranjak pergi. Gadi membuntutinya sampai ke mobil. Sekali lagi menahan tangannya ketika Agisa menempati kemudi, tapi, pintu segera tertutup. Lalu, dengan kecepatan tinggi mobil itu berlalu. Meninggalkan Gadi dengan mata terpejam dan pijatan di pelipis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro