Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

"Aku sudah mati."

Hening kembali menyelimuti. Bisikan angin terdengar mengisi, membuktikan betapa sunyi dan canggungnya suasana di antara kami. Sebaris kalimat yang kuucapkan, memicu raut tak terbaca dari pemuda itu. Hingga—

"Pft ...."

—Si pemuda memeluk perutnya sendiri, terdengar menahan sesuatu. Sedetik kemudia, tawanya yang menyebalkan terdengar. "Ahahahaha, bagaimana mungkin? Apa kau sedang bercanda? Itu sangat konyol melihat orang yang sudah mati berbicara padaku. Ahahahahaha."

Sudah kuduga akan seperti ini. Seseorang yang bertanya tentang kematian, dihadapkan oleh orang yang sudah mati. Orang mana yang akan percaya akan hal itu? Bahkan jika aku berada di posisinya, aku tidak akan percaya dengan omong kosong seperti itu.

"Bisa hentikan tawamu? Aku mulai membencinya." Aku mendengus kesal dengan pemuda yang masih tertawa di atas ambang kematian.

"Maaf." Ia melompat turun, bukan menuju jurang, namun ke tempat dimana diriku berpijak. Tidak memilih bunuh diri, hm?

"Aku tidak tahu jika kau berkata jujur atau bohong." Ia menepuk celana hitam miliknya dan berjalan santai sambil berujar, "Tapi jika memang benar, tolong beritahu lebih banyak padaku."

Aku membencinya. Aku benci saat ia meminta tolong dengan senyum menjijikan itu. Meminta tolong supaya memberitahukannya lebih banyak tentang kematian. Orang macam apa yang akan meminta bantuan seperti itu?

"Kau anak aneh."

Pemuda itu kembali tertawa ringan. Ia kembali berjalan menjauhiku dan berbalik. "Anak aneh ini senang mendengar kisahmu dan biarkan aku mendengarnya lebih banyak lagi."

Tampangnya begitu angkuh, namun tenang di waktu bersamaan. Sosoknya dingin, namun hangat membuatnya terlihat unik. Aku kembali mendengus dan berujar, "Begitu penasaran? Kenapa tidak mencoba untuk merasakannya sendiri?"

"Kau sebenarnya tidak berniat mati, 'kan?" lanjutku dengan nada ketus.

Ia hanya menampilkan senyum dan berbalik, kembali berjalan menjauhiku. "Aku ..."

Aku menatapnya yang kini di ambang pintu menuju tangga. Warna wajahnya tak terbaca hingga ia menoleh dengan senyumnya.

"Aku memang ingin mati."

Ah ... aku benar-benar membencinya.

***

Kutatap pemuda di hadapanku yang kini tengah memainkan seekor kucing oren yang cukup manis. Kucing itu tengah tertidur dan dengan jahilnya, ia menyentuh telinga si kucing. Tentu saja membuat tidur si kucing terganggu.

Jangan bertanya kenapa aku mengikutinya sampai ke sini.

Setelah turun dari gedung tua itu, aku tertarik—lagi—dengan auranya. Dan kami berakhir berjalan-jalan ke taman yang sangat sepi pengunjung. Yah, selain di sekitar hanya perumahan, taman ini juga jauh dari jalan utama yang ramai.

Tentu saja, suasana hening di antara kami. Aku berniat berdeham dan memulai pembicaraan, sebelum suara menyebalkannya terdengar.

"Deren."

. . .

"Hah?" Aku hanya menatap pemuda yang tiba-tiba berucap sebuah nama, membuatku bingung seketika.

Ia hanya tertawa dan melanjutkan, "Namaku Deren. Bukankah kita belum saling berkenalan?"

Aku hanya ber-oh pendek sebelum memalingkan wajah. Tentu saja aku tahu, wajah kebingunganku tadi pasti seperti orang dungu yang tak tahu apapun. Ahaha, padahal diriku sangat tahu tentang kematian yang ia cari.

"Ekhem, namaku Siena." Aku berujar pelan, memperkenalkan diri.

Deren hanya mengangguk dan mengelus kucing yang masih tertidur. "Siena, ya?"

"Ada apa?" Aku yakin warna wajahku menggambarkan kebingungan yang sedari tadi datang.

"Tidak." Ia bangkit dan menepuk celananya sambil berkata, "Nama yang bagus."

Oh. Baru kali ini aku mendengar seseorang memujiku.

"Jadi ...." Jeda lama sebelum Deren melanjutkan, "Apa kau benar-benar sudah mati? Jadi kau sekarang adalah arwah? Atau bukan? Atau roh? Roh pelindung?"

Pertanyaan yang banyak dan cukup brutal dari seseorang yang baru ia kenal. Aku hanya menghela napas. "Aku roh dan aku sudah mati," jawabku singkat.

"Heh ... apa kau benar-benar melalui kematian? Bagaimana dengan ingatanmu selama menjadi manusia? Apa kau ingat saat kau mati? Atau—"

Perempatan siku-siku tercetak jelas di keningku, menahan emosi pada sosok pemuda yang sifatnya seperti anak manja yang penasaran. "Kau bisa berhenti berceletuk? Nafasmu busuk," ketusku.

Deren hanya terkekeh dan kembali diam. Ia berjalan sebentar menuju tempat duduk dan mengistirahatkan dirinya di sana. Aku masih terus menatapnya. Jika dilihat-lihat lagi, sosok Deren jauh lebih tua dari sosok roh milikku. Yah, ia terlihat seperti anak SMA.

"Boleh aku bertanya?"

Aku tersadar. Deren yang meminta izin, membuatku enggan menolak. Tanpa menjawab, aku hanya menunduk.

"Berapa umurmu?"

Aku terdiam. Pertanyaan aneh untuk sosok yang sudah mati, 'kan? "Aku sudah mati—"

"Ahahaha ... aku tahu, aku tahu. Yang kumaksud adalah umurmu saat mati. Bukankah biasanya roh mengambil wujud diumur kalian mati, 'kan?" Pernyataan darinya membuatku terdiam. Beberapa orang memang percaya akan hal itu, tentang roh yang mengambil wujud saat orang itu mati.

Entah wujud kematian tragisnya, atau wujud umurnya. Tapi yang dikatakan Deren benar adanya. Roh ku mengambil sosok gadis kecil saat diriku mati diumur—

"14, aku mati saat umurku berganti."

"Saat umurmu berganti?"

"...."

"Ah, baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi." Deren hanya menyandarkan dirinya, kembali menatap langit yang terus murung. Entah kapan sang langit akan menangisi dirinya sendiri.

"Jika kau masih hidup ...." Deren masih mendongak, dengan bisikan yang ia utarakan.

"Apa?"

"Tidak. Hanya berandai jika kau masih hidup. Pasti kau punya mimpi, 'kan?"

"... tidak."

"Heh? Serius?"

"Aku serius."

Deren kembali tertawa renyah. "Ahahahaha, bagaimana mungkin gadis sepertimu tidak ada mimpi? Kau tidak berkeinginan untuk jadi dokter? Guru? Atau pacaran saat SMA?"

"...."

Aku tidak menjawab apapun, membuat Deren kembali diam dan bersandar.

"Aku ada mimpi."

Mimpi dengan ambisi setipis itu?

"Aku selalu ingin menemui seseorang, seseorang yang amat berharga untukku." Ia tertawa pelan sebelum melanjutkan, "Aku benar-benar ingin bertemu dengannya."

"Jika kau sangat ingin menemuinya, kenapa tidak menemui orang itu sekarang?" cetusku yang berpikir rasional.

"Ahahaha ... andai aku bisa mengingatnya."

"...."

Deren menggeleng pelan. "Aku tidak ingat dimana terakhir kali aku bertemu dengannya. Semuanya ... benar-benar terlihat kabur."

"... kau benar-benar anak yang aneh," celetukku.

"Kau juga cukup jahat untuk seukuran roh. Padahal wujudmu jauh lebih muda dariku," candanya sambil tertawa ringan.

"Yah, anak sepertiku masih terbilang normal. Aku masih memiliki keinginan dan mimpi. Bahkan aku masih punya cita-cita." Sosoknya kini menjelaskan dengan antusias dan berseru, "Aku ingin terbang. Menjadi pilot sepertinya menyenangkan. Tapi aku juga ingin menjadi seorang animator. Ahahaha, cita-citaku terlalu banyak, ya?"

"Yah ... untuk seukuran anak bodoh sepertimu, itu banyak."

"Berhentilah mengatakan sesuatu yang membuatku sakit hati." Ia berujar penuh drama dan melanjutkan, "Kau tidak akan mendapatkan teman jika berbicara seperti itu."

Aku terdiam. "Aku ...."

Entah karena sadar situasi yang tak mengenakkan atau hanya kebetulan, Deren kembali berceletuk, membuat sebuah pembicaraan dengan topik yang baru.

"Aku benar-benar ingin bertemu orang itu." Ia tersenyum dan melanjutkan, "Jika kau memang roh atau arwah, tentu kau bisa berkeliling dengan mudah, 'kan?"

"...."

"Maukah kau membantuku, Siena?"

Ah, apakah surga tengah memanggilku dengan mengirim pemuda ini? Keinginan mencari seseorang tapi tidak berambisi sama sekali. Konyol. Tapi ... sepertinya diriku lebih konyol dibandingnya.

"Ya."

***

1003 kata

Writer's note:
Hehehe, nama-nama spesial telah muncul~ Anak-anakku akhirnya debut //proud noise
Yah, sekian note singkat tak bermakna inih. Jangan lupa baca dan tungguin nexto nya yaw :3

See you~

regards
ndin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro