Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05

🍂🍂🍂

Makan bersama keluarga di meja makan adalah salah satu hal yang aku hindari mulai saat ini. Malam ini, aku lebih memilih untuk makan malam di balkon lantai dua. Sendirian. Aku terlalu malas jika mendengar mereka membahas tentang Dinda lagi dan lagi.

Dinda ….

Dia adalah kakak kandungku. Kami hanya selisih dua tahun. Dan, dia sudah meninggal dunia setahun yang lalu. Aku tidak akan menceritakannya sekarang, bagaimana kronologis meninggalnya Dinda di usianya yang masih terbilang muda.

Baiklah, mari kita lupakan perihal Dinda. Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal dunia, bukan?

Aku menatap pemandangan malam ini dalam diam. Langit tampak cerah, tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Banyak bintang yang bertaburan di atas sana. Namun, bulan rupanya enggan untuk menampakkan sinarnya. Tak ada bulan malam ini. Mungkin gumpalan awan itu sudah menutupinya.

Aku menghela napas panjang. Entahlah. Aku sebenarnya ingin menyibukkan diri dengan melakukan banyak hal. Namun, aku bingung. Hal apa kira-kira yang bisa membuatku tampak sibuk?

Aku sebenarnya sangat suka menggambar. Akan tetapi, dadaku terasa sesak setiap kali akan menggoreskan pensil ke atas kertas gambar. Kalimat-kalimat buruk itu selalu muncul. Aku tak menyukainya. Kenapa kalimat-kalimat itu harus keluar dari mulutnya?

Dinda lagi ….

“Lo tahu, sebenernya nyokap nggak pernah suka sama gambaran lo. Dia bilang bagus, ya agar lo nggak nangis.”

“Luth, bisa nggak sih, lo itu sekali aja nggak ngerepotin gue? Lo tahu, gue itu paling males kalau disuruh pergi beliin lo pensil warna. Kenapa sih, lo nggak beli sendiri aja?”

“Lo pengin jadi pelukis professional? Hh! Bangun woi! Emangnya lukisan lo bisa kayak Leonardo Da Vinci? Jelek kayak cakar ayam gitu.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak. Itu hanyalah segelintir kenangan buruk di masa lalu. Tak seharusnya aku mengingatnya kembali. Kalimat-kalimat itu keluar saat aku mulai memasuki bangku SMP. Masih sangat labil dan mudah tersinggung. Tak seharusnya aku menyimpannya di dalam hati hingga saat ini.

Dinda, kamu adalah saudara yang tak pernah bisa untuk kusayangi. Tapi, kenapa kamu yang selalu muncul di pikiranku?

~dear you~

Hari minggu mungkin akan menjadi hari yang menyenangkan bagi orang lain. Libur. Tak perlu mandi pagi-pagi, dan tak perlu pergi ke sekolah. Namun, aku tak seperti mereka.

Aku merasa bosan jika berada di rumah seharian pol. Dan, pasti akan ada si Paijo beserta pacarnya di rumah. Aku tidak suka. Bukan karena iri, bukan. Hanya saja … kalian tahu sendirilah bagaimana hubunganku dengan Paijo. Dan, Selena bukanlah seseorang yang kuharapkan menjadi kakak ipar.

“Mau ke mana, Luth?”

Pertanyaan dari Paijo menghentikan langkahku. “Jalan,” jawabku malas.

“Ke mana? Pasti ada tujuan, ‘kan?”

Aku berdecak kesal. Kenapa dia jadi kepo, sih? Aku mana tahu mau ke mana. Belum ada tujuan. “Bukan urusan lo.”

Setelah mengatakan tiga kata itu, aku pun melangkah keluar dari rumah. Mengabaikan Paijo yang mungkin saja sekarang tengah bergumam tak jelas, atau bahkan mengumpat.

~dear you~

Tidak ada tujuan pasti, di mana kedua kaki ini akan berhenti melangkah. Lihat saja nanti. Sebenarnya aku sangat menyukai keramaian. Tapi, jika sendiri di tempat ramai, aku tidak suka. Layaknya anak hilang. Jadi, kali ini aku memutuskan untuk tidak mengunjungi tempat yang ramai.

Aku berhenti di depan sebuah took buku. Inginku masuk ke sana, tapi akhir-akhir ini minat bacaku hilang entah ke mana. Yang sering kubaca adalah buku pelajaran saja, itu pun saat di sekolah. Ah, tidak. Status-status 4Lay yang ada di sosial media pun juga tak luput dari penglihatan mataku.

Aku menghela napas panjang, lalu kembali melangkahkan kedua kaki mungil ini. Menyusuri jalanan beton yang tidak bisa dikatakan untuk tidak berdebu ini.

“Luthfi!”

Aku langsung menoleh ke sisi kiriku begitu aku mendengar ada yang memanggil namaku. Di seberang jalan sana, aku melihat Rayyan tengah melambai-lambaikan kedua tangannya ke arahku sambil tersenyum lebar.

Aku balas tersenyum. Tak kusangka akan bertemu lagi dengannya di sini.

Rayyan lalu menyeberang jalan, menghampiriku. Dia tampak err … keren dengan balutan kaos berwarna putih dan sweter berwarna abu-abu yang dipadukan dengan celana jins berwarna hitam. Rambut hitamnya … ah sayang sekali, aku tidak paham mengenai model-model potongan rambut cowok. Tapi, kalau aku boleh mendeskripsikan penampilan Rayyan saat ini, mirip foto cowok Korea yang ada di galeri ponselnya Maya. Cewek itu sering menyebutnya “oppa”. Ya, seperti itu. Rayyan sepertinya sangat paham dengan perkembangan mode.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Rayyan begitu tiba di hadapanku.

“Ng …,” aku menggeleng, “nggak ada. Sekadar jalan-jalan saja.”

“Oh ….”

“Kalau kamu?” tanyaku balik.

“Ng …,” dia menggelengkan kepala, “nggak ada. Sekadar jalan-jalan saja.”

Apa dia baru saja mengopi ucapanku tadi? Sepertinya iya.
“Ah ….” Aku mengangguk paham.

“Mau ikut aku?” tawar Rayyan kemudian.

Aku mengernyit. “Ke mana?” tanyaku.

“Ke rumahku.”

“Ya?” Aku terkejut. Oh, ayolah … aku dan Rayyan baru beberapa hari kenal. Masa iya aku main ke rumahnya? Bukan bemaksud curiga atau apa. Aku tahu kalau Rayyan itu tipikal cowok baik-baik. Tapi … jujur saja, aku jarang main ke rumah cowok, kecuali Rey dan beberapa teman sekelasku (itu pun saat kerja kelompok saja). Jadi, berasa kayak pengalaman baru.

“Mau, ya?”

Aku akhirnya memutuskan untuk mengangguk. Tak ada salahnya juga. Daripada hanya luntang-lantung tidak jelas di jalanan.

Kami pun mulai berjalan menuju rumah Rayyan. Rumahnya tidak begitu jauh dari sini, jadi tak perlu naik bus atau angkot untuk menuju ke sana.

“Ng … Rayyan, di rumahmu ada siapa saja?” tanyaku di tengah perjalanan. Kalau ada orangtuanya, pasti akan terasa awkward. Tapi, kalau tidak ada siapa-siapa … oke, sepertinya pikiranku sudah mulai ke mana-mana. Intinya, sih, semoga saja di rumah Rayyan tidak hampa.

“Ada Mbak Murni, asisten rumah tangga,” jawab Rayyan.

“Oh … begitu. Terus, orangtua kamu di mana?” Entah kenapa aku jadi kayak si Paijo. Kepo.

Rayyan tersenyum padaku. “Mama sama Papa udah cerai setahun yang lalu. Aku tinggal sama Papa. Dan, Papa sekarang lagi kerja.”

Aku jadi merasa tak enak hati pada Rayyan. Dia ternyata korban broken home. Aku lalu mengangguk paham. Sepertinya Rayyan adalah sosok yang sangat terbuka. Itu bagus. Berarti, taka da hal yang disembunyi-sembunyikan.

~dear you~

Aku menatap kagum pemandangan yang kini tersaji di hadapanku. Benarkah ini rumahnya Rayyan? Gila! Ini bukan rumah, melainkan mansion mewah. Gila! Gila! Gila!
“I … ini beneran rumah kamu?” tanyaku ke Rayyan.

Rayyan menganggukkan kepalanya. “Ayo masuk!” Dia menarik tanganku, mengajakku untuk memasuki rumahnya, ah istananya. “Nggak usah malu-malu. Anggap saja rumah sendiri. Tapi, jangan dijual, ya. Entar aku jadi gelandangan,” katanya, lalu terkekeh.

Aku pun tertawa kecil mendengarnya. Lalu, aku mendudukkan diri ke atas sofa yang ada di ruang tamu. Hh … sofa yang nyaman. Pasti harganya mahal.

“Mbak Murni! Mbak! Ada tamu, nih!” Rayyan memanggil asisten rumah tangganya.

“Iya, Mas!” Aku mendengar seorang wanita menyahut.

“Ng … kamu di sini dulu, ya. Aku ke atas dulu ambil handphone,” ucap Rayyan.

Aku mengangguk.
Rayyan pun mulai melangkahkan kedua kaki jenjangnya menaiki tangga. Meninggalkanku di sini sendirian. Ah, tidak. Sebab, tak lama kemudian datang seorang wanita dewasa. Di tangannya terdapat nampan yang berisi segelas minuman berwarna kuning, serta dua stoples makanan. Itu pasti yang namanya Mbak Murni.

“Silakan diminum dan dimakan, Mbak,” ujarnya sambil menaruh isi nampan yang dibawanya tersebut ke atas meja tepat di depanku.

“Iya, Mbak. Terima kasih. Maaf, jadi ngerepotin,” balasku.

“Nggak merasa direpotin, kok. Ngomong-ngomong, Mbak ini pacarnya Mas Rayyan, ya?”

“Hah?”Aku terperangah. “B-bukan, kok, Mbak,” elakku cepat. “Saya temannya Rayyan.”

“Ah, teman. Jarang-jarang lho Mas Rayyan ngajak temannya main ke rumah, apalagi cewek. Sepertinya Mbak yang pertama, deh.”

Keningku mendadak mengkerut. “Mbak serius?” tanyaku tak begitu percaya. Kalau dilihat dari tampangnya, menurutku Rayyan itu adalah sosok yang ramah dan mudah bergaul. Buktinya, baru beberapa hari kenal denganku, dia sudah berani mengajakku main ke rumahnya.

“Serius, Mbak. Saya nggak bohong. Mas Rayyan itu orangnya super duper cuek dan dingin kalau sama cewek. Mangkanya, saya agak kaget waktu lihat Mas Rayyan datang sama Mbak tadi.”

Aku mengangguk paham.
“Kalau gitu, saya permisi dulu, Mbak. Masih ada kerjaan di dapur.”

“Iya, Mbak.”

Mbak Murni kemudian melangkah pergi dari sini.
Sekarang, entah kenapa aku jadi merasa istimewa. Ada rasa bangga saat Mbak Murni bilang kalau aku adalah cewek pertama yang diajak Rayyan main ke rumahnya. Hahaha. Dan, Mbak Murni tadi bilang kalau Rayyan adalah cowok yang super duper cuek dan dingin sama cewek. Tapi, kenapa aku sama sekali tidak menemukan hal itu di diri Rayyan, ya? Bahkan, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Hh, dia sedikit misterius ternyata. Mungkin ada suatu hal di masa lalu yang membuatnya seperti itu (cuek dan dingin sama cewek). Mungkin faktor penyebab kedua orangtuanya bercerai juga memengaruhi.

Aku kemudian menatap sekelilingku. Wah … rumah ini benar-benar mewah. Klasik, namun ada beberapa furnitur yang bergaya modern, seperti pigura foto. Aku tidak tahu seberapa kaya keluarga Rayyan. Kalau dilihat dari rumahnya, sih, sangat kaya. Iris mataku kemudian tak sengaja melihat puluhan piala yang berbaris rapi di dalam lemari kaca. Aku pun berjalan menghampiri lemari kaca tersebut. Hanya ingin melihat, siapa kira-kira yang sudah berhasil mengumpulkan piala sebanyak itu.

“Juara satu lomba Sains tingkat nasional, juara satu lomba Matematika tingkat nasional. Woah … keren.” Aku berdecak kagum melihat puluhan piala yang kini sudah ada di depan mataku. Benar-benar membuat bangga siapa pun yang melihatnya.

Aku sedikit terkejut saat tak sengaja melihat nama Rayyan tertulis di sebuah piagam penghargaan yang terletak di bagian atas lemari kaca. Aku tidak tahu penghargaan dalam ajang apa itu, sebab kalimat yang tertulis di sana bukanlah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, melainkan menggunakan bahasa asing yang sama sekali tak kumengerti artinya. Sepertinya bahasa Jerman. Ah, entahlah.

“Maaf, udah membuatmu menunggu lama.”

Suara interupsi Rayyan berhasil membuatku terkejut. “A-ah, enggak, kok.”

Rayyan tersenyum. Kini, cowok itu sudah tidak mengenakan sweternya lagi. Hanya ada kaus berwarna putih di sana. Ya, suhunya memang sedikit panas. Jadi, wajar saja jika dia melepas sweternya. Aku pun juga merasa panas melihat Rayyan yang seperti itu. Oh, astaga! Apa yang baru saja kupikirkan?!
Aku lalu memalingkan wajah. Kembali menatap deretan piala di depanku. “Ng … Rayyan, apa … ini pialamu?” tanyaku.

“Iya, itu pialaku,” jawab Rayyan.

“Ini semua?”

“Iya.”

“Woah …,” decakku kagum. “Kamu ternyata murid teladan, ya.”

“Hehehe, nggak juga. Aku pernah membolos.”

“Tapi, ‘kan, nggak masalah membolos kalau kamu masih bisa menghasilkan piala-piala ini.”

“Hahaha, kamu bisa aja. Piala nggak begitu penting buatku. Benda-benda ini hanya membuat orang lain bangga padaku.” Rayyan menyentuh permukaan kaca yang menutupi piala-piala miliknya.

“Emangnya kamu nggak bangga? Kalau aku mungkin akan sangat luar biasa bangga. Segala permintaanku mungkin akan dituruti oleh Papa dan Mama.” Aku lalu menatap Rayyan sambil tersenyum. “Aku bangga padamu.”

Rayyan balas tersenyum. “Terima kasih.”

~dear you~

Pukul 17.05 aku baru pulang dari rumah Rayyan. Perihal makan siang salat Zuhur, aku melakukannya di rumah Rayyan. Sedangkan salat Asar, aku melakukannya di masjid.

Orang-orang rumah (Mama, Papa, dan Paijo) tidak ada yang menghubungiku untuk sekadar menanyakan keberadaanku. Mereka sepertinya sudah tahu kebiasaanku yang tidak ingin diganggu oleh bunyi yang berasal dari ponsel mereka. Hh, baguslah kalau begitu.

Banyak hal yang aku dapat setelah main ke rumah Rayyan. Kami tadi banyak bercerita, terutama dia. Ayah Rayyan ternyata seorang pengusaha properti, sementara ibunya adalah seorang model.

Ada satu fakta tentang Rayyan yang mampu membuatku menganga, yaitu dia tidak bisa mengendarai mobil. Oh, astaga! Padahal, mobil di garasi rumahnya ada banyak. Tapi, syukurlah setidaknya dia bisa mengendarai sepeda motor. Eh, tapi dia lebih suka naik kendaraan umum ke mana-mana.

Rayyan orangnya juga cukup asyik. Tidak dingin seperti yang dibilang Mbak Murni. Dia juga sederhana, mengingat keluarganya yang sangat kaya itu. Satu kata yang menggambarkan sosok Rayyan dariku, perfect. Eh, tapi, ‘kan, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Ah, entahlah. Pokoknya Rayyan itu … pacar idaman. Ups! Astaga! Apa yang sudah aku pikirkan, sih?!
Apakah aku mulai jatuh hati padanya, meskipun aku baru mengenalnya beberapa hari yang lalu?

~dear you~

“Hai, Luth. Baru pulang, ya?”

Aku mendengus kesal begitu mendengar suara basa-basi Selena saat aku memasuki rumah. Tak lebih dari satu jam lagi Magrib, tapi kenapa tuh cewek belum pulang? Betah banget berada di sini. Bikin bad mood saja.

“Dari mana saja, Luth? Jam segini baru pulang. Anak cewek keluyuran mulu kerjaannya. Nggak pamit lagi,” tutur Paijo.

Aku tak menghiraukan Selena dan Paijo. Oh, ayolah! Paijo sepertinya tidak bercermin dahulu. Apa dia tidak melihat cewek di sebelahnya itu, hah? Apa bedanya aku sama dia? Bagusan juga aku, jam segini sudah ada di rumah, sementara dia masih asyik nongkrong di rumahku. Aku melangkah pergi. Ke kamar mungkin jauh lebih baik daripada meladeni mereka.

“Puas mainnya, Luth?”

Sekarang, giliran Mama yang menginterupsiku. Beliau menatapku datar sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Belum, Ma,” aku menjawab singkat.

“Main ke mana saja kamu, jam segini baru pulang?” tanya Mama.

“Ke mana saja, Ma. Yang jelas bukan ke kelab dan nggak lupa salat,” jawabku, lalu bergegas pergi. Menghindari Mama adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini. Jika tidak, maka beliau akan terus-terusan menginterogasiku layaknya aku ini adalah seorang tersangka dalam kasus pembunuhan.

Mama tadi pergi sama Papa. Entah ke mana, aku tidak tahu. sepertinya ke rumah Rey. Di sana, ‘kan, mau syukuran. Waktu aku berangkat tadi pagi, mereka tidak melihatku. Ah, mungkin Paijo yang memberitahu Mama kalau aku sudah dari tadi pagi perginya.

Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur begitu memasuki kamar. Lelah juga ternyata seharian pergi main. Yah, mumpung hari libur. Aku lalu melihat jam di dinding kamarku. Pukul 17.18. Waktunya mandi.

~dear you~

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro