35. Sekali Saja
Tidak ada yang sepele di dunia, karena seringnya satu langkah kecil yang akan jadi penentu hasil besar.
Anka mau berusaha bersamanya. Cewek itu bahkan yang mengajaknya melakukan itu duluan. Brav tidak pernah menyangka hal baik seperti itu akhirnya akan datang pada dirinya. Karena kata-kata itu pula, dia akan berusaha sebaik mungkin untuk melakukan apa yang diucapkan Anka. Dia akan berusaha melepaskan semua yang membebaninya selama ini. Memaafkan semua orang, termasuk dirinya sendiri.
Namun hidup memang tidak pernah semudah itu untuk dijalani. Ketika kita mengikrarkan ingin melakukan sesuatu, hal yang berlawanan akan datang sebagai ujian. Mereka akan mengintip di depan pintu, menggedor-gedor hati yang masih rapuh untuk mengeluarkan segala emosi, hingga akhirnya mungkin semua usaha kita selama ini akan sia-sia dan kembali ke awal.
Di hadapannya, Tisya baru saja melewati gerbang sekolah dengan langkah ringan sambil menggamit tas. Dari kejauhan, wajahnya sudah terlihat kembali cerah, tidak seperti beberapa hari ini saat terus mengejar dan tidak diacuhkan Brav. Jujur saja, hal itu hatinya seolah tercubit. Ada bagian dalam dirinya yang tidak suka melihat cewek itu seolah sudah bisa baik-baik saja dan melupakan semua masalahnya, sementara dia masih di sana. Di posisi yang terperosok jauh tanpa merangkak naik sedikit pun.
Baru juga hendak melangkah, Brav sudah melihat sesuatu yang membuatnya berhenti, bahkan melangkah mundur. Beberapa meter di belakang Tisya, berdiri seorang lelaki cukup berumur. Tidak ada yang dilakukannya kecuali memperhatikan cewek itu, seolah tatapannya yang menggantikan posisinya untuk mengantar anaknya ke dalam sekolah. Lagi-lagi, sesuatu menyeruak di hati Brav tanpa bisa ditahan.
Setelah memastikan orang itu sudah pergi, barulah Brav benar-benar melanjutkan langkahnya menuju sekolah. Perasaannya yang baru berusaha ditata, berat kembali seketika. Dia hanya berharap bisa menemukan Anka setibanya di dalam sekolah. Setidaknya melihat wajah cewek itu akan membuat perasaannya membaik.
Setibanya di kelas, Brav menemukan satu kotak susu dan roti cokelat dengan selembar post-it di atasnya. Kak Brav, semangat ya hari ini. Diakhiri lambang titik dua dan kurung, tulisan itu terpampang jelas di hadapannya. Dia tidak perlu repot-repot berpikir untuk mengetahui siapa pengirimnya, nama Tisya tertera di bagian bawah, walau sudah bisa ditebak juga.
Selama beberapa saat, Brav bergeming. Bingung harus memilih sikap seperti apa. Membuang roti dan susu itu jelas bukan pilihan yang baik, terlalu sayang. Namun memakannya juga bukan hal yang mudah. Memakan sama dengan memaafkan, bukan begitu? Dan untuk Brav, hal itu masih belum bisa dilakukannya sekarang. Dia masih butuh waktu, entah berapa lama.
Pada akhirnya yang Brav lakukan hanya membawa susu dan roti itu di tangannya lalu melangkah keluar kelas. Dia memasuki kelas Anka tanpa tahu harus dan akan melakukan apa. Yang ada di pikirannya hanya mungkin cewek itu bisa memberi saran, atau paling tidak menenangkan perasaannya yang agak berantakan sekarang.
Anka tersenyum begitu melihat Brav di hadapannya. Namun ketika melihat raut wajah cowok itu yang tidak seperti biasanya, dia melirik ke arah tangan Brav yang terkulai di samping tubuh. Keningnya mengerut. "Kenapa?" tanyanya.
Ada jeda yang diambil Brav sebelum meletakkan susu dan roti itu di meja Anka. "Anak itu ngasih ini. Gue nggak tahu harus diapain. Dibuang sayang, tapi nggak bisa dimakan. Menurut lo gue harus gimana?"
Senyum Anka mengembang semakin lebar. Mungkin Brav tidak menyadarinya, tapi ini perubahan yang cukup bagus. Tidak membuangnya mungkin akan dilakukan semua orang, tapi tidak mengembalikan itu ke Tisya apalagi ditambah luapan emosi, sudah merupakan pergerakan yang baik. Apalagi sampai bertanya pada Anka, berarti ada bagian dalam diri Brav yang ingin diyakinkan, kalau menerima pemberian itu bukan hal yang salah dan mungkin untuk dilakukan.
"Simpen aja dulu kalau masih bingung. Tunggu hatinya baikan baru ambil tindakan," Anka berujar pelan, berhati-hati dengan setiap pilihan kata yang diambilnya.
"Nanti kedaluwarsa," jawab Brav singkat, terdengar ragu.
Anka terdiam sesaat, memutar otak untuk menemukan jalan terbaik. "Makan bareng aja. Gimana?"
Brav tergugah. Pilihannya untuk mendatangi Anka memang benar. Cewek itu selalu memberi pencerahan dan membuatnya merasa jauh lebih baik. Dia tersenyum, lalu mengambil tempat di sebelah Anka. Bungkus rotinya dibuka perlahan. Sebagian roti yang sudah dipoteknya dijulurkan pada Anka, tapi kemudian dia terdiam sambil menatap kotak susu di genggamannya. "Ini gimana baginya?" tanyanya sambil menggaruk tengkuk.
"Ya minum aja kayak biasa. Emang kenapa?" Anka menjawab sambil menggigit rotinya.
"Nggak apa-apa sedotannya bareng?" Brav terdengar tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri.
"Lo nggak rabies, kan? Kalau nggak, ya nggak apa-apa. Lagian nggak ada sedotan lain," jawab Anka santai.
Brav jadi bingung dibuatnya. Dia seperti tidak mengenal Anka yang sekarang. Cewek itu sepertinya sudah berubah. Atau memang selama ini Brav yang belum terlalu mengenalnya dan terlalu percaya diri untuk menyimpulkan semua sifat Anka? Entahlah. Yang harus dia pikirkan sekarang adalah bagaimana menenggak susu kotak itu, sedangkan sesuatu dalam hatinya bergemuruh kencang.
"Yakin lo beneran nggak apa-apa?" tanya Brav sekali lagi.
Kali ini Anka langsung menoleh. "Sejak kapan jadi lo yang kebanyakan mikir gitu? Udah nggak apa-apa, sumpah."
Tanpa bicara lebih banyak, Brav bangkit dan melangkah keluar kelas Anka, membuat cewek itu mengernyit dalam. Dia tidak mengerti apa yang dilakukan Brav, dan yang bisa dilakukannya hanya menunggu sampai cowok itu kembali setelah beberapa saat. Sambil kembali duduk, Brav menyodorkan susu kotak lain ke hadapan Anka.
"Duduk di sebelah cowok aja lo geser bangku, nggak mungkin banget minum satu sedotan bareng," ujar Brav sambil menusuk susu kotak yang tadi diberikan Tisya dan menyeruput isinya perlahan.
Anka menerima pemberian Brav dan ikut meminumnya. "Makasih, lho. Padahal gue beneran nggak apa-apa satu sedotan bareng," tambahnya.
"Ya udah, lain kali, kalau kita udah resmi," Brav berkelakar santai.
"Eh lo tuh enak tau kalau dijadiin sahabat. Kayak Bo Yong gitu."
Mata Brav membesar. "Lo nggak tau perjuangan para pejuang friendzone? Sakit banget tau mereka. Masa lo bisa punya status resmi malah maunya temenan aja, nanti mereka pada protes, lho."
"Lebih sayang kehilangan sahabat tau."
"Lebih sayang lagi kalau lo sia-siain kesempatan jadian sama cowok ganteng bin baik hati bin humoris bin pengertian," Brav menaik-naikkan kedua alis sambil tersenyum dan bersedekap.
Untuk pertama kali, Anka tertawa dengan lelucon semacam itu dari Brav. Karena ternyata dia menantikan itu, dan bersyukur karena Brav sudah kembali menjadi dirinya yang sebelumnya. Dan satu lagi, mungkin Brav tidak sadar, tapi barusan dia sudah meminum apa yang diberikan Tisya. Setidaknya itu adalah langkah kecil yang menjadi awal terbukanya hati Brav, untuk akhirnya bisa memaafkan Tisya.
***
Kembali ke sekolah mungkin bukan hal yang menyenangkan bagi kebanyakan pelajar, tapi tidak bagi Rama. Setidaknya di tempat itu, dia bisa melihat Anka dengan lebih leluasa. Mengitari sekolah dengan berbagai alasan, hanya untuk mendapati cewek itu duduk di mejanya sambil membaca atau menulis sesuatu. Berkumpul dengan gengnya di pojok lantai dua dekat tangga saat pulang hanya supaya bisa melihat Anka sebelum cewek itu pulang.
Namun kali ini, setelah Anka mengetahui semuanya dan insiden pemukulan itu, semuanya tidak lagi sama. Usaha-usahanya tidak lagi semudah selama ini. Bahkan anggota gengnya sudah menatapnya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah. Rama tahu mereka pasti bingung melihat bagaimana dia melindungi Anka terakhir kali, padahal selama ini yang mereka tahu, cewek itu selalu jadi sasaran ejekan mereka.
Dengan posisinya sebagai ketua, Rama tentu tidak punya kewajiban menjelaskan apa pun pada anggotanya. Namun dengan sendirinya, dia tetap mengurangi intensitas kemungkinan berinteraksi dengan Anka, tidak lagi mencari-cari cara seperti selama ini. Tapi kali ini, bahkan tanpa berada di sekitar kelas Anka pun, dia berpapasan dengan cewek itu ketika sekolah bubar.
Tidak ada lagi Rama yang berjalan dengan dagu terangkat tinggi, melihat orang dengan alis terangkat setengah, juga ejekan-ejekan yang keluar secara spontan. Yang ada kini hanya Rama yang berdiri diam kaku saat Anka melintas di samping dia dan teman-temannya. Dari ekor mata, Rama bisa melihat anggota gengnya saling melempar pandang, menunggu kesempatan untuk menimpali ketika dirinya melontarkan ledekan, tapi kesempatan itu tidak pernah ada.
"Dibiarin lewat gitu aja, Ram?" Ija, orang yang selalu berada di sampingnya menyenggol sikut Rama pelan.
Rama tahu tanda bahaya untuk Anka menyala-nyala kalau Ija sudah melontarkan ucapan itu dan menyadari keanehannya, tapi dia tidak bisa lagi meneruskan apa yang dilakukannya dulu. Dia tidak bisa menyangkal fakta kalau selama ini Anka juga tersakiti dengan caranya melindungi. Sesuatu harus berubah, walau dia belum tahu bagaimana melakukannya.
"Nggak lama lagi jadi jangan diganggu lagi." Rama menoleh pada Ija, memberinya tatapan redup, berharap semoga cowok itu bisa membaca isyarat permohonan yang diberikan lewat matanya.
Sementara itu, Anka hanya terus berlalu. Selama beberapa detik, kerlingannya sempat mampir ke arah Rama dan teman-temannya, dan cepat-cepat dialihkan setelahnya. Rama sadar, Anka tidak pernah menatapnya selama ini. Bahkan ketika di rumah sakit dan memintanya menceritakan tentang keluarga, Anka hanya menatap tak terarah. Dan fakta itu perlahan-lahan menggerus hati Rama dan menimbulkan luka baru.
"Ya udah," bisik Ija pelan sambil memiringkan kepalanya ke arah Rama supaya yang lain tidak mendengar. Lalu dia kembali menghadap depan dan merentangkan tangannya secara berlebihan. "Ayo ke pangkalan, guys!"
Anggota gengnya sudah berseru dan berbondong-bondong menuju warung samping sekolah, tempat mereka biasa berkumpul, tapi Rama masih bergeming di tempatnya. Hatinya masih meresapi setiap perasaan yang menghajar secara bertubi-tubi. Otaknya masih bekerja keras menimbang apa yang sebaiknya dilakukan saat ini. Mengejar Anka dan mengungkapkan semua yang dirasakannya atau membiarkan kesempatan ini kembali berlalu.
"Kalian duluan," putus Rama akhirnya.
Ija sempat memandangnya selama beberapa saat. Rama tahu itu, makanya dia menatap balik dengan pandangan redupnya tadi, berharap kali ini, sekali lagi saja, cowok itu akan mengabulkan keinginannya. Dan ketika Ija merangkul anggota geng lain untuk meninggalkan Rama sendirian, dia bisa mengembuskan napas lega dengan senyum mengembang.
Rama berbalik dan melangkah cepat untuk mengejar Anka. Ketika melihat cewek itu sudah berada di depan perpustakaan dan siap membuka pintu, dia melarikan kakinya lebih cepat. Beruntung Anka mendengar derap kakinya yang menggema di sepanjang lorong dan menghentikan langkah.
Napas Rama masih menderu ketika tiba tepat di belakang Anka. Mungkin Anka menyadari keberadaannya, tapi cewek itu tetap tidak berbalik. Rasa ingin menggapai yang bercampur dengan rasa bersalah membuat Rama semakin kalut. Namun dia sudah menetapkan pilihan sampai akhirnya bisa ada di sini, kan?
"Bisa nggak ... sekali aja ... lo natap gue? Nggak apa-apa anggap gue sebagai orang lain kalau Rama terlalu nyakitin."
***
Pas nulis judul part ini keinget lagunya Glenn Fredly yang sekali ini saja. Sayang banget beliau udah meninggal 😭😭😭
Anka diajak jadian malah maunya frenzonan ckckck ga tau dia sesakit apa 🤣
Menurut kalian, Anka terima ga permintaan Rama?
Oh iya maaf ya kemarin rabu aku ga update, sinyalnya jelek banget ga kebuka2 😭😭😭 semoga kalian suka sama part ini
Sampai ketemu rabuuu
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro