Bab 24
Kim Sohyun memutuskan untuk berhenti menghindari Taehyung. Lagi-lagi, kepentingan kerja membuatnya mau tidak mau harus menghadapi pria itu. Demi mempersiapkan fashion week berikutnya—yang akan diadakan di Paris—Sohyun menyadari bahwa modelnya harus mendapat pelatihan yang serius. Ia telah mengontrak salah satu pelatih model khusus untuk Taehyung selama sebulan ke depan. Dengan begitu, Sohyun berharap kemampuan modelnya dapat lebih terasah dan Taehyung dapat memberikan penampilan yang lebih baik daripada sebelumnya.
Kedatangan Sohyun disambut Taehyung dengan ekspresi terkejut. Pria itu tidak menyangka, rumahnya akan dikunjungi wanita yang sedari tadi tidak berhenti membuatnya gelisah. Sejak menyaksikan pemandangan hari itu, Taehyung tenggelam dalam pemikiran yang rumit dan aneh. Buat apa juga dia peduli, Sohyun mau bertunangan atau menikah dengan siapa, itu bukan urusannya. Anehnya, pemikiran konyol itu justru membuatnya pusing tujuh keliling.
Malah semakin hari, wajah pria yang selalu berseri itu tampak semakin gelap. Pertama, ia baru sadar bahwa ia masih jauh dari kata kaya. Kedua, ia payah karena tidak bisa membelikan Bitna kado perhiasan yang mahal. Ketiga, Bitna merajuk gara-gara perhiasan yang dibelikan Taehyung itu model lawas. Pantas saja harganya murah. Dan tahu, apa yang Bitna katakan pada Taehyung?
Kenapa berliannya kecil sekali?
Apa semua wanita itu materialistis? Hanya sedikit kepenasaran Taehyung soal wanita. Sepertinya pria itu lupa konsepnya. Untuk memikat wanita, setidaknya diperlukan dua hal, yaitu harta dan rupa. Menjadi model dengan bayaran tinggi pun belum cukup untuk memenuhi keinginannya. Apalagi, semenjak memutuskan untuk hidup mandiri dan tanpa campur tangan ayahnya, Taehyung semakin kekurangan uang. Pertengkaran terakhir kalinya dengan sang ayah, membuat pria itu kehilangan sebagian besar sumber uangnya.
"Kenapa kau dari tadi melihat tanganku?"
Taehyung yang sedang melamunkan nasibnya, tiba-tiba disadarkan oleh pertanyaan Sohyun. Ya, Taehyung heran. Ke mana cincin yang dibelikan oleh pria gym itu? Kenapa tidak ada di jari manis Sohyun?
"Oh, nggak. Cuma, penasaran saja. Jarimu itu cantik banget, kayaknya jadi tambah cantik kalau dikasih cincin."
"Cincin?" Alih-alih menjawab, Sohyun terdiam dengan mengulas senyum. Seperti sedang membayangkan sesuatu.
Ternyata dia menyukainya. Cincin dari pria itu. Terus kenapa? Kenapa aku jadi kesal?!
"Sudah. Pokoknya, mulai sebulan ke depan, kau akan dibimbing oleh pelatihmu. Kau harus lebih penuh persiapan," ucap Sohyun mengalihkan pembicaraan.
Taehyung menggenggam dokumen kontrak antara dirinya dengan si pelatih tersebut dengan sedikit remasan. Sohyun tidak tahu, perubahan mood yang Taehyung alami. Hanya saja, wanita itu memang agak merasa aneh. Taehyung tidak secerewet biasanya. Bahkan, ia tidak membahas kejadian di mana Sohyun sempat menangis gara-gara bertemu ayahnya malam itu. Ya, setidaknya wanita itu menjadi lega. Jika Taehyung mempertanyakannya, mungkin Sohyun akan merasa sensitif dan marah. Entahlah, sepertinya Sohyun benar-benar tidak ingin orang lain mengetahui masa lalunya. Ia lebih memilih untuk menutup rapat masa lalu itu menjadi rahasia yang hanya diketahui olehnya dan sang bibi.
***
"Aku tuh merasa semakin ke sini, Dokter jadi lebih perhatian. Dia bahkan membelikanku gaun, kemarin mengajakku pergi ke toko perhiasan dan melihat-lihat cincin."
Sana memperhatikan sahabatnya yang tampak berbunga-bunga. Wanita itu mengajaknya ketemuan di sebuah kafe, dan selama setengah jam mengobrol yang dibahas hanya mengenai si Dokter Jimin. Bagaimana telinga Sana tidak gatal?
Lagi pula, Sana merasa ada yang tidak beres. Kalau untuk alasan "mengucapkan selamat atas keberhasilan fashion week Sohyun saat di Tokyo" rasanya tidak begitu masuk akal. Yang dibelikan itu Sohyun loh, si desainer jenius lulusan Wembley University dan sekarang bekerja untuk brand ternama yang tak pernah lepas dari posisi lima besar terbaik.
Kenapa harus membelikan gaun? Sohyun juga bisa bikin gaun sendiri. Apalagi dengan posisi dan jabatannya saat ini, gaun manapun tak ada yang bisa menandingi miliknya.
"Sana? Kau dengar tidak? Hyanggi bilang, kalau ada pria yang mulai memperhatikanku, artinya dia tertarik padaku," lanjut Sohyun tanpa menanggalkan senyumnya.
"Memang si Dokter itu sifatnya seperti apa?"
"Hah, akan panjang lebar kalau aku jelaskan keseluruhan. Intinya, dia lembut pada perempuan. Dia pecinta binatang, jelas saja kan, soalnya dia dokter hewan. Lalu, dia perhatian dan peka. Dokter tidak pernah memaksaku untuk melakukan sesuatu yang tidak aku suka. Setiap kali kami pergi bersama, dia pasti menanyakan dulu, apa aku menyukai ini? Apa aku merasa nyaman? Apa aku terbebani? Dan lain-lain."
Kelihatannya pria yang baik. Tapi tetap saja, aku merasa aneh.
"Sohyun, kau itu wanita terpolos yang pernah kutemui. Aku menyampaikan ini bukan untuk membuatmu merasa pesimis. Tapi dengarlah, pria brengsek itu banyak jenisnya."
Sohyun berhenti menyedot minumannya. Tepat ketika Sana mengatakan "brengsek", rasanya jantung Sohyun mau melompat dari tempatnya. Apakah menurut Sana, Jimin salah satu pria dalam kategori itu? Tapi kenapa? Mana mungkin?
"Apa maksudmu, Sana?"
"Pria brengsek, yang memang kelihatan brengseknya. Dan pria brengsek, yang menipu dengan kebaikannya."
"Sana, aku tidak mengerti arah pembicaraanmu."
"Jangan marah, ya. Aku hanya menceritakan pengalaman yang pernah kualami sendiri. Jadi, pernah dulu ada pria yang mendekatiku. Dia baik, sopan dan ramah. Memberiku ini dan itu, bahkan ia sempat mengenalkanku dengan orang tuanya. Tentu saja aku merasa senang. Tapi kau tahu? Seminggu kemudian, dia susah dihubungi dan tahu-tahu, dia pacaran dengan wanita lain. Sial."
Sohyun menyerap baik-baik apa yang Sana sampaikan. Mengambil poin pentingnya, lalu ia bandingkan setiap kata yang Sana sebut dengan kenyataan yang Sohyun alami. Rasanya berbeda jauh. Dokter Jimin yang ia kenal, tidak pernah hilang tanpa kabar. Meskipun pernah, itu pun karena terjadi masalah pada kliniknya. Selebihnya, ia selalu membalas pesan Sohyun bahkan mengangkat teleponnya meskipun larut malam.
"Sohyun, aku tidak berniat untuk membuatmu curiga padanya, tapi ... kuharap kau mempertimbangkan ceritaku. Syukur kalau si Dokter itu memang pria seperti yang kau ceritakan."
Pemberi harapan palsu. Kurang lebih, itulah ringkasan dari cerita Sana. Pria brengsek yang menipu dengan kebaikannya adalah pria yang memberi harapan palsu lalu menjatuhkan korbannya ke dalam mimpi buruk, rasa sakit, dan kecewa yang membekas.
Memang Sohyun telah menemui banyak pria selama ini. Tetapi tipe yang satu itu, belum pernah Sohyun jumpai. Kalau Jimin salah satu di antaranya, apa yang sebaiknya Sohyun lakukan? Semoga, itu cuma kekhawatiran Sana. Jimin yang ia kenal adalah pria yang benar-benar baik luar dan dalam. Sohyun tidak mengendus ada maksud lain dari perlakuan manis Jimin selama ini.
***
Bertepatan dengan hari pemeriksaan kesehatan Popo, Sohyun pun mengadakan janji pertemuan dengan Jimin. Seperti biasa, pria itu tampak telaten mengurus, merawat, dan memberi makan anjing-anjing peliharaan milik kliennya. Dibantu oleh beberapa pekerja terlatih, pekerjaan Jimin menjadi lebih ringan.
Setelah menangani Popo, Jimin menyempatkan waktunya untuk berbincang dengan Sohyun. Di ruangannya, pria itu telah menyajikan teh seperti yang biasanya Sohyun minum. Teh buatan Jimin memanglah yang terbaik, sampai-sampai Sohyun ragu. Apa benar pekerjaan pria itu adalah dokter hewan dan bukan peracik teh profesional?
"Bagaimana? Enak?"
"As always. Rasanya nggak pernah berubah, malah semakin enak saja. Dokter mahir ya, membuat teh."
"Ibuku mengajariku. Dia bilang, teh yang kita buat akan terasa jauh lebih enak jika dituangkan banyak cinta."
"Oh, jadi Dokter menuangkan cinta yang banyak untuk tehku?" canda Sohyun.
"Hahaha. Tapi aku serius, aku tidak pernah asal-asalan setiap kali menyeduh teh. Baguslah, kalau kau suka."
Ayolah, Sohyun. Berpikir. Apa mungkin Dokter di hadapanmu ini penipu?
Berhari-hari Sohyun memperhatikan. Entah di gym, di klinik, atau ketika keduanya sedang pergi makan siang—saat ada waktu luang. Tidak ada yang mencurigakan dari Park Jimin. Pria itu bersikap normal. Bahkan, semakin Sohyun perhatikan, semakin banyak detail yang ia temukan. Park Jimin itu orangnya disiplin waktu. Ketika mereka ada janji, selalu pria itu yang datang lebih dulu. Jimin juga sangat menjaga kesehatan, ketika berbicara di telepon dan ternyata sudah kelewat malam, pria itu yang selalu mengingatkan untuk tidur dan mengakhiri sambungan. Sekarang, berbicara soal teh membuat Sohyun yakin bahwa Jimin adalah tipikal pria yang sangat menghargai perempuan. Ia dekat dengan ibunya dan menerapkan apa yang ibunya sampaikan dengan baik.
Pria sebaik ini, mana mungkin sih penipu?
Merasa buntu, Sohyun pun nekat memancing Jimin dengan sebuah pertanyaan. Sohyun pun mengulang cerita Sana kemarin, lalu meminta pendapat Jimin untuk itu. Kira-kira, akan seperti apa jawabannya?
"Dokter, apakah menurut Dokter pria yang mendekati sahabatku itu benar-benar brengsek?"
"Ada dua kemungkinan. Yang pertama, dia memang brengsek, dan yang kedua, bisa jadi sahabatmu salah mengartikan setiap tindakannya."
"Salah mengartikan tindakan?"
"Iya. Kau tahu, manusia pasti punya sifat percaya diri. Tetapi kalau berlebihan, jadinya malah nggak baik. Seorang wanita biasanya terlalu senang mendapat perlakuan manis dari pria lain. Itu terkadang membuat mereka tidak sadar kalau selama ini mereka salah mengartikan tindakan pria tersebut. Begitulah."
Sohyun mulai mengerti. Namun, untuk menarik kesimpulan bahwa Sana yang terlalu kepedean sepertinya Sohyun kurang setuju. Ia kenal betul seperti apa sahabatnya. Sana adalah wanita terlogis dan terpintar yang pernah Sohyun temui.
Ya, kalau bukan karena cowoknya yang brengsek, tidak mungkin Sana merasa kecewa dan sakit hati.
"Lalu, bolehkah aku bertanya satu hal lagi pada Dokter?"
"Ya, tanya saja. Apa yang ingin kau ketahui?"
Kalau perlakuan manis Dokter padaku, apakah itu karena Dokter menyukaiku atau aku yang terlalu percaya diri?
Sohyun ingin sekali menanyakannya. Sayangnya, belum sempat bibirnya terbuka Jimin kedatangan tamu lain yang lebih penting.
"Aduh, maaf Sohyun. Apa pembicaraan kita bisa ditunda dulu? Kalau perlu, kau bisa menanyakannya di telepon nanti."
"Ah, jangan khawatir, Dok. Lagi pula, pertanyaanku tidak mendesak, kok."
"Benarkah? Sekali lagi, aku minta maaf. Aku tinggal dulu, ya?"
Yah, gagal.
***
Hingar-bingar di club milik Namjoon tidak pernah berkurang. Setiap malam, selalu ramai oleh pengunjung dan anak muda yang ingin bersenang-senang. Di satu ruangan, berkumpul tiga orang pria dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. Yang jelas, semuanya tampak murung dan punya uneg-uneg di kepala.
Jeonghan, semenjak ada perusahaan junior yang mengeluarkan game terbaru, bisnisnya kini terancam. Wajar, belakangan ia sulit ditemui dan diajak keluar. Ia sibuk mencari cara bagaimana membuat image perusahaannya meningkat dan berada di trending atas lagi. Dan kebetulan hari ini Jeonghan menyanggupi untuk datang dan nongkrong di club kebangsaan mereka. Mungkin pikirannya sudah terlalu kacau dan butuh penyegaran.
Taeyong, meskipun beberapa hari lalu Taehyung mendengar kabar bahagia mengenai pertunangan pria itu, tetapi yang dialami Taeyong nyatanya tidaklah mudah. Orang tua calonnya tiba-tiba menentang hubungan mereka gara-gara tahu kalau Taeyong mantan playboy yang suka mempermainkan wanita.
Taehyung, sebenarnya kondisinya abu-abu. Dikatakan sedih juga tidak, murung juga tidak. Tetapi, Bitna yang setiap hari menerornya untuk mengganti kado pemberian Taehyung, benar-benar membuat pria itu frustrasi. Mungkin lebih ke merasa kesal. Apalagi, akhir-akhir ini Bitna terus saja menagih soal liburan berdua sebagai ganti kado Taehyung yang mengecewakan itu. Tidak mungkin Taehyung bisa memenuhi. Bagaimana dengan pelatihannya? Masa iya Taehyung harus membolos? Pria itu dilema berat. Sudah kehabisan akal tentang bagaimana membujuk Choi Bitna si anak manja.
"Kau kenapa?" tanya mereka ke satu sama lain secara bersamaan.
"Hah...." Bahkan ketiganya mendesah di waktu yang sama pula.
"Jadi bos susah juga, ya? Masa game unggulan perusahaanku dikalahkan sama game perusahaan start up? Di mana kuletakkan harga diriku?"
"Cari jodoh juga susah. Orang tua calonku mendadak melarang hubungan kami. Padahal sebentar lagi kami mau tunangan. Aku udah siap cincinnya loh, udah beli sepasang!"
Taehyung tidak tega membicarakan keluh kesahnya. Dibandingkan kedua sahabatnya, masalahnya jauh lebih sepele. Cuma karena Choi Bitna, ia merasa galau. Namun, yang lebih pentingnya adalah kalau tidak bisa menyenangkan Bitna, kehidupan modelnya akan hancur. Ia harus bagaimana?
"Kau kenapa diam saja? Wajahmu juga kelihatan stres. Nggak mau cerita?" pancing Taeyong.
Sebenarnya, orang tidak butuh solusi ketika mengutarakan masalahnya. Tujuan utama mereka hanyalah melepas beban dan berbagi masalah, ingin merasa lebih lega. Tetapi haruskah? Menyaksikan betapa kusutnya wajah Jeonghan dan Taeyong, Taehyung merasa dirinya bahkan jauh lebih baik secara mental. Mungkin.
"Nggak, aku nggak papa. Kalian, minumlah. Malam ini aku yang traktir."
"Beneran? Jangan menyesal, ya! Karena aku mau habisin uangmu," sorak Jeonghan.
Taehyung hanya tersenyum pada sahabatnya, lalu mengajak mereka bersulang.
Menjelang tengah malam, Taehyung kembali ke apartemen dalam kondisi sedikit mabuk. Matanya berat, pun kepalanya. Ia cukup kelelahan setelah mengantar pulang kedua sahabatnya yang terkapar selamat sampai tujuan.
Seolah tersambar petir, kedua mata Taehyung terbuka lebar saat mendapati seorang wanita menunggu di depan pintu apartemennya. Taehyung mengucek pengelihatannya sekali lagi dan memastikan pukul berapa saat itu dari arloji yang ia kenakan.
Ngapain wanita itu di depan apartemenku malam-malam begini?
"Oh, sudah pulang? Mau menemaniku makan sebentar?" Sohyun menunjukkan barang bawaannya.
"Ayam?"
"Hm. Karena sebelumnya kita gagal makan ayam. Boleh aku masuk?"
"Terserah kau saja."
Makan ayam? Aku rasa tidak sesederhana itu. Pasti ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.
Taehyung melemparkan badannya ke atas sofa. Sementara Sohyun menyusul di belakangnya, setelah ke dapur untuk mengambil dua kaleng bir dari kulkas.
"Kau pasti mau mengatakan sesuatu kan?"
Sohyun menatap Taehyung yang berbaring di atas sofa. Muka pria itu kelihatan lelah. Tetapi Sohyun tidak peduli. Hati wanita itu masih penasaran tentang percakapannya dengan Jimin tadi. Taehyung lah, satu-satunya pria yang bisa ia tanyai.
"Kau benar. Aku ingin bertanya sesuatu padamu."
"Apa itu?" Taehyung menyampingkan badannya. Menumpu kepalanya dengan salah satu siku. Sohyun duduk di bawah sofa tepat di depan Taehyung sambil memakan ceker ayam pedasnya.
"Dengar ya, bagaimana menurutmu soal pria yang suka memberi harapan palsu?"
Taehyung mendecih. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Kim Sohyun mencurahkan isi hatinya alih-alih membicarakan soal bisnis. Apalagi kepada Kim Taehyung.
"Kenapa kau tanyakan itu? Seperti bukan kau saja. Kau nggak mabuk, kan?"
"Sudah jawab saja pertanyaanku!"
"Baiklah. Pria yang suka memberi harapan palsu itu adalah mereka yang sering menjanjikan sesuatu, tapi tak pernah ditepati. Mereka nggak suka berkomitmen. Memiliki hubungan yang tidak jelas. Kelihatannya perhatian padamu tapi di belakang, dia menaruh perhatian pada wanita lain. Hmm, apalagi ya? Oh iya, mereka suka tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan menghubungimu ketika butuh saja."
"Sudah kuduga, kau sangat tahu."
"Karena itu aku. Hehe." Sohyun menjejalkan ayamnya pada mulut Taehyung.
"Ugh dasar! Aku bertanya serius, kok malah dibercandain?"
"Aku juga jawabnya serius, Kim Sohyun. Pokoknya, yang aku sebut tadi adalah ciri-ciri cowok pemberi harapan palsu. Kenapa kau menanyakannya?"
"Oke, jujur saja. Aku menyukai seseorang, tapi aku ragu. Aku yang kepedean atau dia yang memberiku harapan palsu. Aku harus gimana?"
"Menyukai seseorang? Apakah pria yang di gym itu? Si pria pendek dan kemayu?"
"Park Jimin! Namanya Park Jimin, bukan pria pendek dan kemayu! Seenaknya saja menyebut nama orang!"
Ah, kenapa ini? Kok aku kecewa banget sama jawabannya. Jadi, pria yang disukai Sohyun itu dia?
"Hei, jawab dong!"
Kenapa? Kenapa harus pria itu? Apa kau menyukainya karena dia kaya? Dia bisa membelikanmu cincin berlian?
"Aku sudah memikirkan ini berulang kali. Aku memperhatikannya, tapi sedikit pun tidak ada celah. Dia sosok pria yang sempurna. Baik, perhatian, peka, lemah lembut, sopan. Aku rasanya tidak terima jika dia disebut pemberi harapan palsu."
Kupikir, sejak berciuman denganku waktu itu dapat mengubah perasaanmu. Atau cuma aku saja yang merasa gelisah setiap kali memikirkannya? Apa cuma aku yang terjebak bayang-bayang itu?
"Selama aku menemui banyak pria, cuma dia yang berhasil membuka hatiku. Aku tak pernah membiarkan orang lain mendekatiku. Tapi, kalau aku suka orangnya, aku tak pernah berpikir dua kali untuk berani menunjukkan ketertarikanku pada mereka. Kau paham kan? Kau juga tahu sifatku yang itu karena dulu aku pernah menembakmu."
Sohyun, kau harus bertanggung jawab! Aku mulai mengabaikan panggilan telepon dari wanita-wanitaku, mengesampingkan Choi Bitna, bahkan sampai dilema untuk mempertahankan perintahmu untuk mengikuti kursus atau memenuhi keinginan Bitna dan pergi liburan bersamanya. Jika sikapku masih sama seperti dulu, aku mungkin lebih memilih Bitna. Tapi apa ini? Aku ikut mempertimbangkan dirimu dalam setiap pengambilan keputusanku?
"Aku selalu berharap, jika suatu saat aku jatuh cinta pada seorang lelaki, aku ingin laki-laki itu adalah Dokter Jimin. Atau paling tidak, seseorang yang sifatnya mirip dengannya."
Kenapa?! Kenapa kau terus menyebut namanya dan itu membuatku muak?!
"Taehyung? Taehyung! Kenapa diam—"
Aku kehilangan logika. Entah karena mabuk atau memang keinginan hatiku yang terdalam. Tetapi ....
"Bisakah kau berhenti membicarakannya dan hanya fokus pada ciumanku?"
Aku malah menciumnya!
***
Tbc
Dududu~
Yok, tim J.m apa tim thv wkwk
Kalian boleh suudzon dulu sama Jimin, tapi ... rahasia :)
Jimin best boi ;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro