21. Tanda Tanya
Terkadang, ada tanda tanya yang tidak akan bertemu dengan titik.
Perasaan yang bergelayut di hati Tisya membuatnya benar-benar kebingungan saat ini. Kemarin, dia sudah meyakinkan diri kalau dirinya hanya terlalu banyak berpikir. Tapi nyatanya, tadi pagi kejadian itu terulang lagi, bahkan keadaannya jadi semakin membuatnya tidak mengerti. Kali ini dia benar-benar tidak bisa hanya berdiam diri lagi.
Langkah pelan Tisya akhirnya berakhir di perpustakaan. Dia cukup yakin bisa menemukan Anka di sini saat jam istirahat, dan benar. Begitu melongok, dia bisa melihat seniornya yang tidak banyak omong itu sedang tersenyum sambil menunduk menatap buku di hadapannya. Rasa penasaran membawa Tisya menghampiri Anka dan melihat cewek itu sedang fokus pada kertas kecil yang berada di atas lembaran novel. Mungkin itu yang menjadi penyebab senyumnya tadi, tapi sayangnya, Tisya tidak bisa membaca apa pun dari posisinya saat ini.
"Kak, boleh duduk sini?" Tisya akhirnya mengeluarkan suara sambil menunjuk kursi sebelah Anka, yang tampak kaget dan langsung menutup novel di tangannya.
Anka tersenyum sekilas dan mengangguk, walau dia merasa agak aneh karena tiba-tiba melihat Tisya di sini, tidak seperti biasanya. Dia juga tidak merasa akrab dengan adik kelas yang baru sekali ikut piknik dengannya dan teman-teman. Tapi mengingat sifat Tisya yang sepertinya tidak jauh beda dengan Bora dan Brav, Anka memilih agak santai, berusaha sekeras mungkin supaya tidak terlihat canggung.
"Aku boleh nanya nggak, Kak?" Suara Tisya terdengar lagi dan Anka hanya bisa kembali mengangguk untuk mempersilakan cewek itu mengatakan apa yang ingin ditanyakannya.
Tisya mengambil waktu sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. Jujur saja, itu terlihat aneh bagi Anka. Menurutnya, orang-orang seperti Tisya tidak akan merasa tegang hanya karena bicara atau bertanya pada orang lain, bahkan pada orang yang tidak mereka kenal sekalipun.
"Mau nanya apa?" Anka bertanya dengan suara lembut. Tadinya dia berpikir untuk mengatakan hal-hal seperti "gue nggak galak,kok," atau "tenang aja, gue nggak akan makan orang," tapi rasanya tidak perlu. Posisi mereka tidak sedekat itu untuk sok akrab dengan candaan, yang menurut Anka, garing.
"Hmm ... keluarga Kak Brav gimana, sih, Kak?" tanya Tisya akhirnya dengan suara yang terdengar kelewat pelan dan penuh keraguan. Melihat kening Anka yang langsung berkerut dalam, dia buru-buru menambahkan sambil melambai-lambaikan kedua tangannya kencang. "Aku nggak berniat saingan sama Kakak, serius deh. Tahu sendiri kan kalau aku cuma ngincer Kak Akas. Lagian, siap patah hati amat, masih sok-sok mau saingan padahal udah jelas Kak Brav cuma ngelihat Kakak."
Cerocos Tisya yang terlihat panik mengundang tawa kecil Anka. Tisya sendiri sadar bagaimana ekspresi seniornya itu berubah ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkannya. Ya ... siapa juga sih yang tidak akan senang kalau tahu kenyataan bahwa ada orang yang hanya melihat dirinya.
"Terus ... kenapa nanya gitu?" Bukannya menjawab, Anka malah bertanya balik pada Tisya, karena bagaimanapun, dia merasa aneh mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu, apalagi dari orang yang tidak terlalu dekat dengan mereka. Walau mungkin saja Tisya ini anak yang memang kelewat besar rasa ingin tahunya seperti Bora.
Pertanyaan itu membawa Tisya kembali pada kejadian kemarin dan tadi pagi. Kemarin, saat dia kembali ke mobil karena ada barang yang ketinggalan, dia melihat Brav sedang beradu tatap, seolah mengonfrontasi. Tatapan dan tingkahnya benar-benar berbeda dari Brav yang biasa terlihat di sekolah.
Karena kejadian kemarin itu, Tisya sengaja tidak langsung masuk ke sekolah dan menunggu di dekat gerbang, lalu kejadian yang sama terulang. Dia memberanikan diri untuk maju, supaya bisa mendengar percakapan mereka, tapi hasilnya malah membuat dia semakin tidak mengerti.
"Jangan sebut kata itu lagi, dan jangan datang ke sini lagi."
Hanya itu kalimat yang berhasil Tisya dengar saat berusaha mendekat, karena setelahnya, Brav sudah pergi dengan raut wajah yang jelas dalam kondisi tidak baik. Dia berpikir keras, kira-kira kata apa yang tidak mau Brav dengar lagi, dan kenapa cowok itu sampai terlihat begitu marah, padahal biasanya seperti orang yang tidak punya beban.
"Aku penasaran aja, Kak. Aku lihat Kak Brav sama seseorang kemarin dan hari ini. Ekspresi dan sikapnya beda banget," jawab Tisya setelah kembali pada kesadarannya. "Bukan cewek kok, Kak. Orang tua gitu," tambahnya saat melihat perubahan ekspresi Anka.
"Ada apa, ya?" Pikiran Anka menerawang, karena pertanyaan itu memang dilontarkannya untuk diri sendiri. Ternyata, dia memang belum cukup mengenal Brav. Masih banyak hal yang tidak diketahuinya tentang cowok itu. Lalu dia menatap Tisya dan memberi pertanyaan lain. "Lo tahu orang itu siapa?"
Tisya menggeleng, pelan dan ragu, tanpa berani menatap Anka. Tidak mungkin dia memberi tahu bahwa itu ayahnya. Tidak mungkin, bila semuanya masih berupa tanda tanya baginya.
***
Adakalanya, kalau sedang kangen dengan jajanan di daerah rumah kakaknya yang di Bandung, Anka akan pergi ke jalanan kecil yang menghadap jalanan besar. Di jalan ini, suasananya mirip dengan area rumah kakaknya, banyak pedagang yang menjual berbagai jajanan dengan gerobak atau dengan menggelar dagangan seadanya.
Tidak benar-benar sama sebenarnya, tapi tetap saja bagi Anka, suasananya mirip. Terkadang, yang dia butuhkan bukan yang sama persis dengan yang dirindukan, karena Anka sadar, itu hanya menipu diri. Tidak ada hal yang akan benar-benar sama di dunia ini, apalagi kalau berbicara soal suasana. Maka, dia cukup memuaskan diri dengan berkeliaran di jalanan ini sambil membayangkan kalau ini tempat yang ingin dikunjunginya sekarang.
Seperti biasanya, jalanan ini ramai dengan pejalan kaki, yang memang ingin membeli jajanan atau sekadar mengambil jalan pintas yang tidak dipenuhi kendaraan. Anka mengedarkan pandangan dan menemukan gerobak jualan yang ingin dibelinya. Dia bergerak pelan menuju pedagang es podeng yang cukup ramai. Bayangan es dengan kacang, alpukat, dan lain-lain itu membuatnya tidak tahan, dan akhirnya menyerah lalu ikut mengantre di sana.
Saat masih dalam barisan antrean, mata Anka tanpa sengaja menangkap sosok nenek yang berjalan dengan tertatih-tatih. Punggungnya yang bungkuk terlihat begitu ringkih. Setiap kali melihat orang tua berjalan sendirian, Anka selalu bertanya-tanya, di mana orang-orang terdekat mereka? Kenapa orang setua itu masih dibiarkan berjalan sendiri? Apa setiap orang akan jadi sendirian di masa senja, ketika usia sudah menggerogoti hampir semua hal dalam hidupnya?
Perasaan yang menyelip begitu saja mengubah semuanya dalam hitungan detik. Tidak ada lagi rasa rindu akan jajanan, hilang pula keinginannya untuk menikmati segelas es di sore yang cukup panas. Semuanya berganti dengan perasaan yang tidak karuan, suasana hati yang kacau balau karena kembali teringat akan rasa sepi, juga orang tuanya di Bandung sana. Akhirnya dia memilih keluar dari antrean dan menghampiri nenek tadi.
Anka langsung mengernyit ketika sudah tiba di dekat nenek tadi. Dia ingat dengan wajah nenek ini. Walau kejadiannya sudah cukup lama, tapi Anka punya daya ingat yang bagus untuk tetap mengenali wajah yang pernah dilihatnya. Apalagi kalau terjadi sesuatu yang tidak biasa dengan orang itu. Anka ingat, pernah menolong nenek ini saat beliau hampir tertabrak motor, di jalan ini juga. Karena itu, perasaannya terasa semakin kacau sekarang.
"Nek," ujar Anka sambil duduk perlahan di batu kecil dekat belokan, samping nenek itu.
Nenek itu menoleh perlahan. Awalnya, tidak ada ekspresi apa pun di wajah beliau, hanya menatap Anka dengan tatapan kosong. Namun, setelah beberapa detik berlalu, nenek itu mulai menggerakkan tangan dan mendaratkannya di wajah Anka. Senyum beliau perlahan mengembang, seiring dengan air mata yang mulai membendung di matanya.
"Sitta, kenapa lama sekali baru kembali? Kami sudah lama menunggu."
Pertanyaan nenek itu membuat Anka kebingungan. Dia sama sekali tidak kenal dengan orang yang dipanggil Sitta oleh nenek tadi, bahkan beliau saja baru pernah ditemuinya dua kali. Lalu bagaimana dia harus menghadapi nenek ini sekarang? Tatapan kosong yang berubah jadi penuh harap itu membuat Anka tidak bisa berkutik. Rasanya terlalu kejam kalau semua dihancurkan begitu saja. Tapi Anka sadar, memberi harapan semu jauh lebih kejam daripada menarik orang itu ke kenyataan yang menyakitkan. Makanya, dia akhirnya memilih jujur, walau raut kecewa nenek itu pasti akan membuat perasaannya jadi semakin kacau nantinya.
"Maaf, Nek, tapi saya bukan Sitta. Saya bukan orang yang nenek tunggu." Anka berujar sambil menggenggam pelan tangan penuh keriput nenek itu. Tepat seperti dugaannya, senyum nenek itu menghilang seketika, dan tatapannya kembali kosong.
"Andai kamu tidak bertemu laki-laki itu, kamu tidak akan pergi, kan? Harusnya dia tidak datang, kalau hanya untuk merebut anakku yang baik."
Anka sama sekali tidak mengerti omongan nenek itu, tapi dia bisa menangkap semua perasaan di tiap katanya. Di sana, ada penyesalan karena tidak bisa mempertahankan anaknya. Dan yang terbesar, ada kegelisahan serta kesedihan seorang ibu yang menunggu anaknya kembali, yang mungkin sudah bertahun-tahun menghilang.
Tanpa berkata-kata lagi setelahnya, nenek itu bangkit dan mulai berjalan pelan. Anka memutuskan untuk mengikuti beliau karena yakin tidak akan bisa tenang kalau membiarkan nenek itu berjalan sendirian. Langkah pelan nenek itu terus bergulir sampai mereka tiba di lingkungan perumahan, yang berada tepat di sebelah jalan kecil tadi.
"Nenek ke mana aja? Jangan pergi sendirian lagi, Nek. Jangan bikin aku takut." Cowok yang berlari dari arah berlawanan dengan mereka langsung memeluk nenek tadi erat. Suaranya terdengar bergetar, menunjukkan bagaimana dia sungguh-sungguh takut kehilangan neneknya, seperti yang diucapkannya barusan.
Cowok itu mengangkat wajah, membuat matanya dan mata Anka bertemu. Cowok itu .... Selama beberapa saat, Anka terdiam. Dia tidak pernah menyangka cowok itu punya sisi yang jauh berbeda dari yang dilihatnya selama ini.
***
Satu rahasia kebuka hehehe gimana pendapat kalian?
Sejauh ini mungkin kalian punya tebakan2? Jangan spoiler tapi 😝
Tinggalin komen ya, itu berarti banget buatku hehehe
Sampai ketemu sabtuuu
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro