29. Memulai Lagi
Biasanya, yang paling mengusik yang membuat rindu. Yang dulunya dianggap menyusahkan, yang akan membuat kehilangan ketika semuanya berubah.
Bagai terbangun dari mimpi yang panjang dan melelahkan, semuanya terasa begitu gelap dan sunyi. Hal terakhir yang bisa dia ingat sebelum menutup mata dalam jangka waktu yang lama adalah cewek yang memberinya harapan. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, dia menyayangkan itu, tapi setidaknya, dia berhasil menyelamatkannya di saat yang tepat.
Rama membuka mata perlahan dan sinar lampu yang menyilaukan menubruk matanya, membuatnya mengernyit seketika. Ketika berpaling, dia menemukan Anka yang sedang membenamkan wajahnya di kedua tangan yang terlipat di tepi kasur. Rama tersentak. Tubuhnya seperti tersengat listrik saat menyadari hal itu. Sama sekali tidak pernah dibayangkannya kalau dia akan melihat Anka di sini.
Kejadian ini membuat Rama teringat dengan saat di UKS. Ketika Anka masuk ke sana karena pingsan selama jam pelajaran Olahraga. Semuanya sama persis, hanya mereka yang bertukar posisi. Waktu itu, Rama berharap tidak ada satu pun orang yang masuk ke UKS, agar dia bisa lebih lama memandangi dan menjaga Anka, walau kenyataannya dia tidak melakukan apa pun. Tapi, bisa berada sedekat itu dengan Anka sudah membuatnya bahagia.
Tangannya terangkat dan mengatung di udara sekian lama. Perdebatan di hatinya begitu hebat. Melihat kenyataan ini, jujur saja hatinya lemah. Cewek yang dikaguminya sejak lama, tapi juga dia sakiti, akhirnya kini berada dalam jarak sedekat ini. Apakah ini saatnya untuk meraih cewek itu?
Namun, Rama menggeleng. Niatnya diurungkan begitu teringat semua yang pernah terjadi. Dia yang begitu menyebalkan bagi Anka, membuat cewek itu merasa tidak nyaman di sekolah, bagaimana mungkin punya hak untuk sekadar berharap.
Wajahnya dipalingkan, berusaha menatap ke arah lain untuk mengalihkan perhatian, tapi gagal. Pada akhirnya, dia kembali menghadap Anka, mengamati setengah wajah cewek itu yang tidak tertutupi tangannya. Wajahnya terlihat begitu lesu, seolah seluruh beban yang ada di dunia dipikulnya. Rama tidak tahu apa itu, tapi melihatnya membuatnya tidak nyaman.
Perlahan, dia menggerakkan tangannya kembali mendekat ke wajah Anka. Telunjuk dan jari tengahnya terulur lalu mengurut pelan kerutan di kening cewek itu. Mungkin tadi dia mimpi buruk atau sedang terpikirkan sesuatu yang buruk. Tapi setidaknya, sekarang wajah Anka sudah terlihat lebih nyaman.
Perawat masuk, membuat perhatian Rama teralih ke pintu. Telunjuknya langsung mengarah ke bibir, memberi isyarat agar perawat itu melangkah dan melakukan semuanya secara perlahan, supaya tidak membangunkan Anka. Cewek itu kelihatannya sangat lelah. Perawat menurut dan tersenyum ramah.
"Pacarnya?" tanya perawat itu basa-basi. "Cantik," tambahnya lagi sambil melirik Anka.
Rama tercenung. Tanpa dia duga dan bisa cegah, pertanyaan perawat itu membuat jantungnya berdebar kencang. Sekali lagi matanya menyapu wajah Anka. Cewek itu ... mana mungkin akan bersamanya. Bisa ada di sini sekarang saja, dia takjub. Tidak salah memang apa yang dia simpulkan selama ini, Anka memang cewek yang baik. Walau sudah disakitinya, dia tetap mau berada dalam jarak sedekat ini.
Rama menggeleng pelan, tapi perawat itu justru tersenyum. "Kok nggak diakuin? Udah lama, lho, dia di sini. Nggak kasihan memangnya?"
Kembali, Rama terperanjat. Jadi ... Anka sudah lama berada di sini? Menyadari kenyataan itu, hatinya kembali sakit. Dia bilang ingin melindungi dan menyelamatkan Anka. Apa benar kenyataannya begitu? Sepertinya dia hanya membuat cewek itu tambah kesulitan, melihat keadaan sekarang ini.
Perawat itu melakukan tugasnya dengan memeriksa Rama, masih dengan gerakan sehalus mungkin supaya tidak menimbulkan banyak suara. Sementara itu, Anka menggeliat dan perlahan membuka mata. Menyadari itu, Rama refleks menutup mata, pura-pura masih terlelap. Perawat itu menyaksikannya dengan kening berkerut. Sama sekali tidak mengerti dengan situasi ini.
Anka membuka mata sepenuhnya dan berusaha tersenyum pada perawat di depannya. Menyadari apa yang sedang perawat itu lakukan, Anka memilih pamit keluar. Dia langsung berbalik, tanpa sedikit pun melihat ke arah Rama. Jujur saja, dia sendiri tidak tahu kenapa berada di sini. Melihat cowok itu masih terasa begitu aneh baginya, apalagi memikirkan apa yang sudah dia perbuat selama ini. Tapi nuraninya memberontak saat dirinya ingin meninggalkan tempat ini. Bagaimanapun, Rama berakhir di sini karena menyelamatkannya.
Kaki Anka terpaku begitu melihat siapa yang ada di hadapannya. Brav. Cowok itu tersenyum, tapi jauh berbeda dari yang biasa ditampilkannya. Senyum yang ini terlihat seperti tak bernyawa, tak bertenaga. Dan entah kenapa, ada sesuatu yang terasa menusuk di hati Anka karena melihat itu.
Selama beberapa saat, Anka hanya bergeming di tempatnya. Kakinya seolah tidak bisa bergerak sama sekali. Otaknya kosong. Melihat Brav dalam keadaan seperti ini, rasanya dia ingin segera menghampiri cowok itu. Tapi dia tahu, kalau melakukan itu, dia hanya akan berujung menyakiti Brav.
Anka masih bertahan di posisinya. Baru kali ini juga, setelah tahu kalau bukan Brav yang memberikan kotak makan padanya, mereka bisa saling tatap dalam jangka waktu yang lama. Biasanya Anka akan memilih memutus kontak mata secepat mungkin. Bukan karena dia tidak ingin melihat Brav. Jujur saja, dia ingin. Sangat ingin. Tapi melihat Brav membuatnya kembali sadar akan semua kenyataan tidak menyenangkan, dan kebimbangan di hatinya.
Melihat Anka tidak bergerak sama sekali, Brav yang maju. Kali ini, dia tidak mau diam lagi. Anka harus tahu kalau dia tidak akan mundur. Kalau dia tidak meraih cewek itu saat ini bukan karena ingin menyerah, tapi hanya ingin memberi ruang dan waktu. Kalau dia akan selalu berada di sekitar Anka dan hadir kapan pun cewek itu butuh.
"Makasih nggak milih menghindar lagi," ujar Brav begitu tiba di hadapan Anka. Senyumnya kembali terangkat, kali ini terasa lebih tulus. Dia benar-benar besyukur karena Anka tidak menghindar lagi darinya. Walau cewek itu masih tidak mengatakan apa pun, bisa melihatnya sedikit lebih lama terasa jauh lebih baik. "Bersedia duduk sama gue?"
Anka ikut melirik kursi yang dilihat Brav. Jujur, pertanyaan itu terasa aneh, bahkan sangat menusuk. Selama ini, Brav selalu menjadi orang yang bertingkah seenaknya. Dia tidak pernah meminta izin sekadar untuk duduk di sebelah Anka, dan sekarang keadaannya jadi berbeda 180 derajat. Tidak ada lagi Brav yang bebas, yang membuat Anka kesulitan menanganinya. Tapi anehnya, justru itu yang membuat Anka kehilangan.
Tanpa menjawab, Anka melangkah lebih dulu ke kursi yang Brav maksud. Ada sedikit kelegaan di hati Brav saat melihat itu. Anka tidak menghindar lagi itu sudah membahagiakan, dan sekarang, cewek itu sudah kembali mau berada di dekatnya. Itu hal yang sangat bagus, kan? Walau nyatanya, sebelum ini, hubungan mereka bahkan sudah lebih cair dibanding sekarang.
Tidak ada yang berbicara, hanya hening yang menguasai. Mereka masing-masing sibuk dengan pikirannya. Sejenak, Brav memandang jarak satu kursi yang dia ciptakan antara dirinya dan Anka. Kalau keadaannya masih sama seperti sebelumnya, tentu dia tidak akan membiarkan jarak itu ada. Tapi merasa Anka tidak akan nyaman jika dia sedekat itu, mau tidak mau membuatnya bersikap seolah ingin memberi jarak.
"Kita udah berjarak, kan?"
Pertanyaan Anka membuat Brav menoleh seketika. Pandangan cewek itu kosong ke arah depan. Brav yakin, dia mengucapkannya tanpa sadar. Tapi, apa benar yang didengarnya? Anka merasa mereka sudah berjarak, dan sedih karena itu? Brav ingin percaya kalau itu hanya halusinasinya. Setidaknya dengan begitu, dia tidak akan terlalu kecewa nantinya. Namun, semua sikap dan raut wajah Anka membuatnya kembali berharap.
"Gue akan tetap nunggu lo." Kali ini Anka yang menoleh karena ucapan Brav. Cowok itu menatapnya dalam-dalam, terlihat sangat bersungguh-sungguh dengan semua perkataannya. "Lo belum jawab gue kan waktu itu? Gue akan tetap nunggu sampai kapan pun, apa pun jawabannya. Lo bisa ambil waktu sebanyak-banyaknya kalau emang lagi butuh sendiri. Tapi kalau pengen ditemenin, gue siap lo panggil kapan aja lo butuh."
Pandangan Anka mulai kabur, tertutup gumpalan air yang sudah berkerumun di ujung matanya. Cara Brav berbicara, cara cowok itu menatap, dan meyakinkannya, membuat Anka tidak bisa berpaling sedikit pun. Hatinya menghangat tanpa bisa dicegah. Dari semua hal buruk yang terjadi, dia bersyukur karena cowok ini tidak memilih pergi.
"Lo cuma harus tahu, ada orang-orang yang sayang sama lo di sekitar lo. Lo nggak pernah sendirian. Dan semua yang terjadi bukan salah lo, apa pun itu. Yang dulu, yang sekarang, semua bukan salah lo. Karena nggak ada yang namanya lebih pantas meninggal, Ka. Lo juga berharga."
Kali ini Anka tidak bisa lagi menahan diri. Air matanya luruh sepenuhnya saat setiap kata itu keluar dari mulut Brav. Pertahanannya runtuh. Tangannya mendekap wajah. Pundaknya bergetar hebat, bergerak naik turun karena tangis yang semakin kencang.
Tidak ada yang bisa Brav lakukan, hanya menatap Anka tanpa henti dan memastikan cewek itu tidak melakukan hal yang membahayakan diri lagi seperti waktu itu. Biarlah kalau hubungan mereka kembali ke posisi awal tanpa pergerakan. Brav selalu punya waktu untuk Anka dan siap untuk memulai lagi, kapan pun cewek itu bersedia.
***
"Dear, Anka. Kalau ga mau sama Brav, gue bersedia ngambil." 🤣
Mau bilang apa sama Anka?
Tapi kalian bisa ngerti ga kenapa Anka menghindar dan masih aja galau kayak gitu?
Btw aku jadi nontonin indosiar masa gara2 while you were sleeping ditayangin di situ, padahal udah lama ga buka tv, sekarang jadi megang remot lagi :"
Menurut kalian apakah bravanka akan berlayar?
Sampai ketemu rabuu
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro