Aku mengelap bibirku yang basah oleh darah, mataku menatap satu persatu orang yang mengelilingi kami.
"Balela, ya aku akan melakukannya!"
Salah seorang dari mereka menatapku murka, "Apa kamu tidak ingat apa yang pernah dilakukannya pada kita!"
Aku menutup mataku,
Ya, tentu saja aku mengingatnya.
***
Aku memasuki gedung sekolah sambil menutup payungku, hujan di pagi hari memang merepotkan, aku cukup beruntung karena ingat membawa payung dari rumah. Kalau saja tidak aku tidak tahu harus bagaimana.
Mungkin aku akan basah sebasah-basahnya, lalu aku akan ditertawai oleh seisi sekolah menjadi lelucon pengganti sarapan yang tak lengkap.
"Duh! Minggir! Minggir!"
Siswi itu langsung menyenggolku, membuat payungku terjatuh karena termakan kekagetan.
Ah... sungguh hari yang menyebalkan.
Aku hanya bisa menghela napas, tidak ingin mengikuti hasrat untuk menendang bokongnya dari belakang.
Sabar, sabar.
Mantra itu selalu kuulang ketika ada hal – hal yang membuatku tidak nyaman dan merasa sedih. Mantra yang diajarkan oleh kedua ornag tuaku, dinyanyikan sebagai pengantar tidur di tengah malam yang begitu dingin.
Aku memandang siswi itu, Leonita, yang tampak berjalan dengan sangat angkuh, bersama dengan dua temannya, yang kucurigai sebagai dayangnya bukan hanya sekedar teman biasa.
Kami sekelas, namun kami sama sekali tidak akrab. Tidak hanya dengan Leonita, aku juga tidak terlalu akrab dengan siswa lainnya di kelas.
Bisa dibilang aku sama sekali tidak punya teman dekat.
Pluk!
Aku merasakan kepalaku yang basah, serta bau susu trawberi yang manis.
"Wow! Tepat sasaran!"
Mereka lalu tertawa, seolah-olah apa yang mereka lakukan padaku adalah lelucon biskuit kentang di pagi hari.
Inilah sebenarnya alasan kenapa aku tidak pernah akrab dengan siapa pun.
Karena aku menjadi target lelucon murahan-setiap hari.
"Minggir gembel!"
Belum sempat kakiku berpindah tempat, dayang-dayang Leonita langsung mendorongku hingga menabrak meja di sampingku, aku memejamkan mata, meringis.
***
Aku membuka mataku, menatap Leonita yang tampak menyedihkan di sampingku.
Kali ini ia menjadi sosok yang tertindas.
Di tempat ini, dunia seakan berbalik, orang-orang yang dulu sering tertindas kini menjadi yang menindas, menumpahkan segala dendam serta sakit hati yang menumpuk.
Tapi bukankah ini menunjukkan bahwa mereka juga sama seperti para penindas itu?
"Kalian begitu menjijikan, bukankah kalian sama rendahnya seperti mereka?"
Aku menyeringai, balela bukan hal yang begitu sulit untukku.
Jika mereka ingin mengaturku
Maka mereka harus mengalahkanku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro