Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dear Violin | 03

Adalah Rani, saudara kembarnya yang tak melepaskan pandangan dari anak lelaki yang berbincang dengan Tia tadi.

"Tiaaa!"

Belum Tia menjawab teriakan Rani, ia sudah tersentak oleh cengkeraman di kedua lengannya.

"Ganteng banget, Tia! Ganteng banget!"

Tubuh Tia terguncang-guncang sampai akhirnya ia menahan Rani agar berhenti.

"Kenapa, Ran? Siapa yang ganteng banget? Satpam komplek? Nanti aku sampein, loh!"

Rani langsung mencebik. "Yee, siapa juga yang bilang satpam komplek ganteng?! Itu loh, cowok yang ama kamu tadi! Siapa sih namanya?"

"Oh, tadi Farid. Tetangga baru kita. Beda blok, sih. Cuma searah," jawab Tia singkat.

Rani manggut-manggut saja dengan mata berbinar. Ingin beranjak dari sana, tetapi Tia teringat sesuatu.

"Kamu masih sakit, Ran?" Tia menempelkan tangan ke dahi saudaranya.

"Kayaknya abis liat The Angel tadi sakitku langsung ilang, deh!"

"Mana bisa kayak gitu," bantah Tia, lalu berjalan masuk rumah disertai menggeleng heran.

"Tiaaa!"

"Apa lagi, Rani?" Tia berbalik dengan pandangan sedikit mendelik.

"Masakin bubur, dong! Lagi gak pengen sarapan pake nasi!"

"Kamu masak sendiri, belajar! Aku udah bikinin kamu telor dadar juga, sampai luka tanganku nih!" sahut Tia sambil mengangkat jari tunjuknya yang terluka. Meski ditunjukkan demikian, tetap saja Rani menggeleng.

"Aaah, gak mau! Kamu aja yang masak! Mamaaa! Tia gak mau masakin ulun nih!"

Tia terbelalak. Kalau sudah begini, ia tak bisa berbuat apa-apa, hanya melotot ke Rani sebelum mendengar sahutan ibunya dari arah kamar mandi.

"Tia, sebentar aja masakin Rani! Enggak sampai seharian juga!"

Merengut sebentar, Tia beralih pergi ke dapur tanpa membantah apa-apa lagi. Rani tersenyum penuh kemenangan saat ibunya membela dirinya seperti biasa. Ia kembali ke kamar bersenandung, menunggu Tia memasak.

Sesungguhnya, Tia ingin sekali belajar lagu baru yang sedang tren. Kalau tak salah, itu adalah soundtrack dari film Twilight yang berjudul A Thousand Years. Belum pernah menonton film itu, tetapi Tia suka lagunya saja. Ia sangat menghayati lirik dan alunan biolanya, ingin mencoba seluruh lagu juga memakai biola putih kesayangan. Apa daya, ia harus memasakkan saudara kembarnya bubur terlebih dahulu sebelum menyingkir ke teras, atau ke danau sekalian untuk itu.

Selagi mencuci beras sedikit, ia teringat dengan Farid. Mengingat mata kehijauannya membuat Tia terdiam sebentar, lalu menggeleng kuat. Pikirnya, ia tak boleh memikirkan lelaki itu terlalu lama. Ia masih ingat dengan kajian dari Rohis yang baru ia ikuti sebelum ujian akhir semester, bahwa mereka harus hati-hati dengan "Virus Merah Jambu" menyerang dan membuat mereka terjerat dalam lembah kemaksiatan. Memang, istilahnya sedikit membuat Tia geli, tetapi ia tak ingin menyampaikan secara langsung. Masih segan karena dirinya baru bergabung.

Selesai mencuci beras, Tia memasukkannya dalam panci dan air. Menyalakan kompor pun apinya agak besar biar lekas matang dan kembarannya itu tidak merecokinya lagi. Kalau sudah kenyang biasanya Rani jadi lebih "waras" dan tidak seperti tadi.

Menunggu bubur matang, Tia beralih ke kamar Rani. Mengetuk pintu sekali, ia bertanya, "Ran, kamu lagi apa?"

"Lagi main Twitter!"

"Lagi enggak belajar, kan? Aku mau stem biola dulu. Kemarin habis jatuh, pegnya turun. Sekalian main."

"Iya!" sahut Rani singkat. Merasa dapat lampu hijau, Tia melesat ke kamarnya dan mengambil biola bersama tuner elektrik. Ia buka case biola dengan hati-hati, bersyukur bahwa bridgenya baik-baik saja. Ia takut ambrol dan tak bisa diperbaiki lagi habis jatuh kemarin.

Baru ia hendak mengangkat biola, ia mendengar ada bunyi mendidih dari panci. Diaduk dulu sebentar, ditambahkan garam dan penyedap. Itu saja, biasanya Rani tak punya request aneh-aneh. Setelah api dikecilkan, barulah ia mulai menyetem senar biolanya, disesuaikan dengan tuner. Dilakukan dengan hati-hati, sebab ia takut akan patah. Biola peninggalan sang paman memang sudah berumur, jadi harus dilakukan dengan hati-hati.

Sewaktu menyetem biola, Tia teringat dengan Farid tadi. Mendesah kecil, ia baru sadar bahwa dirinya lupa meminta Pin BB. Padahal, ia juga ingin berbicara lebih lanjut dengan teman barunya itu di BBM.

"Ah, entar aja lah. Semoga nanti ketemu lagi," gumamnya pelan. Di sela menyetem biola, ia mematikan kompor dan menciduk bubur. Tak lupa menambahkan telur dadar dan setoples kerupuk untuk Rani di kamar. Saudara kembarnya itu bersuka ria menerima makanan tanpa mengucap terima kasih pada awalnya. Andai ia tak mengungkit itu, tentu Tia tak mendapatkan ucapan apa-apa selain pintu kamar tertutup.

Ingin memaklumi sikap Rani, rasanya sudah cukup kesal. Namun, ia memilih bersabar saja, melanjutkan pekerjaannya tadi. Entah sampai kapan ia harus menahan perlakuan Rani yang kurang baik padanya.

***

Di tempat parkir siswa, Tia memeriksa tas kalau-kalau tertinggal atribut sekolah. Di upacara hari Senin, memang harus dihindari kekurangan atribut dan kerapian seragam meski hari ini biasanya ditutup dengan salam-salaman saja karena menyambut tahun ajaran baru semester genap.

"Topi ada, dasi?" Tia menengok ke dada, sudah ada dasi di sana. Menghela napas, Tia bersiap pergi ke kelasnya, tak jauh dari tempat parkir. Hanya melewati lorong sekolah saja. Memang cukup gelap, dan bila sudah terlalu sore atau terlalu pagi, ada anjing penjaga sekolah yang membuatnya ketakutan setengah mati, meski si anjing tidak menggigit.

"Tiaaa!"

Tia tersentak kaget karena teriakan seorang perempuan yang ia kenal. Berbalik ke kiri, ada sang sahabat di sana, tersenyum lebar sambil kaki menyeberang pagar, lalu melompat sampai debu tanah beterbangan.

"Nina! Kenapa kamu manjat pagar lagi?!"

"Hehe, habisnya gue kira tadi pager udah digembok ama Bang Ucup!" Nina mendatanginya, lalu menyampirkan tangan menyeberang sampai bahu kanan Tia.

"Kaki kamu enggak sakit? Kamu tiap hari manjat pagar terus?!" protes Tia, ada tersirat kekhawatiran di sana. Nina sendiri tertawa sambil menyamai langkah Tia, menjawab, "Woles aja! Udah biasa, gue!"

Selagi mereka berjalan sampai ke kelas, ada beberapa anak kelas lain memperhatikan mereka. Terlihat antara dua sahabat ini begitu kontras. Yang satu berpakaian rapi, jilbab putih lebar, ransel ungu muda, beratribut lengkap dan rok panjang. Satunya lagi, di antara perempuan atau laki-laki karena memakai celana panjang dan rambut potongan pixie cut, seragam tak berkancing dua buah di atas dan terlihat baju dalam kaus hitam beserta kalung rosario. Tak tertinggal permen karet sedari tadi ia kunyah dan dibuat seperti gelembung. Tiap ada yang memperhatikan mereka, selalu dipelototi Nina, sesekali kepalanya terangkat dan berkata, "Ape lo?! Mau gue gibeng?!" membuat anak-anak lain langsung berpaling.

Setelah mereka berdua harus berpisah karena beda kelas, Nina berkata ke Tia, "Abis istirahat ke Bude kayak biasa, ya. Lo hari ini bawa bekal, gak? Kalo enggak, gue traktir mie ayam!"

"Eh?"

"Udah, gapapa! Gue dapet doku habis menang DC! Udah dibagiin! Mayan buat jajan!" ujar Nina ditambah cengiran lebar dan mengangkat kedua alis. Tia menjawab dengan senyuman dan berkata, "Gapapa, Nina. Buat kamu aja atau jajan adik kamu."

"Ih! Malesin, jajanin dua adek macem dajjal gitu! Mending traktir lo! Udah, ya! Selow! Jangan ditolak!"

Nina segera melipir ke kelas, sedangkan Tia masih terdiam di depan kelas, bingung hendak menolak tawaran Nina seperti apa lagi. Mungkin, kali ini ia harus membiarkannya.

Baru saja ia hendak duduk di kursi belakang meja, panggilan seseorang di samping membuat Tia terhenti.

"Tia!"

Tia berpaling, mendapati seorang teman sekelasnya yang cukup pendiam dan tertutup, tiba-tiba menghampiri. Seingatnya, dia juga ikut kajian Rohis sejak kelas X, seperti yang ia jelaskan dulu di perkenalan anggota.

"Eh, Mawar? Ada apa?"

Tindakan Mawar bersedekap dan wajah kurang bersahabat membuat Tia merasa tak nyaman.

"Kamu, kalau bisa, jangan terlalu dekat dengan laki-laki kayak tadi. Ingat, kamu sudah ikut Rohis. Jaga sikap, ya! Kami malu kalau kader Rohis dempet-dempetan dengan laki-laki kayak tadi! Bukan mahram, tahu!"

"Hah?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro