Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Perubahan Hati

Ketika mulai merasa bimbang, rasa suka itu sebenarnya sudah berkembang.

Tisya menggeret langkahnya dengan susah payah. Hari ini mungkin akan jadi hari paling melelahkan baginya. Steroform besar yang akan dipakai untuk alas majalah dinding dia bekap dengan kedua tangan. Sementara, di tangan kirinya, dia masukkan kantong plastik yang berisi peralatan pendukung untuk membuat majalah dinding itu.

Seolah belum cukup, tangan kanannya masih harus bersusah payah mengangkat tiga buku cukup tebal yang dia pinjam dari perpustakaan untuk dijadikan referensi saat membuat makalah dan harus dikembalikan hari ini. Namun, senyumnya mengembang lebar saat menemukan Akas, senior pujaannya. Hanya melihat punggung cowok itu saja sudah membuat Tisya kesenangan seperti saat ini.

Kejadian ini membuat Tisya teringat dengan waktu dulu. Saat dia menemani temannya yang punya kakak di sekolah ini. Waktu itu, temannya bilang harus mengambil sesuatu dari kakaknya dan bersikeras meminta Tisya menemani, padahal hari itu dia sudah sangat lelah. Sehabis pelajaran Olahraga yang begitu menyiksa, ditambah pelajaran Matematika yang membuat otaknya panas. Tisya hampir tidak terpengaruh, tapi wajah memelas temannya itu akhirnya membuat dia menyerah.

Saat itulah, Tisya melihat Akas pertama kali. Begitu tiba di sekolah ini, Tisya dan temannya hanya bisa menunggu di depan gerbang, tidak diperbolehkan masuk, walau sudah waktu pulang sekolah. Teman Tisya masih berusaha menelepon kakaknya, sementara Tisya mengedarkan pandangan. Sekolah ini memang masuk ke daftar SMA impiannya, jadi tidak ada salahnya mengamati dari sekarang.

Namun, saat sedang mengedarkan pandangan secara acak, mata Tisya menangkap sosok Akas. Dari jauh, cowok itu terlihat sangat keren, dan penuh wibawa. Karismanya memancar sempurna, membuat siapa pun yang melihat jadi terpesona. Setidaknya itu yang Tisya pikirkan. Dia tidak bisa menemukan kata yang lebih cocok untuk menggambarkan kesempurnaan Akas di matanya saat itu. Bahkan hingga saat ini.

Sejak hari itu, Tisya telah memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Akas. Maka, dia meminta bantuan temannya untuk bertanya pada kakak yang bersekolah di sana juga. Selain itu, dia jadi sering main ke SMA ini. Walau tidak boleh masuk, dia cukup puas hanya dengan melihat Akas dari luar sesekali.

Suatu ketika, Tisya pernah melihat Akas bersama seorang cewek yang duduk di kursi roda. Awalnya, dia sempat merasa terpukul karena mengira cewek itu adalah pacarnya Akas. Namun, setelah tahu kenyataannya, kalau itu adalah Tyas, adiknya Akas, Tisya malah semakin jatuh dalam pesona cowok itu. Dia tahu, Akas memang cowok yang mengagumkan, tapi kasih sayang yang dia miliki untuk adiknya lah yang membuat Tisya benar-benar terpana, dan tidak bisa lepas sampai sekarang.

"Kak Akas!" seru Tisya, yang akhirnya kembali ke dunia nyatanya saat ini.

Akas tidak menoleh, apalagi berhenti. Mungkin dia tidak dengar, makanya Tisya berlari kecil untuk menebas jarak. Dia harus cepat sebelum Akas berbelok menaiki tangga dan akan semakin susah mendengar panggilannya. "Kak Akas!" panggilnya lagi.

Masih juga belum bisa menghentikan Akas, Tisya menambah kecepatan larinya sekarang. Karena kurang hati-hati, kakinya saling mengait dan akhirnya membuat dia tersandung. Tubuhnya ambruk ke lantai, sementara barang-barang bawaannya berhamburan begitu saja.

Tisya mengumpat karena menyadari kecerobohannya barusan. Kalau begini caranya sih, bukannya menambah kecepatan untuk menyusul Akas, malah memberi kesempatan seniornya itu untuk menghilang lebih cepat. Lututnya masih berdenyut sakit karena terbentur lantai tadi, tapi dia berusaha segera bangkit.

"Kak Akas tung ...." Kata-kata Tisya tertahan begitu saja karena saat mendongak, dia sudah menemukan Akas sedang membantu memungut barang-barangnya. Tanpa bisa dicegah, hatinya menghangat.

"Bawa barang kok borongan. Udah tau tangan kecil," gerutu Akas, membuat Tisya tertawa kecil. Tisya mengulurkan tangan, hendak menyambut barang-barang bawaannya, tapi ternyata Akas sudah berjalan mendahului, sambil tetap membawa semuanya.

Mata Tisya berbinar-binar karena itu. Tidak menyangka kalau Akas akan menolongnya. Dia berlari cepat, walau sambil terpincang karena lututnya masih sakit. "Makasih, Kak," ujarnya dengan wajah cerah saat sudah berhasil menyusul Akas.

"Kelas lo di mana?" tanya Akas sambil terus berjalan dengan pandangan lurus, tidak menoleh sama sekali ke arah Tisya.

"Lantai dua pojok kiri, Kak." Tisya tidak memalingkan wajahnya sedikit pun dari Akas.

"Jalan liat ke depan. Ntar jatoh lagi," omel Akas, yang lagi-lagi memancing senyum Tisya.

"Duh ... perhatian banget, sih." Terdengar embusan napas dari Akas, membuat Tisya terkekeh. Seniornya ini ternyata selain keren, juga lucu.

Mereka akhirnya tiba di depan kelas Tisya. Akas masuk ke kelas itu dan menaruh semua barang-barang bawaan tadi ke meja Tisya, mengundang perhatian seisi kelas. Beberapa anak berbisik-bisik, menebak-nebak apa yang sedang terjadi sekarang. Seorang mantan ketua OSIS masuk ke kelas X dan membantu salah satu penghuninya. Pasti ada cerita yang seru untuk diperbincangkan.

"Kapan lo main ke rumah lagi?"tanya Akas tiba-tiba.

Tisya mengerjap-ngerjap sesaat, tidak menyangka Akas akan menanyakan sesuatu seperti itu. Namun, senyumnya langsung merekah setelah itu. "Jadi mau aku main ke rumah, nih, Kak?" Dia sengaja mengencangkan suaranya, sehingga mengundang bisik-bisik yang semakin ramai dari seisi kelasnya.

Akas menghela napas dalam-dalam, menyadari bagaimana cewek ini sengaja memancing kegaduhan. "Tyas nanyain," jawabnya datar. Tapi sayang, suaranya kalah kencang dengan suara seisi kelas, jadi tidak ada yang mendengar alasan itu.

Walau dengan alasan Tyas, senyum Tisya tetap tidak memudar, malah semakin cerah. Siapa yang tahu alasan sebenarnya Akas bertanya seperti itu. Kalaupun benar karena Tyas, setidaknya masih ada kesempatan untuk mendekatkan diri. Siapa tahu, yang awalnya karena Tyas, lama-lama bisa karena inisiatif sendiri.

"Tenang aja, Kak. Nanti aku pasti main ke rumah Kakak lagi." Tisya berseru kencang, sedangkan Akas berlalu keluar kelas sambil menunduk karena sorakan dari seisi kelas Tisya.

***

Anka memandangi ponselnya yang tergeletak di kasur, menimbang sekian detik lalu meraihnya pada akhirnya. Dibukanya aplikasi chat. Nama Brav yang berada di urutan ketiga setelah Bora dan kakaknya membuatnya lagi-lagi terdiam.

Entah kerasukan apa, tapi dari tadi Anka merasa ada hasrat yang sulit terkontrol dalam dirinya untuk menghubungi Brav. Entah kenapa, dia merasa ingin menanyakan keadaan cowok itu. Ingin tahu apa yang sedang dilakukannya sekarang, apa yang mengganggu pikirannya. Dan mungkin, apa yang menjadi rahasianya. Entah sejak kapan, Anka jadi ingin tahu tentang cowok itu, padahal biasanya dia selalu menunggu orang untuk cerita dengan sendirinya.

Anka menggeleng kuat-kuat, berusaha mengenyahkan keinginan anehnya itu. Dia menutup kembali ponselnya dan menelungkupkan benda itu, supaya layarnya tidak terus-terusan menggoda dan minta dibuka. Sebagai gantinya, tangannya meraih buku-buku yang akan dipelajari besok. Tadinya, dia ingin mengalihkan perhatian dengan mengerjakan tugas atau belajar untuk besok, tapi ternyata semua itu sudah dilakukannya sebelum ini.

Lagi-lagi, Anka menghela napas dalam-dalam karena merasa gagal. Pada akhirnya, tangannya kembali meraih ponsel. Matanya masih terpaku pada layar chat yang tahu-tahu sudah dibukanya. Tangannya juga masih mengatung, menimbang sekali lagi apa benar-benar akan mengirim pesan itu atau tidak.

Gimana keluarga lo?

Hapus. Ketik lagi. Hapus. Ketik lagi. Hanya tiga kata sederhana seperti itu, tapi sanggup membuat Anka terus-terusan galau sampai mengetik dan menghapusnya kembali berulang kali. Sungguh, Anka tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Hingga akhirnya, dia memantapkan hati dan menekan tombol kirim.

Mata Anka memejam erat-erat begitu pesan itu terkirim. Tanpa sadar, detak jantungnya sudah melonjak drastis. Nggak kenapa-kenapa. Itu nggak aneh, kok. Dia merapalkan kata-kata itu berulang kali, tapi detak jantungnya tetap saja belum bisa dikontrol.

Setelah sekian menit, pesan itu masih juga belum dibalas. Bahkan dibaca pun belum. Yang awalnya gelisah karena merasa aneh mengirim chat tiba-tiba, sekarang keresahan Anka terjadi karena Brav belum juga merespons pesannya. Mungkin dia lagi ke toilet, nonton, ngobrol sama neneknya, main game, atau apa kali. Belom liat HP. Kembali dia merapalkan beberapa kata, kali ini kemungkinan-kemungkinan yang terlintas di otaknya, untuk menenangkan diri.

Bunyi ponselnya membuat Anka terkesiap. Dia harus mengembuskan napas berkali-kali hanya untuk melirik benda itu. Matanya membelalak saat melihat nama Brav di layar. Bukan membalas chat, cowok itu malah menelepon. Tanpa sadar, Anka menahan napas. Dia berpikir sejenak dan membiarkan telepon itu putus tanpa terangkat akhirnya. Namun, saat Brav menelepon lagi, Anka akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat.

"Halo?" ujarnya sambil menggigit ujung bibir bawah, berharap itu bisa mengontrol detak jantungnya yang sangat tidak tahu diri saat ini.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Kangen, ya?" Nada usil terlalu kentara di pertanyaan Brav barusan.

Anka menelan ludah dengan susah payah, tidak menyangka kalau pertanyaan itu bisa membuatnya tidak berkutik. Padahal, awalnya dia meyakinkan diri, kalau dia menanyakan itu karena penasaran dengan balas-balasan di kertas yang ada di selipan novel. Namun, begitu mendengar suara Brav, rasa itu menyelip begitu saja.

"Kalau susah jawab sekarang, ya udah, nggak usah. Dengerin aja suara gue, biar puas ngilangin kangennya. Eh, tapi gue juga perlu, deh, ngilangin kangen. Jadi, jawab sesekali, ya. Jangan pelit-pelit keluarin suaranya."

Brav terus mencerocos, sementara Anka mendengarkan dengan senyum yang tak henti mengembang. Didengarkannya Brav bercerita tentang pelajaran yang dilaluinya hari ini. Tentang neneknya yang menggambar pemandangan laut yang sangat indah. Semua cerita Brav itu membuat Anka merasa nyaman. Dia sendiri tidak tahu alasannya, tapi begitu kenyataannya.

"Lo belom tidur?" tanya Brav, kali ini melenceng dari cerita-cerita sebelumnya.

"Biasanya gue insom emang," Anka menjawab jujur.

"Kalau gitu, mulai sekarang, tiap mau tidur, pikirin gue. Ulangin ini dalam hati, gue bakal ketemu Brav dalam mimpi. Pasti lo jadi pengin cepet-cepet tidur habis itu."

Anka terbahak karena omongan Brav barusan. Baru kali ini dia tertawa sampai seperti itu, padahal hanya karena ucapan sederhana berupa kepercayaan diri yang kelewat batas.

"Udah, ah. Gue mau tidur," ujar Anka setelah tawanya berhenti.

"Pasti nggak sabar pengin mimpiin gue, kan?" Brav bertanya usil.

Anka tidak menanggapi lebih lanjut, hanya mengucapkan salam dan akhirnya memutus sambungan telepon. Namun, kalimat itu terucap begitu saja dalam hatinya.

Gue bakal ketemu Brav dalam mimpi.

***

Ada yang pernah kayak Anka? Ketik, hapus, ketik, hapus terus pas udah terkirim dan belum ada balasan mikiiirrr terus, ngira2 kenapa itu orang ga bales

Aku pas nulis Drama rada kesel dan ga baper sama Akas, tapi di sini gemes, diimbangin sama Tisya yang maju terus pantang mundur hahaha

Jangan lupa vote dan komen yaaa

Sampai ketemu rabuuu
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro