Bab 16
Stream "Christmas Tree by V BTS"
💜
***
Sohyun duduk menyilangkan kakinya di atas kasur. Di ruangan yang sama, Kim Taehyung bersusah payah menggosok cermin riasnya menggunakan tiner dengan kain lap. Tidak hanya tangannya yang terasa pegal, Taehyung bahkan masih terengah-engah karena berlarian dari Lotte Hotel ke apartemen yang jaraknya sekitar 300 m. Cerdik sekali, bukan? Sohyun sengaja memilih lokasi hotel yang dekat agar Taehyung tidak perlu menaiki taksi untuk sampai di apartemen. Selain hemat uang dan waktu, juga sebagai upaya untuk berolahraga.
"Kerjakan yang benar!" omel Sohyun.
"Tugas model itu seharusnya berpose dan berjalan di atas runaway. Bukan malah bersih-bersih apartemen milik orang lain," keluh pria itu.
"Oh, bukannya tadi pagi kau kerja sambilan jadi tukang cleaning service?"
Taehyung tak menjawab. Memang ia yang salah. Ia yang menyebabkan kamar wanita itu berantakan dengan cat pilok. Tetapi bayaran yang diminta Sohyun melebihi ekspektasinya. Tidak masalah jika harus mengganti seprai seharga 25.000 won, namun bagaimana dengan biaya reservasi dan makanan mewah tadi? Kira-kira itu hampir menyita setengah akumulasi gajinya dalam tiga bulan. Kim Taehyung menghela napas.
Ketika sedang sibuk mengawasi Taehyung, Sohyun mendapat panggilan dari bibinya. Ini adalah kali kedua bibinya menelepon sejak Sohyun tiba di Seoul. Ada apa?
Sebelum mengangkat telepon, Sohyun memberi isyarat lewat kedua matanya bahwa ia akan tetap mengawasi Taehyung. Jangan macam-macam selama aku tinggal, begitulah sorot matanya berbicara. Sohyun pun keluar menuju balkon untuk mendapat ruang yang lebih luas selama menerima panggilan telepon.
"Iya, Aunty?"
"Sohyun, kau sudah dengar kabar itu?"
"Kabar soal apa?"
"Seseorang bebas dari penjara."
Sohyun terdiam. Ekspresi wajahnya mendadak murung. Mendengar info yang dibawakan bibinya membuat Sohyun benar-benar menyesal pergi ke Seoul. Hal yang ia prediksikan sungguh terjadi. Lantas bagaimana? Wanita itu tidak ingin bertemu dengan pria yang sudah menganiaya ibunya. Meskipun status pria itu masih sebagai ayah kandungnya sendiri. Sohyun selalu menolak kehadirannya.
"Sohyun, Aunty tahu kau membencinya. Tapi demi ibumu, temuilah dia, setidaknya sekali saja."
"Aunty, sampai kapan pun, hatiku tidak siap menemui pria itu. Dadaku terasa sesak setiap kali membayangkan wajahnya. Kenangan buruk di masa lalu ketika pria itu memukul ibu dan meninggalkan kami bersama wanita lain, selalu menjadi mimpi buruk yang menerorku setiap malam. Aunty, jangan paksa aku."
Sohyun mematikan ponselnya. Ia berjongkok, menyembunyikan wajahnya. Tiba-tiba saja air mata membendung, menghalangi pengelihatannya. Ia sakit hati setiap mengingat kelakuan ayahnya. Sohyun memang bukan anak kecil ketika kejadian itu terjadi. Umurnya genap 16 tahun. Itu adalah pertama kali seorang wanita datang bersama ayahnya dan mengaku hamil adiknya. Adiknya? Tentu saja bukan. Jika itu adiknya, maka ia hanya akan lahir dari rahim ibunya. Tetapi jelas-jelas wanita itu adalah selingkuhan sang ayah.
Ibu Sohyun menolak kehadiran orang ketiga di rumah mereka. Namun ayahnya yang mudah sekali marah, tiba-tiba menampar ibu Sohyun di depan matanya. Pria itu mengancam akan menceraikan ibunya. Namanya pertengkaran orang dewasa, sifat ibu Sohyun yang keras kepala semakin menambah buruk suasana. Beliau bersikukuh mempertahankan keinginannya untuk tidak mau tinggal bersama dengan selingkuhan suaminya. Cekcok pun terjadi. Alhasil, muncul banyak lebam di sekujur tubuh ibu Sohyun juga di wajah cantiknya.
Sohyun bukan termasuk anak yang sangat dekat dengan orang tua. Tetapi, kejadian itu jelas memukul mentalnya. Ia selalu merasa tidak tenang apabila berada di rumah. Oleh sebab itu, Sohyun sering kabur dan menyendiri entah di manapun sampai keberaniannya untuk pulang muncul. Berharap saat pulang kondisi sudah membaik, suatu ketika Sohyun justru dikejutkan oleh ibunya yang tidak sadarkan diri. Sohyun pun panik dan mencoba memberitahu ayahnya. Ayahnya yang saat itu sibuk mengurusi "istri barunya" tidak peduli pada kondisi ibu Sohyun yang mulai sekarat. Sohyun pun membawa ibunya ke rumah sakit sendirian. Saat itu pula, Sohyun mendapat kabar buruk bahwa ibunya divonis menderita kanker serviks stadium tiga.
Pertahanan Sohyun runtuh seketika. Ia yang tidak begitu perhatian pada ibunya, sejak saat itu merawat ibunya dengan sungguh-sungguh. Terlebih, setelah apa yang mereka alami. Sohyun tidak ingin ibunya jadi bertambah sakit. Namun naas, tidak sampai setahun, bukannya semakin sehat, ibu Sohyun justru kehilangan berat badan yang drastis. Nafsu makannya menurun bahkan ia tidak dapat bangkit dari tempat tidur. Setelah melakukan pemeriksaan ulang, tahu-tahu penyakit ibunya sudah mencapai stadium akhir dan kanker telah menyebar ke paru-paru.
Di tengah-tengah penderitaan ibunya, anak dari wanita itu lahir. Ayahnya tampak senang, sementara istri sahnya harus berjuang melawan penyakitnya di rumah sakit. Sohyun berulang kali membujuk ayahnya agar menjenguk sang ibu. Tetapi alasannya selalu tidak ada waktu. Sibuk menjaga bayi wanita itu yang baru lahir dan tidak tega meninggalkan wanita itu seorang diri di rumah. Lalu, bagaimana dengan ibunya? Jika itu ibunya, maka ayahnya akan tega begitukah? Sohyun marah. Ia meluapkan semua yang ia simpan dalam kepalanya dan berakhir menyebut wanita itu sebagai "jalang". Ayahnya yang sudah tak tahan lagi pada perilaku kasar Sohyun, memukul dan mengurung gadis itu di dalam kamarnya. Sohyun menggedor-gedor pintu, meminta agar dibukakan. Ia khawatir pada ibunya. Jika ia meninggalkan ibunya di rumah sakit tanpa ada yang menemani, ia takut kalau-kalau terjadi sesuatu.
Dan benar saja. Di hari yang sama, ibunya pergi meninggalkannya. Sohyun ingat, ibunya pernah bilang bahwa percuma ia hidup karena ia tahu ajal akan segera menjemput. Di saat-saat terakhirnya, justru Sohyun tertahan di rumah. Ia tidak tahu apakah ibunya memiliki pesan terakhir. Tetapi fakta bahwa ibunya meninggal bukan karena penyakit, membuatnya semakin terpukul. Sohyun tahu, ibunya selalu ingin bertemu dengan ayahnya. Namun ayahnya yang bajingan itu tetap menolak permintaan ibunya. Wanita malang itu pun nekat menelan banyak obat dan berakhir overdosis.
Sampai akhir pun, baik ayah maupun ibu Sohyun, sama sekali tidak ada yang memikirkan perasaan Sohyun. Sohyun yang masih remaja, harusnya membutuhkan bimbingan dan kasih sayang orang tua. Tetapi apa? Ibunya memutuskan pergi tanpa mempertimbangkan bagaimana jika Sohyun hidup tanpa seorang pun di sampingnya. Ayahnya repot dengan keluarga barunya, melupakan bahwa ia memiliki seorang putri yang sebentar lagi menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Sohyun membenci keduanya. Jika disuruh memilih antara ayah dan ibunya, Sohyun tidak akan memihak siapapun. Hidup gadis itu suram karena keluarganya yang hancur.
Di hari pemakaman ibunya, Somin—aunty-nya—datang. Mengetahui secara garis besar kemalangan yang menimpa keponakannya, ia memutuskan untuk membawa Sohyun ke London untuk tinggal bersamanya. Ia tahu bahwa kakak iparnya tidak peduli lagi pada Sohyun. Daripada Sohyun menderita karena tidak ada yang mengurus, ia tak tega. Sohyun yang kala itu sudah sangat muak pada ayahnya, langsung menyetujui ajakan sang bibi.
Ingatan kelam yang melintas di pikiran Sohyun pun berakhir ketika seseorang datang dan menepuk pundaknya. Sohyun cepat-cepat menyeka air mata dan menetralkan ekspresi wajahnya.
"Kau sudah selesai membereskan kamarku?" tanya Sohyun.
"Sohyun, kau ... baik-baik saja?"
Taehyung sejujurnya belum menyelesaikan pekerjaannya. Ia terganggu saat mendengar ada suara tangisan. Setelah menyusuri sumber suara itu, ia justru menemukan Sohyun tengah berjongkok di balkon dengan sesenggukan.
"Kau menangis?"
"Bukan urusanmu."
"Sohyun, lihat aku!"
Sohyun enggan membalikkan badan, memaksa Taehyung melangkah di depannya dan memeriksa dengan mata kepalanya sendiri. Taehyung terkejut begitu tahu mata Sohyun sudah sembab dan merah, serta pipi wanita itu yang basah.
"Kau kenapa? Ada berita buruk?"
"Kim Taehyung, jangan berlebihan. Mataku merah gara-gara membereskan tumpahan lada di dapur barusan."
"Oh...."
Tanpa curiga, Taehyung tidak mempertanyakan lebih jauh. Lagian, Sohyun yang ia kenal adalah gadis yang tidak cengeng. Ia ingat, saat SMA dulu tak pernah ia jumpai Sohyun merengek atau meneteskan air mata meskipun setelah ia tolak cintanya. Cuma Sohyun wanita yang ia kenal kuat. Wanita itu juga periang di matanya. Setiap waktu, selalu menyempatkan diri untuk tertawa. Ya ... walaupun itu bukan karena dirinya melainkan pria lain.
"Apa kamarku sudah dirapikan?"
"Sedikit lagi, dasar bawel."
"Terus ngapain masih di sini? Mau aku putus saja kontraknya?" ancam Sohyun.
Begitulah cara Sohyun menekan Taehyung. Ia berbohong soal "dapat membatalkan kontrak dengan mudah karena ia anak emas El-Roux". Justru sebaliknya, keberhasilan Sohyun sangat tergantung pada Taehyung. Untung Taehyung tidak mengetahui alasan sebenarnya mengapa ia menerima tawaran kerjasama tersebut. Kalau Taehyung tahu, keadaan pasti berbalik 180°.
"Jangan dong! Kenapa kau selalu mengancamku dengan kalimat itu? Bikin takut saja, aish!"
"Ya sudah, cepat lanjutkan beres-beresnya!"
"Iya, Nyonya," sindir Taehyung yang tidak ditanggapi oleh Sohyun.
***
Taehyung ambruk di atas lantai yang dingin. Setelah menyelesaikan tanggung jawabnya, tubuhnya penuh keringat. Tidak sia-sia ia mengerahkan sebagian besar tenaganya, buktinya bekas-bekas pilok itu berhasil ia tumpas bersih. Di saat bersamaan, Sohyun datang membawakan segelas minuman berwarna oranye.
"Apa ini?" tanya Taehyung begitu gelas minumannya telah ia pegang.
"Jus wortel."
"Kau berniat meracuniku, ya?"
"Apa sih, jangan parno. Kau tidak pernah minum-minuman kesehatan, ya? Selama ini apa yang kau minum?"
"Soda, cola, bir, soju ... hm kalau beruntung aku bisa mendapatkan whiskey gratis di club Namjoon Hyung."
"Aku tidak percaya pada gaya hidupmu yang berisiko itu."
Taehyung masih memandangi gelasnya, ragu untuk meneguk cairan oranye berbau menyengat tersebut. Sekali lagi ia mencoba protes kepada Sohyun.
"Ayolah, aku sudah kerja keras sejauh ini sampai meluangkan waktu liburku, dan kau hanya memberiku ini?"
"Coba dulu, baru kau boleh komentar. Kau haus, kan?"
Taehyung tidak punya pilihan lain. Sambil menjepit hidungnya dengan jari, ia meneguk jus yang disuguhkan Sohyun dalam sekali tenggak. Dahaganya berkurang, setidaknya itu yang ia rasakan.
"Gimana?"
"Tidak seperti yang kubayangkan. Rasanya sedikit lebih enak."
Sohyun tersenyum membanggakan diri. Ia lalu meminum minuman miliknya yang entah sejak kapan ia bawa.
"Kalau itu jus apa?"
Menyadari ada yang membedakan antara gelasnya dan gelas Sohyun, Taehyung pun bertanya. Hari ini ia mencoba hal baru, apalagi yang akan diajarkan Sohyun padanya?
"Oh, ini? Ini wine yang aku bawa dari Paris."
"Apa?!"
Taehyung bangkit. "Kau bilang padaku itu gaya hidup yang berisiko, lalu kau sengaja meminumnya di depanku?!"
Taehyung tertawa jenuh. Inilah bayaran yang diberikan Sohyun setelah kerja kerasnya yang memakan begitu banyak tenaga?
"Oh, paling tidak, ini wortel berkualitas tinggi. Iya, kan? Dengan black card-mu yang limitnya tidak terbatas itu setidaknya kau menyuguhkan sesuatu yang spesial padaku," pikir Taehyung.
Melihat bagaimana postingan instagram Sohyun yang menampilkan barang-barang mewah, pasti segala apa yang ia makan juga mengeluarkan banyak biaya. Sekalipun itu sepotong wortel. Taehyung mencoba berpikir positif. Lagi pula benar, jus wortel itu bagus untuk menjaga kesehatan, rasanya juga tak begitu buruk. Taehyung meneguk sisa minumannya yang tinggal berapa tetes itu.
"Mm, begini, Taehyung. Aku tidak ingin kau salah paham. Sebenarnya itu wortel pemberian asistenku. Karena kelincinya mati, sisa wortelnya jadi tidak terpakai. Jadi, aku minta saja sekalian. Itu bukan wortel kualitas tinggi seperti yang kau harapkan. Maaf."
Taehyung meletakkan gelasnya kembali di atas meja. Cukup keras. Tatapannya kosong. Mendadak perutnya terasa mual.
"Begitu, ya? Itu beneran makanan kelinci? Dan sisa ...?"
Sohyun berdiri menghampiri Taehyung, menepuk-nepuk pundak pria itu. "Maaf, Taehyung-ah, mereka terlalu menumpuk di kulkasku. Jadi sebelum membusuk, aku terpaksa menyajikannya padamu."
Hilang sudah nafsu makan Taehyung sejak itu. Ia pulang ke apartemennya tanpa berkata-kata. Kakinya lemas, apa Sohyun sengaja melakukan itu padanya? Kenapa hari ini ia sial sekali?
***
Sohyun memeriksa berkas-berkas yang Hyanggi bawa ke ruangannya. Proposal tentang keikutsertaannya di acara Fashion Week Tokyo telah ditandatangani oleh Pak Direktur. Kini tinggal merealisasikannya. Dengan bantuan Hyanggi dan sedikit informasi bantuan dari Boreum, Sohyun menemukan penginapan yang cocok.
"Rating-nya bagus. Banyak pengunjung yang puas dengan pelayanan yang diberikan hotel ini. Ayo kita pesan kamar di sini saja. Oh iya, untuk tiket pesawatnya, jangan lupa segera lakukan pemesanan," ucap Sohyun pada Hyanggi yang berdiri tepat di sebelahnya.
"Baik, Eonni."
Tokyo, ibu kota Jepang itu belum pernah Sohyun kunjungi. Berdasarkan apa yang ia dengar dari sahabatnya—Sana, Tokyo punya banyak tempat yang bagus untuk berfoto. Apalagi, tepat saat peragaan busana di gelar, Tokyo memasuki musim semi. Bunga-bunga sakura yang berwarna merah muda akan mulai bermekaran. Sohyun jadi tidak sabar untuk menyaksikannya.
Ia juga penasaran ingin berkunjung ke Harajuku, pusat fashion style remaja di Jepang. Mendatangi satu per satu butik yang ada di sana dan berharap mendapatkan inspirasi untuk desain pakaian berikutnya. Mereka bilang para cosplayer banyak ditemui di sepanjang jalan di Harajuku. Sohyun ingin melihat mereka secara langsung sekaligus mengabadikan momen bersama salah satu atau beberapa dari mereka. Sohyun ingin tahu banyak soal trend fashion yang ada di sana.
Memasuki jam makan siang, Sohyun pergi meninggalkan kantornya. Ia ada janji makan siang dengan Jimin di salah satu restoran di sekitar gedung kantornya. Meskipun dekat dan bisa ditempuh dengan jalan kaki, Jimin memaksa untuk menjemput wanita itu. Dan begitulah ceritanya hingga keduanya berada di satu mobil.
"Dokter benar-benar menjemputku? Padahal aku tinggal jalan kaki sepuluh menit saja dari kantor."
"Tidak masalah, klinikku juga lumayan sepi tadi. Daripada aku berangkat sendiri, lebih baik berangkat bersamamu saja."
Mereka memutuskan menuju restoran yang menyajikan seafood. Jimin sejujurnya tidak terlalu menyukai seafood, tetapi karena Sohyun mengidamkannya ia tak dapat menolak. Mereka pun memesan dua porsi jjampong—sup seafood pedas—dengan selingan pangsit udang.
"Kudengar kau berangkat ke Tokyo minggu depan."
"Iya, Dokter benar. Ada urusan pekerjaan."
"Berapa lama?"
"Hm, mungkin sekitar lima hari. Paling lama satu minggu kalau aku mau sekalian jalan-jalan."
"Wah, enaknya. Aku mana ada waktu untuk jalan-jalan sepertimu? Jadi iri."
"Dokter, kau itu masih muda. Jangan terus-terusan bekerja kalau kau tidak mau cepat tua. Kau harus menikmati masa mudamu dengan baik. Kau harus merencanakan liburan."
"Begitukah? Tapi Sohyun, umurku sudah tidak muda lagi."
"Eih, memang berapa umur Dokter?"
"Tiga puluh lima tahun, jika dihitung sebelum tahun baru."
"Tiga puluh lima tahun?!" Sohyun tersedak. Buru-buru Jimin menyodorkannya air mineral.
"Kau baik-baik saja?"
"Dokter, astaga.... Aku tidak menyangka kau lebih tua delapan tahun dariku. Dan anehnya, kau kelihatan jauh lebih muda dari orang-orang seumuranmu. Apa harusnya aku memanggilmu 'ahjussi'?"
"Keterlaluan, aku tidak setua itu juga."
Mereka pun melanjutkan makan. Keheningan menerpa selama beberapa saat. Tiga puluh lima tahun jelas bukan umur yang bisa dibilang muda, Sohyun sadar hal itu. Tetapi sampai sekarang, mengapa Jimin masih single? Padahal kondisinya sudah memasuki usia pernikahan. Sohyun ingin sekali menanyakan hal itu, namun tanpa ia sangka, Jimin membicarakannya duluan.
"Orang tuaku sudah memintaku untuk segera menikah."
"A–ah, begitu," respons Sohyun.
Aku harus jawab apa kalau Dokter Jimin ngomongin soal pernikahan? Apa aku langsung lamar saja? Hei, tidak masalah kan? Iya. Zaman sekarang, kedudukan pria dan wanita itu setara. Tidak aneh jika wanita yang meminang pria duluan.
"Tapi kau tahu, tidak setiap wanita siap untuk memulai kehidupan yang baru. Mereka berpikir bahwa setelah menikah, laki-laki akan membatasi mereka untuk bekerja dan melakukan apa yang mereka suka. Bagaimana menurutmu, Sohyun?"
Do–dokter Jimin meminta pendapatku? Apakah ada motif di balik ini? Jangan-jangan, Dokter memberiku kode agar siap untuk di lamar suatu hari nanti. Hahaha, Sohyun, jangan terlalu berharap!
"Aku rasa, orang yang berpendapat begitu adalah mereka yang masih berpatokan pada tradisi lama dan pemikiran mereka masih konvensional. Sekarang kita tahu kan, banyak wanita karier di luar sana, termasuk aku. Jadi sebenarnya tidak masalah jika suami dan istri sama-sama bekerja di luar rumah."
"Tapi, bagaimana jika aku termasuk orang yang konvensional? Yang melarang istriku untuk bekerja karena mencari nafkah adalah tugas seorang pria."
"Dokter punya istri?"
"Itu hanya 'seandainya' saja, Sohyun. Bagaimana menurutmu?"
"Kalau Dokter berkata demikian, maka aku tidak akan menolak. Lagian, kalau dua orang saling mencintai, bukankah mereka seharusnya toleran satu sama lain?"
"Kau ... tidak akan menolak?"
"Mak–maksudku calon istrimu, iya, haha. Bukan aku, aduh. Aku salah bicara. Maksudku jika kau dan calon istrimu memang saling mencintai, pasti kalian akan toleran satu sama lain. Dan masalah ini kan bisa didiskusikan baik-baik untuk menemukan solusinya."
"Mengapa kau bilang jika 'saling mencintai'? Bukannya pasangan itu menikah karena mereka saling suka, ya?"
Sohyun menghentikan aktivitas makannya. Ia menatap kedua mata Jimin, memastikan apakah pria itu memang benar-benar tidak tahu kalau kehidupan orang dewasa itu tak semenyenangkan yang ia duga?
"Dok, tidak semua pasangan itu menikah karena saling suka. Meskipun mereka menikah dengan alasan itu, apa Dokter bisa menjamin bahwa rasa cinta itu akan tetap ada dan tidak semakin pudar karena munculnya orang baru?"
Jimin tidak mengerti apa yang Sohyun maksud. Sementara Sohyun, ia mati-matian menahan diri untuk tidak memikirkan kembali kondisi keluarganya dulu. Pernikahan orang tuanya yang awalnya baik-baik saja, ayah–ibunya yang pernah mesra dan romantis, tiba-tiba goyah setelah enam belas tahun dipertahankan. Semua gara-gara munculnya wanita itu.
"Sohyun, apa yang kau bicarakan?"
"Tidak ada, Dok. Lupakan, aku hanya melantur. Mungkin aku terlalu lelah hari ini."
"Sohyun, apapun yang kau pikirkan, mungkin memang ada benarnya. Tidak semua hal berjalan sesuai harapan, tetapi ... jika kita memiliki keyakinan dan motivasi untuk hidup lebih baik, bukan tidak memungkinkan suatu pernikahan dan hubungan bisa bertahan puluhan tahun lamanya. Dan untuk menjaga kesetiaan satu sama lain, itu cukup sulit. Namun juga bukan berarti kita tidak bisa mempertahankannya. Pasti bisa."
Entah mengapa, kalimat Jimin cukup merasuk ke dalam hati Sohyun. Sejak permasalahan internal yang menimpa keluarganya, Sohyun agak sensitif jika seseorang membual mengenai kesetiaan dalam hubungan pernikahan. Bukannya tidak percaya jika pasangan bisa hidup bersama dan bahagia dalam waktu yang lama, hanya saja, rasanya masih sulit diterima. Apalagi Sohyun mengalami sendiri betapa pahitnya hubungan yang dilandasi kekerasan dan perselingkuhan. Padahal, dulu ayahnya sangat perhatian pada ibunya. Ayahnya satu-satunya orang yang mencintai ibunya tetapi apa? Cinta itu kandas juga pada akhirnya.
"Sohyun, jika itu kau, aku yakin, pria manapun yang jatuh cinta padamu mereka tidak akan membiarkan diri mereka jatuh cinta pada wanita lain. Kau wanita yang istimewa," ucap Jimin.
Benarkah begitu? Kalau orang yang mencintaiku adalah Dokter Jimin, apa Dokter juga hanya akan menatapku saja?
***
Tbc
Wah, bab terbanyak yang berhasil aku ketik wkwk
Apa kalian setuju pada ucapan Jimin?
Bahwa kesetiaan bisa dijaga antar pasangan, dan bahwa seseorang yang jatuh cinta pada Sohyun maka tidak akan memalingkan perasaannya pada wanita lain karena Sohyun istimewa?
🤔
Malem ini insyaa Allah double up, ya. Bab selanjutnya udah hampir selesai aku ketik, tinggal nambahin beberapa paragraf lagi biar lebih panjang haha
Semalam bermalam minggu :3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro