Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Melepas yang Seharusnya

Karena ada beberapa hal yang lebih baik dikubur dengan susah payah, daripada diingat dengan mudah.

Setelah Bora berpacaran dengan Reksa, Anka semakin terbiasa sendiri. Tidak, Bora tidak meninggalkannya sendiri karena sudah punya pacar, Anka hanya sadar diri untuk tidak terlalu banyak mengganggu keduanya. Mereka masih sering mengajaknya berangkat atau pulang bareng, tapi rasanya aneh, kan, berada di tengah orang yang berpacaran. Lebih baik dia pergi dan pulang sendiri, daripada merasa aneh sepanjang perjalanan.

Tapi, tidak enaknya berangkat atau pulang sendiri adalah seperti ini. Anka mungkin saja akan diikuti oleh salah satu dari dua cowok yang belakangan ini semakin membuat hidupnya tidak tenang. Pertama Danny, yang masih saja tidak menyerah untuk dekat lagi dengannya. Yang kedua Brav, yang memang punya rumah searah dengannya. Dalam hal ini, cowok kedua lebih sulit dihindari daripada yang pertama, karena Anka tidak punya alasan kuat untuk menolak. Mana bisa dia melarang orang untuk pulang ke rumahnya sendiri.

Saat ini Anka sedang berusaha berjalan secepat mungkin supaya tidak terkejar oleh dua cowok itu. Iya, kali ini tidak tanggung-tanggung, dua-duanya bersikeras pulang dengannya. Anka merapalkan doa supaya kali ini saja, Bora bisa tiba-tiba muncul di hadapannya. Kali ini dia rela menjadi nyamuk, lalat atau apa pun, asalkan terhindar dari dua cowok itu.

Namun, nasib sial tidak akan tanggung-tanggung sekali datang. Bukannya bertemu Bora, Anka malah harus melihat Rama dan gengnya di dekat pagar sekolah. Mereka sedang berkerumun, dan Rama berada di tengah sebagai pusat segalanya, bagi geng itu tentu saja, bukan bagi dunia. Anka menghela napas sesaat. Dia tidak tahu apa yang sedang geng itu lakukan, tapi dia tidak berniat menambah kesialannya hari ini, maka dia memilih berjalan di pinggir.

Dari pinggir yang berlawanan dengan keberadaan geng itu, Anka masih bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Dia melongok sesaat sebelum benar-benar pergi dari sana. Ada satu cowok yang berada di tengah kerumunan, menghadap Rama dengan raut memohon. Di sekelilingnya, anggota geng lain berdesakan sambil tertawa mengejek.

"Lo mau masuk geng ini? Nggak salah? Lo nggak tahu betapa kerennya Rama dan betapa cupunya lo?" Cowok yang selalu memulai omongan di geng itu kembali menjalankan tugasnya. Mungkin dia memang juru bicara geng itu.

Anggota geng lain kembali tertawa, kali ini semakin kencang karena omongan cowok tadi. Sedangkan cowok yang sedang mereka tertawakan masih memasang ekspresi memohon. Wajahnya terlihat benar-benar memelas. Bahkan telapak tangannya disatukan di depan dada, persis seperti sedang memohon sesuatu dengan bersungguh-sungguh.

Melihat itu Anka hanya bisa berdecak sambil menggeleng-geleng. Sampai sebegitunya cowok itu memohon supaya bisa masuk ke geng itu, padahal bagi Anka, geng itu sama sekali tidak jelas. Memang sih, mereka geng yang terkenal, bukan cuma di sekolah ini, tapi juga di antara sekolah-sekolah lain.

Tapi sampai harus memohon seperti itu sih cukup berlebihan bagi Anka. Berlebihan banget malah. Toh, masuk geng itu tidak menjamin apa-apa. Tidak ada yang berubah. Dia masih harus tetap sekolah, tidak sukses begitu saja. Dia masih harus menghadapi berbagai masalah, tidak akan tiba-tiba hidupnya bebas dari segala beban pikiran. Yang ada malah bertambah sih itu beban pikiran kayaknya.

Untuk kali ini, Rama tidak menjawab. Dia hanya melihat cowok yang sedang memohon itu dengan tatapan yang belum bisa diartikan oleh Anka. Dan sialnya, saat Anka melihat ke arahnya, dia juga menoleh. Anka cepat-cepat memalingkan wajah, dan begitu melihat ke sana lagi, tatapan itu sudah dapat diartikan. Tatapan remeh. Pastinya. Anak seperti dia, apalagi dengan jabatan ketua geng, pasti jauh lebih menganggap remeh cowok itu dibanding anggota geng lainnya.

Anka berdecak sekali lagi lalu benar-benar melangkah pergi. Dia tidak sanggup lagi melihat drama permohonan dan penolakan anggota baru geng yang tidak pernah dia sukai. Andai saja cowok yang sedang memohon tadi tahu apa yang dikerjakan geng yang ingin dimasukinya, dia pasti akan berpikir beribu kali. Ya, setidaknya begitu kalau dia masih normal. Lebih baik jauh-jauh, daripada menambah dosa karena membuat orang lain jengkel.

"Anka!"

Seruan itu membuat perhatian Anka teralih. Akhirnya ada yang bisa menariknya kembali dari pikirannya yang sudah melanglang buana terlalu jauh. Kening Anka langsung berkerut saat melihat orang di depannya. Rendra. Cowok teladan di SMP-nya dulu.

"Lo kok bisa di sini, Ren?" tanya Anka tanpa basa-basi.

"Nggak ada apa kabar banget ya, Ka. Masih aja lo nggak berubah." Berbeda dengan Anka, Rendra memang suka basa-basi, tidak heran temannya ada di mana-mana.

Anka hanya tersenyum kikuk. "Kalau lo masih bisa ada di depan gue, ya berarti masih baik-baik aja."

Rendra menggeleng-geleng mendengar jawaban Anka. "Gila sih, kalah logis gue sama cewek." Lalu keduanya tertawa. Selalu begitu setiap mereka bertemu. Entah Rendra anaknya terlalu kompetitif atau bagaimana, tapi omongannya selalu tentang kalah dan menang.

"Jadi ... kenapa lo di sini?"

"Gue pindah ke sini. Sesimpel itu, Ka." Rendra nyengir.

"Untuk?"

Rendra kembali tertawa. Pertanyaan Anka benar-benar tepat sasaran. Bukan kenapa, tapi untuk. Anka tahu Rendra orang yang sangat memperhatikan akademis, jadi tidak mungkin dia pindah ke sekolah yang peringkatnya di bawah sekolah yang tadinya dia tempati. Apalagi Anka tahu bagaimana usaha cowok itu buat mendapatkan sekolah peringkat teratas idamannya itu.

"Seseorang," jawab Rendra sambil menggaruk tengkuknya, tapi tatapannya terlihat serius.

Tidak. Rendra selalu serius dengan apa pun yang diinginkannya. Tapi kali ini rasanya aneh. Benar-benar aneh. Rendra yang begitu obsesif sekarang pindah sekolah hanya karena seseorang. Seseorang. Anka kembali menegaskan kata itu ke dirinya. Seseorang itu pasti tidak akan dilepas kalau sudah begini ceritanya. Pikiran Anka barusan langsung membuatnya bergidik dan kerutan di keningnya mendalam.

"Gue yakin lo pasti lebih peka dari seseorang itu." Senyum Rendra melebar, selaras dengan bertambahnya rasa cemas Anka.

***

"Aku kira kamu udah bener-bener ngelupain kisah kita, ternyata kamu masih ke sini."

Begitu omongan Danny saat menghampiri Anka yang baru duduk di tempat favoritnya di taman dekat rumahnya, yang dulu selalu menjadi tempatnya bertemu dengan Danny. Taman ini bukan selalu tentang kenangan mereka. Taman ini bukan hanya didatangi mereka dan jadi tempat bernostalgia. Bisa saja Anka menjawab seperti itu, tapi nyatanya tidak. Dia sendiri tidak tahu kenapa dia bisa tiba-tiba berada di sini tadi. Kakinya hanya terus melangkah karena merasa pengap di rumah, dan di taman ini dia berhenti.

Untuk kali ini, Anka tidak akan menghindar. Dia tidak akan bersusah payah menunjukkan sisi dirinya yang marah, karena mungkin itu sudah terlalu banyak ditunjukkannya pada Danny, dan nyatanya cowok itu masih tetap tidak mundur walau tahu Anka marah. Kali ini dia akan jujur pada dirinya sendiri, kalau dia perlu melepaskan kenangan dengan cara yang lebih benar. Supaya hidupnya lebih tenang. Juga supaya Danny bisa memulai hidup baru tanpanya.

"Ngelupain emang nggak pernah gampang." Anka berusaha mempertahankan nada bicaranya agar tetap datar.

"Kalau gitu nggak usah. Kita bisa ulang semuanya, tanpa harus ada yang dilupain." Danny terdengar bersemangat, melihat celah yang bisa dimasukinya.

Anka menggeleng pelan. "Sampai kapan juga kita nggak bisa balik lagi, Dan."

"Kamu masih marah? Aku janji nggak akan ngulang kesalahan yang sama. Kedengerannya emang kayak janji palsu yang gampang aja dibuat, tapi aku serius, Ka. Aku udah cukup kena imbas karena nggak ada kamu di hidupku. Dan aku akan ngelakuin apa pun supaya kamu bisa balik lagi."

Lagi, Anka menggeleng. "Lebih dari marah, kita nggak bisa balik karena lo adalah tanda kesalahan gue. Tiap liat lo, gue inget sama segala kesalahan gue ke Bora. Gimana gue nyembunyiin banyak hal dari satu-satunya sahabat gue dan bikin dia sedih. Ngeliat lo sama aja kayak ngeliat kesalahan di masa lalu. Ngeliat kesedihan. Dan gue rasa lo juga sama. Tiap ngeliat gue, lo akan ingat sama kesalahan yang dulu lo lakuin. Itu nggak enak kan, Dan? Itu nyiksa. Jadi ayo, berhenti nyiksa diri kita."

Danny terdiam. Jawaban Anka barusan adalah kemungkinan terakhir yang bisa dipakai untuk menolaknya. Bahkan kalau jujur, tidak pernah terpikir olehnya kalau Anka akan menjawab seperti itu. Tidak pernah terpikir oleh Danny, kalau melihat dirinya bisa begitu menyakitkan bagi Anka. Kalau melihat dirinya sama saja sedang menyiksa diri. Kalau begini kenyataannya, dia kalah. Dia tidak akan pernah ingin menang lagi.

"Maaf udah bikin hidup kamu nggak tenang selama ini, Ka. Aku nggak akan biarin kamu nyiksa diri sendiri lagi."

Danny berdiri dan bersiap pergi. Tepat sebelum itu, Anka mengucapkan sesuatu yang seharusnya dikatakannya sejak dulu. "Lo juga, Dan. Berhenti ngejar yang nggak bisa dimilikin. Walau lebih susah, tapi melupakan kadang lebih baik daripada mengenang."

Dan setelahnya, Danny benar-benar pergi, bahkan tanpa menoleh, seperti yang selama ini selalu dia lakukan sebelum menghilang dari hadapan Anka. Aneh. Rasanya seperti ada yang hilang seketika. Seperti ada ruang yang isinya ditarik mendadak dan menjadi kosong. Tapi tidak sakit, malah lega. Rasanya dia bisa bergerak bebas setelah ini.

Mungkin setelah ini, Anka hanya butuh penyesuaian. Dia hanya perlu membiasakan diri dengan ruang yang tiba-tiba kosong itu. Mungkin.

"Jadi kalian mantanan?"

Pertanyaan itu menarik Anka kembali dari lamunan. Cukup lama berdiam diri sejak kepergian Danny tadi, dia tidak mengira kalau Brav akan muncul tiba-tiba seperti sekarang. Entah sejak kapan cowok itu ada di sini, tapi kalau dari pertanyaannya, harusnya dia sudah ada sejak Anka dan Danny mengobrol tadi.

"Nggak apa-apa, deh. Yang penting bukan mantenan," lanjut Brav karena sepertinya Anka tidak akan menjawab, sambil duduk di sebelah cewek itu, menempati posisi yang tadi diisi Danny.

Tanpa terduga, Anka tertawa kecil mendengar omongan Brav tadi. Kadang, atau bahkan seringnya, dia tidak akan tertawa untuk lelucon seperti tadi. Tapi entah kenapa, kali ini otot-otot di sekitar bibirnya seperti tertarik sendiri saat mendengar omongan cowok itu.

"You're doing great." Ucapan Brav barusan langsung membuat Anka menoleh. Cowok itu tersenyum lebar, dan terlihat sangat tulus. Bukan bertanya bagaimana ceritanya dengan Danny, kenapa Anka tidak bisa memaafkan cowok itu, atau menghakiminya karena terlalu pendendam, Brav malah bilang kalau dia sudah melakukan sesuatu yang hebat. "Pasti nggak gampang buat ngelepasin sesuatu dan ngomong kayak gitu, tapi lo berhasil. Hebat."

Brav kembali tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol. Kali ini, senyum cowok itu tidak lagi terlihat jahil, atau punya maksud terselubung, atau sekadar manis karena begitu kenyataannya. Senyumnya kali ini terlihat hangat, dan berhasil menyebarkannya ke hati Anka hingga senyum yang sama akhirnya terlihat.

***

Selamat malam minggu para jomlo 😁
Jangan pada marah yak, aku juga kok hehehe biar ga bete ini malam minggunya ditemenin Brav yaaaa

Part ini tentang melepaskan! Hayooo siapa yang udah bisa melepaskan sesuatu yang ga harus dikenang lagi? Aku mundur teratur 👋🏻
Ada yang beneran udah bisa? Kalau ada please bagi tipsnya dong hihihi

Pengakuan dosa: tiap ngetik part Danny aku geli sendiri 😂 gimana kalian bacanya? Dan kalau ada yang ngomong kayak gitu ke kalian?

Hoke deh sampai ketemu Rabu lagi yaaaa
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro