Catatan Hitam
''Layaknya sebuah tanaman. Perasaan ini semakin tumbuh di setiap harinya. Bersama segala ketidakberadayaan yang kerap menciptakan ragu.''
🌼🌼🌼
"Eh?"
"Sssstt!"
Kepala cantik Rara yang sempat berniat menoleh ke belakang dipaksa kembali menghadap arah depan. Membiarkan lelaki jelmaan lampu taman yang entah sedang berkreasi apa dengan surai kecokelatan Rara yang panjangnya kini hanya sebatas bahu, berkat insiden toilet tempo lalu.
"Ngapain, sih, Yan?!"
"Ssstt!"
Kepala Rara kembali diputar paksa menghadap ke tempat semula.
Sang empunya hanya menghela napas pasrah. Ryan memang suka memainkan mahkota kebanggaan setiap perempuan tersebut, itu juga alasan Rara sangat berat hati jika memangkasnya. Sebab, dua orang yang disayanginya begitu menyukai gadis berambut panjang.
"Udah!" Ryan berdecak puas, menopang kepala dengan satu tangan sembari menatap dari arah samping.
Matanya seolah enggan berkedip. Sahabat kecilnya tampak manis memakai ikat rambut hitam berhias kepala beruang yang tadi dibeli ketika mampir ke swalayan. Hitam adalah warna kesukaan Rara dan beruang adalah hewan favorit Ryan, membuat lelaki itu gemas dengan perpaduan dua hal tersebut dan berakhir melemparkannya ke dalam keranjang belanja.
Untuk beberapa saat mereka hanya saling pandang, ditemani seulas senyum yang masih melengkapi paras rupawan si lelaki berkepala plontos tersebut.
Keberadaan Rara dengan latar belakang pohon beringin maskot kampus mereka itu adalah kombinasi pas. Menenangkan.
"Lo ganti—"
"Iya. Habis lo mirip rakyat jelata dengan ikat rambut butut ini." Ryan begitu enteng melemparkan benda elastis di tangannya hingga mendarat sempurna ke dalam selokan.
Rara mendelik kesal. Pasalnya itu adalah barang pemberian Deva yang baru saja dibelikan minggu lalu. Oke, mungkin Rara tak menyangkal jika warna yang semula krem jadi agak abu-abu berkat ia gunakan setiap hari. Tapi, begitupun Ryan tak harus membuangnya.
''Itu dari Bang Deva, btw.'' Mendengar hal tersebut, gantian Ryan yang mendelik kaget. "Dan lo yang nantinya tanggung jawab kalau dia ngomel.''
"Tanggung jawab apaan. Memang gue hamilin lo—Argh! Iya, gue hamilin lo. Argh— salah ngomong, ampun!'
Ryan mengusap cepat lengan dan pinggang yang baru saja menjadi korban Rara untuk kesekian kalinya. Cubitan gadis berawajah sangar itu memang tak main-main ketika menyiksanya.
Ryan mengambil jarak cukup jauh dari Rara, sebelum terang-terangan mengejek. ''Galak dasar! Kayak peranakan trio macan!''
"Makanya mulut dijaga!'' sinis Rara sekilas dan kembali menekuri novelnya.
''Ya 'kan bener! Kalau nanti kita nikah, pasti lo yang bakal gue hamilin? Masa iya gue hamilin cewek lain?''
"Ryan!''
"Atau lo setuju gue poligami? Gitu, Ra?''
"Berisik, Ryan!''
Tolong jauhkan buku standar akuntansi keuangan dari jangkauan Rara, karena bisa-bisa sebentar lagi melayang pada jelmaan lampu taman yang menjadi sumber polusi suara itu. Rencana Rara yang ingin menghabiskan jam mandiri kuliah dengan running membaca novel, tapi kini harus terganggu setelah kedatangan tamu tak diundang. Padahal biasanya lelaki itu akan memilih melalang buana menghampiri jejeran gadis-gadis bucinnya agar dimanja.
Untuk beberapa saat Ryan membiarkan kehingan kembali menguasai Rara-nya dan sampai lelaki itu menyibukkan diri bersama benda pintar yang kini menggantikan ulahnya sebagai pengganggu.
"Yan!"
"Enemy has been slain!"
"Ryan!"
"Initiate Retreat!"
Gadis itu melongo tak percaya setelah seruan membahananya dianggap bagai gas kentut selewat oleh manusia yang fokus bermain gawai tersebut.
"You have slain an enemy!"
''Ganesha Haryan Putra!''
''Double kill!''
"Yes, my wife?''
Rara mengigit bibir bawahnya penuh kekesalan. Adegan romantis yang baru saja dihayatinya mendadak buyar setelah mendengar seruan dari ponsel Ryan.
Ia mengucap dalam hati. Entah manusia disebelahnya ini tak mengerti bahasa indonesia dengan baik atau memang dasar idiot tingkat dewa.
''VICTORI! Whoooaaa ... menang gue— mampus mau dilempar!'' Ryan berlari menjauh dari jangkau lempar Rara.
Gadis berkuncir itu sudah kesal setengah mati sembari mengangkat garang buku tebalnya. Tiba saat Rara berdiri tergesa, seketika tumpukan buku di pinggir meja pun tersenggolnya dan nyaris melayang bebas ke dalam selokan kalau saja Ryan tak sigap menangkap.
Baik Ryan maupun Rara kompak menghela napas lega bersamaan. Setidaknya kecekatan Ryan telah menyelamatkan lelaki itu dari amukan besar Rara yang akan datang jika sampai salah satu barangnya benar-benar tercebur ke dalam perairan kotor tersebut.
Tangan kekar Ryan membolak-balik buku bersampul hitam digenggamannya. Dengan lancang ia membuka asal salah satu halaman dan menemukan deretan tulisan sambung yang terukir rapi membentuk untaian kalimat.
''Layaknya sebuah tanaman. Perasaan ini semakin tumbuh di setiap harinya. Bersama segala ketidakberadayaan yang kerap menciptakan ragu.''
Pandangan penuh tanya Ryan terangkat menuju Rara yang terdiam di tempat. "Ini?''
"Balikkin!''
"No!'' Buku hitam itu lebih dulu terjulur ke arah langit, menyusahkan usaha Rara untuk mengapainya. "I mean...not now, darl!''
Paham akan gerakan Ryan yang hendak melarikan diri, reflek Rara memeluknya erat. Mengunci paksa tubuh kekar dalam dekapan gadisnya untuk diam di tempat.
''Please jangan dibawa. Itu bukan punya gue.''
Sebelah alis Ryan terangkat curiga. Tentu sangat aneh melihat pola tingkah Rara yang mati-matin mencegahnya.
Sebenarnya Ryan yakin saja jika buku ini bukan milik Rara, sahabat kecilnya terlalu payah dalam hal tulisan sambung. Bahkan dalam tulisan biasa milik Rara saja pun tak layak disebut tulisan, sebab lebih mirip cakar ayam khas tulisan dokter. Entah itu karena ajaran Deva yang notabene seorang dokter muda atau memang bawaan gen lahir keluarga Anggara.
Belum lagi, bait kalimat puitis nan manis yang barusan dibacanya mustahil berasal dari pemikiran kaku seorang Cevara Caraneshya. Gadis galak itu memang penikmat kisah romansa, tapi sangat buruk dalam berperilaku manis layaknya perempuan pada umumnya. Pada Ryan, Rara akan mengeluarkan jiwa bar-bar tanpa mengenal batas.
''Terus ini punya siapa?''
"Punya orang!''
Dalam sekali gerakan Rara berjinjit, mengikis jarak wajah mereka yang saling berpandangan dan secepat kilat merampas benda yang tawanan. Sesuatu tanpa prediksi yang banyak berefek pada degup jantung masing-masing.
Merasa salah tingkah, gadis berkuncir ekor kuda itu melesat kabur tanpa permisi. Meninggalkan Ryan bersama perasaan hangat yang kian menjalar dalam hati.
Lelaki itu terkekeh menatap kepergian punggung sempit gadisnya. Terkesan buru-buru seperti menghindar.
''Gemasnya bini gue,'' gumam Ryan tanpa sadar.
Bersama langkah panjangnya, ia bergegas menyusul Rara yang semakin jauh. Tak ingin berlama-lama di tempat asri yang penuh aura kemistisan itu.
Sampai di belokan lorong, ayunan tergesa Ryan terhenti. Netra tajamnya menelisik ingin tau dengan aktivitas dua gadis yang saling berhadapan dengan posisi komunikasi cukup jauh, seolah menjaga jarak.
Ada rasa penasaran di setiap kali Ryan memergoki Rara tengah berbicara pada gadis lain. Terutama pada sosok yang belakangan ini membuatnya cukup tertarik untuk mendekati.
Namun, lagi. Tak banyak yang Ryan harapkan, sebab di menit berikutnya yang terjadi hanyalah kepergian Rara bersama tatapan sinis. Meninggalkan lawan bicaranya dengan raut sedih. Si gadis pucat yang tempo lalu datang terengah-engah menghampiri Ryan dan menyampaikan inisiden kamar mandi yang melibatkan Rara.
Ryan menghela napas panjang. Ia paham jika sahabatnya sulit membiasakan diri untuk beramah tamah dengan orang lain, tapi harusnya gadis itu tak bersikap menyebalkan pada seseorang yang secara tak langsung telah menolongnya.
''Lo hutang sesuatu sama dia, Ra.''
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ada yang rindu Ryan-Rara?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro