Bab 3
City of Lights, begitulah orang-orang menyebut Kota Paris yang terkenal dengan Menara Eiffelnya. Turun di halte pemberhentian Palais des Congrès—setelah dua kali transit bus dari Rouen—Sohyun harus mencegat taksi untuk mengunjungi hotel tempat sahabatnya berlibur. Sebenarnya ia bisa saja langsung pulang ke apartemen, atau mampir ke kantor pusat El-Roux yang jarak tempuhnya lebih dekat. Namun, karena tinggal beberapa jam lagi sudah pergantian tahun, ia memutuskan memberi kejutan pada sahabat pria satu-satunya yang ia kenal sejak kuliah di London.
Lengkap dengan turtle neck putih dan long coat warna cokelat netral, Sohyun berjalan elegan mempertontonkan kaki panjangnya yang berbalut stocking hitam dan sepatu boot setinggi lutut. Wanita itu mengenakan aksen berupa syal dan topi beret layaknya style orang Eropa pada umumnya. Di tangannya tergenggam sebuah payung, selain tas produksi perusahaannya yang menggantung di bahu.
Akibat hujan, jalanan tampak licin dan basah tak kala ia tiba di lokasi tujuan. Seorang concierge menyambutnya ramah sambil membukakan pintu lobi hotel. Langsung Sohyun menuju ke resepsionis untuk melakukan check-in. Ia memilih kamar yang letaknya berdekatan dengan milik sahabatnya. Sohyun sudah tak sabar ingin melihat reaksi sahabat berparas Amerika-Korea itu ketika mendapati kehadirannya.
"Is there any vacant room around number 54?"
"I'm sorry, Miss. All the rooms on the 5th floor are already full. Do you want to take another one? There are still three empty rooms on the 7th floor."
"All right, then. The one with terrace, please."
Sohyun agak kecewa. Pasalnya, sahabatnya itu berada di kamar No. 54, lantai lima. Tetapi, semua kamar di lantai lima telah terisi. Tersisa tiga kamar kosong, itu pun di lantai tujuh. Mau tidak mau, Sohyun harus mengambilnya. Masih untung hotel bintang lima itu punya kamar sisa. Apalagi yang ada terasnya. Sohyun tidak terlambat sebab biasanya hotel akan ramai oleh pengunjung, terutama menjelang Tahun Baru seperti ini.
Ia pun menuju kamarnya dengan lesu. Tak banyak barang yang ia bawa. Hanya satu buah koper seberat 4 kg sehingga ia tidak butuh jasa seorang bellboy untuk mengikutinya sampai ke lantai tujuh.
Sohyun beruntung ketika ia menyadari bahwa kamar yang ia dapatkan sesuai ekspektasi. Sebuah ranjang king size dengan fasilitas kamar mandi yang luas. Ia membuka jendela dengan tirai berwarna putih tulang, lalu menuju ke teras dan mendapati pemandangan Menara Eiffel yang menjulang tinggi. Tak hanya itu, Sohyun juga dapat menikmati indahnya Sungai Seine yang melintang di depan mata. Beberapa kapal pesiar tampak sibuk mengangkut penumpang yang datang dari mancanegara.
Nanti malam pasti akan lebih menarik.
Sebelum memberi sahabatnya kejutan, Sohyun mengistirahatkan diri. Tepat sebelum tengah malam, ia akan mengetuk kamar pria itu kemudian mengucapkan "Bonne Année" dengan meriah.
***
Sohyun menyesali keputusannya sejam yang lalu. Dengan menyesap segelas sampanye tanpa ekspresi, wanita itu menatap hampa gemerlap cahaya Eiffel di hadapannya. Panorama yang cantik, namun tidak ada artinya lagi. Dalam sekejap, Champ de Mars tampak dipadati oleh ribuan manusia yang menikmati detik-detik peluncuran kembang api. Lounge restaurant di rooftop hotel tempatnya berdiri bahkan tak kalah sesak karena tahun telah resmi berganti.
Sialan. Kenapa setiap tahun selalu begini? Tahun baru malah semakin mengingatkanku bahwa aku tak punya pasangan. Tsk.
Ya, siapa sangka. Seorang desainer ternama dan cantik sepertinya masih saja menyendiri. Semua makin berasa ketika tanpa sengaja ia memergoki Vernon Chwe—sahabatnya—tengah asyik melakukan seks dengan seorang wanita di dalam kamar. Tadinya memang pria itu terkejut akan kedatangan Sohyun, namun seorang wanita muncul tanpa busana dari balik tubuh Vernon—membuat Sohyun jengkel seketika.
Sia-sia aku dateng ke sini.
"Apa semua cowok suka berhubungan bebas seperti itu? Ah, mengingatnya jadi kesal sendiri. Dari dulu dia tak pernah berubah," gumamnya.
Sohyun mengenal Vernon sejak duduk di bangku kuliah. Mereka menghadiri kampus yang sama di London, hanya saja Sohyun mengambil Fashion Designer sementara Vernon mengambil Business Administration. Dua studi yang bertolak belakang tetapi dapat saling menguntungkan.
Bagaimana aku dulu bisa naksir cowok itu?
Berkali-kali Sohyun dilanda dilema. Memikirkan betapa bodohnya ia yang selalu menyukai bad boy. Hal paling memalukannya adalah tak hanya sekali, tetapi sudah dua kali Sohyun mengulang kesalahan yang sama, yaitu menyatakan cintanya kepada laki-laki duluan. Dan tentu saja, ditolak semua. Mana ada wanita yang rela menjatuhkan harga dirinya seperti itu? Meskipun ada, itu pun cuma segelintir. Sohyun hanya bagian dari spesies wanita pemberani yang ada di muka bumi. Lebih tepatnya ia wanita paling nekat yang pernah ada dalam sejarah.
"Lagi apa sendirian di sini?"
"Menurutmu?" jawabnya jengah.
Kenapa dia harus muncul sih?
"Harusnya aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Bukannya lagi asik main kuda-kudaan di dalam kamar?"
Vernon tertawa.
"Kenapa? Pingin? Ayo, aku masih kuat lanjut ronde sama cewek lain."
"Berengsek kau! Sudahlah, aku tidak mood bicara denganmu."
Bukannya pergi, Vernon malah semakin merapatkan diri pada Sohyun. Mengikuti pose wanita itu-yang menyandarkan sikunya pada pembatas besi yang berada di pinggiran resto.
"Sohyun."
Vernon adalah satu-satunya orang yang Sohyun izinkan memanggilnya dengan nama asli, selain keluarga dan saudara.
"Jangan menyukai pria sepertiku. Kau layak mendapat yang lebih baik. Pria sepertiku tidak bisa puas dengan satu wanita. Kau hanya akan terus tersakiti."
Mendengar ucapan Vernon, Sohyun tak bisa berkutik. Memang benar, Vernon bukan pria idealnya. Pria setia yang lemah lembut pada wanita. Seorang pria yang hanya memikirkannya, dan pria yang bisa diajak serius sampai ke jenjang pernikahan.
Menikah? Itu bahkan hal yang mustahil bagi Vernon. Pria yang taunya cuma bersenang-senang tidak akan mengerti artinya sebuah hubungan, ikatan suci yang dinamakan pernikahan. Rupanya, Sohyun terlalu menaruh harapan yang tinggi.
Entah mengapa, sifat Vernon sangat mirip dengan cinta pertama Sohyun. Seorang pria yang telah menolaknya sepuluh tahun lalu. Pria yang menyebut Sohyun norak, kampungan, dan punya selera fashion buruk. Ia seorang most-wanted di sekolah menengah atas. Terbilang bodoh karena selain membolos di jam pelajaran, ia juga selalu mendapat peringkat lima terbawah. Mereka sekelas. Walaupun dekat, tetapi pria itu jauh dari jangkauan. Sulit untuk digapai.
Benar-benar bodoh, bukan? Seharusnya Sohyun tak terjatuh di lubang yang sama. Ia tahu betul tabiat Vernon, tetapi malah menyukainya hanya gara-gara ia bersikap manis padanya.
Sikap manis tidak selalu mencerminkan kepribadian seseorang. Aku tertipu. Lagi dan lagi.
"Sudah, jangan melamun!"
Vernon meraup muka Sohyun yang cemberut. Membangunkan wanita itu dari kenangan buruknya, mengembalikannya pada realita.
"Mana ponselmu?"
"Ada di kamar."
"Ck, pantas saja. Dari tadi asistenmu terus menghubungiku. Katakan padanya, jangan lagi menggangguku apalagi tadi pas lagi klimaks-klimaksnya."
Sohyun merinding mendengar kalimat Vernon.
Dia selalu vulgar. Aku benci pria vulgar. Untung dia sahabatku.
"Ngomong-ngomong, katanya kau akan pergi ke Seoul, ya?"
Sohyun yang tadi menatap kosong Eiffel, kini mengalihkan pandangannya ke wajah Vernon yang mendadak sendu. Terlihat jelas bahwa pria itu tak rela jika Sohyun pergi jauh darinya.
"Ya, Elise memberiku job baru. Ada seorang klien dari Seoul dan harus aku yang menangani."
"Kenapa harus kau? Bukannya kau tak mau kembali ke Korea?"
Ya, Sohyun benci segala hal yang berbau Korea Selatan-negara asalnya. Alasan mengapa Sohyun memilih London, melanjutkan pendidikan dan kariernya di Eropa, bahkan meninggalkan nama aslinya adalah untuk melarikan diri dari masalah. Ada hal yang ingin ia lupakan dari negara itu. Semua kenangan pahitnya, dua wajah yang selalu mendatangkan mimpi buruk padanya setiap malam di masa-masa awal kuliah.
Apakah harus Sohyun kembali ke Seoul dan menghadapi traumanya? Haruskah ia menjadi Kim Sohyun—identitas aslinya—seperti yang dulu?
Jujur, ia bimbang. Namun, Elise memberinya penawaran bagus. Sohyun ingat obrolan mereka ketika di telepon.
"Jika kau berhasil bekerja sama dengan model itu, aku pastikan kau naik jabatan menggantikanku."
"Kenapa harus dia? Apa tidak ada model lain?"
"Tidak. Harus dia. Model ini sedang naik daun, kalau perusahaan kita bisa menggandeng kerjasama dengannya, aku pastikan brand El-Roux laris di pasaran. Terutama di wilayah Asia."
"Kalau aku menolaknya?"
"Tentu saja kau kehilangan promosi yang aku tawarkan. Selain itu, kau juga akan melewatkan kesempatan untuk meningkatkan popularitasmu. Bukankah selama ini kau selalu ingin menjadi nomor satu?"
"Apa kau mau aku memberikan tugas ini pada Chloe? Sepertinya dia sangat ingin menyaingimu," lanjut Elise.
"Baiklah. Aku terima. Aku akan buktikan kalau aku lebih layak daripada wanita centil itu," sahut Sohyun.
Chloe, satu-satunya musuh yang Sohyun hadapi. Saingannya di kantor yang selalu ingin menggeser posisi Sohyun. Tentu saja Sohyun tak ingin wanita itu merebut kesempatan emas yang ia dapatkan. Sohyun pun menyetujui keputusan atasannya. Tanpa ia ketahui bahwa orang yang ia hadapi adalah orang dari masa lalunya yang kelam. Orang yang seharusnya tak berhubungan lagi dengannya.
***
Tbc
Vernon Chwe
Heh, apa ratingnya aku naikkan jadi 18+ ya? Haha.
Mungkin di bab-bab selanjutnya bakal ada kata-kata yang nggak pantas buat anak kecil. Tapi tenang, masih batas wajar kok🤭
Makasih udah nungguin update. Sabar ya, Sohyun bakal segera ketemu Taehyung. Tapi nanti ...🙏💜
Fyi:
*Bonne Année adalah bahasa Prancis yang artinya Selamat Tahun Baru
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro