Dear Violin | 06
Farid menggeleng cepat dan berpaling. "Eh, maksudku bagus. Permainan biolamu sangat bagus."
Tia mengangguk dan sedikit mencebik. "Iya, terima kasih, Farid."
Dikira memuji aku, ternyata malah yang lain, ucap Tia dalam hati. Tapi gapapa deh, tambahnya.
Mereka kembali diam-diaman. Selagi Farid menatap lurus ke danau, ia baru teringat sesuatu.
"Aku pernah menonton iklan di TV, akan ada kontes Ajang Pencarian Bakat Indonesia. Kamu mau ikut?"
Kedua mata Tia melebar ketika mendengar pertanyaan Farid. "Eh? Udah dibuka pendaftarannya?"
"Iya, sepertinya."
Tia tersenyum antusias ditambah anggukan cepat. "Mau banget! Aku dulu pengen ikut dari tahun kemarin tapi gak sempat daftar karena masih UAS!"
Farid menanggapi, "Kamu bisa ikut itu. Bakat kamu harus diketahui oleh banyak orang, dan tidak sekadar hobi saja."
"Kamu benar, Farid!"
Awalnya Tia antusias. Namun, cepat ekspresinya berubah karena teringat suatu hal, membuat Farid kebingungan.
"Ada apa?"
"Tapi, aku nanti ke tempat audisi dengan siapa, ya? Eh, tanggalnya aku tidak tahu! Tempatnya juga!"
"Kalau tak salah lihat, sejak dua hari lalu sudah dibuka. Mulai tanggal 8."
Tia mengulum bibir, mengangguk sekali. "Ooh, mudah-mudahan sore habis pulang sekolah masih bisa daftar. Aku mau ke sana. Yah, tinggal cari tempatnya dan batas waktu."
Farid mengangguk. "Kalau kamu mau, aku temani."
"Eh ... gimana? Tapi, aku takut kalo ada anak sekolahku yang lihat kita berdua." Tia mengedipkan mata beberapa kali, tak menyangka Farid akan menawarinya untuk menemani audisi. Farid tertegun sebentar, lalu menjawab, "Oh, benar."
Mereka diam-diaman lagi. Tia mengerucutkan bibir ke kanan sambil berpikir. Ia berpikir kalau ada alternatif lain untuk audisi. "Atau kalau ada, aku ikut audisi online aja. Kamu bantu rekam, ya. Baru nanti aku kirim ke linknya."
Farid mengangguk. "Oke. Aku bisa."
Tia menjentikkan jari. "Nah, bagus! Sekalian kamu ke rumah aku, ya!"
"Apa tidak apa-apa?" tanya Farid.
"Iya, gapapa! Oh iya, kamu udah kenalan dengan Rani, gak? Kok dia gak ada cerita apa-apa ke aku, ya?"
"Mungkin karena kami beda kelas? Dan aku sangat jarang keluar kelas kalau jam istirahat."
Dahi Tia berkerut. Wajahnya langsung menghadap si lelaki di samping. "Kok kamu jarang ke luar kelas?"
"Aku lebih suka mempelajari materi les. Terutama nanti sebagai persiapanku kuliah kedokteran," jawab Farid, sedikit pelan di akhir.
"Wah! Kamu mau jadi dokter?" tanya Tia dengan pandangan berbinar.
"Iya," jawab Farid singkat ditambah anggukan.
"Mau jadi dokter apa? Dokter kan banyak? Ada dokter spesialis anak, dokter hewan?"
Farid menghela napas berat. Kedua mata kehijauannya meredup, dan ia sedikit menunduk. "Sebenarnya aku ingin spesialis bedah. Tetapi, sepertinya aku harus berusaha lebih keras untuk itu. Bila memang dalam keuangan cukup sulit, aku akan jadi dokter umum saja, tidak mengambil spesialis."
"Kok kamu malah kayak sedih gitu? Cita-cita kamu itu hebat, loh! Dan mulia sekali!" ujar Tia untuk menghiburnya. Farid mengangguk dan tersenyum canggung.
"Ah, terima kasih."
Daripada mereka berlama-lama di sana, Tia pikir sebaiknya mereka langsung ke rumah saja untuk merekam video permainan biolanya agar segera dikirim.
"Kamu sudah sarapan, Farid? Kalau belum, yuk ke rumahku sekalian!"
Farid mengangguk. "Aku sudah sarapan sebelum ke sini."
"Ooh, kalau gitu, langsung temani aku, ya!"
"Sekarang?"
Tia menjawab, "Iya, sekarang!"
Lelaki di samping Tia ini terkejut pada awalnya. Namun, akhirnya ia pasrah saja dan ikut berdiri bersama Tia, lalu berjalan mengiringinya menuju rumah Tia.
***
Sesaat ketika Tia dan Farid tiba di rumah Tia, ia membuka pintu setelah mengucap salam. Bersamaan itu pula, ada ibunya Tia membawa keranjang baju kotor.
"Rani mana, Bu?" tanya Tia ke sang ibu.
"Lagi ke salon. Mau creambath katanya."
Tia menggangguk, bersamaan ia berpaling ke Farid di belakang dan mempersilakannya masuk.
"Eh, siapa ini? Namanya siapa?"
"Nama saya Farid, Bu. Saya baru pindah di sini."
Ibunya Tia mengangguk dan tersenyum lebar, membukakan pintu sampai benar-benar terbuka.
"Masuk, Nak! Sudah lama kenal dengan Tia?" tanya ibunya Tia ditambah senyum lebar di akhir.
"Baru-baru ini saja, Bu. Kami baru beberapa kali bertemu."
"Farid mau bantu ulun rekam video, Bu. Mau ikut Ajang Pencarian Bakat Indonesia, sudah buka untuk pendaftaran online juga," timpal Tia, menjawab pertanyaan sang ibu.
"Kamu mau menunjukkan apa?"
"Main biola, Bu."
Ibunya Tia tercengang. "Memangnya sudah mahir?"
Dahi Tia berkerut. Ia menjawab, "Kan ulun sudah lulus Akademi Musika, Bu?"
"Oh, Ibu lupa. Udah, rekamnya di kebun belakang?"
Tia mengangguk. Beralih ke Farid, ia berkata, "Aku ambil penyangganya sebentar. Dengan pinjam handycam juga di kamar Rani."
Farid mengiyakan saja, sedikit bingung hendak duduk di mana sekarang.
"Kamu mau langsung tunggu di kebun belakang aja gapapa, Farid."
"Ooh, oke."
Selagi Farid pergi ke kebun yang ditujukan, ia melihat pemandangan di hadapan. Rumput-rumput sudah dipangkas rapi di tanah. Ada berbagai bunga dan tanaman bertengger di pagar besi dan kolam jernih di paling belakang.
Tak lama, Tia keluar dan membawa handycam serta buku-buku tebal, entah apa kegunaannya. Farid bingung sebab Tia membawa buku Harry Potter, ditumpuk di meja, lalu handycam ditaruh di sana. Ia baru mengetahui bahwa itulah benda yang dimaksud Tia sebagai penyangga.
"Kamu suka baca Harry Potter?"
"Iya, suka. Kamu suka juga, Farid?"
Farid mengangguk. "Tetapi, aku belum menonton filmnya. Lebih suka membaca."
Wajah Tia langsung berseri-seri. "Kalau gitu, nanti kita nonton bareng aja!"
"Eh ... oke. Setuju."
Tia mengangguk ditambah tersenyum lebar. Beralih ke biolanya, ia membuka tas dan mengambil biola, ditaruh di bawah dagu bersamaan mengambil bow. Farid memperhatikan saja apa yang dilakukan perempuan itu. Entah mengapa, ia merasa cukup tertarik melihat Tia sibuk dengan dunianya.
"Farid, kamu yang pencetkan tombol mulainya, ya. Kamu kasih aba-aba dulu, baru aku mulai."
Farid mengangguk, berselisihan dengan Tia yang berjalan ke posisinya tadi, sedangkan dirinya ke belakang handycam.
"Sudah siap?" tanya Farid sambil mengawasi Tia yang terlihat dari layar kecil.
"Bentar ... eum, oke. Sudah."
"Dalam hitungan ketiga, ya. Satu, dua, tiga!"
"Halo dewan juri Ajang Pencarian Bakat Indonesia! Nama saya Tia, saya masih kelas 11 SMA. Di kesempatan ini, saya akan menunjukkan bakat saya sebagai violis. Yang saya bawakan adalah dari Paganini's Caprice no. 5. Selamat mendengarkan."
Kedua alis Farid bertaut karena mendengar nama asing yang dikatakan Tia. memperhatikan saja bagaimana Tia di layar handycam, gesekan pertama dimulai. Baru beberapa detik, matanya membelalak mendengar seberapa indahnya permainan biola yang Tia bawakan. Mendongak, melihat Tia setengah memejam memainkan biola di bahu. Tubuhnya bergerak seiring alunan gesekan biola. Farid sedikit ternganga. Ia tak menyangka, Tia akan membawakan lagu dengan nada seintens itu. Ia pikir, Tia hanya bisa membawakan lagu-lagu pop saja.
Ada sekitar dua menit ia larut dalam nada-nada indah permainan biola Tia, sampai terakhir, perempuan di depan mengangkat bow. Lalu, menunduk hormat dan mengatakan, "Terima kasih dewan juri. Semoga saya lolos ke babak selanjutnya."
Tia mengangguk ke arah Farid, berisyarat untuk segera mematikan rekaman. Farid pun menekan tombol stop dan menyimpannya. Akhirnya, Tia bisa bernapas lega.
"Sudah disimpan kan, Farid?"
Farid mengangguk. "Kamu tadi ... keren."
Tia terdiam karena mendengar pujian Farid. Lantas, ia menjawab tergagap, "E-Eh, terima kasih, Farid. Itu kemarin lagu buat aku ujian akhir kelulusan. Jadinya harus lancar, yah meski ada miss sedikit."
"Tapi, tadi sudah bagus menurutku."
Tia tersenyum malu, lalu beralih merapikan biola dan menutup casenya. "Aku mau nonton rekaman tadi sebelum dikirim nanti."
Farid bergeser, membiarkan Tia mengambil handycam, menonton bagaimana cara dirinya membawakan alunan lagu tadi. Tia tersenyum puas.
"Farid! Ya ampun, aku lupa mau kasih kamu minuman! Maaf, yah! Kamu kan tamu!"
"Tidak apa-apa, Tia!"
"Sebentar, yah. Kamu mau minum apa?"
Farid menggeleng. "Tidak usah, tidak apa-apa."
"Jangan gitu, Farid! Aku bikinin minuman jeruk aja, ya."
Karena sudah diiyakan, Tia pun meninggalkan handycam. Namun, baru ia membuka pintu, ternyata ada Rani di sana. Belum sampai di sana, Rani tercengang, mulutnya terbuka saat melihat Farid berdiri menghadapnya pula.
"Hah?! Kok bisa ada cogan di sini?!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro