Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39. Bagaimana Bisa?

"Ka ayo cepetan keluar!" Bora menarik-narik lengan Anka tidak sabaran. Sementara yang ditarik hanya menghela napas dalam-dalam sambil menggerakkan tangan perlahan untuk membalikkan halaman buku yang sedang dibacanya.

Kegaduhan menggelegar di luar kelas, tepatnya dari lapangan di lantai bawah. Sekolah mereka saat ini sedang mengadakan PORASE—Pekan Olahraga Akhir Semester—yang tentu saja disukai semua murid karena tidak harus belajar dan bisa bersantai sambil menyaksikan perwakilan kelas mereka bertanding futsal, basket, dan lain sebagainya. Anka saja yang kerajinan. Sudah tahu tidak akan belajar, malah membuat tasnya berat dengan mengisikan buku-buku pelajaran seperti biasa. Ditambah lagi dia barusan belajar, sendirian di kelas! Wajar saja Bora berdecak heran sekaligus gemas sekali masuk.

"Gue males nonton gituan, Yong. Sumpah. Capek tau berdiri di pilar situ lama-lama. Mending di sini, bisa duduk, adem lagi," ujar Anka tanpa mengindahkan gerutuan Bora.

"Udah satu semester duduk di sini sambil belajar masih nggak cukup, Ka?!" tanpa sadar suara Bora meninggi. Bukannya marah, dia hanya tidak habis pikir bisa punya sahabat yang kelewat rajin. Kayaknya cuma Anka satu-satunya yang seperti ini di dunia. Melihat sahabatnya masih tidak bergerak, Bora memikirkan cara lain. "Lagian kita ga perlu diri, kok."

Anka mendongak dengan mengerutkan kening. Belum juga sempat bertanya, di depannya sudah terlihat Bora yang dengan lincah memindahkan meja di dekat pintu ke koridor, ditempelkan persis ke depan pilar. Saat kembali ke hadapan Anka, dia menyengir lebar. "Kita bisa duduk di situ," katanya santai lalu dengan sekuat tenaga menarik lengan Anka hingga keluar kelas.

Awalnya Anka kira ide Bora ini gila, tapi setelah mengedarkan pandangan ke mana pun yang bisa dijangkau matanya, semua orang melakukan hal yang sama; duduk di atas meja yang ditarik dari dalam kelas. Ternyata semangat orang-orang begitu besar untuk menonton pertandingan-pertandingan di bawah. Sedangkan Anka begitu enggan, apalagi ketika teringat ucapan Rama saat mereka ke taman bermain beberapa hari lalu.

"Besok-besok lo bisa temenin gue ga?" Rama menoleh takut-takut. Tepat sesuai dugaan, Anka memandangnya tanpa ekspresi. Sekarang dia tahu bagaimana menilai reaksi Anka. Bila dengan orang lain, cewek itu pasti mengernyit. Namun bila dengannya, Anka hanya akan menampilkan raut wajah datar bila bingung atau tidak setuju mungkin. "Nenek mau ulang tahun. Gue nggak pernah ngerayain ulang tahunnya dengan cukup wajar, cuma beliin makanan yang beda dari biasa. Tapi tahun ini gue mau kasih sesuatu yang spesial, kado atau pesta kecil, semacam itulah. Lo tahu nggak sih kalau Nenek selalu salah ngira lo sebagai anaknya? Boleh nggak kalau gue minta waktu lo lagi ... biar nenek seneng."

Mendengar itu, Anka tercekat. Dia memang sudah mencoba mencairkan suasana dengan Rama setelah mendengar cerita kehidupan cowok itu tadi. Tapi usaha tidak memperlihatkan hasil begitu saja. Walau tadi mereka sudah tertawa bersama, menit-menit setelahnya masih dihadari keheningan. Dan tentu saja hal itu membuatnya tidak yakin untuk setuju dengan permintaan Rama barusan. Namun ketika mendengar tentang neneknya, Anka kembali ragu dan tergerak. Bagaimanapun dia pernah bertemu dengan nenek cowok itu dan keadaannya memang cukup memilukan.

"Gini aja gimana?" Anka kembali menoleh dan menunggu ucapan Rama selanjutnya. "Pas PORASE, kalau gue cetak gol dan menang, tolong kabulin. Tapi kalau kalah, terserah lo mau gimana tapi gue nggak akan ganggu lo lagi. Gimana?"

Dan saat itu Anka mengangguk. Namun anehnya, setelah itu dia tidak benar-benar mengharapkan PORASE berlangsung. Sebagian dari dirinya sebenarnya ingin berdamai dengan Rama, tapi bagian dirinya yang lain selalu meyakinkan bahwa tidak semudah itu. Walau sudah tahu kenapa cowok itu melakukan perbuatan yang dulu pada dirinya, hatinya tidak langsung terbuka. Jujur saja dia sedikit tergerak ketika mendengar sesulit apa hidup cowok itu, hanya saja ....

"Ka orang itu ngapain deh?"

Pertanyaan Bora membangunkan Anka dari lamunan. Dia mengikuti arah Bora mengedikkan dagu. Di lapangan bawah sana, Rama berdiri di tengah sambil mendongak. Tatapannya tidak tajam, tapi sangat lekat. Di mata itu, Anka bisa melihat rasa sakit, kesedihan, harapan, juga kemarahan. Bagaimana cowok itu menjalani hidup selama ini? Pertanyaan itu mengetuk-ngetuk hatinya, meninggalkan goresan yang sedikit perih di hati Anka. Tanpa sadar, dia mengangguk sekali lagi dan senyum kecil yang jarang ada akhirnya terbit di wajah Rama. Tidak terduga, tapi kehangatan menjalar bersamaan dengan kesejukan di hati Anka saat melihatnya.

***

ESPADA ROBERDAS!!! ESPADA ROBERDAS!!! ESPADA ROBERDAS!!!

Seruan itu terdengar begitu nyaring di bawah. Anka tertawa pelan ketika mendengar teman-teman sekelasnya bersatu meneriakkan nama kelas yang baru dibuat kemarin setelah pulang sekolah. Harus diakui, teman-teman sekelasnya kreatif juga bisa membuat nama yang rasanya cukup berkelas tapi juga membuat orang yang mendengar bertanya-tanya.

"Espada roberdas apaan deh, Ka?"

Ya salah satunya Bo Yong ini.

Anka tertawa lagi dengan pemikiran barusan. Dia sudah bisa menebak pasti Bora menanyakannya segera setelah mendengar seruan barusan. "Sebelas IPA dua, rombongan Bertha 2018."

"Bertha Bu Bertha maksudnya?" Anka mengangguk. "Ada-ada aja deh kelas lo. Nama wali kelas lah dipake," ujar Bora sambil tertawa. "Tapi seru, sih. Lo nggak ikut teriak-teriak di bawah?"

Kali ini Anka menggeleng. "Males ah, panas, sakit pula duduk di samping lapangan." Sejujurnya ada alasan lain, urusan Rama tadi. Walau dia tidak yakin ketika cowok itu bertanya, anehnya tetap ada keinginan agar Rama menang. Mungkin mau ketemu neneknya lagi, Anka meyakinkan dalam hati.

Akhirnya keadaan baik di bawah maupun di atas sepi. Tidak ada yang bersorak-sorak untuk mendukung kelas masing-masing karena semua orang sedang dalam mode serius. Kelas Anka dan Rama bertanding dengan sangat sengit. Beberapa kali cowok itu hampir mencetak gol, tapi berhasil dihalangi pemain belakang tim kelas Anka.

Jarang-jarang Anka melihat bola bergulir secepat ini. Tiap pemain seperti tidak pernah kehabisan tenaga, berlari ke sisi kanan lalu dengan cepat kembali ke sisi kiri. Tendangan, sundulan, semua terpakai dalam permainan kali ini. Yang lebih Anka suka lagi, tidak ada satu pun yang berbuat curang. Semua merebut bola tanpa melukai lawan. Angka di papan skor juga saling berkejaran. Hingga detik akhir, tidak ada yang tahu bagaimana hasil pertandingan.

Hingga peluit panjang akhirnya berbunyi. Keadaan imbang dan akan diadakan adu penalti. Suasana makin menegang, tapi justru ini yang Anka suka. Biasanya dia sering bosan menonton pertandingan sepak bola karena terlalu lambat, sedangkan dalam adu penalti sudah pasti semua berlangsung cepat dan seru.

Satu per satu anggota tim kelas Anka dan Rama bergantian menendang. Hingga saat ini lagi-lagi skor keduanya sama. Sisa dua pemain dari masing-masing tim dan Rama salah satunya. Ketika akhirnya giliran cowok itu tiba, dia mendongak sekali lagi ke Anka. Embusan napasnya selaras dengan tendangan yang membuat bola berputar cepat dan menembus celah antara tangan dan kaki kiper tim lawan. Sorakan kelas lawan terdengar, sementara cowok itu terdiam beberapa detik dan baru bersorak setelah momen itu berlalu. Refleks senyum Anka terangkat, terlebih lagi saat melihat sorakannya barusan.

Namun, kesenangan itu tidak berlangsung lama. Espada Roberdas berhasil melayangkan keberhasilan yang sama dua kali berturut-turut sedangkan tim lawan hanya mendapat gol dari Rama sendiri. Lapangan terbagi dua segera setelah pertandingan berakhir. Murid-murid mulai meninggalkan lapangan dan berberes-beres. Pertandingan terakhir hari ini seru, Anka bisa mendengar orang-orang di sekitarnya berbisik seperti itu ketika lewat. Dan harus diakui, itu memang benar. Dia puas menonton pertandingan sengit yang berlangsung dengan jujur seperti barusan.

Di bawah, tepatnya depan gerbang, terlihat Rama berdiri sambil menunduk. Dengan langkah stabil, Anka mendaratkan diri di hadapan cowok itu. "Hari ini jadi?"

Sontak Rama mendongak. Kedua alisnya terangkat tinggi hingga matanya membesar. Pemandangan yang jarang terlihat. "Kan gue ... kalah."

"Lo kan bilang terserah gue. Lagian lo cetak gol dan gue mau ketemu nenek," jawab Anka santai. Memang itu yang sudah terpikirkan olehnya begitu pertandingan selesai. Dia tahu Rama sudah berusaha keras. Lagi pula, pertandingan tadi sangat bagus untuk tidak diberikan hadiah.

Namun, tepat di saat itu Brav muncul dan berdiri di samping Anka. "Temenin gue makan yuk, Ka. Laper," ujarnya tanpa tahu apa-apa.

Sepersekian detik Anka bergeming. Dirinya seakan disengat listrik yang kini mengalir ke seluruh tubuh. Napasnya tercekat. Bagaimana bisa selama beberapa saat ... dia lupa ada Brav?

***

Aku nulisnya sampai ketemu rabu tapi malah baru update sekarang 😭😭😭 maafin ya sinyalku ngajak berantem banget belakangan ini, mau buka wattpad ga bisa2 hiks dan berhubung aku baperan, tadi baca komen next next aja udah bahagia banget 😭😭 makasih banyak yang masih nungguin dan baca cerita ini ❤️❤️

Menurut kalian Anka bakal makan sama Brav apa nemenin Rama?

Kalian ada acara pertandingan olahraga gitu ga sih di sekolah? Kelas kalian ada namanya ga?

Sampai ketemu di updatean berikutnya
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro