Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Alasan Sebenarnya

Di balik segala sesuatu, selalu ada penjelasan yang mungkin tidak diketahui.

Setelah ribuan kali memikirkannya, akhirnya Anka menyetujui ajakan Rama untuk pergi bersama di hari Sabtu. Cowok itu memberinya hak untuk menentukan tempat tujuan, dan Anka memilih taman hiburan. Dia memang selalu menyukai tempat ini. Berbagai permainan ekstrem di dalamnya yang menguji adrenalin dan memberi kebebasan untuk berteriak tanpa perlu malu dan memikirkan alasan. Kadang ini bisa dijadikan tempat pelarian kalau benar-benar ingin melampiaskan emosi yang sudah penuh sesak dan butuh teriak.

Namun kali ini, semangatnya tidak terlalu menggebu. Membayangkan permainan yang akan membawa tubuhnya ke ketinggian dan melemparnya berkali-kali tetap tidak membuat perasaan Anka menjadi lebih baik. Mungkin benar kata orang, bukan tempat tujuan, tapi siapa yang jadi teman seperjalanan yang lebih penting.

Tadinya Rama menawarkan diri untuk menjemput, tapi tentu saja Anka menolak. Membayangkan seharian nanti di taman hiburan bersama cowok itu saja sudah membuatnya kewalahan, apalagi harus ada di mobil berdua saja selama lebih dari satu jam.

Sebenarnya keraguan masih berulang kali menyerang Anka, membuatnya terus-menerus berpikir apa keputusan yang diambilnya ini tepat. Lagipula kata Brav, dia tidak harus membalas utang budi. Namun Anka tidak bisa merasa tenang bila tidak melakukannya. Dia terus saja merasa bersalah karena tidak menghiraukan Rama setelah mendapat cukup banyak bantuan dari cowok itu, walau tanpa sadar. Semoga saja setelah ini perasaannya akan lebih lega.

Have fun, Ka. Jangan terlalu banyak mikir. Nikmatin aja wahana-wahana yang ada.

Chat dari Bora mengembangkan senyum Anka dan membuatnya sedikit merasa lebih baik. Benar. Yang harus dilakukan hanya menikmati hari ini dengan wahana-wahana yang ada di taman hiburan itu seperti setiap kali datang ke sana. Jangan banyak mikir. Jangan banyak mikir, Anka berusaha memperingati dirinya berulang kali.

Bus berhenti dan Anka turun, lalu berjalan sedikit hingga ada mobil yang berhenti tepat di sampingnya. "Lumayan jauh. Masuk aja."

Rama membuka kaca mobil sedikit dan mengedikkan kepala, memberi isyarat agar Anka masuk. Nggak apa-apa, Anka meyakinkan diri sendiri lalu mengambil jalan memutar dan menempati kursi penumpang. Mobil dilajukan pelan dan sepanjang jalan hingga tempat parkir dekat pintu masuk, yang ada hanya keheningan.

"Gue yang ngajak, jadi gue aja yang bayar," ucap Rama saat Anka hendak mengeluarkan uang untuk membeli tiket masuk. Tadinya Anka ingin mendebat, tapi cowok itu sudah maju dan masuk ke antrean dengan cepat, membuatnya hanya bisa mengembuskan napas.

Setelah mendapat tiket dan memberikan yang satu pada Anka, Rama mulai berjalan. Baru juga masuk, dia langsung berbelok, tanpa memberi tahu Anka dan mengantre di stan minuman. Anka baru hendak menyusul ketika cowok itu sudah kembali ke hadapannya sambil menyodorkan satu gelas minuman.

Kembali Anka mengembuskan napas. "Makasih," bisiknya lemah sambil menunduk. Sejak tadi sebenarnya dia belum menatap Rama sama sekali. Masih aneh rasanya harus bertatap dengan orang yang dulu dibenci.

"Mau main apa?" tanya Rama memulai pembicaraan sambil mengedarkan pandang.

Anka menunjuk permainan yang selalu dipilihnya untuk dinaiki pertama kali setiap datang ke taman hiburan ini. Perahu besar yang terombang-ambing ke kanan-kiri dengan kecepatan yang semakin lama semakin kencang. "Itu ... gimana?" tanyanya ragu.

Rama melihat sekilas lalu mengangguk-angguk. "Persis dugaan, orang yang nggak banyak ngomong kayak lo emang lebih berani main wahana ekstrem. Oke, nggak masalah."

Sementara Anka masih mematung di tempatnya dengan kepala yang menoleh sedikit dan pelan, Rama sudah kembali berjalan lebih dulu. Anka masih tercenung karena omongan Rama barusan. Dia tidak menyangka cowok seperti Rama bahkan memperhatikan tipe-tipe kepribadian orang sampai mengaitkannya dengan apa yang mereka suka.

Ketika Rama menoleh lagi karena dirinya belum juga beranjak, Anka segera menggeleng-geleng, mengenyahkan pikirannya yang berlebihan. Dia berlari kecil hingga akhirnya masuk ke antrean bersama. Sepanjang mengantre lagi-lagi mereka hanya ditemani keheningan. Suasana canggung ini entah kapan akan berakhir.

Giliran mereka tiba. Anka langsung memilih tempat paling belakang, karena memang di situ tempat paling seru baginya. Ayunannya akan mencapai titik paling tinggi dan ketika perahu bergerak turun dengan kecepatan tinggi, kaki seolah tidak menapak. Berbagai ekspresi ketakutan orang-orang yang pergi dengannya sudah menjadi hiburan bagi Anka selama ini karena dia selalu memilih posisi itu.

Tapi ternyata Rama tidak. Cowok itu berteriak, tapi bukan karena ketakutan. Teriakan karena menikmati permainan, seperti Anka. Bahkan setelahnya, mereka langsung mengantre ke wahana-wahana ekstrem lainnya tanpa perdebatan. Kali ini, Anka merasa menemukan rekan yang tepat. Setidaknya ada hal bagus yang bisa memecah kekakuan di antara mereka.

"Naik apa lagi, nih? Yang seru-seru kayaknya udah semua," tanya Rama sambil kembali melihat sekeliling, siapa tahu ada wahana yang terlewatkan.

Anka mengangguk setuju. "Iya kayaknya udah semua. Diulang lagi aja apa?"

"Makan dulu, gimana? Abis itu baru ngiter lagi."

Walau takut suasana kembali canggung, Anka tetap mengangguk. Dia tidak makan pun tidak masalah, sudah biasa makan hanya sekali. Tapi tidak boleh membuat orang lain kelaparan, kan? Mereka berjalan menuju restoran cepat saji sesuai kesepakatan. Anka memesan paket burger yang memang selalu dipilihnya tiap kali makan di sini.

Tempat ini cukup penuh, hingga mereka harus duduk di luar, walau sebenarnya Anka tidak nyaman. Ketika baru saja membuka makanannya dan siap menyantap, seekor monyet bergerak rusuh di pohon yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Anka menggeser-geser tubuh hingga rapat ke kaca restoran. Matanya terus bergerak ke arah monyet itu, mengawasi pergerakannya supaya kalau sewaktu-waktu dia hilang kendali, Anka bisa segera lari. Dan karena itu, burger di tangannya jadi terabaikan.

Rama menyadari hal itu. Matanya jadi awas juga, memperhatikan keadaan di dalam restoran, terutama orang-orang yang makanannya sudah hampir habis. Hingga ada yang baru membereskan makanannya, dia langsung berdiri. "Susul gue nanti," ucapnya sebelum meninggalkan Anka dan berlari menempati tempat yang baru saja kosong.

Dengan cepat, Anka membereskan makanan dan menaruhnya ke nampan. Dia melakukannya secepat mungkin agar tidak ada jeda untuk berpikir. Dia tidak mau memikirkan apa-apa kali ini. Semuanya normal, tidak ada yang istimewa. Hal itu yang terus diulanginya dalam hati supaya bisa mengontrol pikirannya sendiri. Dia harus mulai mengurangi kebiasaan memikirkan hal sepele seperti ini.

"Dari lahir gue tinggal sama nenek." Rama membuka pembicaraan ketika makanan mereka sudah tinggal setengah. Anka mengangkat kepala. Matanya mengerjap-ngerjap, masih belum terbiasa dengan hal yang mendadak seperti ini. "Yang lo liat di rumah sakit itu ...."

Anka membiarkan Rama berbicara tanpa memotong. Dia hanya mendengarkan dengan saksama. Kalau cowok itu mau mengambil jeda, dia akan membiarkannya selama yang Rama mau. Namun, sampai beberapa menit, Rama belum juga menyambung ucapannya. Ada kabut dalam pandangannya. Napasnya terasa berat, dengan susah payah dihela.

"Sebut aja namanya atau laki-laki itu?" tawar Anka ragu. Dia paham kalau Rama berat menyebut kata ayah, sama halnya seperti Brav. Waktu di rumah sakit juga Anka sudah mendengar cowok itu terang-terangan tidak mau mengakui ayahnya.

"Dia pergi sejak gue kecil. Buat ngejar kesuksesan katanya," sambung Rama tanpa terganggu. Matanya menerawang. Jauh. Mungkin berkelana dalam beragam perasaan di hatinya. "Dan istrinya nyusulin, katanya. Bahkan gue yang baru lahir nggak dipikirin, dia cuma mau nyari suaminya. Sejak saat itu mereka nggak pernah pulang. Gue nggak pernah tau muka mereka kayak apa sampai gue nanya sama nenek pas mau masuk SMP."

Anka menelan ludah dengan susah payah. Kalau Rama dan Brav berlomba, dia tidak tahu siapa yang akan menang dengan kisah paling menyakitkan. Dua cowok itu punya kisah yang hampir mirip, hanya saja Brav punya ibu dan sempat merasakan keberadaan ayahnya. Katanya, ditinggal setelah pernah merasakan kehadiran dan merasakan pernah dicintai jauh lebih menyakitkan daripada yang tidak pernah mengenal sama sekali. Tapi bukankah itu juga menyakitkan, tidak pernah melihat wajah orang yang membawa kita ke dunia? Tidak ada yang bisa dipanggil ayah dan ibu selama hidup, Anka tidak bisa membayangkan seberapa kesepian hidup Rama selama ini.

"Kira-kira pas SMP kelas dua, orang itu dateng. Suruh gue ikut sama dia karena dia cuma bisa dapet warisan kalau punya keturunan." Rama mendengus. Matanya tidak lagi menerawang, kini ada emosi di dalam sana. Sebagian amarah, sebagian kesedihan. "Dia pergi tanpa mikir, terus dateng karena butuh."

Kini napas Anka yang tertahan. Dia ingin memberi tanggapan, tapi sepenuhnya kehilangan kata-kata. Masih tidak bisa dipercaya ada ayah seperti itu di dunia. Tanpa menyesal mendatangi anaknya yang ditinggalkan sekian lama, bahkan hanya supaya bisa mendapatkan warisan.

"Lo tau kenapa gue nggak pernah mau terima kalau ada yang minta masuk geng gue?" Anka menggeleng. Dia teringat dengan kejadian yang pernah dilihatnya di tahun ajaran baru, ketika seorang cowok ditolak habis-habisan saat meminta masuk ke geng Rama.

Cowok itu bercerita dengan lambat, berkali-kali menghela napas dan terdiam dalam lamunan. Anka tidak mendesak, dia tahu menceritakan itu hal yang sulit. Bahkan baru mendengar sedikit saja dia sudah hilang akal. Bagaimana bisa seorang ayah bertindak seperti itu?

Kini semua mulai terbuka. Satu per satu pertanyaan Anka sudah terjawab. "Lalu mereka yang ada di geng lo itu?" tanya Anka penasaran.

Rama menarik napas sejenak, lalu matanya kembali berkabut. Masih ada yang membuat Anka penasaran, tapi dia menghentikan dirinya untuk bertanya setelah mendengar jawaban barusan. Ini pasti berat bagi cowok itu. Dia tidak mau menambah bebannya dengan memintanya cerita.

Mereka melanjutkan makan dengan selingan lamunan. Beberapa kali Anka melirik Rama. Ekspresi cowok itu belum berubah. Kabut di matanya tidak menghilang sedikit pun dan itu membuat Anka jadi serbasalah.

Sambil menggigit bibir bagian dalam, Anka berkata pelan, "Kita ulang urutannya sama kayak tadi atau random aja?"

Rama tersentak, akhirnya tersadar dari lamunan. "Senemunya aja kali ya sambil kita jalan?"

Anka mengangguk dan mereka segera keluar setelah membereskan sampah dan nampan. Mereka celingukan melihat-lihat wahana apa yang harus dinaiki lebih dulu.

"Akhirnya gue ketemu temen buat main di sini," ujar Anka mencoba mencairkan suasana. Rasanya masih canggung dan aneh, tapi dia tidak tahan melihat raut wajah Rama yang masih sedih.

Refleks Rama menoleh. "Loh sahabat lo itu?"

Anka mengangkat bahu. "Dia takut semua wahana ekstrem, serem katanya. Kayak yang lo bilang tadi, orang yang banyak ngomong biasanya takut. Keluarga gue juga sama."

"Jago ngomel doang ya dia," balas Rama sambil mengangguk-angguk.

Mendengarnya Anka tertawa. Maafin ya, Yong, mesti ngeghibahin lo biar ada bahan candaan, ucap Anka dalam hati. Rama ikut tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju wahana pertama yang akan mereka naiki ulang.

***

Huhuhu dua minggu lebih sehari ya aku ga update? Maafin banget 😭😭😭 semoga masih ada yang baca dan nungguin. Maaf juga buat tim bravanka, lagi edisi ramanka nih 😁

Ada yang suka ke dufan dan naik wahana2 ekstrem kayak mereka?

Ceritanya Rama juga ada yang penasaran ga?

Sampai ketemu sabtu atau minggu ya
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro