Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13

Beraktivitas dalam lingkup orbit yang sama dengan wanita karier merangkap ibu-ibu muda, bagaikan berada di Universitas spesialis rumah tangga. Setiap harinya, Agisa mendapatkan berbagai macam materi baru tentang hidup. Dia selalu bersemangat mendengar cerita-cerita yang mengudara di tengah kesibukan. Tak jarang, beberapa tips konyol Agisa praktekan. Salah satunya: mengukur perasaan cinta suami lewat rasa cemburu.

Tiga hari lalu, Agisa menjalankan aksinya.

"Gisa lagi chat sama cowok loh."

"Oh, yah? Siapa?"

"Temen kantor. Namanya Fadil. Ganteng, deh. Mirip Joonkook BTS. Tadi, kita lunch bareng. Kakak mau lihat fotonya?"

Dengan semangat memanas-manasi tinggi, Agisa keluarkan ponsel, sembari menunjukan potret welfie-nya bersama Fadin. Agisa bercerita betapa wangi, tinggi, nan pintarnya lelaki itu. "Nih, ganteng kan? Umur dia beda setahun sama Gisa. Dia 23, jadi, Gisa panggil dia Oppa."

Tahu apa reaksi Gadi? Alih-alih cemburu, dia malah menyapu kepala Agisa seperti anak kucing. "Kakak senang Gisa nyaman di kantor. Bergaul sama siapa saja." Satu ciuman mendarat di pipi Gisa. "Omong-omong, dia memang ganteng. Rambut kalian satu warna."

Hanya itu. Tidak ada interogasi. Kadang, Agisa sengaja memasang gestur misterius, sepanjang malam dia pura-pura sibuk dengan ponsel; menjauh dari Gadi. Dengan harapan bahwa suaminya itu akan penasaran pada isi ponsel lalu saat Agisa berakting tidur, mungkin saja Gadi akan memeriksa riwayat chat.

Nyatanya, Gadi hanya memindahkan benda pipih itu ke nakas, mencium puncak kepala Agisa dan tidur. Hanya seperti itu.

Antara ingin sujud sukur karena dianugrahi suami dewasa atau malah ingin membrainwash supaya isi kepala Gadi kembali ke mode remaja posesif.

Tapi, Agisa tidak kapok. Dia janji akan mempraktekkan tips apa pun yang didapat dari ibu-ibu rekan kerja. Selama itu bisa membantunya melihat emosi Gadi.

***

Menginjakkan kaki di kantor, pagi ini, Agisa disambut oleh tangisan Triyana.

"Perusahaan kena law enforcement dari KPP." Sebelum Agisa bertanya, Fadil lebih dulu menginfokan. "Mbak Yana dimarahin Pak Kamajaya, dibilang kinerjanya nggak becus dan terancam dipecat."

Mata Agisa membola. "Kok bisa separah itu? Emang kita nggak bayar pajak?"

Fadil jelaskan bahwa beberapa bulan belakangan, perusahaan memang menunggak pajak. Tapi bulan kemarin, perintah pelunasan sudah dikeluarkan hanya saja Mbak Triyana selaku konsultan pajak belum menyelesaikan urusan pelaporan dan pembayaran. Pada akhirnya, PT Syahfana terkena teguran. Sialnya, masalah ini malah bocor ke publik. Sejak kemarin, media online dan cetak santer mengabarkan, tak lupa membubui interjeksi sehingga semua judul berita terasa begitu dramatis.

Tentu saja selaku Direktur, Kamajaya geram, akibat kelalaian seseorang, nama baik perusahaan jadi tercoreng.

Agisa langsung membuka ponsel, membaca berita hari ini.

Tidak bayar pajak, PT. Syahfana bangkrut?

Diisukan bangkrut, begini jumlah kekayaan pendiri BaraCrop.

Tak menyangka! Ternyata begini sosok perempuan di balik filosofi nama Pt. Syahfana.

Clickbait sialan! Berita fluktuasi! Tidak nyambung! Agisa geram, namun satu fakta tiba-tiba meminggirkan kesalnya

"Eh, Fad. Bukannya Ibu Triyana sama Pak Kamajaya itu suami-istri, kan, yah?"

Fadil terkekeh, angguk kepala. Sementara mulut Agisa menganga. Sebagai perempuan, tentu saja dia iba melihat Triyana menangis. Pasti sakit, dibentak oleh bos merangkap sebagai suami. Level pedasnya jadi dua kali lipat. Namun, di luar rasa itu, Agisa dibuat kagum oleh sikap profesional Pak Kamajaya. Di suatu waktu, Agisa melihat beliau begitu lemah lembut sebagai saumi. Tapi insiden hari ini membukatikan bahwa dia cukup punya sikap sebagai pemimpin.

Boleh tidak, kalau Agisa berharap Gadi seperti itu? Tegas dan bijak bersamaan?

Sadar tengah membandingkan suaminya dengan orang lain, Agisa mengurut dada. Tidak, tidak. Gadi adalah yang terbaik. Mungkin jika ada di posisi Mbak Triyana, Agisa pasti akan kabur, mengingat hatinya terlalu gampang rapuh. Jangankan dicecar kalimat pedas, ditatap dengan sorot dingin saja dia bisa menangis.

Ponsel Agisa berbunyi. Telepon dari Vaya, perempuan itu menyampaikan niat meminjam mobil. Berselang satu jam, dia datang ke kantor mengambil kunci.

"Gila, gue stres banget! Si Fatar benar-benar anjing!" maki Vaya sambil mengeluarkan lighter dari saku.

Agisa menarik napas. Sepertinya hari ini akan diisi sederet permasalahan rumah tangga orang.

***

Jam tujuh petang, Nia, ramen, dan have it all-nya Jason Mraz.

Hampir sempurna kalau saja tidak diganggu oleh telepon dari suami Vaya yang menanyakan keberadaan sahabatnya itu. Agisa mulai kuatir jadi bagian dari drama pertengkaran suami-istri. Dia meminjamkan mobil, plus akses menempati villa keluarganya di Puncak.

"Apa aku telepon ke Villa aja? Suruh dia pulang."

"Nggak usah. Paling juga pulang sendiri. Udah biasa itu." Sambil mengunyah, Nia jelaskan bahwa Vaya butuh tempat aman untuk balikin warasnya. Daripada di rumah, membiarkan mental anak-anaknya rusak oleh rekaman memori buruk tentang pertengkaran.

"Mereka keseringaan bertengkar. Aku hitung sudah..." Mata Agisa menerawang. Coba untuk kumpulkan ingatan tentang curhatan Vaya. "Dua, tiga, empat kali! Dalam enam bulan terakhir. Astaga!"

"Normal sih. Elo sendiri gimana?"

Sekarang, Agisa dibikin berpikir oleh pertanyaan Nia. Kalau pasangan yang sering berdebat disebut normal, bagaimana dengan rumah tangganya sendiri yang nyaris tanpa gejolak? Apakah normal?

"KBBI bilang, bertengkar itu cekcok. Artinya, datang dari dua pihak, kan?" Nia jawab lewat anggukan. "Bagaimana kalau selama ini, aku duluan yang sering cari masalah? Marah-marah sendiri, sementara Kak Gadi bagian menenangkan saja? Berarti nggak bisa disebut berantem dong?"

"Nggak ada debat balik?" selidik Nia.

Dengan polosnya Agisa menggeleng.

"Marah?"

Gelengan lagi.

"Atau... minimal, bentak karena lo ngeselin?"

"Jangankan marah, tunjukin ekspresi kesal aja enggak pernah. Sama sekali. Dari pacaran sampai detik ini!"

"Wah!" Nia tergelak. "Lo udah mastiin belum, kalau yang lo nikahin itu manusia? Bukan kipas angin yang cuma bisa embusin angin segar?"

"Itu nggak normal yah?" Suara Agisa mulai terdengar tidak percaya diri. "Kadang juga aku pikir, Kak Gadi nikahi aku karena Papa. Itu bikin dia kepikiran sampai-sampai nggak bisa totalitas memerani peran sebagai suami. Jadi kebaikan dia ke aku ya karena Papa.

"Enggak kok." Segera Nia membantah karena raut Agisa mulai sedih. Pun, ramennya tidak disentuh sama sekali.

"Elo mahluk middle twenty. Menggemaskan, sehat, nggak makan lewat kuping, kaya raya tapi sederhana. Itu alasan bagus untuk bikin laki-laki seperti Kak Gadi bersikap baik. Karena dia merasa beruntung."

Nia suapi Agisa dengan gulungan besar ramen. "Nggak perlu terlalu mikirin. Lo pantas kok dapat perlakuan istimewa. Tugas lo ke depan adalah-"

"Bikin pancingan supaya emosinya keluar?"

"Pinter!"

Kali ini, kedua orang itu tertawa. Benar sekali. Kalau Gadi cenderung mencontoh malaikat yang lahir tanpa emosi, tugas Agisa adalah: mencambuknya.

Percobaan pertama: pulang jam 11 malam, tanpa kabar, sengaja matikan ponsel dan lihat bagaimana rekasinya.

***

Ekpektasi berbisik, begitu sampai rumah pukul 23.00 ini, Agisa akan disambut oleh Gadi yang mondar-mandir gelisah, plus rentetan pertanyaan selidik. Realitanya, yang dijumpai malah rumah kosong gelap total.

Senjata makan tuan! Agisa tak berani masuk, ia duduk di taman, hampir terisak.

Ponsel dihidupkan. Benda pipih itu ramai diserobot berbagai notifikasi. Agisa abaikan demi menelepon Gadi.

"Gisa pulang, Kakak malah nggak di rumaah!" seruan jengkel begitu dengung tergantikan kata 'halo'.

"Maaf. Kakak nggak bisa hubungi Gisa dari tadi." Selanjutnya Gadi jelaskan bahwa dia mencari Agisa di kantor, di rumah Bara, tapi tidak ada. Terakhir, dia hampir mendatangi kedua teman Gisa, tapi ditelepon Nana yang menginfokan bahwa Daniyah jatuh sakit. Terpaksa, Gadi pulang melihat ibunya, memastikan Daniyah ditangani dengan baik baru kemudian kembali mencari Agisa.

"Ibu sakit apa? Kenapa baru kasih tahu?!"

"..."

"Gisa ke rumah sekarang."

"Sebentar, Gisa di mana? Kakak jemput."

"Nggak perlu. Sampai ketemu di rumah."


***

Daniyah bersemayam pucat di balik selimut. Ada selang infus di punggung tangan. Raga rentanya kedapatan lebih menyusut dari hari terakhir Agisa lihat. Di sisi, duduk Gadi, mengusap kepala sesekali bahu ibunya itu bergantian.

Ini bukan jenis view baru. Hampir setiap hari selama enam bulan pernikahan, Agisa menjadi objek kasih sayang Gadi. Lucunya, dada Agisa selalu dirambati hangat kala menonton tingkah lemah lembut suaminya.

Kala Gadi menyadari kehadirannya, sebuah kode Agisa berikan agar lelaki itu tetap di sana. Tak perlu melakukan ritual penyambutan: rangkul, cium, tanya keadaan, bla bla.

"Eh, Agisa baru sampai?" Ternyata Daniyah lebih dulu menyapa. Lemah. Agisa ikut naik ke pembaringan. Kali ini, dia memijat betis mertuanya.

"Kenapa nggak bawa ke dokter?"

Pertanyaan untuk Gadi, tapi dijawab Daniyah dengan nada santai, "Halah, cuma sakit biasa. Panggil mantri, suntik, lalu infus aja. Besok pagi, minum obat tradisional, beres. Oh, ya, kamu uda makan?"

"Astaga Ibu! Coba lihat, badan Ibu lemes gini, butuh perawatan lebih dari sekadar infus dan obat tradisioal. Kenapa sepelekan hal kayak gini, sih?"

"Karena hidup kami nggak sesinetron kalian! Pilek dikit, bawa dokter." Penjelasan bernada sinis. "Kalau mantri kurang optimal, berarti saya sudah mati dari dulu dong?"

"Bu," tegur Gadi, tidak enak. Matanya mengawasi ekspresi Agisa. Pijatan wanita itu sudah terhenti. Sekarang, dia ambil ponsel dan terlihat menghubungi seseorang.

"Halo, Dokter Frans? Ini Gisa...."

Hanya butuh satu jam dari penjelasan panjang lebar itu, Dokter Frans tiba. Memeriksa Daniyah dan membuat resep. Detik itu, Gadi langsung diperintah untuk menebus obat di apotek 24 jam milik dokter.

Daniyah tak bersuara sepanjang pemeriksaan sampai dokter Frans kembali. Dia pasrah di bawah keras kepala menantunya. Wanita itu juga terpaksa memakan bubur tawar yang dibuat Agisa susah payah. Lebih baik menurut daripada memanjangkan drama malam ini.

***

Agisa mengucap syukur atas sakitnya Daniyah. Bukan lantaran ingin melihat ibu mertuanya tersiksa, tapi, lewat sakit ini, Gisa rasa perannya sebagai menantu mulai hidup. Bangun pagi, dia membuat sarapan, beres-beres rumah, dan yang paling membahagian, dia akan pergi ke pasar tradisional sendirian, beli bahan-bahan makanan dan memasak beberapa menu kampung untuk Gadi dan Daniyah! Benar-benar membahagiakan!

Di pasar, Agisa bahkan mengambil beberapa potret dirinya dalam balutan terusan batik. Nia ngakak dan mengirim balik puluhan emoticon tertawa. Dia bilang, kalau ada wartawan yang lihat, keluarga Agisa akan dianggap benar-benar bangkrut seperti pemberitaan beberapa hari belakangan.

Zoya lain lagi, wanita itu malah menyarankan Agisa untuk jalan kaki dari pasar sampai ke rumah demi totalitas. Jelas konyol sebab Gisa ingin cepat-cepat pulang dan memasak!

Pukul 10.20 Agisa sampai di rumah. Wajahnya berseri-seri. Tadi, suaminya disuruh tunggu di rumah. Sebab Agisa ingin memberi kejutan. Dia akan pulang dengan kantong belanjaan, lalu mulai menunjukan skill memasak yang sudah dia browsing selama perjalanan pulang.

Pintu rumah terbuka, Agisa masuk diam-diam. Suara-suara dari dapur membuat langkahnya terhenti.

"Sidangnya lancar, Na?" itu suara Gadi.

"Jangan bahas itu, ah. Gimana kalau kamu kupas kentangnya?"

"Na, Ingat, hak asuk Rio harus jatuh ke kamu." Kali ini Daniyah menimpali.

"Jangan biarin si Nazril bawa cucu Ibu jauh-jauh."

"Pasti Nana usahakan, Bu. Aduh, ibu istirahat dulu deh! Biar Nana yang masak, Gadi juga mau bantuin."

Agisa ingin bergabung, tapi komentar Daniyah selanjutnya mengurung niat wanita itu. "Hah! Coba kalau dulu kamu nikahnya sama Gadi. Sekarang, kamu pasti bahagia. Gadi juga nggak perlu keluar dari rumah ini, dan-"

"Bu," Koor suara Gadi dan Nana.

"Loh, ini kan hanya pengandaian Ibu. Kalian tahu, Ibu maunya kalian sama-sama. Lucu aja gitu. Sudah dari dulu kita berkerabat, latar belakang juga sama, jadi nggak akan ada lagi yang namanya penyesuaian ini-itu, nggak perlu takut-"

Sampai di situ, Agisa benar-benar tidak kuat. Dia berbalik haluan dan masuk ke kamar. Suara bantingan pintunya mengundang keterkejutan seisi dapur. Gadi lebih dulu memeriksa, dia masuk dan mendapati Agisa duduk di tepi ranjang.

"Gisa sudah pulang?" Mata Gadi mengedar. Di lantai, berhamburan kantong plastik berisi bahan makanan.

"Oh, Gisa ke pasar, ya?" Laki-laki itu tak bisa menyembunyikan nada antusiasnya. Rasanya bahagia sekali mendapati fakta bahwa istri manjanya yang biasa diperlakukan seperti puteri raja di rumahnya dulu, kini rela menginjakkan kaki ke pasar; memosisikan diri seperti istri-istri biasa lainnya.

Alih-alih menjawab, Agisa bahkan memalingkan wajah. Bahunya naik-turun. Gadi sama sekali tak menyadari, laki-laki itu memungut satu demi satu kantong yang berhamburan.

"Kebetulan ada Mbak Nana, Gisa mau nggak masak bareng? Nanti, bisa minta diajari buat acar sayur. Kemarin kan Gisa tanya resepnya ke Ib-" Kalimat terputus karena Agisa berdiri dan merebut kasar kantong-kantong.

Gadi dibuat tertegun, istrinya membanting kantong itu ke lantai. Tak hanya itu, Agisa bahkan menginjak-injak sayuran yang berserakan.

"Agisa...."

Gisa masih tak menghiraukan. Dia sibuk menghancurkan apa pun. Bumbu-bumbu masak berserakan, sayuran patah-patah dan melekat ke lantai, kepala ikan hancur diinjak.

"Gisa kenapa?"

Genggaman Gadi di sikutnya ia tepis. Agisa mundur, menjauh, matanya memerah dan berkolam.

Kepala Gadi miring, mengamati mimik istrinya. "Gisa marah Kakak nggak temanin ke pasar?"

"Kenapa suruh aku belajar masak? Hah? Bukannya kalian-Kakak dan Ibu-sudah punya Mbak Nana?!"

Ah. Sepertinya Gadi bisa membaca keadaan. Lelaki itu memijat pelipis. Tak menyangka Agisa dengar obrolan tadi. Dia coba mendekat, tapi Agisa lagi-lagi mengambil jarak.

"Jangan salah paham. Tadi-"

"Kalau Kakak mau, silakan nikahin Mbak Nana! Dan kalian akan jadi keluarga paling bahagia! Nggak perlu lagi repot-repot makan masakan bule! Nggak perlu menyesuaikan diri! Nggak perlu...." Agisa sudah menangis. Apalagi Gadi coba memeluknya. Dia berontak keras lalu kabur.

Sore ini, sampai seminggu ke depan, jangan harap dia mau menunjukkan muka di depan Gadi dan Daniyah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro