Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Kerumitan Hati

Hati tidak akan pernah bisa hanya dikuasai rasa tunggal. Ia selalu memiliki perdebatannya sendiri.

Mungkin segala hal memang punya masa kedaluwarsanya, termasuk kebahagiaan dan ketenangan di rumah ini. Tisya menghela napas dalam-dalam ketika suara ribut-ribut kembali terdengar dari lantai bawah. Sepertinya orang tuanya baru akan memasuki rumah, tapi mereka sudah saling adu argumen dengan volume suara tinggi.

Sesaat Tisya tercenung. Sejak kecil, dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup di keluarga yang tidak tenang. Setiap ada temannya yang bercerita kalau orang tua mereka bertengkar, Tisya selalu menebak-nebak seperti apa keadaannya lalu bingung bagaimana harus menghibur. Karena orang tuanya selalu terlihat bahagia, bisa saling mengerti dan selalu memberi perhatian tanpa akhir, bahkan pada hal terkecil.

Namun kini, dia mengerti dengan semua yang pernah teman-temannya ceritakan. Tisya akhirnya tahu keadaan seperti apa yang membuat teman-temannya menangis sampai sulit ditenangkan. Dia tahu bagaimana tidak nyamannya mendengar suara-suara melengking yang terus memekakkan telinga. Untuk saat ini, dia merasakan apa yang teman-temannya inginkan, menghilang dari keadaan ini, dari kenyataan buruk ini.

"Aku itu tanggung jawab! Dulu kamu yang selalu singgung sifat itu, kenapa sekarang malah marah-marah?!" Gilbert, ayah Tisya, kembali berseru nyaring.

"Kamu nggak usah tanggung jawab untuk masalah itu. Dia udah bukan urusan kamu!" seru Eva tak mau kalah.

Dari atas, Tisya memejam erat-erat. Dia tidak tahu pasti apa yang menjadi bahan pertengkaran orang tuanya. Dia hanya bisa menebak kalau itu tentang Brav, mengingat sebelum ini tidak pernah ada masalah apa-apa. Sebelum foto keluarga lama ayahnya muncul di kamar orang tuanya. Setidaknya itu yang Tisya tahu.

Perlahan, Tisya melarikan langkahnya keluar dari kamar. Dia mengendap-endap di tangga untuk melihat orang tuanya yang sedang adu mulut.  Tisya sendiri tidak tahu kenapa harus mengintip di sini, padahal bisa saja dia menutup rapat telinganya dengan bantal atau earphone. Tinggal mengencangkan volume musik dan semua kekacauan ini akan berakhir. Namun dia tahu, itu semua semu. Masalahnya tidak benar-benar selesai. Keadaan rumahnya tidak benar-benar kembali damai.

Ekspresi kedua orang tuanya terlihat sama-sama menyeramkan. Muka memerah dengan mata membelalak. Benar-benar berbeda dari yang biasa dilihatnya. Hilang sudah semua gambaran orang tua yang lembut dan penuh kasih sayang di ingatan Tisya selama ini. Kini semua berubah kacau, berganti dengan keadaan yang terasa begitu asing baginya.

"Gimanapun dia anakku! Rona bunuh diri setelah kami bercerai, dan sekarang yang anak itu punya hanya Ibu, yang sudah tua. Aku masih punya nurani untuk mengurus mereka, Va!" Gilbert kembali menyelak.

Tisya terkesiap. Fakta yang baru saja didengarnya sama sekali tidak bisa diterima otaknya. Ibu Brav bunuh diri karena ... ditinggalkan ayahnya? Pantas saja Brav sebenci itu pada ayahnya, juga pada Tisya. Kenyataan ini terasa semakin menyakitkan. Bukan hanya dipaksa mengetahui kalau dia bukan satu-satunya anak ayahnya, seperti yang selama ini selalu diceritakan padanya, tapi juga digiring pada fakta kalau kebahagiaannya sudah menghancurkan kehidupan orang lain.

"Anak kamu cuma Tisya! Jangan macam-macam kamu. Waktu kamu putusin untuk pilih aku dan Tisya, mereka udah bukan lagi bagian hidup kamu. Apa pun yang terjadi pada mereka bukan lagi urusanmu!"

Gilbert membuka mulut, hendak menjawab, tapi kata-katanya ditelan kembali. Mungkin sadar kalau omongan Eva benar, atau menyesal dengan keputusannya dulu, atau hanya terlalu lelah berdebat. Entahlah. Tisya hanya bisa menarik kesimpulan sendiri tanpa benar-benar tahu apa yang terjadi dulu dan sekarang. Dia hanya sibuk menata hatinya sejak tadi, walau nyatanya tidak berhasil sama sekali.

Yang tidak pernah Tisya sangka, ayahnya pergi lagi, padahal baru saja kembali. Tisya berlari cepat, berusaha menghentikan ayahnya yang sudah mencapai pintu, tapi gagal. Gilbert tidak menoleh sedikit pun. Langkahnya terlalu besar dan cepat untuk disusul Tisya yang mungil. Lagi-lagi, Tisya kecewa. Sudah dua kali ayahnya pergi tanpa sempat melihatnya. Ke mana ayah mengagumkan yang selama ini selalu dia puja?

"Kenapa kamu tiba-tiba ada di sini?" tanya Eva begitu Tisya kembali ke dalam. Suaranya agak panik, mungkin tidak menyangka kalau anaknya akan mendengar pertengkaran mereka.

"Jelasin semuanya sama aku, Ma," pinta Tisya pelan. Energinya sudah hampir terkuras habis, tapi dia tetap harus bertanya. Mendengar penjelasan dari orang yang mengalaminya langsung, itu yang ingin Tisya lakukan. Mungkin dia terlalu naif, tapi dia berharap ada kenyataan baik yang tersimpan di balik pertengkaran barusan.

"Kamu nggak perlu tahu apa-apa. Yang harus kamu ingat cuma dia ayah kamu, dan kamu satu-satunya anaknya." Suara Eva terdengar dingin. Dia bahkan memalingkan wajah sambil bersedekap. Sangat berbeda dari sosok ibu yang hangat, yang selama ini selalu memeluk Tisya tiap malam sebelum tidur.

"Aku udah dengar semuanya, Ma. Buat apa lagi Mama sembunyiin? Aku cuma pengin dengar pengakuan langsung dari Mama. Apa Mama merebut Papa dari mere ...."

Pertanyaan Tisya tak pernah selesai. Suara tamparan sudah terlebih dulu menyela sebelum dia sempat melanjutkan. Tenggorokan Tisya tercekat. Bibirnya bergetar hebat, tapi dia masih berusaha bertahan. Setidaknya sebelum kalimat Eva selanjutnya meluluh lantakkan seluruh benteng pertahanannya.

"Itu semua demi kamu! Memangnya kamu mau lahir tanpa ayah?"

***

Lo di mana, sih?

Chat itu berhasil menarik perhatian Tisya, tapi dia memilih mengabaikannya. Mungkin Akas mengirim itu karena tak kunjung menemukannya. Dia memang sengaja menghilang, berusaha sebisa mungkin menghindar dari seniornya itu. Tadi malam pun, enam panggilan berderet dari Akas tidak dijawabnya.

Tisya kembali celingukan, memastikan sekitarnya aman dari jangkauan Akas. Entah sudah berapa lama dia mengeram di toilet sejak bel pulang terdengar. Dia yakin, Akas akan melakukan hal yang sama –mendatangi kelasnya secepatnya setelah bel berbunyi-- seperti di jam istirahat tadi. Berhubung yang tadi berhasil, makanya Tisya kembali melakukan yang sama, berharap Akas tetap tidak akan menemukannya kali ini dan memilih langsung pulang. Namun, begitu keluar dari toilet, tubuh tegap Akas sudah mengadang jalannya.

"Jadi dari tadi lo di sini?" tanya Akas dengan nada seolah menyindir. Dia menatap Tisya sambil bersedekap, menunggu cewek itu merespons.

Tapi Tisya tetap pada pendiriannya. Dia sedang tidak ingin menemui Akas. Atau mungkin, selamanya dia tidak mau berhadapan dengan senior pujaannya itu lagi. Ada bagian yang perih di hati Tisya saat mengingat keputusan barusan, tapi mau bagaimana lagi. Sejak mendengar omongan ibunya tadi malam, Tisya tidak bisa tenang. Membayangkan harus menghadapi Akas membuatnya tak sanggup. Dia terlalu malu, karena kenyataannya, dia lahir karena perbuatan yang memalukan.

"Kenapa lo jadi tiba-tiba menghindar gini, sih? Bukannya kemarin-kemarin lo yang ngejar-ngejar gue?"

Akas mulai gerah dengan sikap Tisya. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa cewek ini berubah begitu cepat. Bagaimana bisa dia menimbulkan perasaan yang sudah lebih dari seharusnya di hati Akas, tapi sekarang malah terus menghindar. Mana boleh begitu, memberi harapan lalu mematahkannya begitu saja.

Mengejar-ngejar .... Benar. Seharusnya Tisya tidak masalah dengan kata itu. Toh, kenyataannya memang begitu. Dia selalu mengekori Akas, bahkan sampai ke rumahnya. Namun, mendengarnya saat ini membuat saraf-saraf di tubuh Tisya seakan tersetrum. Ada sesuatu yang membuatnya merasa semakin tersudut, membuatnya merasa semakin tidak pantas untuk ada di sekitar Akas.

Mulut Tisya yang baru terbuka kembali mengatup. Tidak ada yang bisa disuarakannya saat ini. Dia hanya menatap Akas selama beberapa saat, berharap cowok itu bisa menangkap sesuatu di matanya dan bisa mengerti dengan sendirinya. Dan akhirnya dia yang lebih dulu memutus kontak mata itu, dan kembali memilih pergi.

"Jangan jadi kejam gitu, kenapa? Gue dari kemarin nelepon lo pengin nanya keadaan lo gimana. Gue nggak bisa tenang habis liat lo nangis kemarin, bahkan sampai nggak bisa tidur. Terus dari tadi gue cari lo, tapi nggak ketemu-ketemu. Sekarang lo malah pergi gitu aja, tanpa jawab sedikit pun. Lo sebenarnya kenapa? Ada masalah apa?"

Ucapan Akas barusan seolah palu yang menghantam Tisya, membuatnya terpaku sekian lama tanpa sanggup beranjak. Mungkin benar, hati seseorang tidak akan pernah bisa hanya dikuasai satu rasa. Ketika ada rasa bahagia yang menyelip saat sadar kalau Akas mengkhawatirkannya, sudut lain di hati Tisya kembali meringis karena dihadapkan pada kenyataan kalau dia harus mundur, terlebih lagi karena kata itu. Kejam.

"Iya, Kak, aku jahat! Aku orang yang jahat, makanya Kakak nggak usah dekat-dekat aku lagi!"

Dengan begitu, Tisya pergi dengan langkah lebar-lebar, meninggalkan Akas yang masih tercenung. Ada apa, sih, sama anak itu? Akas masih tidak habis pikir dengan perubahan sikap Tisya. Bukankah kemarin mereka baru melewati kejadian yang manis? Dia kira jalan untuk hubungan mereka bisa naik tingkat akan semakin lancar, tapi malah begini.

Baru juga melangkah, Akas sudah kembali berhenti. Di depan sana, di dekat pagar sekolah, Tisya sedang mengadang Brav. Cewek itu terlihat bersikeras bicara, sedangkan Brav sama sekali tidak mau memedulikan. Sepertinya dia sudah beberapa kali melihat Tisya mengejar Brav begitu.

Apa maksudnya jahat itu ...? Akas mendadak ngeri dengan pikiran dan kemungkinan itu menjadi nyata.

***

Eehh Akas salah paham ga tuh?

Komentar buat mamanya Tisya?

Kalau kalian jadi Tisya, bakal gimana? Menjauh juga dari Akas apa biasa aja?

Sabtu akan kembali dengan Bravanka hehehe sampai ketemuuu
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro