38. Yang Paling Ingin Didengar
Mungkin sederhana, tapi di waktu yang tepat, itu akan jadi sesuatu yang paling spesial.
Di hari Sabtu seperti ini, Tisya sekarang punya kebiasaan baru, mengunjungi rumah Akas. Kadang dia menonton bersama Tyas atau sekadar mengobrol, atau mengeksplorasi resep baru dengan ibu Akas. Namun seringnya, tentu saja, mengganggu Akas. Mengajaknya bicara, atau hanya duduk terpaku mengamati seniornya itu melakukan apa pun, seperti saat ini.
"Lo nggak bosen?" Tepat seperti dugaan, itu yang akan ditanyakan Akas.
Tisya menggeleng penuh semangat. Bibirnya terangkat penuh, menampilkan senyum terbaik. "Nggak sama sekali. Ngeliatin orang ganteng mana mungkin bosen, sih."
Akas menggeleng-geleng sambil mengembuskan napas. "Gue yang bosen," ujarnya, membuat Tisya langsung memberengut.
"Karena aku liatin?" Kini Tisya terlihat kehilangan semangat.
Tanpa menjawab, Akas langsung berdiri lalu mengedikkan kepalanya ke arah luar. "Bosen di rumah terus. Ayo jalan-jalan, deket sini aja."
Semangat Tisya kembali meletup-letup. Senyumnya cerah, bahkan jauh lebih lebar dari yang tadi. Dia langsung melompat berdiri dan menggamit lengan Akas. "Paling bisa deh bikin gemes."
Padahal dia yang begitu, bisik Akas dalam hati. Namun lagi-lagi, yang dilakukannya hanya melangkah seolah tidak punya pemikiran seperti itu, dan Tisya mengikutinya tanpa kehilangan semangat sedikit pun. Mereka terus berjalan, benar-benar seperti yang Akas katakan, hanya di sekitar rumahnya. Dengan pemandangan seadanya, tapi Tisya tetap terlihat senang.
"Lo masih ngasih susu sama roti ke Brav tiap pagi?" tanya Akas tiba-tiba.
Tisya mengangguk mantap. "Sampai dia mau maafin aku. Eh, tapi kok kedengerannya kayak nyogok jadinya. Nggak deh, sampai kapan juga bakal tetep aku kasih, sebagai adik yang baik."
Akas tertawa kecil. Pemikiran cewek ini memang tidak seperti orang kebanyakan dan sulit ditebak. Hanya dalam satu detik, pendapatnya sendiri bisa berubah. Tapi kedua pendapat itu tetap terdengar lugu dan polos. Dan di situlah poin menariknya Tisya. Apa pun yang dilakukannya terasa begitu tulus, seperti anak kecil yang melakukan apa pun tanpa berpikir. Kalaupun berpikir, selalu out of the box, penuh kejutan.
"Lo nggak kesel, dia nggak pernah kasih respons?"
"Nggak. Itu wajar, Kak. Dia pasti butuh waktu buat semuanya, maafin dan nerima. Kan nggak gampang," jawab Tisya sambil menatap lurus. Dia bisa membayangkan betapa tidak mudahnya menjadi Brav. Dia bahkan tidak yakin bisa memaafkan dan menerima kalau berada di posisi cowok itu.
"Kalau waktu yang dia butuhin selamanya?" cecar Akas penasaran. Sulit baginya untuk memahami orang yang bisa bersabar walau terus diabaikan seperti itu. Bagaimanapun, berjuang sendiri tanpa pernah ditanggapi itu melelahkan.
"Ya berarti aku harus siap kasih waktu selamanya, walau maunya sih nggak gitu. Pengin ngerasain punya kakak kayak gimana. Ngeliat Tyas yang punya Kak Akas kok enak banget." Mata Tisya menerawang, sebentar, lalu kembali tersenyum seolah tidak ada apa-apa.
"Kalau gitu mah harusnya lo mau gue jadi abang lo, dong. Gimana?" pancing Akas, padahal dia sendiri tidak mau menganggap Tisya sebagai adik.
Tisya menggeleng cepat. "Itu udah bagian Tyas. Kayak kata Kak Akas, Kakak sama Kak Ardy punya posisi dan porsi masing-masing di hati Tyas, nggak akan rebutan. Nah, aku juga mau gitu sama Tyas. Punya posisi masing-masing dan nggak rebutan."
Jawaban itu diakhiri dengan senyum lebar dan kedua alis yang terangkat bersamaan. Akas hanya menggeleng dan kembali tertawa kecil, tidak habis pikir bagaimana cewek itu bisa membalikkan semua kata-katanya dan menaruhnya di posisi yang tepat. Skakmat.
Mereka baru mau lanjut berjalan ketika ponsel Tisya berbunyi. Cewek itu mengeluarkannya dari dalam saku celana dan mengecek chat yang masuk. Nama pengirim di layar membuat matanya melebar seketika. Suara terkesiap terdengar, membuat Akas menoleh panik. Di sampingnya, Tisya hanya terpaku melihat layar ponsel dengan mulut terbuka membentuk huruf o.
"Aku harus ke taman, Kak. Kak Brav minta ketemu di sana," ujar Tisya sambil melepaskan tangannya dari lengan Akas dan langsung berlari.
"Lo ninggalin gue gitu aja, nih?" canda Akas.
Tapi Tisya tetap menoleh, dengan wajah menyesal. "Sekali ini aja, Kak. Lain kali Kak Akas selalu di atas siapa pun. Janji."
Ketika Tisya melanjutkan larinya, Akas hanya tertawa. Hatinya merasa lega bahkan hanya dengan melihat semangat cewek itu. Semoga saja Brav tidak membuatnya kecewa dan terluka lagi.
***
Seingat Tisya, ini lari paling cepat yang pernah dilakukannya. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tapi semangat karena akhirnya mendapat ajakan bertemu pertama kalinya dari Brav, membuat Tisya memacu langkahnya secepat yang dia bisa. Napasnya bahkan serasa seperti sudah mau habis. Tenggorokannya kering, bahunya masih naik-turun belum teratur.
Di hadapannya kini, ada Brav, yang sejak mengetahui semuanya, selalu menghindar, tidak peduli apa pun yang dilakukan dan dikatakan Tisya. Tapi saat ini, cowok itu mengajaknya bertemu, tidak lagi mengabaikan, walau matanya masih terus menatap lurus ke depan dan tidak beralih sedikit pun pada dirinya yang masih terengah-engah.
Karena Brav masih belum juga mengatakan apa pun sedangkan Tisya sudah merasa lelah dan hampir mati, dia mulai bergerak. Kakinya lemas karena lari tadi. Ototnya yang sangat jarang dipakai berolahraga sedang meronta-ronta sekarang. Dengan perlahan, dia menempatkan diri di sebelah Brav, dengan memberi jarak yang cukup lebar tapi juga tidak terlalu jauh.
"Gue nggak pernah ngerasain itu," ujar Brav setelah sekian lama membiarkan keheningan yang mengambil alih di antara mereka.
Tisya menoleh, tidak mengerti dengan maksud ucapan Brav. Dia menunggu, mengira Brav akan melanjutkan perkataannya, tapi tidak. Cowok itu tetap menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang. Akhirnya Tisya mengikuti arah pandangan itu dan mulai mengerti apa yang baru saja diucapkan Brav.
Di depan sana, ada seorang anak kecil, laki-laki. Dia sedang duduk di sepeda, berusaha mengayuh tapi berulang kali keseimbangannya goyah dan sepeda itu bergerak ke kanan-kiri. Di belakangnya, seorang yang cukup berumur, sepertinya ayahnya, memegang belakang sepeda, membantu menyeimbangkan untuk anaknya agar tidak jatuh.
Anak itu menoleh ke belakang, tapi ayahnya langsung melarang, menyuruhnya fokus saja ke jalanan depan. Nggak usah takut, Ayah pegangin, katanya. Lalu si anak kembali menghadap depan dan terus mengayuh. Perlahan, cengkeraman tangannya jadi kuat dan gerakan sepeda mulai stabil. Sampai akhirnya sepeda itu bisa berjalan lurus dan ayahnya bisa melepaskan pegangan di belakang.
Hati Tisya seolah diremas ketika melihat itu. Hanya satu kalimat dari Brav, tapi mampu membuatnya tercabik-cabik. Di dalam satu kalimat itu, ada kekecewaan, kesedihan, bahkan kerinduan, yang mungkin tidak Brav sadari atau tidak mau diakuinya. Dengan satu kalimat itu, mereka kembali ke masa belasan tahun lalu, ketika seorang anak kecil ditinggalkan untuk anak kecil lainnya.
Di masa itu, harusnya Brav yang merasakan semuanya. Harusnya dia yang bermain dengan bahagia bersama ayah dan ibunya, tapi nyatanya tidak. Ketika Tisya tertawa bahagia bersama ayahnya, mungkin Brav sedang menangis. Ketika sekarang dia bisa tersenyum mengingat kenangan indah di masa kecil, cowok itu malah mengenang semua kejadian menyakitkan. Semua yang seharusnya Brav rasakan, diambil Tisya. Dan semua yang bisa Tisya kenang, seharusnya adalah milik Brav. Dia bertanya-tanya kenapa takdir bisa setega itu.
"Tapi gue nggak pernah ngerasain itu karena mereka," ujar Brav lagi, menarik Tisya dari pikirannya dan kembali ke dunia nyata. "Bukan karena lo."
Ucapan itu membuat Tisya termenung, sekian lama. Apa Brav baru saja mengatakan kalau itu bukan salahnya? Apa maksudnya cowok itu mau memaafkannya sekarang? Padahal Tisya kira ucapan tadi dimaksudkan untuk memberi tahu bagaimana sakitnya perasaan Brav selama ini, kalau sebanyak apa pun Tisya meminta maaf, tidak akan bisa menebus semuanya. Tisya bahkan sudah siap kalau ucapan Akas tadi jadi kenyataan, kalau waktu yang dibutuhkan Brav adalah selamanya. Namun ucapan barusan, dia tidak berani memercayainya.
"Maaf ... Kak," ujar Tisya lemah. Air matanya hampir menetes, tapi dia tahan. Bukan saat yang tepat baginya untuk menangis. Bukan dia yang harus bersedih, karena pihak yang tersakiti di sini adalah Brav.
Brav menggeleng, menegaskan pada dirinya sendiri. "Bukan salah lo kalau orang itu ninggalin gue dan mama. Bukan salah lo kalau lo punya masa kecil yang bahagia, dengan keluarga yang lengkap. Bukan salah lo juga, kalau sampai hari ini mereka masih bareng tanpa rasa bersalah sedikit pun. Mereka yang terlalu egois. Selalu begitu, orang dewasa yang egois dan anak-anak yang menanggung akibatnya."
Tisya terus mendengarkan, karena tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya selain ini. Dalam tiap kalimat yang Brav ucapkan, ada hati yang berulang kali patah dan terluka. Dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya sampai cowok itu akhirnya bisa tiba di tahap ini. Pastinya, memaafkan tidak akan mudah. Merelakan sesuatu bukan perkara yang bisa mudah dilakukan walau kita mau.
"Kayak kata Akas, lo nggak harus nebus kesalahan mereka. Yang harus lo lakuin sekarang cuma jadi adik yang baik buat gue. Bisa, kan?"
Brav menoleh, dengan senyum kecil di bibirnya. Namun di balik senyum itu, Tisya bisa melihat ketulusan. Mungkin yang barusan adalah kata-kata yang paling ingin didengarnya. Dengan air mata yang menetes, Tisya mengangguk. Dia bisa. Akan selalu bisa.
***
Ternyata ketemu laginya hari minggu hehehe
Akhirnya brav sama tisya baikan juga nih huhuhu apa yang kalian harapin dari cerita ini? Kira2 abis ini bakal kayak gimana ceritanya?
Makasih udah baca! Sampai ketemu rabuuuu
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro