20. Segores Luka
Kadang, semakin ditutupi, semakin lama pula luka itu menetap dalam diri.
Hal yang paling Brav suka dari berangkat atau pulang bersama Anka adalah bisa duduk bersebelahan dengan cewek itu di bus dan merasakan energi hangat yang menjalar dari tubuhnya, bahkan tanpa tersentuh. Aneh, kan? Orang yang tampak dingin dari luar, punya energi hangat yang bisa dirasakan orang lain. Mungkin semua orang akan mengira Brav mengada-ada, atau hanya sengaja berkata begitu untuk menggombali Anka, tapi nyatanya dia serius dengan semua ini. Anka benar-benar menghantarkan perasaan hangat ketika mereka duduk bersebelahan.
Brav percaya, itu semua karena pada dasarnya Anka memang orang yang hangat. Hatinya baik, apalagi kalau berhubungan dengan orang tua dan anak-anak. Kalau sudah melihat Anka bermain dengan keponakannya, semua orang tidak akan percaya kalau Anka yang itu adalah orang yang sama dengan yang tidak banyak omong di sekolah. Karena Anka memang sebeda itu ketika ada di rumah, bersama dengan orang-orang yang membuatnya nyaman.
"Lo lagi suka nonton drama apa?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Brav itu membuat Anka menoleh cepat dengan alis terangkat setengah dan kening berkerut. "Emang lo ngerti kalau gue jawab?"
"Nggak." Anka tertawa kecil mendengar jawaban itu. Tapi tawanya berhenti ketika mendengar lanjutan Brav. "Tapi gue seneng aja dengar lo cerita."
Memang benar, Brav tidak akan mengerti apa-apa ketika Anka memberi jawaban nanti. Mungkin cewek itu akan menyebutkan nama-nama yang asing di telingnya dan susah dilafalkan lidahnya, tapi dia tetap mau mendengar semuanya. Karena itu artinya, Anka sudah cukup nyaman bersamanya untuk membicarakan apa pun, bahkan yang tidak terlalu penting. Brav juga yakin, orang yang terlalu banyak berpikir seperti Anka akan mempertimbangkan berkali-kali bahkan sekadar untuk menceritakan kesukaannya, karena dia akan merasa itu tidak penting bagi orang lain.
Tidak seperti biasanya, kali ini senyum Anka bisa mengembang tanpa banyak usaha. Baginya, omongan Brav barusan bukan lagi berupa gombalan atau semacamnya. Dia juga tidak lagi terpaku karena tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Semuanya sudah terasa sangat natural saat ini. Seolah memang seperti ini percakapan mereka sehari-hari.
"Gue akhir-akhir ini lagi suka nonton thriller misteri gitu, sih. Judulnya Life on Mars. Ceritanya ada fantasi juga karena dia pindah zaman, dari tahun sekarang ke tahun 1988 terus ngungkap kejahatan di sana yang berhubungan sama kasus yang lagi dia tangani di masa sekarang. Seru, deh. Kalau lo suka nonton yang ada misterinya gitu, dan nggak masalah sama Korea, cobain aja."
Brav hanya mendengarkan sambil mengangguk-angguk sekilas dan tidak berhenti tersenyum. Mendengar Anka bicara panjang lebar begitu adalah pengalaman baru baginya, dan ternyata itu menyenangkan. Jauh lebih menyenangkan daripada melihat ekspresi cewek itu saat mendengar gombalannya yang kelewat jujur.
"Lo nggak nonton yang sekretaris-sekretaris itu? Rame banget di explore IG gue itu, parah," ujar Brav sambil berdecak. Dia benar-benar bingung kenapa postingan tentang drama Korea satu itu bisa memenuhi explore Instagramnya.
Anka terkekeh pelan. "Why Secretary Kim? Nggak nonton itu. Udah tamat, kok, tapi emang booming banget dramanya. Kalau kata Bo Yong, pemeran utama cowoknya mirip Akas."
Brav refleks mengernyit. "Akas? Yang mirip gue ada, nggak?"
"Ada, namanya Jung Hae In Oppa. Dia main drama juga, tapi udah lumayan lama tamatnya. Booming juga, sih, waktu itu."
"Terus lo nonton, nggak? Gimana? Gantengan gue apa dia?"
Brav yang kelewat bersemangat membuat Anka menghadiahinya tatapan heran. "Satu, jelas gantengan dia. Gimanapun pasti bagusan yang asli." Melihat wajah cemberut Brav, mau tidak mau Anka tertawa. "Gue nggak nonton drama itu tapi."
"Lho, kenapa? Lo nggak suka sama gue?"
Kali ini Anka memutar bola mata. "Di drama itu adanya Jung Hae In Oppa, bukan lo. Gue sih suka sama dia, tapi lagi males nonton romance, dan itu romance banget."
"Berarti lo suka juga lah ya sama gue?"
Mata Anka melebar mendengar pertanyaan itu. "Kenapa lo selalu narik kesimpulan sembarangan dan hasilnya selalu melenceng, sih?"
Brav tidak bisa tidak tertawa melihat ekspresi Anka saat mengucapkan itu, apalagi suaranya yang harus dibuat lebih keras karena bus yang mereka naiki mengerem kencang di halte depan sekolah. Mereka turun dan berjalan menuju sekolah, sementara Anka masih memberi tatapan protes pada Brav. Namun, sesuatu yang ada beberapa meter di depan mereka menyita konsentrasi Brav. Emosinya meletup-letup melihat interaksi kedua orang itu.
"Lo duluan deh, Ka. Gue mau nunggu temen sekelompok dulu, takut dia lupa bawa tugasnya." Brav jadi harus berbohong dan membiarkan Anka masuk duluan ke sekolah.
Setelah memastikan Anka sudah masuk ke sekolah, Brav mulai berjalan pelan ke arah gerbang. Mungkin dia bisa saja berjalan santai dan tidak menoleh sama sekali, sehingga orang itu juga tidak akan melihatnya Tapi dia tidak mau mengambil risiko kalau-kalau nanti Anka melihat keanehan atau setidaknya menyadari perubahan ekspresinya. Tidak, dia belum siap untuk mengutarakan semuanya pada cewek itu.
"Kamu ...."
Satu kata yang keluar dari mulut orang itu setelah sekian lama mereka saling tatap, serta tubuhnya yang menegang, mengukirkan senyum sinis di wajah Brav. Dia tidak pernah menyangka kalau senyum sejenis itu akan terlihat di wajahnya, karena memang bertemu dengan orang ini saja tidak pernah terlintas di pikirannya. Kalau bisa juga dia tidak pernah mau bertemu dengannya lagi. Cukup setelah orang ini menimbulkan semua kekacauan dan luka.
"Masih ingat? Hebat juga. Biasanya kalau ada yang baru, lupa sama yang lama. Eh, tapi emang lupa sih, ya." Brav hampir tidak percaya mendengar suaranya sendiri. Kali ini, dia benar-benar sudah bertindak di luar dirinya yang biasa. Entah apa yang merasukinya, tapi mengingat apa yang orang ini lakukan padanya dulu, membuatnya tidak bisa menjadi Brav yang biasa. Yang punya langkah ringan dan terlihat ceria.
"Tidak ada yang dilupakan dan melupakan," ujar orang itu dengan mata sayu yang mencoba meyakinkan Brav.
Namun, semua sudah terlambat. Katakan itu padanya bertahun-tahun lalu, dan mungkin Brav masih akan percaya. Tapi tidak sekarang. Tidak lagi. Kepercayaannya pada hal ini, pada orang di hadapannya ini, sudah benar-benar hilang. Dan saat ini, Brav hanya bisa melangkah pergi sambil tersenyum miring. Walau ada segores luka yang berusaha ditutupinya.
***
Tisya sudah berada di ujung koridor sekolah dan hampir melangkah keluar, tapi pikirannya yang masih kacau membuat langkahnya terhenti. Dia tidak bisa tenang setelah melihat kejadian tadi pagi. Sepanjang pelajaran hari ini, dia terus memaksa otaknya untuk berpikir sebisanya, tapi hasilnya tetap nihil. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dipikirkannya.
Tidak biasanya Tisya begini, memikirkan sesuatu sampai hampir seharian. Biasanya apa pun yang menarik perhatiannya akan berganti secepat angin berembus. Mood-nya memang mudah berubah, begitu pula minatnya akan segala sesuatu. Tapi entah kenapa kali ini berbeda. Sebenarnya, bisa saja dia yang terlalu banyak menyimpulkan, padahal tidak ada apa-apa. Itu sangat mungkin, tapi entah dari mana, ada firasat yang berbeda kali ini.
Beberapa detik berlalu, Tisya akhirnya memutar balik. Dia harus mencoba bertanya untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, walau tidak ada jaminan kalau semuanya akan terjawab nanti. Kakinya baru hendak melangkah, ketika Anka dan Brav melangkah dari lorong belakang sambil tertawa. Tangannya terangkat, dan mulutnya terbuka ingin menyapa keduanya, tapi Brav cepat-cepat melepaskan jaketnya dan menudungi kepala Anka.
Kenapa kayak menghindar gitu? pikir Tisya sambil kembali berputar, mengikuti langkah dua orang itu. Rintik hujan langsung mengetuk kepalanya begitu dia mau melangkah keluar. Hujan ternyata, pantas Brav mengambil tindakan secepat itu. Senyum Tisya langsung mengembang setelah menyadari kenyataan barusan. Sepertinya dia benar-benar terlalu banyak berpikir. Melihat Brav dan Anka yang berlari cepat sampai halte depan sekolah dalam tudungan jaket yang sama membuat hatinya menghangat. Kedua seniornya itu terlihat sangat cocok. Semoga saja tidak ada yang mengganggu kebahagiaan mereka seperti sekarang.
Tisya kembali bersembunyi di lorong. Langit tidak terlalu gelap, sepertinya hujan ini tidak akan lama, maka dia memilih menunggu sebentar. Kepalanya masih berputar ke segala arah untuk melihat keadaan sekitar, saat matanya menangkap sosok Akas yang sudah berdiri di sampingnya sekarang. Senyumnya kembali mengembang dengan lebar.
"Nunggu hujan juga apa nemenin aku, Kak?" tanya Tisya tanpa basa-basi dan penuh percaya diri.
Akas melirik sekilas, lalu mengembuskan napas keras-keras, membuat Tisya terkekeh. Memang sih, pertanyaan tadi kelewat percaya diri. Mana mungkin Akas sengaja datang hanya untuk menemaninya, tapi Tisya tidak bisa menahan diri untuk berkata begitu. Dia ingin selalu mengutarakan apa pun yang ada di pikiran, supaya orang itu tahu dengan jelas. No kode-kode biar cepat, prinsip Tisya.
"Kak," panggil Tisya, sambil menatap Akas tanpa berpaling. Ketika seniornya itu menoleh, baru dia melanjutkan. "Kok Kakak ngasih izin Tyas pacaran sama Kak Ardy?"
Akas mengernyit. "Emang kenapa?"
Tisya tahu Akas pasti bingung dengan pertanyaannya yang random ini, tapi dia tidak bisa lagi menahan pertanyaan yang terlintas di pikirannya sejak pertama kali melihat pasangan itu. "Bingung aja abang yang super protektif kayak Kakak bisa percayain Tyas ke orang lain. Nggak takut Tyas direbut?"
"Yang penting Tyas bahagia. Gue lihat sendiri gimana Ardy ngejaga Tyas dengan baik. Lagian, nggak ada yang rebutan. Gue dan Ardy punya posisi masing-masing di hati Tyas yang pasti nggak akan bisa saling ngegeser, dan tugas kita sama, ngejaga Tyas. Udah, itu aja cukup."
Jawaban Akas yang begitu lantang membuat Tisya makin memantapkan hati. Semakin dia melihat dan bicara dengan seniornya itu, semakin pula dia terpesona. Cowok yang sayang dan sangat menjaga adik perempuan, juga ibunya, memang cowok yang terlalu baik untuk disia-siakan. Di mana lagi sih, bisa ketemu cowok kayak gini? batin Tisya, masih sambil melekatkan pandangannya pada cowok berahang tegas itu.
Dan karena terlalu terpesona dengan Akas, Tisya sampai tidak sadar kalau hujan sudah berhenti. Seniornya itu pun sudah berlalu dari hadapannya. "Kak!" Tisya terus memanggil Akas, tapi tetap tidak dihiraukan. Cowok itu terus berjalan menuju parkiran motor tanpa sekali pun menoleh. Tisya hanya bisa mengembuskan napas keras-keras sambil memberengut dan akhirnya memilih pergi.
Namun, belum juga mencapai pagar sekolah, Tisya sudah menemukan helm yang terjulur di hadapannya. Begitu menoleh, dia menemukan Akas yang menyodorkan itu dari motor. Matanya mengerjap-ngerjap tidak mengerti, dan selama sesaat dia hanya berdiri diam di tempatnya.
"Ikut ke rumah, nggak?" tawar Akas sambil menggoyang-goyangkan helm di tangannya.
Mata Tisya langsung berbinar-binar mendengarnya. "Nggak bakal nolak!" sahut Tisya penuh antusias. Mana mungkin dia menyia-nyiakan kesempatan untuk menumpang motor Akas ke rumah seniornya itu.
Begitu Tisya naik ke motornya, Akas langsung mengarahkan tangannya untuk menurunkan sudut bibir yang sudah mulai terangkat. Semoga saja cewek itu tidak melihat gerakan barusan dari spion.
***
Ada yang suka drakor thriller kayak Anka?
Mulai part ini udah menuju masalah inti nih hehehe semoga masih pada baca pas sweet2 gemes2nya ilang 🙈
Sampai ketemu rabu
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro