Bab 1
Btw, yang ga suka muluk², kalian bisa skip Bab 1-4. Kalian bisa baca langsung Bab 5, pertemuan pertama keduanya setelah 10 tahun💗
***
Abbey Road, salah satu jalan di Kota London pagi itu tampak terselimuti salju. Baru empat hari lalu, perayaan Natal meriah diadakan di setiap rumah. Namun, sisa-sisa perayaan tersebut masih dapat dijumpai. Termasuk lampu tumblr warna-warni yang akan berkelap-kelip di malam hari, wreath (rangkaian bunga) dan garland (untaian dedaunan pinus) yang dipasang di pintu-pintu rumah, juga pohon natal yang masih tegak berdiri di pusat kota.
Di antara jajaran perumahan bertipe semi-detached—dengan gaya victorian sederhana—terdapat salah satu rumah dengan cerobong asap yang sibuk mengeluarkan gumpalan putih keabuan. Salju memang tidak turun, tetapi singgah di suatu kota dengan suhu mencapai 5°C tentu sangat menggigil dan siapapun butuh penghangat ruangan. Tak terkecuali rumah keluarga William.
Rumah dengan dinding bata berwarna merah itu tampak sepi di luar, namun di dalamnya, seorang wanita terlihat sibuk mengemasi pakaian. Sesekali ia menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu mengembuskan napas. Kepulan asap putih keluar dari mulutnya begitu napasnya bergesekan dengan udara yang membekukan.
"Jadi berangkat ke Paris?"
Seorang gadis awal 20-an muncul dari balik pintu. Tubuhnya tinggi semampai sekitar 170 cm, rambutnya cokelat terang, dengan dua iris mata hazel yang jernih dan menawan. Ia lah Emilly William. Tipe gadis penyendiri dan tidak suka keramaian. Sangat berbanding terbalik dengan orang yang disapanya pagi itu, yaitu Elena Kim, sepupu dengan pesona oriental khas Asia Timur.
"Jadi, dong. Aku udah beli tiketnya dua bulan lalu. Lagipula, aku harus segera kembali bekerja. Banyak persiapan yang harus dilakukan sebelum Fashion Week berikutnya."
"Meskipun sebentar lagi Tahun Baru? Kenapa Bosmu sekejam itu?"
Wanita bernama Elena mengangkat bahunya. Bukan hal yang aneh jika ia lagi-lagi ditunjuk sebagai perwakilan perusahaannya untuk maju di pagelaran busana. Elena Kim adalah salah satu designer muda yang jenius dan penuh inovasi. Setiap kali ia mengeluarkan rancangan busana yang baru, itu tidak pernah tidak menarik di mata publik. Rekornya, sudah hampir 50-an karyanya yang dibeli oleh selebriti ternama. Entah itu dari Paris, London, bahkan dari New York.
"Nyonya Huppert bisa memarahiku kalau aku malas-malasan. Kau tahu, betapa menyeramkannya dia? Honey badger saja bisa kabur walau hanya bertatapan dengan matanya."
Faktanya, Honey badger atau musang madu adalah hewan paling berani sedunia versi Guiness Book of Record. Dapat dibayangkan, betapa tegas dan berkharismanya seorang Elise Huppert—atasan Elena—yang menjabat sebagai Creative Director di salah satu rumah mode terbesar di Paris, yaitu El-Roux.
Emilly, meskipun anak keluarga Inggris, ibunya adalah orang Korea Selatan sehingga ia mahir berbahasa Korea. Aunty Sofia adalah adik dari ibu Elena. Nama aslinya Jung Somin. Beliau menikah dengan Richard William, lelaki berkewarganegaraan Inggris, yang dulu dikenalnya saat masih menjalani training di salah satu perusahaan di Seoul.
"You have promised me, we will spend our New Year together. Don't be lie!" sungut Em.
Bagaimana Em tidak marah, Elena selalu berjanji padanya untuk Tahun Baru-an di London, tempat tinggalnya sejak masa-masa kuliah dulu. Sebelum akhirnya ia merantau ke Paris dan mendapat pekerjaan di sana. Tentu Elena tidak punya pilihan lain. Mimpinya untuk menjadi designer ternama semakin besar, maka banyak hal yang harus ia korbankan termasuk waktu santainya bersama keluarga.
"Em, this is my only chance. Untuk job aku selanjutnya, itu akan sangat berpengaruh terhadap karierku. I'm sorry because I broke my promise. I have no choices. Nanti kalau aku berhasil mendapat jabatan yang lebih tinggi, aku pastikan menetap di London selama yang kamu mau," jawab Elena dengan meyakinkan.
Em menghela napas. Tanpa berkata-kata, ia menghampiri Elena dan membantunya packing.
Gadis baik. Semenjak tinggal di London, Emilly selalu melekat dengan Elena. Mereka sudah seperti saudara kandung. Meskipun mempunyai seorang adik laki-laki, Em tidak begitu dekat dengannya. Jay William selalu keluar rumah dan mencari kesenangan bersama teman-temannya. Tidak peduli betapa kesepian kakak perempuannya itu. Em juga tidak membencinya, hanya saja Jay terlalu ektrovert, berbeda 180° darinya. Makanya mereka tidak cukup akrab. Sementara Elena, wanita itu ramah terhadap siapapun. Em merasa nyaman bersamanya.
"Hey! Don't tell me you wanna keep this in the museum?"
"What are you blabbering about?"
"This! Just throw this piece of shit. You are a real designer, why are you always keep something useless?"
Em mengangkat sebuah kaos jersey polos berwarna usang. Tidak hanya satu, namun ada beberapa helai di dalam koper kakaknya.
"No! Don't you dare to touch my favorite clothes! Keep it back!"
Em kehabisan kata-kata. Elena telah menggeluti hobi anehnya untuk mengoleksi pakaian usang sejak ia masih kuliah. Malah, wanita itu mengaku bahwa mengenakan kaos jersey sudah menjadi kebiasaannya sejak ia duduk di bangku sekolah menengah.
Em tidak mempermasalahkan jenis pakaian apa itu. Yang ia sayangkan adalah seorang designer modis macam Elena seharusnya bisa mendapatkan pakaian apapun yang ia mau. Bukan barang rongsokan seperti itu. Entah sudah berapa tahun kaos-kaos jersey kesayangan itu Elena simpan.
Menghindari pertengkaran, Em pun tutup mulut dan kembali membantu kakaknya berkemas.
Perdebatan mereka berhenti, kemudian muncul lagi seorang wanita dari arah pintu dengan membawakan tiga gelas cokelat panas.
"Berangkat jam berapa, Sohyun?"
Mendengar namanya aslinya disebut, ia pun berbalik dan menanggapi. Kim Sohyun adalah nama Korea wanita itu. Meskipun begitu, di London—kampung halaman Uncle Richard—dan Paris—tempat berkiprahnya di dunia kerja, Sohyun biasa dipanggil Elena. Ada beberapa alasan Sohyun tidak menyukai nama kecilnya. Kecuali kerabat dekatnya, ia sangat benci ketika yang lain memanggilnya Sohyun.
"Jam 16.31, Aunty."
"Nggak bisa dibatalin habis Tahun Baru? Atau, ditunda sampai spring aja gimana?"
Wanita itu adalah Sofia. Ia datang dengan pakaian tebal, rambutnya yang panjang tersembunyi di balik sweater rajutnya.
"Ya nggak bisa gitu, Aunt. Sohyun sudah dipanggil atasan. Ada kerjaan penting. Lagi pula, Sohyun juga udah beli tiket tube dua bulan lalu. Sayang kalau harus ngebuang uang 60 pounds."
"Loh, kamu naik tube? Aunty kira naik pesawat. Aunty khawatir banget, soalnya kan lagi musim dingin. Takut terjadi apa-apa selama penerbangan."
"Makanya Sohyun milih naik tube. Selain lebih cepat, lebih murah dan aman juga."
"Terserah kamu deh. Nanti biar Aunty minta Mr. Smith buat nebengin kamu sampai ke stasiun."
Sohyun mengiyakan. Setelah berkemas, barulah ia menikmati cokelat panas buatan bibinya itu sambil menonton televisi.
Ketiganya berkumpul. Sohyun, Emily, dan Sofia. Sementara Richard sedang ada urusan di rumah kerabatnya. Sofia tak bisa ikut karena harus menemani putrinya, Em. Biasanya, Sohyun yang selalu menemani dan mengajak Emily bermain ke butik temannya yang ada di Carnaby Street, di Central London, saat rumah mereka sepi. Namun, kali ini Sohyun tidak bisa melakukan sebagian kecil tugas itu karena harus berangkat ke Paris sore nanti.
"Ya ampun, Sohyun! Aunty lupa ngasih tahu Uncle kamu buat angkatin barang-barang nggak kepakai ke loteng. Kamar Aunty sempit banget. Banyak kardus habis beres-beres tadi."
"Ya udah, sini biar Sohyun angkatin."
"Nggak! Nggak boleh. Anak cewek nggak boleh angkat-angkat barang berat. Itu tugas cowok."
"Cuma segitu aja sih gampang, Aunty. Sohyun kuat kok. Nih lihat, Sohyun punya otot bisep tiga tumpuk." Sohyun pun memperlihatkan otot lengannya dengan antusias.
"Yakin kamu?" selidik Sofia setelah melihat tubuh krempeng keponakannya. Itu otot apa paha ayam? Kecil banget.
"Aunty kayak nggak tahu Sohyun aja. Sohyun ambil sekarang, ya? Biar urusan Aunty cepet selesainya."
Sohyun, selain menjadi seorang designer pakaian yang sukses, ia juga memiliki bakat terpendam lainnya. Yaitu, angkat-angkat barang. Sejak remaja, Sohyun sudah sering nguli. Kadang suka bantu tetangga yang baru pindahan di kompleks sekitar rumahnya. Sohyun terlatih melakukan hal-hal yang biasa para pria lakukan, misalnya membetulkan lampu dan barang-barang rumah tangga yang rusak. Memaku, sampai berkebun.
Namun sungguh ajaib. Di balik kebiasaannya yang suka melakukan pekerjaan pria, Sohyun adalah wanita yang belakangan selalu tampil glamour. Ia yang tak biasa berpenampilan anggun, mengubah penampilannya di luar rumah. Katanya, supaya penampilannya lebih meyakinkan untuk profesi yang ditekuninya.
***
"Cheers*, Mr. Smith!" ucap terima kasih Sohyun pada pria bertubuh tambun yang telah membawanya ke Stasiun Pancras.
"You're welcome, Dear. Semoga selamat sampai tujuan."
Sohyun melambaikan tangannya ke arah mobil tua berwarna merah itu. Mobil Mr. Smith, tetangga dekatnya. Kemudian, wanita itu memasuki gerbang stasiun dengan menyeret kopernya. Hingga seorang porter datang dan membantu membawakan barangnya.
Suasana stasiun cukup ramai. Bukan disebabkan oleh banyaknya keberangkatan, melainkan didominasi penuh oleh kedatangan para penumpang. Mungkin karena menjelang Tahun Baru, orang-orang London di luar kota atau negara lebih memilih mudik dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Dan jangan lupa, banyak tempat ikonik yang bisa dikunjungi di sana pada saat malam Tahun Baru. Sebut saja London Eye, Big Ben, dan Tower Bridge. Di mana di lokasi-lokasi tersebut, Londonians dapat menikmati acara kembang api semalam suntuk.
Sohyun tiba di stasiun 30 menit lebih awal untuk mengantisipasi terjadinya ketinggalan kereta. Tube di London selalu datang dan pergi tepat waktu. Maka, Sohyun pun harus lebih disiplin menghadapinya. Selagi menunggu kereta datang, Sohyun duduk di sebuah bangku. Beberapa orang di sekelilingnya tampak sibuk masing-masing. Sebagian besar memegang surat kabar. Sohyun tidak tahu, sebenarnya apa sih yang menarik dari sebuah koran harian? Tentu saja, karena ia seorang designer, majalah fashion jauh lebih menarik untuk dibaca.
Tak terasa, 30 menit telah berlalu. Sohyun dapat melihat kereta apinya sampai. Ia mendekati pintu gerbong dan menunggu sampai semua orang yang ada di dalam sana keluar, baru ia dan penumpang lain bisa masuk.
Sohyun meletakkan kopernya di bagasi. Lalu, segera mengambil duduk di salah satu bangku. Perjalanan akan dimulai, Sohyun tak sabar ingin cepat-cepat tiba di Paris. Terlebih, ia sudah tak sabar ingin mengejutkan sahabat laki-lakinya.
***
Sohyun terbangun dari tidurnya yang singkat. Dengan kondisi setengah sadar, ia dapat merasakan kepanikan para penumpang yang ada di dalam kereta.
"Permisi, Sir. Boleh saya tahu, apa yang sedang terjadi?" tanya Sohyun pada seorang pria berkumis dengan mantel berwarna cokelat muda.
"Ada pemberitahuan cuaca buruk. Di
Paris sedang terjadi hujan salju lebat. Salju semakin tinggi dan dikhawatirkan dapat mengganggu perjalanan tube."
Semendadak itu? Semangat Sohyun langsung sirna. Kini ia dan penumpang lainnya terpaksa dievakuasi. Kabar baiknya, Sohyun sudah sampai di kota Rouen, artinya kereta yang ditumpanginya telah melewati Terowongan Channel, terowongan underwater yang memiliki panjang kurang lebih 50 km. Terowongan yang menghubungkan Inggris dan Perancis. Butuh sekitar 112 km lagi dari Rouen untuk mencapai Kota Paris. Tidak masalah, Sohyun akan melanjutkan perjalanannya dengan bus saja besok. Yang terpenting, sekarang ia harus cari hotel untuk bernaung.
Tidak jauh dari stasiun Gare du Rouen, Sohyun menemukan sebuah motel. Alih-alih memilih tidur di hotel, Sohyun sadar jika ia harus berhemat. Ia pun memilih motel, yang secara struktur bangunan ukurannya lebih kecil. Dan ... juga lebih murah.
Sampai di meja resepsionis, Sohyun menanyakan, "Permisi, apakah ada kamar yang masih kosong?"
"Ada satu, Miss. Apa mau diambil?"
"Bisa, to–"
"Saya ambil kamarnya!" seru seorang pria yang baru datang dari arah belakang. Sohyun dibuat kesal olehnya. Ia kan yang datang lebih awal. Seenaknya saja pria itu mau mengambil kamar miliknya.
"Tidak bisa, Sir! Saya pesan lebih dulu daripada Anda, jadi kamar itu untuk saya."
"Sejak kapan Anda pesan? Saat saya tiba di sini, Anda belum bilang apapun."
Sohyun menggeram. Sial sekali ia hari ini! Harusnya ia sudah tiba di Paris. Tetapi, gara-gara cuaca buruk, ia harus terjebak di Roune dan akhirnya bertemu pria tidak tahu malu itu. Sohyun melupakan segala sopan santunnya yang selalu ia jaga di London. Sekarang ini, emosinya tersulut. Seandainya pria itu sedikit lebih lembut dan sopan padanya, mungkin tempramen Sohyun tidak akan terpancing begitu mudah.
"Tolong budayakan 'lady first', Sir," cibir Sohyun.
"Lady first tidak ada di kamus saya. Siapa cepat, dia dapat."
Brengsek! Umpat Sohyun dalam bahasa ibunya. Tentu saja ia tahan kalimat kotor itu di dalam batin. Kedua sorot mata Sohyun kini tertuju pada seorang gadis berbaju merah yang pria itu bawa.
Hell, where the fuck is this guy from? Is she a bitch?
"Here, take it, Miss. You can find another motel I think."
Sohyun melongo menerima beberapa lembar euro dari pria asing itu. Mengabaikan perasaannya, tahu-tahu pria itu sudah masuk ke dalam ruangan. Yang benar saja, kamar miliknya sekarang malah dibuat main mesum oleh pria tidak dikenal dan sok kaya tersebut.
Walau ingin marah, tidak ada gunanya juga. Memang cukup sulit menemukan motel baru dengan kamar yang masih kosong. Apalagi, di luar ada banyak penumpang yang menjadi saingannya memperoleh tempat singgah sementara. Sohyun merasa frustrasi. Tidak ada pilihan lagi.
"Kali ini aku mengalah, semoga aku tidak bertemu dengan pria brengsek seperti itu di masa depan. Merepotkan saja!" gumamnya menembus udara yang dingin di jalanan luar.
Tbc.
Gimana vibes-nya? Hehe. Aku ajak kalian jalan-jalan ke Paris dulu ya :)
*Cheers itu ungkapan terima kasih, sama kayak "thank you". "Cheers" dipake ketika kita ingin menunjukkan ekspresi santun ke orang lain, ini juga digunakan ketika kita mengenal dekat orang-orang yang kita ajak bicara.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro