Bab 14
Makasih antusiasnya ya, guys!! Ga nyangka, masih ada yang nunggu cerita ini😭 Komen kalian pokoknya jadi penyemangat😭 Padahal aku udah pasrah, kalau pembacanya menurun karena aku lama nggak update. Tapi rupanya kalian masih setia di sini, makasih banyak💜
***
Sohyun histeris menghentak-hentakkan kakinya di atas kasur. Sambil menahan diri untuk tidak berteriak. Tadi adalah makan malam pertamanya bersama Dokter Jimin. Awalnya ia takut mendengar jawaban Jimin mengetahui Sohyun yang terang-terangan melakukan pendekatan, tetapi Sohyun selalu memegang prinsip bahwa sesuatu yang belum dicoba tidak pantas untuk ditakutkan. Justru kalau ia tidak memulai, hanya akan ada penyesalan di dada. Sekarang pun Sohyun lega. Bila Tuhan memang menjodohkan mereka, maka Sohyun akan dengan senang hati menerima.
Wanita itu tak berhenti memandangi layar ponselnya. Ia dan Jimin telah mengobrol cukup lama. Mulai dari memperbincangkan Popo, gym, kesehatan, hingga keseharian—sesuai yang Sohyun targetkan. Mereka saling bertukar informasi. Melalui pesan singkat itu, Sohyun tahu bahwa Jimin memutuskan menjadi dokter hewan karena ia memang penyayang binatang. Selain itu, Jimin sangat menyukai mochi, terutama yang berisi selai cokelat. Ketika Sohyun memuji keimutan Jimin, pria itu bahkan tidak menolak. Katanya, beberapa orang mengatakan hal yang sama seperti yang Sohyun katakan.
Pukul menunjukkan hampir tengah malam. Sohyun masih belum tidur, lebih tepatnya ia insomnia, ketagihan bercakap-cakap dengan Jimin. Sebenarnya matanya sudah mulai lelah, beberapa kali ia menguap. Namun, pesan yang masuk dari Jimin langsung mengusir kantuknya seketika.
Jimin:
Belum tidur?
Sohyun:
Tidak bisa tidur. Bagaimana ini?
Jimin:
Coba keluarlah menuju balkon.
Setelah mengobrol, Jimin jadi tahu kalau apartemennya dengan apartemen Sohyun bersebelahan dan balkon mereka saling berhadapan.
Sohyun:
Aku sudah di luar, Dokter di mana?
Tidak ada jawaban. Sohyun mencoba mengirim pesan yang sama, dibaca pun tidak. Wajahnya mulai panik. Apa terjadi sesuatu pada Dokter? Namun kemudian, ponselnya berdering. Sebuah panggilan datang dari nomor Park Jimin. Sohyun mengulas senyum dan buru-buru mengangkatnya.
"Halo, Dok?"
"Sohyun, coba lihat ke balkonku."
Sohyun mendekat ke pagar pembatas balkonnya. Menyandarkan kedua lengannya di sana. Kepalanya perlahan mendongak, menatap lurus ke depan. Tirai yang menutupi jendela apartemen Jimin terbuka. Pria itu, dengan setelan tidurnya, mulai berjalan keluar sambil memegang telepon. Meski dari jauh, Sohyun dapat melihat Jimin yang tersenyum lembut dengan lambaian tangannya yang ramah.
"Selamat malam, semoga mimpi indah," ucap Jimin dengan nada yang begitu halus.
Angin malam yang dingin berembus. Sisa salju yang menumpuk tipis di balkon Sohyun, tak berarti apa-apa dibandingkan ucapan selamat malam dari Jimin yang menghangatkan hatinya. Wanita itu dibuat berdebar-debar. Setelah menjumpai banyak pria berengsek, baru kali ini ia menemukan pria baik seperti Jimin. Ah, seandainya kami bisa bersama. Tidak! Kami pasti bisa bersama. Aku harus lebih berjuang untuk mendapatkannya!
"Dokter juga," balas Sohyun. "Tapi, aku tidak yakin benar-benar bisa tidur nyenyak."
"Kenapa? Apa kau sakit?"
"Hm, tidak. Bagaimana aku bisa tidur kalau aku terus memikirkan sikap Dokter yang begitu perhatian ini?"
Jimin terkekeh dari ujung sana. "Pokoknya kau harus tidur, kau tidak boleh kecapekan besok."
"Gimana, dong? Dokter semakin perhatian, aku pasti akan insomnia."
"Sohyun, tidur. Atau besok, kau tidak akan bertemu denganku di tempat gym."
"Apa? Di tempat gym? Dokter akan menemaniku latihan?"
"Seperti yang kamu inginkan."
Sohyun bersorak kegirangan sampai-sampai terpeleset gara-gara lantai balkonnya yang licin.
"Sohyun! Kau baik-baik saja? Apa aku perlu ke sana dan membawamu ke rumah sakit?"
"Dok, hahaha, aku nggak papa. Jangan khawatir, hanya sedikit terpeleset saja. Aishh, lantai sialan!"
"Ya? Kau bicara apa barusan?"
"Ti–tidak ada, Dok. Aku baik-baik saja, kok. Baiklah, selamat malam!"
Sohyun langsung memutus sambungan dan menyembunyikan diri di balik bangku. Itu pengalaman yang sangat memalukan. Bisa-bisanya ia terpeleset secara live di depan mata Jimin. Meski terkadang ia lupa bagaimana cara menjaga image, tetapi kenapa harus di momen ini? Akh, ia benci dirinya yang suka memamerkan kecerobohan di depan orang lain.
"Tunggu dulu, sejak kapan ada tumpukan salju di sini? Bukankah tadi sore sudah aku singkirkan ke pojokan?"
Sohyun berdiri, punggung dan pantatnya terasa nyut-nyutan. Ini aneh, Sohyun yakin sudah membereskan tumpukan salju yang ada di balkon. Dan sekarang, salju itu malah berceceran di lantai, tepat di belakang kakinya. Sohyun langsung tahu, ulah siapa itu.
"Keluar, kau! Aku tau, kau sembunyi di sana!"
Dan benar dugaannya. Suara tawa lepas itu muncul, diikuti oleh sesosok buaya berparas rupawan. Kim Taehyung, tetangga apartemennya sekaligus orang yang ia nobatkan sebagai musuh. Tanpa malu, Kim Taehyung tertawa terpingkal-pingkal, memegangi perutnya yang kesakitan.
"Aduh, ah, lucu sekali! Perutku.... Hah...."
"Puas?"
"Belum. Kau pikir hanya dengan melihatmu terpeleset itu bisa mengurangi rasa maluku di acara reuni kemarin? Ingat, Sohyun, aku tidak akan membiarkan hidupmu tenang!"
"Sebentar, sebentar. Kok jadi kau yang balas dendam? Kurasa kita sudah impas, ya. Saat SMA kau mempermalukanku dengan menolakku dan menghinaku di depan umum. Aku hanya memberimu pelajaran, perlakuan yang sama. Kenapa malah kau yang marah?"
"Kau ini kekanakan sekali! Itu masa lalu. Orang bilang, kita tidak akan maju kalau berpacu pada masa lalu. Pikiranmu itu terlalu sempit!"
Sohyun tertawa sarkas. "Loh, ah, gimana maksudnya?"
Sohyun berjalan mendekati Taehyung. Pria itu agak terkejut dan memundurkan diri. Tapi, cepat-cepat ia pasang tampang berani. Ya mana mungkin ia mengalah di hadapan Sohyun? Malam ini, ia harus berhasil membuat wanita itu takut dan kapok mengganggunya!
"Kau membicarakan soal kemajuan, kesuksesan. Harusnya kau berkaca dulu, Tuan Kim Taehyung," tegas Sohyun. "Antara kau dan aku...." Sohyun menunjuk Taehyung, menekan telunjuknya di dada pria itu sebanyak dua kali. "Siapa yang lebih sukses?"
Taehyung kena batunya. Ia termakan omongannya sendiri. Taehyung yang dulu dan sekarang memang tidak ada bedanya. Selalu mengatakan sesuatu tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Jika membicarakan soal kemajuan, tidak diragukan lagi, Sohyun lah yang menang. Ia bekerja di perusahaan fashion terbesar, mendapatkan jabatan yang tinggi, memiliki jutaan followers di instagram dan panggilan job-nya ada di mana-mana. Jika ia berhasil mendapatkan posisi Creative Director di El-Roux, maka Taehyung benar-benar akan dibuat tumbang.
Pria itu bungkam. Hanya tatapannya yang berubah tajam dan rahangnya yang mengeras. Kemampuan mendebat Sohyun rasanya mulai terasah, ia berhasil menyerang Taehyung dengan kata-katanya. Jika dulu ia hanya tersenyum dan mengucapkan kalimat tidak pasti untuk mengancam posisi Taehyung, namun sekarang, tanpa ketidakpastian—alias dengan apa yang sudah Sohyun capai dan miliki—ia dapat menaklukkan Taehyung.
"Hoamm, aku mengantuk. Berbicara dengan orang sembrono memang tidak ada untungnya. Selamat malam," sapa Sohyun. Wanita itu berbalik dan hendak meninggalkan Taehyung. Namun, sesuatu yang keras dan dingin menubruk bagian belakang kepalanya.
"Hei, kau!!"
"Ah, maaf. Tanganku tergelincir, selamat malam juga, Miss." Kim Taehyung melenggang tanpa dosa setelah melempar bola salju yang kotor tepat mengenai kepala Sohyun.
Kim Taehyung sialan!
Kim Sohyun sialan!
***
"Eonni, kantung matamu menghitam. Apa kau kurang tidur?"
"Hyanggi, aku lega karena kau masih mencemaskanku. Kau tahu sendiri kan, aku sangat sensitif terhadap suara."
"Iya?"
"Dan semalam ada orang gila yang menyetel musik keras sekali. Kepalaku mau pecah rasanya, gendang telingaku jebol dan mungkin ada pendarahan di dalam sana."
Hyanggi menatap miris atasannya. Sebelah tangannya terulur, menepuk-nepuk punggung wanita itu. Sudah pasti, orang gila yang dimaksud Sohyun adalah Kim Taehyung. Satu-satunya tetangga apartemen dari unit lantainya. Tidak puas menimpuk kepala Sohyun dengan bola salju, pria itu mengganggu ketenangan tidur Sohyun dengan menyetel musik rock bervolume tinggi. Sohyun penasaran, apa cuma dirinya saja yang terusik? Apakah apartemen lain di lantai bawah tidak merasakan hal yang sama?
"Eonni, sebaiknya kau istirahat dulu. Tidurlah sebentar, nanti aku bangunkan, ya."
"Hyanggi, kau memang asisten terbaik yang pernah kumiliki."
Sohyun pun langsung ambruk di atas sofa yang ada di ruangannya. Hyanggi menggelengkan kepala.
"Ada-ada saja."
Di sisi lain, Taehyung yang berada di kantor agensi tersenyum-senyum sendiri. Semalam ia mendapatkan pengalaman yang menarik. Mengerjai Kim Sohyun, tentu saja. Apa lagi selain itu? Sejak dulu, sikap wanita itu selalu terkesan menyebalkan bagi Taehyung. Terutama, dengan wajahnya yang cukup angkuh, Sohyun mengatakan kalimat-kalimat yang selalu sukses membuat Taehyung tak bisa berkata-kata.
Jatuh cinta? Aku padanya?
Taehyung melempar bola-bola kertas hasil remasannya ke meja di ruangan manajernya. Satu lemparan, dua lemparan, hingga tak terkira ada berapa banyak sampah yang ia buat.
"Lagian, kok bisa wanita itu lebih sukses dariku?! Padahal, selera fashion-nya dulu buruk sekali. Hah, mengingatnya jadi membuatku semakin kesal!"
Diam-diam, Taehyung memeriksa akun media sosial Sohyun. Wanita itu tampak glamor, pakaian dan tas mewah, aksesoris mahal, semuanya melekat di tubuh Sohyun. Membuat posts instagramnya terlihat elit dan meyakinkan. Ada satu foto di mana Sohyun mengenakan toga dan gordon sambil memegang ijazah di tangannya. Ya, itu adalah foto di hari kelulusan Sohyun dari Wembley University. Salah satu kampus terfavorit dan sulit dimasuki yang ada di London. Sekali lagi, Taehyung merasa iri. Iri pada pencapaian Sohyun dan kebebasan wanita itu dalam memilih apa yang menjadi minatnya.
"Seru, ya? Sekarang, kau tertawa di atasku. Tapi, lihat saja nanti. Aku pasti akan segera menjatuhkanmu."
Suara pintu ruangan yang terbuka cukup mengagetkan Taehyung. Choi Bitna— dengan dandanannya yang selalu mencolok—datang menghampiri Taehyung dan bergelayut manja di lengannya. Taehyung lupa, ia sedang berada di kantor agensi, di mana Choi Bitna adalah tamu yang akan sering ia hadapi. Pria itu menghela napas.
"Oppa? Kenapa wajahmu murung?"
"Apa? Aku murung? Mana ada Kim Taehyung yang tampan ini bersedih hati."
"Lalu, kekacauan apa ini? Kenapa banyak sampah kertas yang berserakan di lantai?"
"Oh, itu ulah Seojun Hyung. Kalau mood-nya sedang buruk, ia selalu melempar bola kertas seperti ini. Abaikan saja. Kau ada perlu apa?"
"Kok gitu? Aku ke sini karena kangen pada Oppa. Memangnya tidak boleh? Kita kan pacaran."
Itu cuma gimmick.
"Ah, haha, benar juga. Jadi, kau mau apa?"
"Kok masih tanya sih? Aku kangen, Oppa...." Bitna merajuk.
"Maksudku, ya ... kau ke sini pasti bukan untuk kangen-kangenan saja, kan? Kau mau melakukan apa?"
Berurusan dengan anak kecil yang manja memang susah.
"Nggak ngapa-ngapain. Pingin meluk Oppa aja, Oppa nggak lagi sibuk, kan? Aku dengar, manajermu sedang ada meeting agensi."
"Oh, itu. Dia sedang membahas tentang perjalanan bisnisku ke Tokyo. Aku akan melakukan peragaan busana di sana."
"Tokyo?! Wah, aku mau ikut!"
Oops. Taehyung keceplosan. Ia tidak berniat membocorkan setiap jadwal pekerjaannya, tetapi mulutnya tidak bisa diajak berkompromi. Saking bangganya, Taehyung lupa kalau Bitna adalah tipikal gadis yang selalu ingin lengket dengannya. Dan menurut Taehyung, itu sangat mengganggu.
Bitna yang lebih muda darinya, setiap waktu merengek meminta ini dan itu. Jika Taehyung tidak menuruti, ia pasti akan diancam dengan dilaporkan pada CEO agensinya—ayah Bitna. Dan jika sudah begitu, cepat atau lambat, Taehyung akan memperoleh konsekuensi. Misalnya, akan ada pembatalan kontrak, pembatasan kegiatan, sampai yang paling parah ia akan diskors dari berbagai jadwal yang tentunya menguntungkan bagi karier Taehyung. Itulah mengapa, Taehyung tampak lemah berurusan dengan Bitna. Ia belum menemukan solusi untuk "menyetir" gadis itu. Membalikkan keadaan di mana Taehyung lah yang memonopoli Bitna dan membuat gadis itu menurut.
"Bitna, Sayang, udara di Tokyo tidak bagus. Aku tidak mau kau sakit."
"Tidak bagus? Tapi temanku yang sedang berlibur di sana bilang kalau Tokyo sangat nyaman dikunjungi."
"I–itu kan sekarang, perjalananku masih sekitar beberapa minggu lagi. Aku membaca prediksi cuaca, percayalah," bohong Taehyung.
"Oh ya? Aku juga mau lihat dan memastikan."
Taehyung langsung mencekal tangan Bitna yang hendak membuka ponselnya. Mencegah gadis itu mencari tahu soal prediksi cuaca yang Taehyung maksud. Taehyung menarik Bitna ke dalam pangkuan—seperti biasanya—lalu mengecup punggung tangan gadis itu. Pipi Bitna bersemu merah.
"Aku tahu, kau ingin berlibur bersamaku. Tapi, tidak untuk ke Tokyo. Aku cuma ingin kita pergi berdua saja, jadi ... bagaimana kalau kita merencanakan liburan sendiri? Hm?"
Taehyung berusaha membujuk Bitna, yang sepertinya berhasil. Bitna memang keras kepala, tetapi ia juga gampang dipengaruhi. Mudah terbujuk pada ucapannya. Entah Taehyung yang pandai mengelabuhi atau Choi Bitna yang tidak pintar, yang jelas satu-satunya hal yang Taehyung unggulkan dibandingkan kedudukan Bitna adalah kemampuan bicaranya.
"Ide yang bagus, Oppa. Kalau begitu, aku akan menyiapkan segala hal termasuk menemukan negara yang pas untuk liburan."
"Gadis pintar, aku jadi makin mencintaimu."
"Aku juga, Oppa. Cintaku padamu lebih besar dari apapun, kau tahu itu."
Bitna merangkul Taehyung, sementara Taehyung menahan diri untuk tidak melempar tubuh gadis itu. Ah, situasi hatinya sedang tidak baik.
***
Sohyun datang lebih awal dan meletakkan barangnya di loker penyimpanan. Sebelum memulai sesi latihannya, ia mengontrol pernapasan. Merapikan pakaian olah raganya dan menguncir kuda rambutnya yang panjang. Di saat-saat terakhir sebelum jadwalnya dimulai, Sohyun berkaca dan memastikan kalau wajahnya masih tetap cantik.
"Oke! Ayo, kita mulai!"
Di ruang gym, sudah ada Kai yang menunggu kehadirannya. Personal trainer pribadi Sohyun, sekaligus sahabat Jimin itu telah melatihnya, setidaknya sampai pertemuan minggu lalu. Tidak seperti kelihatannya, Kai rupanya menyambut Sohyun ramah. Mereka juga sering membicarakan Jimin, tentu saja karena Sohyun yang punya banyak pertanyaan terkait pria yang ia incar.
"Hai, Nona Sohyun, sudah siap latihan untuk hari ini?"
Alih-alih menjawab, Sohyun mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Mencari keberadaan Jimin yang katanya akan datang. Sudah lewat lima belas menit dari jadwal latihannya, pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
"Kau mencari Jimin?"
"Dari mana coach tahu?"
"Kau memperlihatkannya dengan jelas, bagaimana aku harus pura-pura tidak tahu?"
Sohyun tertawa canggung sambil mengusap tengkuknya. Cepatlah datang, Dok. Aku sudah tidak sabar ingin berjumpa denganmu.
Tepat setelah Sohyun membatin, seseorang datang dari arah pintu masuk. Menenteng tas gym-nya dengan sangat keren. Sohyun tidak bisa mengedipkan mata. Tubuh Jimin yang berotot tercetak jelas di balik kaos singlet yang ia kenakan. Jika diperbolehkan, Sohyun akan meneteskan air liurnya saat itu juga.
"Jimin!" Kai dan Jimin saling memeluk, pertanda menyambut kedatangan satu sama lain.
Di sana, Jimin tersenyum ramah seperti biasa ke arah Sohyun. Jimin tampak menatap lekat Sohyun dari atas sampai bawah. Tidak hanya Jimin, kehadiran Sohyun malam itu menyita perhatian setiap pria yang melihatnya. Sohyun yang cantik dan bertubuh bagus, siapa sih yang bisa tahan berada di dekat wanita itu?
"Kau cocok sekali mengenakan tank top itu," puji Jimin.
"Benarkah?"
"Ya, tubuhmu juga bagus. Boleh aku tahu, kenapa kau mendaftar gym?"
Jimin murni penasaran. Sebagian besar wanita mengikuti latihan gym karena ingin membentuk tubuh dan menjaga berat badan. Selain itu, juga untuk mencuri kesempatan agar berdekatan dengan Jimin. Tetapi Sohyun, wanita itu sudah sangat ideal. Tubuhnya langsing tanpa lemak. Apa yang Sohyun ingin dapatkan dengan mengikuti gym di tempatnya? Jimin sangat ingin mengetahui jawaban Sohyun.
"Aku ingin menjalani hidup yang sehat. Anggap saja begitu," alibinya.
Padahal, alasan utama Sohyun berada di sana adalah untuk mendekati Jimin. Tetapi, ia tidak akan menjawab demikian. Itu hanya akan membuat Sohyun terlihat tidak ada bedanya dengan wanita lain. Sebaiknya Sohyun membuat alasan yang lebih berbeda dan realistis saja.
"Aku terima jawabanmu. Jadi, ayo kita mulai latihannya. Kai, kau bisa pergi ke customer lain."
"A–apa? Tunggu, kau akan melatihku langsung?"
"Kenapa? Aku kira kau bakal suka dan lebih nyaman denganku."
"Perkataan Dokter memang tidak salah!! Ayo, latihan! Aku sangat semangat sekarang!"
Jimin pun membimbing Sohyun. Mulai dari melakukan peregangan, sampai melakukan latihan kardio di atas treadmill. Sejauh kegiatan itu dilakukan, beberapa kali mereka kontak fisik. Jimin yang dengan gentle menahan pinggang Sohyun saat peregangan badan lantas membuat wanita itu panas–dingin. Jarak mereka sangat dekat. Tubuh mereka hampir saling menempel. Jika tangan Sohyun boleh bergerak bebas, dada bidang Jimin pasti menjadi sasaran utamanya. Paha pria itu juga sangat menggoda. Sohyun, tahanlah. Kau tidak boleh berpikiran mesum!
Di tengah kesulitan Sohyun menerima "skinship" secara tidak langsung dari Jimin, di sudut lain, seseorang tampak mengintip. Muncul kedengkian dalam dirinya, terlebih ketika menyaksikan Jimin yang dengan bebas menggerayangi tubuh Sohyun. Entah mengapa, hatinya menjadi sangat panas. Aliran darahnya mendidih sampai ke ubun-ubun.
"Kenapa dengan pria itu, kau membiarkan tubuhmu disentuh dengan leluasa?"
***
Tbc
Sekali lagi, makasih yang udh nungguin cerita ini update🥺
Double up, ya... Yuk, swipe dulu ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro