2 Permintaan
Terkadang demi orang tersayang, hal paling mustahil pun bisa jadi hal paling memungkinkan untuk dilakukan.
🌼🌼🌼
Bilik toilet baru saja Rara tanggalkan setelah menuntaskan panggilan kecil dari alam. Hanya saja, langkah pasti gadis itu harus terhenti begitu tiga mahasiswi datang menghadang.
Ia memilih acuh, mencoba menerobos jejeran ketiganya yang sengaja berbaris menutupi jalan.
Helaan napas malas Rara meluncur saat menyadari posisinya sekarang, yaitu kembali menjadi objek labrakan yang lagi-lagi terjadi di toilet. Seolah tak ada tempat lain untuk mengusiknya selain di dalam sepetak pengap tempat buang hajat itu.
''Permisi,'' ucapnya sesopan mungkin dengan nada dingin.
Rara sudah bosan berurusan dengan manusia tak jelas sejenis gadis-gadis di depannya. Terutama Meldi, yang tak salah diingat adalah salah satu pacar Ryan.
Ya, salah satu. Sebab hanya mengencani seorang gadis saja, bukanlah bagian dari visi misi hidup seorang Ganesha Haryan Putra.
Gadis bertubuh ramping itu berdiri angkuh diantara dua gadis tambun yang menemani.
''Wah, bisa bicara juga dia. Gue pikir yang namanya Rara itu bisu!'' Meldi terkekeh pongah mengikis jarak yang berakhir sengaja memojokkan Rara.''To the point aja, cewek centil!''
Jemari berkuku panjang rapi yang penuh warna itu menunjuk tegas. "Jauhin Ryan!'' hardiknya penuh emosi.
Satu menit ...
Dua menit ...
Mata indah Meldi berkedip gelisah ketika tak mendapatkan respon yang berarti dari gadis berwajah dingin di hadapannya. Ada rasa was-was bercampur geram yang terpancar jelas pada raut Meldi, sebab dari banyak informan yang mengenal Rara. Fakta lain gadis pendiam itu adalah seorang atlet karate. Itu juga yang membuatnya maju-mundur kesandung untuk melabrak Rara. Hanya saja, jiwa raga dan kecemburuan Meldi sudah di ujung tanduk setiap kali Ryan mengabaikannya demi satu orang yang sama, yaitu Cevara Caraneshya.
Gadis berkuncir kuda itu mendengkus. "Itu aja? Yakin?"
"Ma ... maksud lo?!"
Bola mata indah Rara refleks berotasi. "Lo repot-repot ke mari dan bawa bodyguard gini cuma mau bilang itu? Gak bisa WA atau kirim sms aja?"
"Lo!"
"Buang-buang waktu. Minggir!"
Tubuh angkuh Rara menerobos tanpa segan melewati celah, mematik api yang membakar habis sumbu kendali Meldi untuk tak bermain fisik. Tangan feminim itu tanpa ragu mencengkram ikatan rambut kecokelatan Rara, hingga gadis yang tak mengira akan keberanian Meldi itu pun ikut tertarik ke belakang dan di dorong kasar hingga punggung sempit itu menubruk dinding. Kedua bahu Rara ditekan dan ditahan oleh dua gadis tambun bawaan Meldi.
Ternyata itu fungsi membawa mereka.
"Lepas!''
''Oh? Lo ngatur?'' cemoh Meldi yang semakin mengeratkan jambakannya. Rasa takut tadi telah meluap karena tingkah menyebalkan Rara.
"Gue bilang lepas!'' tegas Rara kembali memperingatkan.
''Enggak! Sebelum lo—"
''Gue cuma bakal ulangi ini sekali lagi,'' ucap Rara serius setelah selesai mengecek arlojinya. ''Lepas!''
Kelas analisa laporan keuangan pak Bondan— salah satu dosen killer jurusan akuntansi akan segera dimulai sepuluh menit lagi. Tapi sial, ia malah terkurung bersama oknum-oknum bucin yang terobsesi dengan sang sahabat.
Bisa saja Rara menggunakan kemampuan bela dirinya dan keluar begitu mudah. Tapi ia cukup sadar diri untuk tidak memancing kemarahan abang kembarnya lagi, belum lagi desahan kecewa Anggara yang mendengar laporan tingkah laku mya.
Rara tak ingin semakin menambah beban pikiran para saudara dan ayahnya.
Sebab sudah hampir tiga kali Deva atau gantian Aldo datang ke kampus untuk memenuhi panggilan dekan, dengan laporan Rara melakukan kekerasan pada mahasiswi lain yang diancam akan diperkarakan ke polisi.
Sorot tajam Rara menusuk pasti pada netra Meldi yang tanpa sadar melonggarkan jambakannya.
''Harusnya lo sadar diri," desis Rara lalu melanjutkan, "kalau lo ... bukan prioritas buat Ryan."
Ujung bibir Rara terangkat meremehkan. Mungkin ia tak bisa bertindak banyak dengan fisik, tapi lidah tajamnya tidak akan sebodoh itu untuk diam menerima perlakuan tak menyenangkan. Hal yang kian menyiram bensin pada kobaran api dalam hati Meldi.
"Melunjak!'' geram Meldi kembali mencengkram. ''Jangan pikir gue takut sama lo!''
''Hajar, Mel! Sejago apa yang katanya atlet karate nasional ini? Paling juga nyogok biar juara!''
''Iya, Mel hajar. Dewi sama Rosa udah jagain di depan toilet, kok.''
Rara mendengkus geli mendengar penuturan dua gadis bertubuh berisi yang diduga sebagai kacung tersebut.
Meldi maju selangkah. "Gue gak mau main kasar, ya, cewek centil. Tapi—"
''Intinya aja. Mulut lo bau.''
Wajah memerah Meldi hampir melunturkan ekspresi datar Rara.
Kepala cantik Rara tersentak kasar ke belakang berkat jambakan Meldi yang tengah tersenyum licik sembari mengadahkan sebelah tangan lain pada kancung tambunnya yang mengeluarkan gunting. Menyadari selintas ekspresi kaget Rara, berhasil membuat Meldi semakin melebarkan senyum.
''Gue rasa mulut lo perlu di kasih pelajaran,'' desis Meldi mendekatkan gunting ke wajah Rara.
Hingga dalam gerakan tak terbaca, Rara menekan perut Meldi dengan dengkul berupaya memberi jarak pas untuk mengangkat kaki agar bisa mendorong lebih jauh menggunakan ujung depan telapak kaki. Lalu terpaksa mengayunkan tendangan kearah kepala salah satu gadis tambun yang mencekalnya.
Namun, sifat ceroboh Rara membuatnya mudah lengah. Tak menyadari jika kembali mengincarnya. Seluruh tenaga di kerahkan demi mengunci Rara pada keadaan semula, bahkan kali ini tak tanggung mengikatnya dengan tali yang sudah dipersiapkan. Mereka menekan paksa bahu Rara, hingga berlutut di depan Meldi.
"Kalian gila?!'' pekik Rara kaget.
Meldi tertawa puas. "Kenapa? Lo takut?'' Gadis bermake-up tebal itu memainkan gunting, berserta satu tangan lain mencengkram rambut Rara.
''Jauhin tangan kotor lo dari rambut gue!'' Sorot tajam Rara tak main-main menyuarakan keseriusan.
Bertahun-tahun memanjangkan rambut demi bunda, walau aslinya Rara sendiri tak terlalu suka. Namun, bunda senang anak perempuan berambut panjang, makanya Rara rela tak memotong rambut. Walaupun harus dipangkas, itu tidak akan lebih pendek dari sepunggung.
Namun, terlambat.
Benda tajam itu sepertinya tak ingin lebih lama menyentuhnya, memangkas helaian rambut Rara yang terpotong asal-asalan.
Suara tawa ketiga manusia sialan dalam pendengaran Rara seakan lenyap ditelan emosi. Baru hendak membalas perbuatan Meldi, satu gebrakan mengejutkan dari arah pintu mencuri perhatian.
Ryan dengan wajah menahan amarah bergerak cepat menghampiri. Lelaki itu bahkan tak sungkan mendorong gadis-gadis berisi yang menahan Rara.
Entah apalagi kelanjutan pertengkaran sengit yang biasa Rara saksikan antara Ryan dan para pacarnya. Hanya satu moment yang terekam oleh gadis dalam rangkulan Ryan itu, lontaran kata putus bernada ketus yang meluncur fasih.
Ryan menuntun Rara meninggalkan Meldi yang menangis meratapi status barunya— jomblo tak berkelas.
Di luar kerumunan mahasiswa kaget melihat penampilan berantakan Rara, juga satu sosok yang menatap dengan sorot khawatir. Gadis kacau itu mendecih, sebelum mengalihkan pandangan ke arah pintu toilet yang tertempel kertas bertuliskan 'toilet rusak'.
Sialan.
Setengah jam lebih Ryan bertahan mengatupkan bibir seksinya dan tak mengganggu keheningan yang Rara ciptakan.
Berusaha menikmati sepoi angin yang sedari tadi membelai lembut juntaian akar-akar pohon beringin tua— maskot gedung fakultas lama yang sudah tak terpakai. Berada di taman belakang, tempat dengan puluhan macam persepsi negatif yang justru menjadi lokasi favorit Rara untuk menghabiskan jam mandiri kuliah.
Gadis di sampingnya masih enggan membuka suara.
''Ra?'' Suara lembut Ryan terdengar. ''Lo ... gak kesurupan 'kan?'' Takut-takut ia mencondongkan tubuhnya dan berujung nyaris terjungkal dari kursi begitu Rara menoleh galak.
"Ini semua gara-gara lo!'' desis gadis itu, perlahan menyentuh haru helaian rambutnya yang terpangkas asal. "Rambut gue.''
"Sorry,'' lirih Ryan penuh penyesalan. Ia tak mengira kalau Rara akan sampai diperlakukan begitu oleh gadis yang sudah menjadi mantannya tadi.
Andai Ryan mengetahui hal itu lebih awal, pastilah rambut kesayangan Rara akan baik-baik saja.
''Maafin gue, Ra.''
''Ck! Memang ucapan maaf, bisa buat rambut gue balik?!''
''Terus gue harus gimana?''
Rasanya Rara ingin tertawa kala melihat ekspresi pias yang menyelimuti wajah tampan Ryan, tapi hawa kesal masih bercokol sempurna dalam hatinya.
Walau sadar kalau bukan sepenuhnya kesalahan Ryan. Meskipun alasan semua ini terjadi karena playboy kampus itu.
''Tapi ... tumben gak ngelawan?"
Rara mendelik kesal.
Menjadikan Anggara yang kembali kena serangan jantung karena mendengar ulahnya, bukanlah taruhan yang tepat.
"Jawab, Ra," desak Ryan. "Oke. Gue bakal lakuin apa aja, deh, supaya lo gak marah lagi."
"Apa?'' ulang Rara mulai tertarik. Tampaknya ia harus memberi edukasi agar sahabatnya ini tak sembarangan memacari gadis bar-bar.
''Iya apa aja.''
"Kenapa gitu?''
"Karena kebahagian lo itu prioritas buat gue!'' ceplos Ryan begitu santai.
Berefek lumayan tak normal pada jantung Rara yang terpacu kian cepat. Gadis itu membuang pandang ke arah lain, ia yakin pasti kedua pipinya tengah merona saat ini.
''Ra?''
''Botakin rambut lo,'' jawabnya asal yang kemudian dikutuknya dalam hati.
Apa mungkin manusia narsis seperti Ryan mau mencukur plontos rambut lebat itu.
Tak terduga, Ryan justru tersenyum manis. ''Fine! Kalau itu bisa buat lo bahagia.''
''Serius?"
"Hhmm ... ya!"
"Jangan senang dulu. Ada satu permintaan lagi."
''Lagi?"
"Mau apa enggak?! Atau gue marah?!"
Ryan gelagapan. Ia tau gadis itu bukan marah, tapi sedang bersedih. Kesedihan yang ditutupi sempurna.
"Ya ... yaudah iya! Gue jabanin. Tapi jangan manyun lagi!"
Gantian Rara tersenyum, menatap Ryan yang balas menoleh sumringah. ''Permintaan satu lagi adalah ...," gantung Rara.
"Adalah?"
"Putusin semua pacar lo.''
Binar ceria Ryan langsung meredup, tergantikan mulut terplongo dengan mata berkedip bingung.
Gadis berambut kecokelatan itu terkekeh hambar. Reaksi Ryan sudah tertebak. Sebab 'no woman, no happiness' begitulah pendapat Ryan ketika memiliki banyak pacar yang rajin menghujaninya segunung perhatian.
Lama tak ada sahutan. Kaki jenjang Rara akan beranjak, jika jawaban lantang tak terduga lainnya memasuki indra pendengaran.
''Deal, Ra!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Uhuk! Aku kembali lagi🖐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro