Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Hari Bersama

Menyenangkan bila ada orang yang bisa menarikmu dari kekalutan ke dunia penuh damai.

Brav menatap pantulan dirinya di kaca dengan senyum lebar. Dia memang hampir selalu tersenyum, tapi hari ini sudah pasti berbeda dari biasanya. Sejak membuka mata tadi pagi, dia tidak menyia-nyiakan satu menit pun. Semua persiapan dilakukannya secepat dan sebaik mungkin. Hari ini dia akan menagih janji Anka untuk menemaninya ke toko buku, dan untuk itu, dia sudah memastikan semuanya baik-baik saja, termasuk memastikan pada cewek itu tadi malam.

Lo bener-bener sama aja kayak Bora, doyan banget neror orang. Iya. Iya. Iya. Gue udah jawab itu berkali-kali. Besok gue temenin ke toko buku.

Balasan dari Anka itu membuatnya tidak bisa berhenti senyum-senyum sejak tadi malam. Dia bahkan susah terlelap karena terus membayangkan bagaimana cewek itu mengucapkan isi chat-nya dengan wajah sewot.

"Kamu kayaknya nggak pernah sesenang ini. Mau ke mana memangnya?" Nenek Brav yang barusan melintas di depan kamarnya memilih berhenti karena merasa tingkah cucunya agak aneh.

"Mau jalan sama calon cucu mantu Nenek." Brav kembali terkekeh saat menjawab. Kalau Anka dengar, sudah pasti dia akan mendapat hadiah pelototan atau minimal tampang judes.

Neneknya ikut tersenyum mendengar jawaban Brav. Dia memang baru satu kali bertemu Anka, tapi apa pun yang membuat cucunya bahagia, akan membuatnya ikut senang. Cucunya ini sudah melewati banyak hal sejak kecil, tidak ada salahnya kalau mulai sekarang dia bahagia. Tidak. Dia bahkan akan memastikan kalau cucunya benar-benar bahagia.

"Semoga berhasil kalau begitu," ujar nenek Brav sambil menepuk pundak kanannya pelan.

Brav langsung menoleh dengan alis bertaut. "Emang Nenek tahu aku mau ngapain?" Atau jangan-jangan neneknya ini cenayang? Brav bergidik sejenak, tapi langsung terkekeh menyadari pikiran konyolnya barusan. Bisa-bisanya dia berpikir neneknya cenayang, sedangkan tidak ada bakat turunan yang terlihat sedikit pun pada dirinya.

"Memangnya apa lagi kalau cowok sudah mengajak jalan cewek? Nenek juga pernah muda."

Jawaban neneknya itu praktis membuat Brav terbahak. Neneknya memang sudah tua, tapi beliau masih bisa diajak bicara seperti anak muda. Beliau bukan tipe orang tua yang kolot dan terlalu memegang teguh prinsip dan ajaran zaman dulu. Sebaliknya, beliau sangat mengerti setiap keinginan Brav yang generasinya sangat berbeda jauh dengannya. Walau tidak ada siapa pun, memiliki neneknya adalah hal terbaik dalam hidup Brav. Dan karena itulah, dia bisa tidak mengumpat pada hidup yang tidak adil.

Brav pamit pada neneknya dan langsung berlari menuju rumah Anka. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, juga masih cukup jauh dari waktu janjian mereka, tapi dia ingin sampai secepat mungkin dan melihat wajah cewek itu. Aneh memang, bagaimana melihat wajah Anka, yang jarang berekspresi bisa memberi semangat yang tidak terkira bagi Brav. Dia sendiri merasa benar-benar hampir gila.

Mata Brav membulat sedangkan senyum di wajahnya mengembang semakin lebar saat melihat Anka membukakan pintu. Seharusnya, cewek itu tidak terlihat berbeda dengan biasanya. Rambutnya tetap digerai lurus, tidak ada make up, hanya baju yang bukan seragam. Tapi sesuatu menarik Brav dengan sangat kuat.

"Baju kita kayak couple," ujarnya akhirnya, sambil menahan senyum yang berlebihan. Bisa-bisa Anka memilih berganti baju kalau dia meneruskannya.

Anka langsung melihat bajunya dan menyadari kalau mereka sama-sama memakai kemeja navy dan celana jin. "Ya udah, gue ganti baju dulu."

Tuh, kan, batin Brav. Lama-lama dia bisa menebak Anka. Dia langsung menahan pintu saat cewek itu berniat menutupnya. "Nggak usah. Nggak akan ada yang nyadar, kok. Ayo!"

Brav mengulurkan tangan, berharap tangan Anka akan menyambutnya. Tapi tentu saja tidak. Cewek itu sudah melenggang pergi, bahkan tanpa melirik tangan yang masih mengatung di udara itu. Hal bodoh, memang. Baru juga merasa yakin bisa menebak Anka, Brav sudah kembali lupa diri. Pada akhirnya, tangan itu bersarang di tengkuk, menggaruknya pelan walau tidak gatal, sekadar untuk menghilangkan kecanggungan dan menutupi kebodohannya.

***

Seperti yang sudah bisa Brav tebak, walau judulnya menemani dirinya, tapi kenyataannya Anka yang kelihatan lebih menikmati waktu di toko buku ini. Mereka berpencar saat Brav memilih cat air dan peralatan menggambar lainnya, karena Anka lebih memilih membaca novel daripada menemaninya. Tidak mengerti, alasan yang diberikan cewek itu untuk menolak. Tapi Brav tahu Anka memang sangat ingin membaca, makanya memilih membiarkannya saja. Dan itu terbukti, karena saat Brav kembali, dia masih menemukan Anka di posisi yang tadi ditempatinya, sambil terus berkutat dengan buku yang sama.

Brav memilih posisi yang agak jauh, tapi masih bisa mengamati Anka dengan jelas. Cewek itu benar-benar seperti memiliki dunia sendiri saat sudah memegang buku. Dunia yang tenang, yang tidak membuat matanya menyimpan bayangan gelap. Bagaimana rambutnya jatuh tapi tetap tidak mengganggu konsentrasinya, bagaimana senyum kecilnya timbul karena adegan yang menurutnya lucu di novel yang dibacanya, dan bagaimana dia menggeser tubuhnya saat ada yang datang, tanpa kehilangan fokus dari buku di tangannya. Semua itu menarik perhatian Brav. Menyita semua isi pikirannya, dan menggantikan apa pun yang ada di dalam sana. Dengan ketenangannya, Anka menggeser kekalutan di pikiran dan hati Brav, dan menarik cowok itu ke dunia yang belum pernah didatangi sebelumnya, yang penuh kedamaian.

Mungkin Brav masih akan tenggelam dalam dunia yang hanya memiliki Anka di dalamnya, kalau seseorang di belakangnya tidak menjatuhkan buku-buku di rak dan membuat Anka menoleh ke arahnya. Dia langsung berbalik dan membantu orang itu mengembalikan buku-buku itu ke rak, dan saat bangun, Anka sudah ada di hadapannya.

"Udah selesai?" tanya Anka begitu Brav berdiri.

Brav hanya mengangguk alih-alih menjelaskan kalau dia sudah berdiri di sana dari tadi. "Kita makan dulu, yuk. Laper. Tadi gue liat di lantai satu ada coffee shop baru buka."

"Kalau laper mah ke tempat makan, bukan ke coffee shop."

Sindiran Anka itu hanya dibalas cengiran oleh Brav. "Oke, gue ralat. Kita ngobrol-ngobrol dulu, yuk. Kangen. Tadi gue liat di lantai satu ada coffee shop baru buka. Udah pas, kan?"

Anka menyipitkan mata, memberi tatapan tajam pada Brav. Lalu dia berbalik mendahului cowok itu, hanya sekadar untuk menahan senyum. Dia juga ada yang ingin ditanyakan pada Brav,  dan memang berniat mengajak cowok itu bicara, jadi tidak ada salahnya menerima tawaran barusan. Tapi namanya juga cewek, keburu gengsi.

Coffee shop yang mereka masuki benar-benar baru buka. Di dalamnya masih sepi, dan interiornya belum banyak dihias. Dengan warna dasar hitam, hiasan di dalamnya hanya berupa lampu-lampu redup yang menggantung di tengah, dan dibuat merambat di dinding. Kursi-kursi disusun agak berjarak di sekeliling ruangan, dan ada beberapa yang berada di depan bar.

Brav hanya mengikuti saat Anka memilih kursi di bagian pojok dalam. Dia tidak masalah dengan apa pun pilihan Anka, selama cewek itu mau menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Lagi pula, dia sudah mengira posisi ini akan menjadi pilihan Anka, mengingat sifat cewek itu yang sama sekali tidak mau jadi pusat perhatian.

Setelah mengambil moka pesanan Anka dan cappuccino untuk dirinya sendiri, Brav kembali ke tempat duduk mereka. Seolah tidak mau menyia-nyiakan waktu, Anka sudah membuka buku yang tadi dibelinya dan membaca selagi Brav pergi memesan dan menunggu kopi mereka selesai dibuat. Begitu Brav duduk, bukunya langsung ditutup.

Siapa sangka, tingkah kecil itu mengundang senyum dan perasaan hangat sendiri bagi Brav. Anka memang tidak mengatakan apa-apa, dan menutup buku itu bisa mengandung banyak arti. Tapi Brav mau meyakinkan diri kalau Anka melakukan itu karena mau fokus padanya, mau bicara padanya, dan mau menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Walau pada akhirnya itu bukan kenyataan yang sebenarnya, Brav tetap mau memercayai itu. Dia yakin, manusia hidup dengan kepercayaannya sendiri, apa pun itu, dia hanya mau bahagia karena keyakinannya.

"Itu buku apa lagi?" tanya Brav sambil meneguk kopinya.

Anka menunjukkan novel yang tadi dibelinya sekali lagi. Gambar pohon, bukit, dan sebuah rumah berwarna merah, dengan judul Damar Hill membuat Brav mengangguk-angguk. Cover-nya bagus, tapi dia yakin, bukan itu alasan utama Anka membelinya. Cewek itu tidak akan membeli hanya karena melihat tampilannya yang bagus, apalagi dia sudah membacanya cukup lama tadi.

"Setting-nya bagus banget, jadi pengin ke sana."

Nah, kan! Senyum Brav mengembang begitu saja mendengar ucapan Anka barusan. Lagi-lagi dia berhasil menebak Anka, dan itu membuatnya benar-benar merasa di atas angin. Berhasil memahami orang yang kita suka, perasaan mana yang lebih menyenangkan daripada itu. Hanya tinggal sedikit perjuangan yang harus dilakukannya, begitu Brav menyimpulkan.

"Emang di mana? Kenapa sampai pengin ke sana?" tanya Brav penasaran.

"Takengon, dataran tinggi Gayo. Ada danau, bukit, dan cuacanya dingin. Gue gampang luluh sama tempat kayak gitu."

Anka merasa ada yang salah dengan kata-kata yang dipilihnya barusan, tapi belum sempat meralat, Brav sudah lebih dulu mencerocos. "Kalau gitu, gue mesti bawa lo ke sana, ya, biar lo luluh? Aceh, ya? Lumayan jauh juga, tapi kalau bagus dan perginya sama lo, nggak pa-pa, deh."

Satu helaan napas lolos dari Anka, yang hanya dibalas cengiran oleh Brav. "Tapi habis dipikir-pikir, nggak jadi, deh. Gue nggak mau ke sana."

"Karena gue? Gue cuma bercanda, walau penginnya serius, sih. Lo bisa pergi sendiri atau sama siapa pun kalau emang nggak mau sama gue. Jangan sampai nggak ngelakuin apa yang lo mau cuma karena orang lain."

Anka menggeleng pelan. "Gue takut, kalau ke sana nanti malah nggak mau pulang. Gue takut terlalu betah dan nggak bisa move on, padahal gue punya banyak hal di sini. Gue punya keluarga, juga punya Bora. Gue nggak mau ninggalin itu semua cuma gara-gara tempat asing yang kelihatannya enak."

Jujur saja, Brav tidak menyangka Anka akan menjawab begitu. Tidakkah pikirannya terlalu dewasa untuk umurnya? Dia masih remaja, yang harusnya masih punya banyak sisi egois, yang hanya ingin bersenang-senang, dan main. Tapi hanya untuk jalan-jalan seperti itu, dia malah memikirkan semua orang yang akan dia tinggalkan di sini. Brav jadi bertanya-tanya, apa yang pernah Anka alami sampai membuatnya jadi setakut itu untuk pergi dan meninggalkan orang-orang.

"Lo ... pernah kehilangan seseorang?" tanya Brav hati-hati.

Pertanyaan itu membuat Anka menoleh perlahan. Pertanyaan itu jelas di luar perkiraannya. Awalnya, dia tidak ingin menceritakan ini, tapi tidak mungkin dia meminta Brav bercerita jujur, kalau dia tidak melakukan hal yang sama. Dia mengambil jeda sekian lama untuk menghela napas dalam-dalam.

"Gue dulu punya kembaran, tapi dia meninggal waktu kita belum lama masuk SMP."

Anka berusaha menjaga suaranya tetap datar dan terdengar kuat, tapi dalam satu kalimat itu, Brav bisa mendengar tangis yang tidak disuarakan, dan hati yang berulang kali hancur. Dia mulai memahami situasinya. Bayangan gelap di mata Anka yang menarik perhatiannya sejak awal, diamnya cewek itu, juga ekspresinya yang tidak banyak terlihat, dia yakin rasa kehilangan itu penyebabnya. Karena dia tahu, bagaimana rasa kehilangan bisa merenggut banyak hal dari orang.

***

Ada yang pernah baca novel Damar Hill? Beneran pengin banget aku ke takengon abis baca novel itu. Tempatnya bagus banget 😭😭

Mulai dari part kemaren satu per satu rahasia mulai kebuka dan part depan ada rahasia2 yang ... gitu deh hahaha rahasia2 tuh bukan rahasia doang 🤭

Btw selamat idulfitri yaaa buat yang ngerayain 🙏🏻

Sampai ketemu rabu
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro